Minggu, 16 Juni 2013

Jangan Pernah Menawar Batik!

Soal selera berbusana, jangan tanya Hatta Rajasa! Menko Perekonomian yang selalu tampil trendi ini, rupanya, kolektor batik katun. Bukan sutera, tapi yang berbahan baku kain katun. Yang dilukis secara tradisional dan manual dengan canting serta malam itu. Alumnus Fakultas Perminyakan ITB Bandung angkatan 73 ini punya tips khas bagi mereka yang cinta batik, bangga berbatik, batikholic, atau yang punya mazhab batikisme.

Apa kata-katanya? ’’Jangan pernah menawar harga batik! Anda membeli batik itu tidak sekadar mengganti biaya kain, bahan-bahan pewarna, malam, dan cantingnya. Tapi, harus dihargai pula desainnya, konsentrasi membuat karya seninya, tenaga kerjanya, energi membuatnya, serta semangat dan ketekunannya. Itulah yang namanya harga psikologis, harga emosional, harga yang tidak bisa ditawar,” ucap Hatta.

Mirip dengan lukisan dan patung atau karya seni lain. Batik, kata Hatta, adalah mahakarya seni yang harus ditempatkan sebagai produk seni budaya yang mahal. Siapa lagi yang mau menghargai dan peduli akan karya anak bangsa sendiri kalau bukan kita? ’’Hampir semua motif batik tradisional dari berbagai daerah ada di lemari saya. Gaya Solo, yang dominan dengan warna sejuk, gelap, dan cokelat tua itu paling sering saya kenakan,” aku Hatta.

Mengapa? ’’Filosofi batik itu cukup dalam! Batik itu simetris, nyambung, antara kiri dan kanan, atas dan bawah. Melambangkan kehidupan yang seimbang, antara fisik dan nonfisik. Itu juga perlambang bahwa hidup itu punya dua sisi yang saling melengkapi dalam keharmonisan simbolik. Lihat saja motif-motif batik Solo, banyak ditemukan motif-motif seperti sawat, meru, naga, burung, dan modang yang semua simetris,” ungkap ketua umum DPP PAN ini.

Motif dan pilihan warna dalam desain batik, kata dia, melambangkan karakter masyarakatnya. Wujud kebhinnekaan, persatuan, dan kesatuan itu ada dalam alam batik. Sama dengan tenun, dari ujung Aceh sampai daratan Papua sana, memiliki keanekaragaman yang sama indahnya. Kebetulan, Okke Hatta Rajasa, istri mantan Mensesneg, Menhub, dan Menristek, ini adalah ketua Cita Tenun Indonesia (CTI), perkumpulan perempuan pencinta tenun.

Tidak salah jika di rumah dinasnya, kompleks Perumahan Menteri di Widya Chandra itu, dipenuhi dengan ornamen tenun terbaik dari berbagai daerah. ’’Sungguh, tak ada habisnya memuji karya seni kain tenun kita. Bahkan setiap helai benang itu memiliki cerita. Setiap lembar kain tenun itu berbicara dan kaya akan simbol-simbol budaya. Saya bangga memakai produk tradisional terbaik asli milik kita sendiri,” akunya.

Menilik Kain Bidak Galah Napuh Waykanan

Kain Bidak Galah Napuh, kain khas masyarakat Waykanan yang usianya ratusan tahun ini, sampai sekarang belum banyak yang tahu. Desainer kondang Lampung Raswan pun mencoba melestarikannya. Apa saja kendala dalam proses pembuatannya?

LAMPUNG memang kaya akan peninggalan benda-benda kesenian bersejarah, termasuk kain. Begitu kayanya, beberapa di antaranya terlupakan, termasuk Kain Bidak Galah Napuh.

Ketua Yayasan Tenun Peduli Tradisional Lampung Raswan menceritakan, lebih dari lima tahun, ia baru bisa membuat Kain Bidak Galah Napuh tersebut. Mulai penemuan motif asli hingga teknik pembuatannya. Ia mengatakan mengetahui keberadaan kain ini dari beberapa buku Indonesia Tekstil dan cerita dari orang-orang terdahulu.

Banyak kendala yang harus dilewatinya untuk menemukan kain ini. Selain karena motif asli kain itu sudah tidak bisa ditemukan lagi di tempat asalnya, yakni Kabupaten Waykanan, yang memilikinya juga tidak banyak. Bahkan untuk menemukan kain ini, ia mendapatkan contoh motif dari seorang teman yang merupakan kolektor benda-benda antik yang berdomisili di Jakarta. ’’Itu pun tidak bisa dipinjam, hanya boleh foto,” kenangnya.

Selain kesulitan menemukan kain asli dan motifnya, ia harus mengecek apakah benar motif tersebut merupakan asli dari Kain Bidak Galah Napuh, yakni bentuknya simetris dengan ciri khas bintik-bintik putih seperti leher kancil dan geometris.

’’Jadi observasinya juga cukup lama, karena kita tidak bisa langsung membuat tanpa tahu apakah ini motif asli dari Lampung,” ungkapnya.

Belum lagi, lanjut dia, pencarian sumber daya manusia (SDM)-nya sangat sulit karena proses pembuatan ini memerlukan tangan-tangan yang terampil. ’’Teknik pembuatannya sangat rumit dan tingkat kesulitannya begitu tinggi, penggabungan kain inuh dan songket,” terangnya.

Prosesnya, sambut Raswan, dengan cara benang dicelup dengan ikatan bagian per bagian. Kemudian dicelup dengan ATBM, yakni alat tenun yang merupakan pengembangan dari alat tenun nusantara. Dan penyungkitan seperti pembuatan songket, ATBM ini menggunakan sisirnya buatan Jepang dari Kyoto yang harganya puluhan juta.

Lelaki kelahiran 14 Maret 1966 ini menuturkan, karena tidak dimiliki banyak orang, dulunya kain ini digunakan untuk pakaian adat dari Waykanan, pengantin laki-laki, selingkep orang Lampung penutup badan laki-laki, dan juga sebagai penutup mayat.

Namun, terus Raswan, Kain Bidak Galah Napuh ini bisa dibuat kemeja, baju cewek, bahkan tapis khusunya tapis Kabupaten Waykanan yang berciri khas binatang-binatang. Untuk satu baju saja harganya bisa Rp400 ribu berukuran 2 meter 20.

’’Sebenarnya sudah banyak yang berminat, terlebih wisatawan lokal dan mancanegara. Tetapi tidak saya jual karena ini belum dipatenkan, sampai launching pada acara pameran nasional pertengahan Oktober di Hotel Ritz Calton di Jakarta. Serta akan didokumentasikan oleh Dekranasda Pusat dan majalah Kriya Dekranasda Nasional di bawah binaan Istri Ibu Andi Mallarangeng,” paparnya.

Badan Legislasi Kerja Cepat

Tari dan Tenun Tapis Masuk Draf Raperda

BANDARLAMPUNG – Draf rancangan peraturan daerah (raperda) pendidikan terus dikebut, menjelang ketok palu yang rencananya dilakukan 27 Desember. Hasil keputusan rapat internal Badan Legislasi (Banleg) DPRD Bandarlampung kemarin (13/12) menyepakati beberapa rumusan yang akan termuat dalam pasal dan butir raperda yang kali pertama diagagas wakil rakyat itu.


Ketua Banleg Raperda Pendidikan Wiyadi mengatakan, ada beberapa usulan yang dimasukkan dalam draf tersebut. Antara lain pembentukan lembaga bantuan hukum (LBH). Nantinya LBH ini bernaung di bawah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

’’Selama ini para guru punya harapan yang besar terhadap organisasi PGRI. Selain mewadahi para tenaga pengajar, PGRI diharapkan bisa memberikan proteksi dan memediasi berbagai kasus hukum yang sering menjerat para guru. Untuk itulah, kami sepakat LBH harus ada sebagai sandaran guru ketika menuai masalah hukum,” beber legislator dari PDI Perjuangan itu.

Tindakan yang bisa merembet ke jalur hukum, imbuhnya, seperti menjewer dan menepuk. Bagi kalangan guru selama ini, hal itu masih merupakan tindakan yang mendidik, bukan kekerasan. ’’Tetapi, dampaknya, si guru terkena tahanan kota dan harus mengikuti persidangan di pengadilan. Maka jangan sampai kasus-kasus ini muncul di kota kita,” ujar Wiyadi.

Dia pun melontarkan kritik kepada PGRI. Di mana, menurutnya, saat ini tidak banyak perjuangan yang dilakukan oleh PGRI untuk para guru. Diungkapkan, organisasi hanya sibuk dengan kegiatan seremonial seperti jalan santai dan seminar. Padahal ada tugas besar yang harus dikerjakan PGRI, yaitu melindungi profesi guru karena ini menyangkut peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri.

’’Kalau guru bekerja dengan rasa aman dan tidak tertekan, tentunya mereka akan memberikan pekerjaan terbaik untuk mendidik para siswanya,” kata dia,

Masih menurut Wiyadi, keberadaan LBH guru dan perlindungan para guru mutlak dikerjakan oleh PGRI. ’’Jangan sampai PGRI begitu ada anggotanya kena musibah, baru sibuk sana-sini mencari jalan selamat,” timpalnya.

Disinggung soal dewan kehormatan guru (DKG), Wiyadi menegaskan, hal itu memang penting karena perannya ikut melindungi profesi guru. Saat ini perlindungan terhadap profesi guru sangat lemah, termasuk guru langsung dibawa ke ranah pidana jika ada orang tua yang tak terima anaknya dihukum. ’’Jaminan perlindungan seharusnya diberikan pemerintah, organisasi guru, masyarakat, serta sekolah untuk mendorong guru melaksanakan tugasnya dengan aman dan nyaman dalam mendidik generasi bangsa,” tukasnya.

Menurut dia, jika ada guru yang melanggar kode etik, semestinya diproses lebih dahulu oleh DKG, seperti yang terjadi di profesi lainnya. Di beberapa kota/kabupaten, DKG sudah dibentuk pada 2008 berdasarkan pasal 44 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2010 tentang Guru dan Dosen. Dewan ini merekomendasikan sanksi atas pelanggaran kode etik yang dilakukan guru.

’’Dengan demikian, jangan terulang lagi guru diciduk aparat keamanan secara langsung di sekolah, seperti yang terjadi beberapa kali ini,” tegas Wiyadi.

Selain LBH dan DKG, terdapat pula muatan lokal seperti kurikulum pendidikan formal. Contohnya pendidikan bahasa daerah, bahasa Inggris, tenun tapis, tari Lampung, termasuk pula pendidikan agama.

’’Muatan lokal itu sebuah keharusan. Minimal sebagai wahana pelestarian budaya dan meningkatkan kemampuan pelajar. Jangan sampai muatan lokal itu tidak ada,” tandas dia.

Tidak hanya itu, dalam raperda mengatur skema pembagian tugas dan fungsi wakil kepala sekolah. Tujuannya dalam membantu peran kepala sekolah (Kepsek) yang selama ini masih terjadi tumpang tindih. ’’Kepsek berhak menunjuk wakilnya, dengan catatan ada rekomendasi dari kepala dinas maupun wali kota. Nah bagaimana skemanya, sekarang sedang kami godok,” ujar ketua Fraksi PDIP itu.

Untuk posisi wakil kepala sekolah, tentu tidak asal tunjuk. Ada beberapa hal penting yang menjadi syarat. Di antaranya harus berjenjang S1, masa pengabdian tidak kurang dari 15 tahun, dan usia di atas 40 tahun. Sementara untuk kepangkatan minimal golongan pembina IV. ’’Syarat-syarat lain belum kami bahas secara mendetail. Yang pasti aturan mainnya akan kami bakukan, lebih fleksibel, dan mudah diterima,” pungkasnya

Raswan Tapis Dikenal hingga Mancanegara

BANDARLAMPUNG – Salah satu designer Lampung yang karyanya dikenal hingga mancanegara adalah Raswan. Dia sudah 13 tahun berkecimpung di dunia mode. Bermula dari hobi meneliti budaya-budaya sejarah kuno, lalu berkembang dengan mendesain baju-baju, kebaya, tapis, serta batik. Dan sekarang sudah banyak yang kenal dengan hasil rancangannya di bawah bendera usaha House of Kebaya & Raswan Tapis Fashion Designer.

Raswan Tapis di Jl. S. Parman, Bandarlampung, menyediakan kebaya, tapis, songket, batik Lampung, serta bahan kebaya. Selain itu, dibuka juga Tapis Helau Gallery di Jl. Teuku Umar, Bandarlampung. Guna memaksimalkan layanan, Raswan Tapis buka setiap hari dari pukul 09.00–21.00 WIB.

’’Hari libur kami tetap buka,’’ sebut Raswan.

Hasil karyanya sudah terkenal di luar Lampung hingga mancanegara. Seperti, Jakarta, Bali, dan Jepang. Bahan-bahan didesain sendiri dan alat produksinya pun sendiri. Namun, proses produksinya di Jawa, setelah hasil akhir baru dibawa ke Lampung.

’’Kualitas dan harga dijamin memuaskan konsumen,’’ bilangnya

Untuk harga baju berkisar Rp100.000–Rp500.000. Harga tapis berkisar Rp1.200.000–Rp10.000.000, tenun ikat sekitar Rp200.000–Rp400.000, dan batik Lampung Rp200.000–Rp400.000.

Raswan Tapis juga menerima pesanan seragam kantor, seragam sekolah, dan motif khusus per kabupaten. Untuk seragam harganya bervariasi dari Rp60.000 hingga Rp150.000 per potong. Dan untuk produk terbaru Raswan yaitu bidak galah napuh.

’’Bisa untuk tenun ikat, tapis dan dibuat baju lebih bagus,’’ sebutnya.

Dia menambahkan, tahun ini Raswan Tapis punya limited edition. Artinya, kata dia, cuma memproduksi satu.

’’Untuk ke depannya merencanakan rancangan per kabupaten punya situs sejarah. Dan itu pun perlu survei dan meneliti terlebih dahulu tidak asal buat,’’ tandasnya.

Untuk Lampung Selatan, akan mengangkat motif betang subing. Kalianda motif keratuan darah putih, Waykanan motif radin jambat, Pesawaran motif ratu gadis dan Lampung Barat motif siger emong. Lalu Lampung Timur motif ratu melimping, Tangamus motif ratu benawang.

Pada tahun ini juga dia ingin membuat produk jadi limited edition yang ada hubungan dengan motif Lampung. Serta ingin juga memadupadankan brukat dengan kain tapis. Karena menurutnya tapis dan brukat bagus jika dipadupadankan.


Ciptakan Tapis Berfilosofi, Patok Harga hingga Puluhan Juta

Karyanya tak hanya dipakai pejabat Lampung seperti gubernur dan wali kota/bupati, melainkan para pejabat negara seperti menteri. Dan kini, tapis buatannya akan dipakai desainer dari luar negeri.

Mengawali  karirnya pada 1989 sebagai perajin, Raswan tak sembarangan membuat tapis untuk diedarkan di pasaran. Hasil karyanya selalu mengusung tema desain yang klasik. Menurutnya, proses penciptaan sebuah kain tapis tidak sembarangan, tetapi ada filosofinya. ’’Mulai proses penenunan kain sampai penyulaman sehingga sebuah penciptaan tapis mampu menceritakan adat-istiadat Lampung hingga atraksi kebudayaan Lampung,” katanya.

Sekarang, ia telah memiliki galeri di Jalan Teuku Umar, Kedaton, Bandarlampung. Kemudian di Jalan S. Parman No. 23, Bandarlampung serta di UKM Galeri di Jalan Gatot Subroto. Ia juga mewakili Provinsi Lampung bersama dua perajin lainnya di City Thamrin Jakarta. Bahkan akan bergabung di galeri di Bali.

Ia mampu membuat 20 kain tapis setiap bulan dan telah memiliki 60 perajin. ’’Untuk harga bervariasi. Jika desainnya seperti di pasaran, harga yang dibanderol mulai Rp1,5 juta–Rp2 juta dan yang eksklusif mulai Rp3,5 juta-Rp25 juta,” ujarnya.

’’Kalau yang eksklusif, saya tidak pernah membuat banyak, paling hanya dua potong. Bahkan yang mencapai Rp25 juta ada sertifikatnya. Biasanya yang mengambil adalah kolektor,” ungkapnya.

Proses penciptaan kain dengan tingkat kreativitas yang tinggi itu dilakukan dengan mendesain dan melakukan pewarnaan secara khas dan unik. Karenanya tak heran jika dari sekian banyak perajin tapis di Lampung, karya tapisnya akan mewarnai tas buatan luar negeri yang bakal dipasarkan secara tradisional.

’’Untuk dipasarkan bagi orang asing karena harga yang dibanderol cukup tinggi, mencapai Rp10-20 juta. Dan rencananya produk tersebut akan dipamerkan pada fashion show Oktober mendatang di Bali,” bebernya.

Tetapi dalam perjalanannya menekuni bidang ini, ia mengalami banyak kendala. Pertama, dari bahan baku seperti benang yang mahal karena harganya sesuai dengan kurs dolar. Sebab benang yang digunakan tidak sembarangan, harus yang berkualitas sehingga tahan hingga puluhan tahun. ’’Sehingga nantinya kain ini menjadi barang antik,” katanya.

Kedua adalah SDM, semakin banyak orang yang tidak mau mengerjakan tapis karena lebih memilih menjadi pembantu rumah tangga atau kerja di toko-toko. “Memang membuat tapis termasuk rumit, jadi banyak yang memilih praktisnya padahal dalam masyarakat Lampung, sejak kecil sudah diajari membuat tapis, jadi untuk peningkatan SDM saya mengajarkan tapis kepada anak-anak putus sekolah,” ujarnya.

Selain itu, Raswan juga melatih pengrajin biasa agar menjadi mahir dengan cara memberikan upah yang lebih tinggi sehingga termotivasi.

Berkomitmen Hasilkan Tapis Berkualitas

KETERTARIKANNYA terhadap kain tenun khas Lampung bermula sejak ia kuliah dan melakukan penelitian tentang kebudayaan Lampung bersama Ir. Anshori Djausal, M.T. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk fokus pada bidang sosial dan budaya.

’’Dulu, saya sempat terlibat dalam pembuatan masterplan pariwisata 1989. Dan setiap berkunjung ke daerah-daerah Lampung, saya selalu menanyakan tentang kain-kain Lampung,” kenang Raswan.

Ia menuturkan, ternyata tapis adalah kain asli dari kebudayaan Indonesia, meski ada pengaruh India pada motif kainnya. ’’Sementara menyulam mendapat pengaruh dari Tingkok karena tapis ini lahir pada perkembangan budaya anemisme abad ke-2 sebelum Masehi dan pada masa itu adalah perkembangan agama Hindu dan Buddha,” paparnya.

Hal yang menarik dari tapis, kata dia, adalah kaya akan desain. ’’Desainnya lebih dari seratus. Juga pada proses pembuatannya, hanya tapis yang memiliki dua kali proses pembuatan dibandingkan kain lainnya seperti songket Palembang atau tenun NTT yang hanya satu kali yakni proses menenun pasang motif,” ujarnya.

Sedangkan tapis ditenun dulu, baru disulam dan dimotif kembali sehingga memakan waktu yang lebih lama. ’’Satu kain tapis bisa hingga setahun,” terangnya. Ia juga mengatakan akan tetap berkomitmen membuat suatu produk yang berkualitas dan desainnya berbeda.

Jadi kalau mereka yang pernah melihat atau memakainya pasti tahu dengan hanya melihat desainnya. ’’Dari pewarnaan, penyulaman, dan desainnya memiliki ciri khas sendiri, seperti penggunaan warna-warna yang etnik,” ujarnya.

Pesona Etnik Modern

PESONA batik dan kain tenun khas Lampung tidak ada habisnya. Kekhasan dan kesan klasik yang dimiliki dua warisan budaya ini luar biasa. Mulai dari motif hingga makna yang terkandung di dalamnya patut dilestarikan. Memasuki 2012 ini, kedua jenis kain itu akan tetap menjadi idola. Banyak perancang busana yang gencar mempromosikan kedua jenis kain etnik ini ke dalam desain cantik dan modern. Perpaduan kain tenun dan batik ini tergolong cukup langka serta unik.


Pasalnya, kain tenun dibuat dengan teknik secara tradisional yang menghasilkan serat yang khas sehingga terasa kurang nyaman untuk dijadikan pakaian sehari-hari. Namun, dengan perpaduan batik, ini merupakan inovasi baru pada dunia fashion dengan hasil luar biasa.

’’Batik sekarang ini merupakan salah satu pilihan masyarakat untuk dapat dijadikan pakaian formal maupun semiformal,” kata perancang busana Lampung, Raswan.

Pemilik House of Kebaya & Raswan Tapis ini menjelaskan, dari tahun ke tahun, masyarakat Lampung memiliki ketertarikan tersendiri dengan gaya busana batik. Perkembangannya pun terus berevolusi dengan bentuk dan warna yang semakin modern.

Pada 2012 ini, perkembangan batik di Lampung pun mengalami peningkatan. ’’Sekarang ini masyarakat Lampung banyak memilih batik warna terang. Berbeda dengan 2011, dengan warna dop atau yang menyerap cahaya,” ujar Raswan.

Menurut dia, tren yang berkembang tahun ini adalah batik yang dikombinasikan dengan kain tenun. Kolaborasinya pun semakin unik. Yakni dengan menggunakan dua jenis kain ini untuk minidress dan bolero. Kebaya Kartini juga dimodifikasi apik menggunakan batik.

Tidak hanya pada acara formal untuk ke pesta. Gabungan dua kain ini akan banyak terlihat pada kegiatan tidak resmi. Sebagai padanan batik, tenun yang akan banyak dipakai adalah tenun ikat Bidak Galah Napuh dan tenun ikat Inuh.

’’Untuk model dan warna disesuaikan dengan usia. Anak-anak muda akan banyak menggunakan konsep mini dan seksi. Sedangkan perempuan dewasa lebih anggun dan simpel,” tuturnya.

Untuk acara tidak resmi, batik dapat dipadukan dengan bahan kain polos, span pendek, atau rok. (nur/c2/dna)

Merawat Kain Tenun

BAGI para kolektor, kain tenun seperti tapis dan songket merupakan benda investasi. Merawatnya tentu tidak mudah, namun tidak berarti sulit untuk dilakukan. Ada beberapa hal penting yang harus dilakukan agar koleksi tenun kita tetaplah awet, sehingga bisa kita wariskan untuk generasi mendatang.

Berikut ini adalah cara merawat kain tenun menurut Ketua Yayasan Tenun Peduli Tradisional Lampung Raswan.

1. Setelah dipakai, sebaiknya kain diangin-anginkan terlebih dahulu dengan cara digantung atau dibuka selebar-lebarnya. Ini karena ada keringat yang menempel di kain itu. Apabila kain lembab, akan muncul jamur yang dapat merusak benang emas pada kain.

2. Kain songket maupun tapis dapat dicuci dengan cara dicuci kering atau dry clean.

3. Simpanlah dengan cara digulung. Gunakanlah sebuah pipa paralon sebagai media dan lapisilah kain terlebih dahulu dengan kertas koran yang kering. Hal ini dilakukan dikarenakan songket banyak menggunakan benang emas yang apabila ditekuk akan mudah putus atau berserabut. Letakkan rempah-rempah di sisi kiri dan kanannya. Jangan menggunakan kapur barus karena dapat membuat kain berlubang.

4. Jangan dilipat. Sebab, cara ini dapat merusak benang emas seperti kusut dan patah. Apabila Anda tetap melipat kain tenun ikat, biasakan untuk secara rutin mengeluarkannya dari lemari. Minimal sebulan sekali agar mendapat udara segar dan terkena sedikit sinar matahari. Hal ini bertujuan agar bekas lipatan tidak akan membekas selamanya pada kain tenun itu.

5. Apabila mencuci kain batik, pisahkan dengan kain-kain yang lain agar noda tidak tercampur dan pembiasan warna. Ciri batik yang bagus, setelah dicuci warnanya akan terlihat terang dari sebelumnya.

Jika kain tenun terkena kotoran atau noda kecil, jangan langsung panik. Lakukan pembersihan sendiri dengan menggumpalkan kain kapas yang sedikit dibasahi.

Tekan-tekan sedikit di bagian yang masih bersih terlebih dahulu untuk mengetahui apakah tenun yang dimiliki mudah luntur pewarnanya. Jika ternyata warna banyak yang terangkat, kurangi intensitas air di kapas itu.
DINAS Koperasi UMKM Peridustrian dan Perdagangan Kota Padang Panjang turut menyemarakkan Gebu Minang Expo. Tak mau kalah dengan stan pemerintah kabupaten/kota lain, Padang Panjang membawa kerajinan khasnya.

Perlengkapan atau aksesori dari kulit memang sudah tidak asing lagi bagi kita. Jika kulit tersebut diolah UMKM dari Padang Panjang, produk yang dihasilkan jadi bernilai tinggi.

Tas, dompet, jaket, sepatu, sandal, dan topi diboyong Padang Panjang ke Gebu Minang Expo 2012. Produk-produk ini dapat dibuat dan juga dipesan sesuai dengan permintaan konsumen. Sehingga, konsumen akan lebih puas terhadap produk yang dibelinya.

Deny, perwakilan Dinas Koperasi UMKM Perindustrian dan Perdagangan Kota Padang Panjang, mengatakan, produk-produk kulit asal Padang Panjang memiliki potensi dan historis untuk berkembang.

’’Untuk itu, Padang Panjang menjadi industri penyamakan kulit terbesar ketiga di Indonesia,’’ ujarnya kemarin (26/1).

Kota Padang Panjang merupakan salah satu daerah penghasil daging sapi yang terkenal di Sumatera Barat. Sehingga dikenal dengan lokasi pengrajin penyamakan kulit. Hal ini diperkuat dengan keberadaan pedagang-pedagang pengumpul kulit mentah di kota Padang Panjang.

Kualitas produk kulit ini sudah tidak diragukan lagi. Sebab mesin yang digunakan untuk penyamakan kulit sudah canggih. Sehingga kulit bisa tipis dan memiliki kualitas yang lebih baik. Dibuktikan dengan menembusnya produk ini ke pasar hingga pulau Jawa.

Harga berbagai macam produk kulit ini tidak semahal yang Anda bayangkan. Yakni hanya dibanderol mulai Rp250 ribu. Jika Anda berkunjung ke stan ini, tidak hanya produk kulit yang ditemui. Melainkan sejumlah sulaman, bordiran, dan tenunan, serta baju kurung. Harga yang ditawarkan untuk produk-produk ini mulai Rp500 ribu–Rp2,5 jutaan.

Tanahdatar Pamer Kawa Daun

BANDARLAMPUNG – Salah satu peserta luar Lampung yang ikut berpartisipasi pada Gebu Minang Expo di Bambu Kuning Square (BKS) adalah Kabupaten Tanahdatar. Jauh-jauh datang dari Sumatera Barat, mereka bukan tanpa misi. Daun kopi kering atau yang sering disebut kawa daun sengaja dibawa ke Lampung untuk dipamerkan.


Kawa daun merupakan bahan baku sebuah minuman khas Tanahdatar. Rasanya pun seperti kopi, namun tidak sepahit yang Anda bayangkan. Pasalnya setelah meminumnya badan akan terasa segar.

Pembuatan minuman ini sangat unik. Yaitu dari daun kopi yang digoreng di atas bara (panggang) hingga kering. Penyajiannya adalah dengan merebusnya sampai sari pati daun ini keluar dan mengakibatkan warna hitam seperti kopi.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kabupaten Tanahdatar Rina Aziz mengungkapkan, kawa daun merupakan minuman tradisional.

’’Konon dulu ketika zaman Belanda rakyat Indonesia tidak diperbolehkan memetik kopi. Namun, daunnya diperbolehkan untuk diambil. Karena saking penasarannya, dijadikanlah minuman daun kopi,’’ terang Rina kemarin (26/1).

Minuman ini disajikan dengan batok kelapa untuk meminumnya. Sangat tradisional memang. Setengah batok rebusan kawa daun ditambahkan gula dan perasan jerus nipis, akan menambah kesegaran minuman ini. pengadukan minuman ini pun menggunakan kayu manis. Kebanyakan orang lebih mengenalnya dengan lemon tea.

Bagi Anda yang bergender laki-laki, minuman ini sangat cocok untuk menambah stamina badan. Minuman ini juga dihadirkan dengan penambahan telur ayam kampung. Harga yang ditawarkan untuk satu gelas kawa daun adalah Rp2.000. Sedangkan untuk penambahan telur dihadirkan dengan harga Rp5.000. atau dapat membeli bentuk keringnya yaitu hanya dengan Rp10 ribu per bungkusnya.

Tidak hanya minuman khas saja yang dihadirkan Kabupaten Tanah Datar. Terdapat juga minuman kopi pinang dan ramuan pinang. Kedua minuman ini terbuat dari bahan-bahan rempah yang menyehatkan tubuh.

Khas Tanahdatar berikutnya adalah daka’-daka’ simabur. Sebuah makanan yang terbuat dari tepung beras. Harga per ¼ kg Rp15 ribu. Makanan ringan lain yang ditawarkan di stan ini adalah bungo durian, emping jagung, pias kacang, kacang goreng pasir, dan kerupuk kulit.

’’Namun kerupuk kulit sudah habis saat pembukaan pameran kemarin, masyarakat banyak yang menyukainya,’’ tutur Rina.

Di samping makanan dan minuman, Tanahdatar menawarkan berbagai jenis kain. Seperti, songket, tenunan silungkang, sulaman, dan bordiran. Bagi Anda yang ingin berburu makanan khas Sumatra Barat bisa mengunjungi stan Tanahdatar.

Kebaya Kartini Bernuansa Melayu



Layaknya jenis mode lain yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan, kebaya juga terus mendapatkan modifikasi dari para perancang di tanah air. Kebaya yang biasanya dikenakan dengan kain panjang atau sarung, kini dapat dipadupadankan dengan busana dari barat, seperti jins atau rok.


Raswan, pemilik House of Kebaya & Raswan Tapis, memodifikasi kebaya Kartini khas Jawa dengan kain tenun Bidak Galah Napuh yang asli Lampung. Lewat garis rancangannya, Raswan ingin mengatakan bahwa kebaya bukan hanya bisa tampil tradisional, namun bisa juga tampil secara modern.

Kebaya pada dasarnya mempunyai ciri khas sama, yakni seksi dan eksotik. Desain kebaya pun bisa dipadukan dengan inspirasi budaya lain. Salah satu hasilnya adalah rancangan kebaya Kartini yang memiliki lipatan di bagian dada. Panjang kebaya juga menutupi panggul.

Ciri khas lainnya adalah lipatan kerah yang membentuk garis vertikal, sehingga membuat pemakainya terkesan lebih tinggi dan ramping. Pada rancangan kebayanya, ia memberikan sentuhan Jepang dengan lengan superlebar ala kimono Jepang.

Raswan memberikan permainan warna hijau, kuning, cokelat, dan merah. Sebagai bawahannya, dapat dipadukan dengan kain khas Lampung tenun tapis motif Cucuk Semaka atau bahan tenun motif kaca.

Kebaya modifikasi disebut modifikasi karena terdapat permainan detail dari struktur kebaya itu sendiri. Dalam sketsa rancangan di bawah ini, Ferry Sunarto menciptakan rancangan teknik built in bustier. Bustier jenis ini dapat disesuaikan dengan anatomi tubuh pemakainya karena teknik pemasangan barline yang membentuk tubuh secara proporsional. Perpaduan kebaya dengan nuansa gaya busana bangsa lain terlihat pada detail bagian depan yang berlipit dan bergaris empire line serta lengan berbentuk lonceng. Modifikasi juga dilakukan pada bukaan rendah di bawah leher dan penggunaan tali-temali sebagai ciri-ciri korset yang berkarakter kuat.

Selain batik dan rok, kebaya bisa saja dipadu dengan celana palazzo untuk menghadiri pesta istimewa. Kebaya dengan lengan tiga perempat atau yang panjangnya hanya setengah pergelangan paha bisa saja dipadu dengan celana capri.

Untuk aksesori, bisa dipermanis dengan pemakaian bros dan anting-anting. Agar tak terkesan ramai, Raswan menyarankan memilih salah satu antara kalung, anting, atau gelang. (dna/c2/dna)

Bidak Galah Napuh Sudah Dikonservasi

Kain tenun Bidak Galah Napuh merupakan tenun warisan budaya Lampung yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Sejak 2010, kain tenun ini telah dikonservasi, mulai dari gaya maupun proses pembuatannya.

Bidak Galah Napuh ini menjadi barang langka. Proses pembuatannya berbeda dengan tenun-tenun lain. Untuk membuatnya, sisir yang digunakan dipesan dari Jepang. Di Lampung, bahkan di Indonesia, tidak ada sisir tenun yang sesuai.

Perancang busana Lampung Raswan menguraikan, tenun ini bercirikan ikat cukil dan sungkit yang motifnya spesifik. Setelah ratusan tahun, kini House of Kebaya & Raswan Tapis mencoba membuat ulang tenun ini dengan teknik yang sama.

’’Kain tenun ini langka. Proses pembuatannya sulit. Ada bagian yang diikat dan cukil di bagian lain. Itulah yang menjadi ciri khas tenun Bidak Galah Napuh,” ujar Raswan 

Suatu hal yang membanggakan, tenun ini sudah diseminarkan pada Maret 2012 di Museum Tekstil, Jakarta, sebagai salah satu khasanah budaya yang berasal dari Lampung. Dalam seminar itu, Raswan juga menyerahkan karyanya yang menggunakan kain tenun Bidak Galah Napuh.

’’Di mana tapis itu diberi nama Tapis Radin Sinang Senipat yang terinspirasi dari cerita Warahan Radin Jambat Hangkirat, yaitu cerita sastra tutur dari Waykanan,” paparnya.

Tapis itu diserahkan langsung kepada Kepala Museum Tekstil Drs. Indra Riawan, M.Hum. oleh Raswan. Di Bandarlampung, pembuatan tenun ini juga sebagai salah satu binaan Dekranasda yang diketuai Hj. Eva Dwiana Herman H.N.

Menurut dia, tenun Bidak Galah Napuh akan terus dimodifikasi, namun tidak menghilangkan kreasi pada bahan dan sulaman tapisnya. Seperti tapis Cucuk Andak dan Cucuk Semaka. ’’Kami akan mengikuti tren, bukan sebagai kebutuhan adat. Akan tetap lebih pada pakaian modern yang bisa dipakai siapa saja,” ungkap Raswan.

Mengenakan Kain Tenun

sebagian perempuan masih menganggap bahwa kain tenun hanya pantas dikenakan pada acara-acara yang besar. Hal inilah yang justru membuat industri tenun kurang berkembang dan populer.

Dampaknya, kain tenun terancam hilang karena daya beli masyarakat yang rendah. Seharusnya perempuan tidak segan memadupadankan busana kain tenun menjadi tampilan modern yang anggun dan elegan tanpa menghilangkan unsur etnik dan kuno.

Pengurus Cita Tenun Indonesia Dhanny Dahlan berbagi tips dalam bergaya dengan tenun yang pilihannya sangat banyak dan cantik:

· Kombinasikan dengan Warna Polos

Motif tenun yang kompleks kerap membuat pemakainya takut dibilang ’’ramai’’. Cara menyiasatinya, pakailah celana atau rok polos yang berfungsi sebagai penyeimbangnya. Kombinasi jins pun bagus dan baik untuk acara santai.

· Tabrak Motif Warna Senada

Namun, bila dirasa tidak terlalu nyaman, pakailah motif dengan warna yang masih senada antara atasan dan bawahannya.

· Formal dan Kasual

Ada tenun yang bernuansa berat dan lebih cocok dikenakan untuk pesta, seperti songket Palembang yang banyak menggunakan warna emas. Namun, sarung Blongsong malah sangat cocok untuk santai. Jangan takut untuk menukar-nukar gaya tadi, sesuaikan saja dengan kebutuhan!

· Tidak Perlu Dipotong

Proses pengerjaan tenun membutuhkan waktu yang cukup lama, membuat kain tenun kerap dikenakan apa adanya sebagai helaian kain. Perasaan sayang untuk memotongnya dan menjahit kembali menjadi salah satu alasan mengapa tenun modelnya hanya itu-itu.

Untuk mengakalinya, Anda tidak perlu memotong. Cukup dengan memberi kupnat untuk menjadikan rok atau cape. Melepas kupnat tidak akan merusak siluet dan bisa disesuaikan kembali sesuai bentuk tubuh.

· Aplikasi Daerah yang Berbeda

Hal menarik dari tenun adalah asal motif yang beraneka ragam. Jadi bebaskanlah diri Anda untuk bereksplorasi. Pakai motif tenun Lampung sebagai atasan dan tenun Badui sebagai bawahan atau motif Palembang sebagai luaran dan motif Makassar sebagai dalaman, kombinasi ini akan membuat Anda terlihat semakin cantik. 

Tapis Kian Dinamis


KAIN batik sudah ditetapkan sebagai warisan bangsa Indonesia. Demikian juga puluhan motif kain songket Palembang sudah mendapatkan hak paten. Bagaimana dengan kain tapis yang merupakan karya seni kebudayaan asli Lampung?


Belakangan, sejumlah desainer terus mengembangkan kreasi kain tapis. Bukan hanya ingin dilirik secara nasional, tapi juga agar kain tapis dapat go international sehingga menjadi salah satu khasanah kebudayaan Indonesia yang tidak dapat dipandang sebelah mata.

Salah satu desainer yang cukup intens melestarikan kain tapis adalah Raswan. Pemilik House of Kebaya & Raswan Tapis ini selalu memodifikasi tapis agar dapat terus dikenakan para generasi muda yang kini semakin dinamis.

Upaya Raswan yang diiringi dengan menggelar pameran dan fashion show terus membuahkan hasil. Bahkan apresiasi datang dari Ketua Umum Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) Herawati Boediono pada Gebyar Tapis di Bandarlampung belum lama ini.

Menurut Herawati ketika itu, tapis mengalami perkembangan pesat dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Istri Wakil Presiden Boediono ini pun mengungkapkan kekagumannya terhadap tapis karya Raswan. Di mana kini tapis tidak hanya dapat dipakai pada acara resmi. Namun, dapat dipadupadankan dengan pakaian kasual dan modern.

’’Sekarang banyak tapis berbahan ringan dan modelnya disesuaikan dengan zaman,” ungkap Raswan

Sementara pada waktu Gebyar Tapis lalu, Raswan menampilkan dua puluh karyanya. Sebagai cenderamata, Raswan memberikan tapis motif bintang perak kepada Herawati. Bahan pada tapis itu tidak hanya terdiri atas unsur benang emas, melainkan campuran benang sutera merah biru dan cokelat yang dikemas dalam sarung serta selendang. 

Kain Tapis dari Masa ke Masa
Disebutkan bahwa orang Lampung telah menenun kain brokat yang disebut nampan (tampan) dan kain pelepai sejak abad ke-2 Masehi. Motif kain ini ialah kait dan kunci (key and rhomboid shape); pohon hayat; dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal.

Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan, dan bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.

Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh tradisi Neolitikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.

Masuknya agama Islam di Lampung ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis. Walaupun unsur baru itu telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan.

Adanya komunikasi dan lalu lintas antar-kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan zaman bahari sudah mulai berkembang sejak zaman kerajaan Hindu Indonesia serta mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam antara 1500–1700.

Bermula dari latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi seniman pencipta jelas memengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-ide pada kehidupan sehari-hari yang berlangsung di sekitar lingkungan seniman di mana ia tinggal. Penggunaan transportasi pelayaran waktu itu dan alam lingkungan laut telah memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal.

Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan.

Pameran Khazanah Kain Tradisional Nusantara

Pamerkan Kain Serat Kayu, Stan Kalimantan Tengah Jadi Favorit

Dalam rangka Festival Krakatau XXII, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung menggelar Pameran Khazanah Kain Nasional Nusantara. Dalam kegiatan yang akan berlangsung hingga 30 Oktober ini, dipamerkan puluhan jenis kain koleksi 31 museum seluruh Indonesia ditambah milik para kolektor asal Medan, Jakarta, dan Bandung.

PULUHAN tenda menghiasi halaman parkir Museum Lampung kemarin. Di depannya berdiri megah sebuah panggung. Sementara deretan kursi berbalut kain putih telah berjajar rapi. Beberapa pria terlihat sibuk merapikan tempat-tempat itu.

Kesibukan makin terasa kala memasuki halaman aula museum yang berada di Jalan Z.A. Pagar Alam, Rajabasa, ini. Ratusan siswi berseragam SMP tengah menekuni kain sulam yang berada di tangan mereka. Para siswi SMP itu tengah mengikuti lomba sulam tapis yang memang menjadi salah satu muatan lokal di kota ini.

Namun, perhatian  lebih tersedot pada aktivitas di dalam aula museum. Di sana, ratusan pengunjung tengah tekun memperhatikan deretan kain dengan beragam corak dan jenis.

Puluhan kain itu terpajang rapi. Kain-kain tersebut sengaja disusun sesuai jenis, bentuk, dan asalnya. Beragam bentuk kain, mulai yang berukuran panjang hingga persegi, dapat ditemui di sini. Bermacam motif juga bisa dilihat. Seperti motif sulur, bunga, dan binatang.

Guna memudahkan pengunjung, setiap kain diberi semacam penjelasan yang berisi nama, asal, dan proses pembuatannya.

Dari puluhan stan, ada salah satu yang paling ramai dikunjungi, baik oleh pengunjung umum maupun para pelajar. Stan itu milik Museum Kalimantan Tengah (Kalteng). Di sana mayoritas kain yang dipamerkan berbahan dasar tumbuhan, berupa rumput atau kulit kayu. Antusiasme pengunjung sempat membuat pemandu stan kewalahan. Terutama ketika menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan para pelajar yang datang.

Dari penjelasan pemandu stan, salah satu unggulan mereka adalah pakaian adat laki-laki dari suku Dayak yang terbuat dari kayu nyamu. Nyamu adalah nama daerah jenis pohon hutan yang mengandung serat bagus untuk kain bahan pakaian. Biasanya setelah pohon ditebang, kemudian dipotong-potong dan kulit luarnya dilepas dan dipukuli hingga tinggal serat halusnya. Serat inilah yang akan dijadikan kain.

’’Biasanya direndam lebih dahulu dan dijemur di bawah terik matahari. Kemudian dipukul-pukul sampai terlihat licin. Semakin besar pohonnya, akan semakin bagus kulitnya,” ungkap Kepala Museum Kalteng Berthi Letlora, S.H.

Ia menyebutkan, selain kayu nyamu, kain tradisional suku Dayak ini juga dapat dibuat dari salusi, banturung, puru, dan karet mahumbung. ’’Untuk menghasilkan sehelai kain, dibutuhkan waktu cukup lama. Bisa sekitar satu minggu. Pengerjaannya pun tidak bisa sembarangan, harus menggunakan perasaan,” ujar pria berkulit hitam ini.

Meski terbuat dari serat kayu, jenis kain ini terasa sangat lembut dan nyaman saat dikenakan. Untuk membuatnya terlihat lebih indah, pakaian serat kayu itu biasanya ditambahkan dengan motek warna-warni.

Diketahui, Pameran Khazanah Kain Tenun Nusantara sengaja digelar sebagai bentuk apresiasi kain tenun tradisional Indonesia menuju pasar global sekaligus rangkaian kegiatan Festival Krakatau XXII. ’’Dari sana. kita mencoba mengenalkan kain tradisonal Lampung dalam kancah yang lebih besar,” ujar Kepala Bidang Pariwisata Disbudpar Lampung Yusuf Rusman, M.M. di sela kegiatan.

Menurutnya, pameran ini menyajikan beragam produk buatan Indonesia. Di antaranya kain kulit kayu dari Sulawesi Tengah, tenunan serat palem dari Papua, selimut ikat dari Sulawesi Barat, batik dari Jawa, songket benang emas dari Sumatera Selatan, hingga inovasi-inovasi kontemporer yang berkisar dari akhir abad ke-19 hingga saat ini.

Selain wisatawan domestik, kegiatan itu juga menarik minat turis mancanegara. Salah satunya turis asal Eropa, Barbara Jonsen. Ia mengaku sengaja mengunjungi pameran ini untuk melihat langsung keunikan dan keanekaragamn kain Indonesia. ’’Saya suka sekali dengan kain,” katanya dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar.

Perempuan yang mengaku sejak kecil telah tinggal di Jakarta ini menilai pameran seperti itu perlu terus diadakan dan dikembangkan. Sehingga masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, dapat lebih mencintai dan mengetahui kekayaan budaya bangsa Indonesia.

Houndstooth, Pola Klasik yang Modern

MOTIF houndstood tak pernah lekang dimakan zaman. Kesan klasik dari pola seperti gerigi anjing pemburu, kadang terlihat seperti motif zigzag, dalam warna hitam dan putih ini tetap menunjukkan modernitas pemakainya. Motif tekstil berpatron segiempat dengan sudut yang tidak beraturan ini kali pertama muncul sebagai tenunan untuk pembungkus keranjang di abad ke-19.

Pemilik Imun’s Butik Plaza Lotus Maimun Apriliani mengatakan, seiring perkembangannya, motif ini banyak dilirik perancang busana untuk pakaian musim dingin dengan bahan wol. ’’Dan ke arah yang lebih modern, houndstooth di Indonesia banyak diganti dengan bahan spandek atau sifon sehingga nyaman dipakai di segala suasana,” katanya.

’’Kini banyak pakaian yang kembali hadir dengan motif houndstooth dengan material tipis. Tidak hanya mantel, tetapi juga kemeja, dress, rompi, rok, legging, dan lainnya. Bahkan motif ini dipakai sebagai aksesori seperti dasi, jilbab, tas, dan sepatu,” kata mahasiswa IBI Darmajaya Lampung ini.

Imun –sapaan akrab Maimun– menambahkan, memakai pakaian atau aksesori bermotif houndstooth akan terlihat lebih menawan dengan paduan kain polos. Tidak melulu harus serasi dengan atasan atau bawahan. Kecuali untuk setelan jas, kemeja dengan motif houndstooth cukup serasi dipadukan dengan blazer berwarna gelap seperti abu-abu atau blue marine.

’’Motif houndstooth sudah rame, kalau dipadukan dengan kotak-kotak lagi akan terlihat aneh,” ujar perempuan berjilbab ini.

Tidak hanya motif yang bervariasi, houndstooth juga memiliki banyak pilihan warna. Diantaranya hitam, abu-abu, pink, merah, dan lainnya. Bagi yang berjilbab, akan tetap terlihat anggun dengan motif houndstooth dengan sedikit menambahkan sentuhan aksesoris sebagai pemanis pada bagian yang menjadi pusat perhatian. Diantaranya seperti gelang atau jam tangan.

Padukan motif tersebut dengan jilbab polos dan alas kaki bertumit yang akan menambah kesan elegan saat mengenakannya. ’’Kalau memakai jenis dress sebaiknya tambahkan belt untuk menyiasati bagian perut,” kata dia.

Selain itu, jika menggunakan motif ini, sebaiknya pakai aksesori berwarna gold untuk menghilangkan kesan pucat pada si pemakai. Ketika menggunakan warna silver, maka akan terlihat pucat. (

Selasa, 21 Mei 2013

Bersahaja Tetapi Mewah

Indonesia Fashion Week 2013 kembali merayakan kekayaan kain Indonesia. Inspirasi bisa mewujud dalam aneka gaya mulai dari potongan gaun sederhana nan elegan hingga tampilan ceria dalam warna menawan.

Indonesia Fashion Week (IFW) 2013 digelar untuk kedua kalinya di Jakarta Convention Center, Jakarta, 14-17 Februari 2013. Ajang yang diprakarsai Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia bekerja sama dengan Radyatama ini membagi empat hari penyelenggaraan dengan tema masing-masing: busana pesta (cocktail), busana muslim, busana pria dan urban, serta busana dengan potongan kasual.

Pada tema busana pesta, tampil karya para perancang Auguste Soesastro, Denny Wirawan, Ivan Gunawan, Jeanny Ang, Rudy Chandra, Sofie, serta desainer Malaysia, Melinda Looi, dalam beragam cita rasa dan kekhasan gaya.

Auguste Soesastro, perancang yang meluncurkan merek Kraton di New York, Amerika Serikat, pada 2008, menunjukkan bahwa perempuan bisa cantik di mana saja—termasuk dalam pesta—dengan gaya sederhana, intelek, dan elegan. Koleksi yang ditampilkan di IFW kali ini masih kuat menampilkan ciri garis rancangan Auguste yang sederhana, polos tanpa aplikasi, tetapi menuntut kerumitan potongan dan presisi yang tinggi.

Auguste mencontohkan, pada sebuah jaket fuchsia, ia membuat dua kupnat di bahu dan satu kampuh (jahitan yang menyatukan bagian baju) mulai dari bawah lengan hingga kantong di depan. Untuk merangkai bagian-bagian itu menjadi jaket yang terkesan sederhana, pekerja tingkat terampil masih butuh waktu 60 jam.

Pada koleksi musim gugur dan musim dingin 2013-2014 ini, Auguste juga menampilkan kain tenun dari Ayotupas, Timor barat. Kain tenun dari serat organik dengan pewarna alam ini digunakan secara utuh sebagai syal. Ada pula yang dijahit menjadi atasan. Auguste menegaskan, tenun bukan kain yang mudah dijahit karena ketegangan yang tidak sama serta motif yang tampak simetris padahal sebenarnya tak begitu.

Batik monokromatik juga digunakan Auguste untuk bagian atas sebuah gaun berikut setelan selendangnya. Ia meyakini batik sebagai sebuah teknik yang mesti dilestarikan, tetapi motifnya perlu direlasikan dengan seni kontemporer masa kini. Keyakinan itulah yang dituangkan Auguste dalam desainnya.

Sabana megah

Sementara itu, Denny Wirawan mengusung songket Palembang yang tampil berbeda karena dibuat seluruhnya dengan pewarna alam. Songket menjadi komponan utama koleksi busana siap pakai berlabel Balijava pada IFW 2013 ini. Balijava adalah label Denny yang khusus mengolah kain warisan budaya Indonesia.

Denny menyuguhkan konsep padu padan yang kuat pada koleksinya. Beragam jaket, blazer, dan bolero dipadukan dengan blus dan bawahan rok pensil atau celana agak ketat yang lurus ramping. Palet warna tanah—krem, coklat keemasan, khaki, dan abu-abu—yang ia pilih pada koleksi ini, kata Denny, terinspirasi keindahan padang sabana. Hamparan ilalang mengering dan semak belukar liar mempunyai keindahan tersendiri.

Dari imajinasi itu, Denny menuangkannya dalam rancangan busana yang sebagian bersiluet sederhana. Sebagian lagi—pada segmen gaun pesta dan gaun pengantin—Denny menunjukkan bahwa songket berwarna tanah juga bisa terkesan mewah. Untuk gaun malam, penggunaan detail seperti frill, aplikasi bordir, dan bebatuan, dipilih yang berwarna senada sehingga lebih bersahaja.

Organza dan serat nanas ikut mempercantik koleksi busana pesta Balijava ini. Adapun untuk gaun pengantin Denny memadukan songket sutra dengan tulle.

IFW 2013 menjadi kesempatan pertama bagi Ivan Gunawan menampilkan koleksi berbahan kain warisan budaya Indonesia. Meski telah meluncurkan label Ivan Gunawan sejak 2004, Ivan mengakui, sebagian kalangan lebih mengenal sosoknya sebagai selebritas ketimbang garis rancangannya. Ia juga dianggap identik dengan warna-warna terang dan kesan bling-bling.


Kali ini Ivan menggunakan kain tenun Mandar, Sulawesi Barat, dengan tetap mempertahankan gaya ceria. Kepraktisan dan kenyamanan gaun menjadi faktor yang lebih diperhatikan. Motif tenun Mandar yang didominasi kotak-kotak—dalam keseharian lebih banyak dipakai sebagai sarung—diolah Ivan menjadi gaun ringan untuk acara semiformal, juga disulap lebih anggun untuk pesta atau acara lebih formal.

Tenun, misalnya, dibuat menjadi rok pendek berpotongan melebar di bagian bawah yang dipadu dengan brokat sebagai lapisan luar atasan yang ketat. Tenun juga ditampilkan dalam atasan model kemben dengan draperi berpadu dengan rok span semitransparan.

Sebanyak 208 desainer dan 503 merek beragam produk mode berpartisipasi dalam IFW 2013. Pada ajang ini digelar pula pameran dagang, kompetisi, dan seminar, selain pergelaran busana. IFW 2013 mengutamakan produk dengan konten lokal yang berstandar global.

Upaya menjembatani kerja sama para pelaku industri mode pada IFW 2013 didukung pula oleh empat kementerian, yakni Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, serta Asosiasi Pengusaha Indonesia.

Melihat Koleksi Tekstil di Tanahabang

ADALAH Justinus Vinck, tuan tanah Belanda, yang menguasai tanah luas di Weltevreden -kawasan yang antara lain meliputi Lapangan Banteng, Gambir, dan Senen– di tahun 1730-an dan membuat jalur yang menghubungkan Pasar Senen dan Tanahabang –kini bernama Jalan Prapatan dan Kebon Sirih. Ia jugalah yang menciptakan Pasar Senen (Vinck Passer) dan Tanahabang.

Sebenarnya, sejak abad 17 nama Tanahabang sudah mulai terdengar, yaitu saat tentara Mataram mengepung Batavia. Di dataran berbukit bertanah merah dan berawa itulah pangkalan tentara Mataram. Kawasan ini di masa itu juga masih menjadi kebun teh, melati, kacang, sirih, jahe. Pasar Tanahabang yang kemudian dibangun pada 30 Agustus 1735 merupakan pasar tradisional, tak berbeda jauh dengan Pasar di Tanahabang.

Pasar Tanahabang kemudian berkembang menjadi sentra tekstil terbesar di Asia Tenggara.

Namun kali ini bukan soal Pasar Senen atau Pasar Tanahabang yang jadi titik sentral. Dari Pasar Tanahabang ini, agak bergerak sedikit ke arah deretan rel keretapi di mana terdapat sebuah ”kampung”, di dalam kampung besar Jakarta, bernama Bongkaran. Dari sini tengoklah ke seberang. Di sana ada sederet pedagang kaki lima yang memenuhi hampir setengah badan jalan.

Di belakang rimbunan pedagang kaki lima ini akan mencuat sebuah bangunan. Banyak yang tahu bahwa bangunan itu tak lain adalah bangunan Museum Tekstil tapi sebagian besar warga Jakarta dan sekitarnya tak tahu menahu tentang keberadaan bangunan itu. Yang lebih parah, sebenarnya, adalah yang tahu keberadaan dan kondisi gedung itu tapi pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu.

Dari catatan Warta Kota, museum yang tersembunyi di antara keriuhan pedagang tadi berdiri di atas lahan seluas 9.800 m2. Bangunan itu semula milik seorang warga Prancis yang kemudian beberapa kali berpindah tangan. Tahun 1942 bangunan dengan halaman luas itu dibeli Dr Karel Christian Cruq dari tangan seorang konsul Turki. Di masa revolusi, rumah itu dijadikan markas Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Pada 1947 rumah itu dibeli seorang pengusaha bernama Lie Soin Phin yang kemudian dikontrakkan ke Departemen Sosial (Depsos). Tahun 1952 Depsos membeli bangunan itu dan bulan Oktober 1975 menyerahkannya ke Pemda DKI untuk dijadikan museum. Itulah awal keberadaan Museum Tekstil.

Lantas apa saja yang bisa dilihat di museum ini, selain alat tenun nonmesin yang dibuat tahun 1927 dan gedogan (alat tenun tradisional), serta beragam koleksi kain batik, ikat, kain tradisional, lukisan tangan, dan prada? Antaralain ada Bendera Kraton asal Cirebon buatan tahun 1776 yang merupakan panji kebesaran Kesultanan Cirebon; Kain Adat asal Bali dari abad ke -19. Kain ini disebut juga Geringsing Wayang Kebo, merupakan kain tenun yang pembuatannya paling rumit karena menggunakan teknik ikat ganda. Teknik ini adalah teknik langka yang hanya ada di sedikit negara.

Sri Susuhunan Pakubuwono XII menyumbangkan kain motif batik bernama Tumurun Srinarendra (kelahiran raja). Dibuat oleh almarhum Hardjonegoro untuk dikenakan sendiri pada perayaan ulangtahun Sunan Solo. Selain itu ada pula koleksi baju perang Irian Jaya berbahan rotan dan serat alam. Teknik pembuatan dianyam. Baju ini digunakan sebagai busana suku di Papua untuk melindungi dada dari serangan benda tajam.

Tentu tak hanya apa yang bisa disebutkan di sini, dari balik padatnya pedagang, riuhnya kendaraan khususnya angkot, dari buruknya kondisi lingkungan museum, tersembunyi kisah lain perihal sejarah pertekstilan negeri ini.

Perajin Baduy Butuh Suntikan Modal Usaha

Perajin khas kerajinan tradisional Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, membutuhkan suntikan permodalan untuk mengembangkan usahanya.

"Kami berharap pemerintah maupun perbankan menyalurkan bantuan penguatan modal guna meningkatkan produksi," kata Dainah, Kepala Pemerintahan Adat Baduy yang juga Kepala Desa Kanekes, Kamis (14/2).

Menurut Dainah, selama ini perkembangan kerajinan Baduy dinilai berjalan di tempat karena terbentur permodalan juga pemasaran. Perajin saat ini sangat membutuhkan suntikan modal untuk mengembangkan usahanya. "Jika mereka mendapat suntikan modal dipastikan usahanya berkembang," katanya seperti dikutip Antara.

Dainah mengatakan, produk kerajinan Baduy di antaranya kain tenun, golok, tas koja, cindera mata, gula aren, pakaian, selendang, dan samping bisa bersaing di pasar domestik dan mancanegara.

Menurut Dainah, saat ini para perajin Baduy mengeluh karena turunnya omzet penjualan akibat keterbatasan modal tersebut. Perajin hanya mampu memasarkan produknya di kawasan Baduy dan tidak dipasok ke luar daerah. Pihaknya berharap produk-produk kerajinan Baduy bisa ditampung oleh perusahaan.

Dainah menilai produk kerajinan Baduy memiliki nilai jual di pasaran karena bahan bakunya terbuat dari alam, seperti tas koja terbuat dari akar pepohonan yang ada di hutan kawasan Baduy. Harga produk Baduy, seperti kain tenun dijual dengan harga Rp 65.000, baju (Rp 70.000), selendang (Rp 250.000), tas koja (Rp 25.000), dan pernak-pernik dari harga Rp 15.000 hingga Rp 25.000

Wow, Tenun Kolase Kain Lawas Dibanderol Rp40 Juta

Siapa yang mengira kerajinan tenun kolase yang terbuat dari kepingan kain batik lawas bisa bernilai jual tinggi, hingga puluhan juta rupiah. Menurut, Miko Yusuf, salah satu pengelola Galeri Kriya Kertas, ide kolase yang terkesan unik ini muncul dari seorang bernama Fachturrohman selaku yang juga sebagai pemilik Kriya Kertas.

“Saat itu Pak Fachturrohman punya ide untuk menggabungkan berbagai macam kain batik bekas menjadi sebuah komposisi dan warna yang menarik. Muncullah ide untuk melakukan kolase,” jelas Miko saat ditemui Wartakotalive di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta Selatan, Jumat (07/09/2012).

Ditambahkan Miko, bahwa ide penggabungan tersebut tidak hanya sampai pada tahap kolase saja. Namun masih ada proses yang tak kalah penting untuk menjadikan penggabungan serpihan-serpihan kain selebar 4 mili meter itu, menjadi sebuah karya yang lebih menarik dan bernilai seni tinggi.

“Kita tidak hanya berhenti di kolase saja. Setelah kita ukur masing-masing potongan 4 mili, kemudian kita masuk ke tahap penenunan. Proses penenunan ini sangat penting dan butuh keahlian khusus bagi yang melakukannya,” ujar dia.

Jika diamati, tenun kolase kain lawas hasil karya Galeri Kriya Kertas ini nampak seperti lukisan 3 dimensi. Selain permukaan yang halus untuk ukuran kolase, komposisi warna serta kombinasi bahan yang digunakan juga penuh dengan perhitungan-perhitungan matang.

“Jadi ini murni ide dari kami. Kami bahkan tidak menerima pesanan untuk membuat tenun kolase. Pertama, kami punya gambaran ide. Kemudian kami mulai mengumpulkan bahan batik, setelah itu bahan dipotong-potong ukuran 4 mili, baru setelah itu ditenun. Di sini ada persoalan estetika dan faktor rasa untuk mewujudkan karya seni yang beritarasa tinggi,” terang dia.

Menurut Miko, bahan batik yang digunakan berasal dari berbagai daerah, seperti dari Pekalongan, Yogyakarta, Solo, Cirebon dan berbagai daerah yang lain. Sedangkan kesulitan utama yang dihadapi manajemen Kriya Kertas adalah soal pembinaan terhadap tukang tenun, dimana untuk menenun hasil kolase ini dibutuhkan keahlian khusus.

“Untuk itu perlu dilakukan pembinaan untuk penenun. Bahwa menenun potongan-potongan kain 4 mili, tentu saja dibutuhkan kejelian dan kehati-hatian yang ekstra. Sedikit saja salah, bisa rusak. Begitu juga pada saat proses pemotongan. Selain ukuran harus pas, juga harus memperhatikan komposisi warna, sesuai dengan rancangan desain yang sebelumnya telah dibuat,” jelasnya.

Sasar Konsumen Menengah Ke Atas

Diakui Miko, Galeri Kriya Kertas yang beralamat di Jalan Tubagus Ismail Raya nomer 167 Bandung ini kadang kewalahan melayani permintaan pembeli. Di sisi lain, jumlah produksi tenun kolase mereka juga terbatas.

“Ini kan produk seni. Kita juga tidak bisa mematok untuk memproduksi ini secara masal. Anggaplah ini seperti karya lukisan, kita yang membuat nanti kita tawarkan kepada para pecinta kolase. Jadi, sejauh ini kita tidak menerima orderan dari luar,” jelas Miko.

Satu karya tenun kolase kain lawas berukuran besar, imbuh Miko, biasanya dikerjakan dalam waktu 3 bulan oleh satu tim yang terdiri dari 4 orang.

“Jadi ada prosesnya. Dari tercetusnya ide, penyatuan komposisi, pemotongan hingga proses penenunan. Ini pekerjaan seni yang membutuhkan ketelitian. Untuk satu karya berukuran besar, biasanya memakan waktu sampai 3 bulan untuk menyelesaikannya. Untuk ukuran kecil, relatif antara 2 minggu hingga satu bulan. Intinya, waktu pembuatan juga tergantung dengan tingkat kerumitan,” terang dia.

Masalah harga, Kriya Kertas mematok tenun kolase kain lawas ini dengan harga rata-rata 40 juta untuk yang berukuran besar.

“Sebenarnya tidak ada patokan khusus mengenai harga. Tergantung tingkat kerumitan saja. Kalau yang besar rata-rata 40 juta. Ada yang 30 juta juga. Untuk ukuran terkecil, kita jual 2 juta,” jelas Miko Untuk pembeli sendiri, imbuh Miko, berasal dari kalangan menangah ke atas bahwa ada beberapa pelanggan yang berasal dari luar negeri seperti Filipina, Amerika, Spanyol dan negara-negara lain.

Terkait dengan omset, Miko menyebut setiap tiga bulan mereka mampu menjual rata-rata 5 karya kolase berukuran besar. “Kalau satu tenun kolase dihargai rata-rata Rp. 40 juta dan setiap tiga bulan kita bisa menjual 5 karya, ya berarti omsetnya sekitar Rp 200 juta setiap tiga bulan. Itu belum termasuk untuk penjualan kolase berukuran kecil dan kerajinan produksi kami yang lain,” pungkasnya.

Mira Lesmana Promosi Kain Tenun Atambua

Hal yang tidak biasa tampak pada sosok Mira Lesmana (48) pendiri Miles Production, kemarin. Sehelai kain tenun warna kuning terlihat melilit di lehernya.

Kain tenun berwarna kuning itu, kata dia merupakan kain tradisional asal Nusa Tengga Timur (NTT) yang dibelinya di Atambua, saat memproduksi film terbarunya berjudul Atambua 39 Derajat Celcius. "Ternyata kita kaya dengan budaya kain tenun. Ya, itung-itung promosi selendang Nusantara," ujar Mira Lesmana ditemui usai press screening Atambua 39 Derajat Celcius di Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Kuningan, Senin (5/11).

Bukan hanya produser film Sang Pemimpi itu yang mengenakan kain tenun di lehernya, Riri Reza, sutradara film itu, serta pemain dan beberapa kru yang terlibat dalam film itu juga mengenakan kain sutra dengan beragam motif. Mira mengatakan sebagian besar pemain dan kru rebutan berburu kain tenun dari Atambua usai menyelesaikan syuting selama 14 hari.

Kain tenun ini sangat apik dan dikerjakan oleh masyarakat desa di pelosok Timor dengan tangan (hand made). "Ini beneran jahitan tangan lho. Motif depan dan belakangnya sama," ujarnya.

Dalam penggarapan film ini, Mira mengatakan nyaris tidak mengalami hambatan. Bahkan, masyarakat perbatasan Indonesia- Timor Leste itu mendukung penuh kedatangan dirinya. Kakak kandung musisi Indra Lesmana menambahkan, masyarakat di sana sangat ramah dan menyambut gembira penggarapan film ini. Tuan rumah tidak sungkan menyapa duluan, meski belum saling mengenal.

"Tidak ada yang menyulitkan di sana. Sampai polisinya saja membantu kita," ujarnya.

Film Atambua 39 Derajat Celcius ini mengangkat kisah kehidupan masyarakat perbatasan 13 tahun pascamemorandum. Mereka banyak mengalami kesulitan untuk sekedar berkunjung ke makan leluhur atau bersilaturahmi saudaranya yang berada di daerah Timor Leste.

Mengenal Teknik Membuat Tenun

Indonesia memiliki kekayaan kain tradisional. Sebut saja kain tenun ikat yang pesonanya bukan hanya berskala nasional tapi juga internasional. Warna dan corak dari helaian benang pakan dan benang lungsin itu menampilkan keragaman, tergantung daerah asal kain tenun ikat tersebut.

Pengamat kain tradisional, Judi Achjadi, mengatakan, tenun ikat Indonesia memiliki ciri khas yang patut dibanggakan. “Tenun Indonesia eksotis. Tidak hanya bisa digunakan sebagai busana tetapi bisa digunakan untuk pelapis interior atau peralatan rumah tangga,” ujar Judi Achjadi saat ditemui pada acara ‘Eksotika Tenun Indonesia’ di Gallery Springhill, Kemayoran, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Tenun ikat itu, kata Judi, hasil kerajinan tangan yang terbuat dari helaian benang pakan dan benang lungsin yang disusun dengan alat tenun bukan mesin. Kain-kain tradisional itu dipakai dalam berbagai kegiatan atau upacara keagamaan. Kain tenun juga dipakai untuk kebutuhan sehari-hari.

Menurut Judi, kain itu harus dilestarikan. Alasannya, kain sebagai kekayaan budaya bangsa itu bisa berkembang seiring dengan perkembangan zaman.

Saat ini, masyarakat sudah tak asing dengan tenun ikat. Motif yang hadir bukan melulu tradisional tapi juga dikembangkan sesuai selera masyarakat masa kini. Banyak daerah di Indonesia yang masyarakatnya memiliki budaya tenun ikat.

Namun, lembaran kain itu sulit berkembang di luar budaya pendukungnya. Pasalnya, masih ada yang menganggap harga kain tradisional itu terhitung mahal. Apalagi jika kain itu memakai benang emas. Selain itu, perawatan kain tradisional cenderung merepotkan karena harus dengan perlakukan tertentu. “Tenun sebaiknya tidak dicuci. Cukup diangin-anginkan saja. Jika dicuci, akan merusak lapisan emas pada benang,” ujar pakai kain tradisional Asmoro Damais.

Eksotika tenun Indonesia

Perancang busana kondang juga terpesona tenun ikat, seperti Oscar Lawalata dan Carmanita. Karya busana rancangan keduanya tampil pada acara ‘Eksotika Tenun Indonesia’ di Gallery Springhill, yang memadukan tenun ikat Indonesia.

Para peraganya ibu-ibu rumah tangga yang memamerkan busana dari tenun ikat Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera, dan Bali. Kain-kain rancangan keduanya diambil dari binaan Perkumpulan Pesona Kain Indonesia yang diketuai Ikke Nirwan Bakrie.

Di tangan Oscar dan Carmanita, busana-busana itu terlihat formal dan non-formal. Busananya dipadu dengan aksesori dan sepatu yang serasi sehingga ibu-ibu rumah tangga itu tampil bak peragawati profesional di atas catwalk.

Oscar Lawalata memadukan kebaya lengan panjang, kebaya lengan pendek, kebaya lengan tiga perempat, dan modifikasi baju bodo, dengan tenun ikat. Warna-warna kain terlihat trendi, seperti biru toska, merah menyala, merah marun, dan hitam-putih.

Sedangkan Carmanita menghadirkan kebaya modern bergaya tumpuk dengan rimpel yang dipadu dengan kain songket Sumatera Barat, songket Jambi, tenun Singaraja-Bali, tenun Sambas Kalimantan, dan ulos Sumatera Utara. Busana-busana itu terlihat sederhana dan ringan, sehingga yang memakainya nyaman. (

Busana Tenun Memukau Ajang Fashiontastic 2013

Koleksi pakaian besutan desainer Stephanus Hamy membuka fashion show Fashiontastic 2013 di Pondok Indah Mal, Kebayoranlama, Jakarta Selatan, Minggu (5/5). Tak pelak, pengunjung mal tersebut terpukau.

Dengan tema Tenun, Hamy menampilkan deretan baju kasual yang menggunakan bahan dari beragam jenis tenun Nusatenggara Timut dan songket Bali. Koleksi tenun pada ajang itu makin mempertajam kepiawaian Hamy mengangkat kain tradisional menjadi busana cantik dan menawan.

Dalam acara yang mengusung tema EtnoNesia itu, Hamy menampilkan sekitar 32 stel rancangan khusus wanita. Mereka terdiri dari celana kulot, celana jodpur, celana panjang, jacket, dan rok overlap.

Hamy yang saat perhelatan itu, absen karena alasan kesehatan tetap menampilkan ciri khasnya, yakni busana berdetail lipit (pleats). Ia memadupadankan koleksinya yang dikombinasikan dengan lurik atau polosan.

Pada koleksi Stephanus Hamy yang terlihat didominasi warna tanah, namun diselipi juga warna cerah seperti merah, kuning dan hijau daun merupakan koleksi yang bisa digunakan untuk beragam kesempatan bagi fashionista Tanah Air.

Hamy yang merupakan salah satu desainer kebanggaan Indonesia lahir 7 Mei 1960 ini, memang bukan nama asing di telinga fashionista Tanah Air. Maklum, kiprahnya berkecimpung di industri fashion Indonesia selama lebih dari 20 tahun

Tenun Angkat Budaya Bangsa ke Panggung Dunia

Indonesia jangan pernah minder dengan pesatnya perkembangan fesyen dari para desainer dunia. Sebab, saat ini, para desainer Tanah Air juga terus melakukan eksplorasi gaya busana modern dengan mengangkat tema-tema berkaitan kebudayaan tradional Indonesia.

Hal itu diungkapkan oleh Okke Hatta Rajasa, Ketua Cita Tenun Indonesia (CTI), di sela-sela acara fashion showbertajuk The Glorious Handwoven of Indonesia, di Hotel Haris, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (15/5/2013) malam.

"Kita jangan pernah takut dengan modernisasi busana. Justru sebaliknya, jadikan modernisasi ini sebagai momentum untuk menggali apa yang selama ini masih belum diekspose, tentang budaya lokal, untuk kemudian kita angkat dan kita tunjukkan kepada dunia bahwa desainer-desainer Indonesia juga tak kalah," ujarnya.

Okke mencontohkan, dengan diangkatnya tenun menjadi bahan busana modern, itu merupakan upaya luar biasa untuk mengangkat kearifan lokal serta menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat kaya.

"Kain menampilkan identitas dan karakter dari berbagai daerah yang berbeda. Dan semua itu ada ceritanya. Jika tenun diramu menjadi busana yang modern, kain tenun kesannya tidak kain yang berat atau hanya dipakai dalam acara adat, tapi bisa kegiatan sehari-hari," kata Okke.

Maka Okke terus mendorong ke berbagai pihak, khususnya para desainer fashion, agar bersedia untuk menggunakan bahan dan corak tradional yang memiliki makna budaya tinggi dan dipresentasikan secara apik dalam setiap rancangan busana mereka.

"Kami di CTI juga mempunyai program untuk memberikan pelatihan kepada para perajin tenun agar menghasilkan tenun yang berkualitas dalam kerapihan struktur tenun, modifikasi corak tanpa meninggalkan unsur budaya dan warna-warna trend terkini," ungkapnya.

Lenny Agustin Tampilkan Tema Paper Garden



Mengambil tema 'Paper Garden', Lenny Agustin memperlihatkan keunikan rancangannya. Ke-15 rancangannya tampil dengan warna-warna menawan yang dipadu dengan tenun dan batik Pekalongan.

Tidak ketinggalan gaya Jepang terlihat di beberapa bagian dari busana yang ditampilkan Lenny dalam acara 'Kemang Fashion Week, Diva Glam' yang digelar di Lippo Mall Kemang tanggal 10-14 April 2013.

Lenny mengaku tidak banyak hal baru yang ia berikan dalam fahsion show kali ini mengingat pihak penyelenggara baru menghubunginya 2 pekan sebelum acara dimulai.

"Saya dihubungi mendadak jadi saya masih memilih rancangan Green Garden tetapi dengan beberapa tambahan disain," ujarnya.

Dari sekian banyak rancangan 'Green Garden' yang ia miliki, Lenny mengeluarkan sisa dari rancangan yang sudah ia pernah pamerkan. Tetapi semua merupakan rancangan baru yang masuk dalam tema 'Green Garden'.

Minggu, 19 Mei 2013

93 Tahun Eksis, Batik Keris Rilis Koleksi Puspa Nusa

Sembilan dekade bukanlah waktu yang sedikit bagi sebuah brand untuk mempertahankan eksistensinya. Sejak didirikan pada 1920, Batik Keris telah sukses memantapkan posisinya sebagai pabrik batik tradisional dan garmen ternama.

Kini menginjak usia ke-93 tahun, Batik Keris menggelar perayaan bertema Puspa Nusa yang diadakan di Center Court Puri Indah Mall, Jakarta Barat. Diramaikan dengan pagelaran tari, brand yang sudah memiliki lebih dari 100 toko ini menghadirkan koleksi busana batik terbaru mulai dari dewasa hingga untuk anak-anak.

"Puspa Nusa mengandung arti bunga nusa. Ingin angkat seni batik, seni tari, sebagai bunganya nusa dan bangsa," ujar President Director Batik Keris Handianto Tjokrosaputro.

Simple dan modern menjadi benang merah seluruh koleksi yang ditampilkan. Garis desain minimalis, tidak banyak memainkan detail atau potongan ekstrem demi menjaga nilai filosofis yang ada dalam motif-motif batik yang digunakan.

Peragaan busana yang diadakan pada Sabtu malam (11/05/2013) itu membawakan lima lini busana, profesional; collection; family; teenager dan kids. Lini profesional merupakan koleksi untuk pria dan wanita dewasa dengan gaya busana formal untuk ke kantor atau pesta resmi. Misalnya mini dress berpotongan lurus, setelan blouse dan rok, dress aksen tumpuk dengan warna-warna hijau, cokelat, merah tanah bergradasi.

Collection adalah koleksi busana berbahan sutera kualitas premium yang diproduksi secara terbatas. Setiap busana diproduksi secara handmade dan diperlukan waktu pembuatan hingga 1-2 bulan. Batik sutera terllihat lebih mewah dengan tambahan aplikasi payet. Mulai dari blouse mullet motif truntum, dress asimetris hingga rok pas badan. Selain sutera dan batik, hadir pula busana dari kain tenun.

Lini teenager bergaya lebih casual dan permainan warna kontras yang cocok untuk anak muda. Blouse memiliki potongan simple dan modern yang serasi dipadukan dengan jeans maupun hot pants. Terdapat juga summer dress dan bolero dengan perpaduan warna hitam-pink, turquoise, oranye dan kuning.

Sementara koleksi family didesain khusus untuk ayah, ibu dan anak dengan motif dan warna senada namun tetap dicocokkan sesuai usia pemakainya. Warna-warna tanah dan motif floral mendominasi koleksi ini.

Untuk si kecil, Batik Keris kembali memunculkan seri batik yang dikombinasikan dengan karakter Disney. Koleksi yang mendapat penghargaan The Asian Licensing Award sebagai Best License se-Asia ini merupakan kolaborasi Batik Keris dengan Disney International. Hadir dengan warna-warna ceria, motif paisley, mega mendung, floral, serta potongan yang nyaman digunakan.

"Kami sangat aktif dalam evolusi motif batik, selalu berubah. Supaya tetap populer harus dapat masukan juga dari berbagai daerah termasuk luar negeri. Batik Keris sendiri punya filosofi melestarikan budaya Nusantara secara keseluruhan. Jadi tidak hanya busana batik saja yang diangkat tapi juga kerajinan dalam negeri lainnya," terang Handianto.

Desainer IPMI 'Sulap' Kain Songket Hingga Sarung Jadi Busana Modern

Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) meramaikan Jakarta Fashion & Food Festival (JFFF) 2013, di Grand Ballroom Harris Hotel, Kelapa Gading, Jakarta, Senin(13/05/2013). 10 desainer IPMI, di antaranya Tri Handoko, Era Soekamto, Liliana Lim, Denny Wirawan, dan Didi Budiarjo menampilkan koleksi bergaya edgy dan modern dengan berbagai kain khas Indonesia.

Pagelaran busana bertema 'Kain Negeri' ini dibuka oleh Liliana Lim. Ia memamerkan tiga koleksi busana dengan kain ikat dari Bali. Konsep draperi yang dihias dengan batu alam dan payet menghiasi koleksi desainer yang memulai debut karirnya pada 1994 itu.

Sementara Tri Handoko, ia menampilkan koleksi busana yang menggunakan sarung dan dipadu-padankan dengan jeans. Berbeda pula dengan desainer Era Soekamto. Perancang mode wanita itu menggunakan kain berasan (manggar) dari Bojonegoro untuk ketiga koleksinya dengan konsep draperi bergaya edgy dan lady look.

Koleksi dari Denny Wirawan juga tak kalah menarik. Ia menampilkan tiga busana yang menggunakan songket Palembang. Kain songket yang didominasi warna tanah itu disulap menjadi jaket, serta busana pesta yang terlihat glamor.

Sedangkan Didi Budiarjo, ia menggunakan kain lunggi (songket) Sambas untuk ragam busananya. Ketiga koleksinya itu didesain dengan motif bunga tunjung (bunga teratai) berwarna perak.

Gaun Bermotif Wayang Buka Fashion Show Desainer APPMI di JFFF 2013

Masih mengangkat budaya Indonesia lewat kain nusantara, JFFF hari ke-9 dimeriahkan oleh empat desainer dari Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI). Keempat desainer yaitu Sugeng Waskito, Phillip Iswardono, Zainal Songket dan Misan mempresentasikan karya bertema Inotganic Ethnicity.

Masing-masing desainer menampilkan 12 koleksi yang mengarah ke busana ready-to-wear. Sebagai pembuka rangkaian show, Sugeng Waskito menyuguhkan koleksi gaun dengan bahan silk yang halus, bermotif wayang untuk mengangkat kekayaan Yogyakarta, tempat kelahirannya. Selain gaun maxi, ia juga menciptakan atasan kaftan yang dipadukan dengan legging kotak-kotak hitam putih untuk memberi kesan kontemporer dan etnik.

Fashion show yang digelar di Hotel Harris, Kelapa Gading, Kamis (16/5/2013) ini dilanjutkan dengan koleksi second line Phillip Iswardono, Ethnic Now. Koleksinya ini tampak lebih kasual namun tetap unik dengan potongan asimetrikal dari perpaduan batik lasem dan kombinasi tenun lurik. Ada beberapa dress pendek yang tampak santai, namun di bagian roknya dibuat asimetris dan detail draperi. Beberapa gaun juga dilengkapi variasi jaket atau vest menambah kesan kasual.

Selanjutnya adalah koleksi Zainal Songket yang bertajuk 'Warna Sriwijaya'. Sang desainer pun menggambarkan tema Sriwijaya dengan warna gold dan merah yang glamour. Berbeda dari desainer lain yang membuat busana ready-to-wear, Zainal menampilkan karya yang lebih bertema wedding. Kain santung warna emas dan merah dihiasi bordir emas dan payet berkilau dibuat menjadi kebaya panjang bergaya Palembang yang dikemas modern. Sedangkan sarungnya dibuat dari kain songket Palembang dengan warna senada.

Desainer asal Bandung, Misan menutup fashion show. Ia menampilkan cocktail dan evening dress yang tampak glamour. Karyanya yang bertajuk 'Glamorous Mix' didominasi warna hitam dan putih namun diberi sentuhan warna terang sehingga gaun tampak lebih cerah. Misalnya saja gaun dengan atasan lace putih berdetail backless yang seksi namun bagian roknya dibuat dari paduan kain tulle hijau dan ungu dengan furing kain hitam. Gaun-gaun diberi tambahan kain tulle, payet dan lace yang feminin. Motif polkadot dan bulu semakin mempercantik koleksinya.

Poppy Dharsono Tampilkan Batik Parang Bergaya Glamour di JFFF 2013

Desainer Poppy Dharsono ikut memeriahkan panggung mode dalam fashion show dari para desainer APPMI (Asosiasi Pengusaha Perancang Mode Indonesia) di JFFF 2013, Kamis (16/5/2013). Poppy mengolah kain batik dengan cara yang modern dan elegan. Dengan tema 'Redefining Parang', potongan busana yang tegas dari kain parang, namun terlihat begitu mewah karena tambahan material payet dan sequin, sesuai ciri rancangan Poppy.

Misalnya saja, batik parang yang dibuat menjadi gaun maxi one shoulder. Atau coat panjang bahan batik yang dipadukan dengan gaun pendek sequin warna emas. Koleksi Poppy ini juga banyak menggunakan warna dasar hitam dan cokelat sehingga tidak meninggalkan kesan elegan.

Selain Poppy, desainer APPMI lain yang menunjukkan koleksi busana batiknya dalam fashion show di Hotel Harris, Kelapa Gading itu adalah Handy Hartono. Uniknya, koleksi batik Handy diproduksinya sendiri dengan dekoratif yang modern dan simpel. Dikeluarkan dari lini keduanya, Batik Boy, kain batik Handy diklaim sebagai batik pertama yang ditulis di atas kain linen. Hasilnya adalah busana ready-to-wear, dress cantik dengan motif batik geometris atau bunga yang didominasi warna krem atau pink.

Karya berbeda ditampilkan desainer Elok Rege Napio. Ia memamerkan koleksi busana nasional yang terinspirasi dari gaya busana Duchess of Cambridge, Kate Middleton. Menurutnya, kebaya tak harus dipasangkan dengan sarung, tapi bisa juga dengan material lain yang lebih modern. Sebagai contoh, ia membuat kebaya dari brokat dengan taburan payet namun bagian roknya dibuat dari tulle ataupun velvet.

Koleksi yang agak berbeda dari Jimmy Fei Fei, anggota APPMI Jawa Barat, menutup rangkaian fashion show ini. Karyanya mengingatkan kepada tokoh di film fiksi bertema galaktika yang futuristik. Rancangan Jimmy yang didominasi warna putih di antaranya dibuat menjadi dress pendek berdetail ruffle dan lace. Ada pula gaun panjang dengan ornamen lace potong yang kaku di bagian kerah. Kesemua rancangannya ditaburi batuan swarovski yang mewah. Para model juga dipercantik dengan headpiece unik dan wig yang juga berwarna putih.

Kolaborasi Cantik Anne Avantie dan Sarung Ramli di Panggung JFFF 2013

Desainer senior Ramli memang sudah berpulang pada sang pencipta di awal tahun lalu. Namun tak lantas, karya-karyanya pun ikut hilang. Rancangan Ramli yang cantik dan kaya detail tetap jadi inspirasi bagi desainer lain. Salah satu desainer yang mengagumi karyanya adalah Anne Avantie.

Di panggung mode JFFF (Jakarta Fashion & Food Festival), Jumat (17/05/2013) malam lalu, Anne Avantie pun mencoba 'membawa' Alm. Ramli untuk berkolaborasi dengannya dalam satu panggung.

"Saya memang tidak mengenal sosok pribadi Ramli begitu dalam. Namun bagi saya, dedikasi Ramli di dunia mode sangat memberi inspirasi. Saya pernah menyebutnya dalam buku saya, saya ingin sekali berkolaborasi dengan beliau dalam satu panggung, dan hal itu terpikirkan ketika pihak JFFF menawarkan saya untuk ikut meramaikan panggung," ungkap bunda Anne sebelum show dimulai di Hotel Hariss, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Dalam show bertajuk 'Ramli dalam Kenangan' itu, Anne menampilkan sekitar 40 koleksi. Terdiri dari 20 koleksi Ramli dan 20 lainnya koleksi Anne. Bukan hanya karya Ramli yang dibawa naik keatas panggung, Anne juga membawa para model asuhan Ramli dari periode 70 hingga 80-an. Diantaranya, Soraya Haque, Oki Asokawati, Wanda Hamidah dan masih banyak lagi.

Pertunjukan pun dibuka oleh lima kebaya Ramli bertema kebaya encim dengan sarung yang dihiasi renda yang cantik. Kebaya-kebaya sang maestro itu sempat menjadi tren tahun 70-an yang ditemukan Anne di lemari almarhum.

Bunda Anne, demikian ia biasa disapa, juga menampilkan hal baru yaitu kebaya berwarna hitam dan gold yang begitu mewah dan kaya detail. Sesuai ciri rancangannya, kebaya pun tampak mewah namun seksi dengan detail backless dan potongan yang terbuka di bagian dada.

Ia juga membuat kreasi baru dengan melukis di atas kain organdi. Kebaya-kebaya cantik itu dipadankan bersama kain batik dengan potongan tinggi sepaha di bagian depannya dan diberi tambahan lace dan payet di bagian bawah kain.

14 Desainer Olah Tenun Ikat Bali Jadi Lebih Casual di JFFF 2013

Perkembangan zaman membuat tenun ikat Bali atau endek semakin bervariasi. Kini tidak hanya bisa dipakai saat ke kantor atau acara resmi saja, tapi juga dapat dikenakan sebagai busana keseharian.

Kain endek dikenal sejak 1960-an. Namun awal tahun '90, endek mulai surut karena kalah saing dengan tenun ikat dari daerah lain. Untuk itu, Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Denpasar ingin mengangkat kembali warisan budaya tersebut agar para desainer serta pengrajin Bali semakin kreatif dan terus berinovasi mengikuti perkembangan tren.

Dalam pagelaran busana di panggung Jakarta Fashion & Food Festival (JFFF) 2013, 14 desainer asal Bali menyuguhkan endek yang menjadi busana casual. Kesan edgy dan stylish tampak pada keseluruhan rancangan yang ditampilkan.

"Kita di sini tidak membuat desain endek untuk busana kerja saja tapi juga casual yang bisa dipakai ke berbagai acara," ujar Desi Aryani, salah satu desainer asal Bali sesaat sebelum fashion show di Harris Hotel & Conventions Mal Kelapa Gading, Lantai 5, Jakarta, Sabtu (18/5/2013).

Dalam pagelaran tersebut, tampak atasan dari endek dipadukan dengan celana atau rok jeans. Adapun celana dari tenun ikat yang terkesan santai tapi stylish. Strapless dress dan model H-line juga menghiasi fashion show yang bertajuk 'Denpasar Endek, Bordir, and Songket, The Authentic Culture of Excellence' itu.

Warna-warna kuat seperti merah pekat, hitam, biru, hingga ungu tua mendominasi panggung JFFF. Outer dengan bordir serta bahan lace menyempurnakan rancangan keempat belas desainer yang berasal dari Asosiasi Bordir, Endek, dan Songket Kota Denpasar serta APPMI Bali. Setiap desainer membawakan 5 sampai 7 koleksi endek.

Tidak hanya pakaian saja yang dipamerkan, tapi juga aksesori seperti kalung, gelang, anting, tas, serta kipas Bali. Dua desainer aksesori dan kipas ikut memeriahkan acara fashion show tadi malam. Secara keseluruhan, terdapat 16 desainer asal Bali yang memamerkan karyanya di panggung JFFF 2013.

Senin, 06 Mei 2013

The Mary Hunt Kahlenberg Collection, Five Centuries of Indonesian Textiles


Sudah banyak buku ditulis mengenai tekstil Indonesia, tetapi kain Nusantara seperti sihir yang mendorong banyak orang terus menggali dan menuliskan tentangnya. Begitu juga dengan Mary Hunt Kahlenberg.

Dia memilih judul The Mary Hunt Kahlenberg Collection, Five Centuries of Indonesian Textiles (2010), karena di antara kain asli Nusantara koleksinya, terdapat tenun dari abad ke-15. Umumnya kurator dan kolektor kain skeptis terhadap kemampuan kain Nusantara bertahan ratusan tahun, karena dibuat lokal dan dikenakan sehari-hari, kain dapat diganti setiap saat begitu lapuk.


”Banyak orang meragukan kain asli Indonesia dapat bertahan dalam waktu panjang, mengingat udara yang panas dan lembap, serta cara penyimpanannya,” papar Kahlenberg di Museum Tekstil Jakarta, Desember lalu.


Kahlenberg yang tinggal di Santa Fe, AS, datang ke Jakarta bersama suaminya, Robert T Coffland, untuk diskusi buku yang diadakan antara lain oleh Museum Tekstil dan Perhimpunan Wastreprema. Ia merasa tertantang membuktikan usia kain Nusantara dengan lebih akurat. Selain memakai metode sejarah-seni, yaitu membandingkan corak atau tenunan dengan monumen arsitektur dan lukisan manuskrip sezaman, juga dengan uji karbon C-14.


Tahun 2003, ia mengirim contoh benang tenun dari tiga kain koleksinya, masing-masing dari Poso, Sulawesi Tengah; Komering di Sumatera Selatan; dan Timor di NTT, untuk uji karbon di Swiss.


Hasilnya, kain Komering berasal dari tahun 1403-1501 dengan kemungkinan 98,5 persen. Benang lungsi terbuat dari sutra dan benang pakannya katun bercorak ikat pakan cukup rumit. Kain ini juga memakai benang emas di tepinya. Sedangkan kain dari Poso diduga berasal dari tahun 1419-1627 dengan peluang 95 persen, sementara kain dari Timor diperkirakan berasal dari tahun 1419-1520.

”Uji tersebut membuktikan kain Indonesia dapat bertahan melalui waktu karena dijaga sebagai benda berharga milik keluarga. Kualitas kain-kain tersebut masih bagus. Tradisi menjaga kain sebagai benda berharga harus dipertahankan,” paparnya.


Cinta


Pertanyaan yang sering ditujukan kepada Kahlenberg, mengapa mencintai kain, terutama kain Indonesia? Ia bercerita, tumbuh besar dalam keluarga yang mengoleksi aneka pita dan perca kain yang dianyam para perempuan di keluarga besarnya. Hal itu memesona Kahlenberg, apalagi kemudian neneknya memberi pita-pita koleksinya untuk dia.


Tentang kain Indonesia, ia mengaku alasannya tak rasional. Dia jatuh cinta begitu saja saat pertama kali melihat foto kain Indonesia yang dikirim ahli dan penjual kain asal Belanda, Laurens Langewis. Pertengahan tahun 1960-an itu, Kahlenberg adalah kurator Museum Tekstil, Washington, AS. Foto-foto tersebut mendorongnya membaca lebih dalam buku tulisan Langewis dan Frits A Wagner, Decorative Art in Indonesian Textiles (1964). Dia paling tertarik pada tapis Lampung yang belakangan dia tahu bercorak cumi-cumi.


”Saya terpukau kerumitan corak dan kualitas pembuatannya. Juga kain Indonesia lain, seperti teknik rintang warna pada batik dan berbagai teknik tenun. Itu titik balik penting dalam hidup saya. Sayangnya, tak satu pun dari kain yang ditawarkan itu dibeli museum,” kenangnya.


Rasa penasaran Kahlenberg terobati ketika tahun 1969 pindah ke Los Angeles County Museum of Arts (LACMA) dan menjadi kepala bagian kostum dan kain. Dalam posisi itu, dia terbang pertama kali ke Kalimantan pada 1973. Tahun 1977, dia menyelenggarakan pameran ”Textile Traditions of Indonesia” di LACMA dan menjadi pameran besar pertama di AS khusus tentang kain Indonesia.


Selama 35 tahun sesudahnya, ia menjelajahi pulau-pulau Indonesia. Posisi suami pertamanya sebagai diplomat memberinya kesempatan belajar tekstil di Eropa dan mengunjungi museum untuk mempelajari kain Indonesia, sampai sempat terkunci sendirian. ”Saya tak ingin menyebut nama museumnya,” katanya diiringi tawa.


Di Indonesia, Kahlenberg membangun hubungan dengan orang-orang yang dia temui di desa dan kota, serta membentuk pengetahuan tentang lapis-lapis rumit pemahaman masyarakat Indonesia mengenai kehidupan religius dan sejarahnya yang berkaitan dengan fungsi kain dalam kehidupan.


”Bertemu dengan orang-orang yang membuat dan memakai kain itu sangat menarik, cara menenun dan menangani kain, juga detail kehidupan lainnya,” katanya.


Dia menemukan kesamaan dengan pengalamannya masa kecil, yaitu tradisi pembuatan dan perawatan kain diturunkan dari ibu kepada anak perempuan.


Ia berharap masyarakat dapat menjaga kualitas kain Indonesia karena berhubungan erat dengan tradisi yang dihidupi masyarakat sendiri. Terutama kini, ketika kain diperdagangkan dan kualitas ditentukan pembeli. ”Tentu, kain harus berkembang mengikuti perubahan waktu. Tetapi, sebagai pembeli, kita harus berusaha membeli kain yang bagus,” tandasnya.


Mengenalkan Indonesia

Meskipun kini tak terlalu kerap ke Indonesia, dia mengaku terus meriset kain. Bukunya, setebal 398 halaman termasuk indeks, bercerita tentang masyarakat pembuat kain-kain tersebut. Koleksinya lebih berdasar kualitas istimewa kain daripada kumpulan kain karena komunitas pembuatnya.


Melalui koleksi 350 lebih kain dan penjelasan yang ditulis beberapa ahli kain, antara lain Ruth Barnes dan Rens Heringa, pembaca diajak mengenal cara masyarakat Nusantara memandang dunia dalam dan dunia luar, yang bahkan bagi banyak pembaca Indonesia sekali pun merupakan pengetahuan baru.


Sebagai sarjana sejarah seni, Kahlenberg mendekati kain Indonesia melalui kacamata antropologi, seperti umum dilakukan para ahli kain, serta pendekatan seni dan sejarah. ”Menulis dari sisi seni lebih sulit karena menyampaikan apa yang kita rasakan, bagaimana pengaruh emosionalnya ketika kita melihat (kain),” ungkapnya.


Tantangan lain, meyakinkan masyarakat dunia, terutama di Barat, kain Indonesia adalah karya seni, bukan sekadar kriya. Oleh karena itu, dia berusaha membuat buku ini indah. ”Untuk membuat orang membaca dan melihat, lalu berpikir, oh (kain-kain) ini indah,” ungkap Mary Hunt Kahlenberg.

Tenun NTT Bukan Tenunan Biasa


Kerajinan tenun Nusa Tenggara Timur merupakan aset budaya luar biasa. Selain beragam motifnya, proses pembuatannya pun tak sembarangan, yaitu melalui proses ritual (doa sakral). Kain tenun NTT bukan sekadar kain biasa, melainkan juga memiliki jiwa.

Ketika melewati kampung tua As Manulea di Kecamatan Sasita Mean, Kabupaten Belu, NTT, misalnya, tim Kompas bertemu dengan para perajin yang membuat kain tenun dari benang yang mereka pintal sendiri.

Pada era 1990-an, kegiatan memintal masih terlihat di mana-mana, terutama saat para wanita pergi-pulang dari pasar. Sambil berjalan kaki, dengan junjungan di kepala, mereka memintal benang dari kapas. Kini, kegiatan memintal benang seperti itu sudah langka ditemui di NTT karena tergusur benang industri.

Perempuan As Manulea itu, Lenci Abuk (38), tekun memintal benang dari abas (kapas lokal). Di samping dia, Natalia Kole (52), bersama seorang wanita sebaya dibantu seorang pria, membenahi seperangkat alat tenun kuno yang disebut bninsa.

Menurut Rosalina Lotu, seorang penenun, tais atau bĂȘte (selendang untuk pria) dari benang lokal harganya mahal, paling murah Rp 5 juta per lembar. ”Saya menanam kapas di pekarangan. Hasilnya sangat terbatas. Kalau menenun dengan benang dari kebun sendiri, harus menunggu bertahun-tahun hingga cukup untuk selembar kain,” katanya.

Di Ende, ada jenis kain tenun yang tidak bisa sembarangan dipakai. Kain itu hanya dibuat oleh kalangan tertentu, seperti keluarga tetua adat (mosalaki). Menurut Kepala Museum Tenun Ikat di Ende, Ali Abubakar Pae, pembuatan kain tenun ini umumnya dilakukan secara rahasia dan disertai ritual khusus.

”Umumnya masyarakat Ende di pesisir selatan memanjatkan doa khusus itu pada malam hari di dalam rumah,” kata Ali.

Ali mengibaratkan menenun seperti membuat keris di Jawa. Kekuatan supranatural dari roh-roh leluhur akan menjiwai kain tenun.

Ada ungkapan dalam bahasa Sikka, Ami nulung lobe. Naha utang wawa buku ubeng. Naha utang merah blanu, blekot (Kami tidak memakai sarung murahan, harus sarung dari dasar tempat simpan, harus sarung yang merah, mantap, dan bermutu).

Ungkapan itu mengandung pengertian, sarung yang dikenakan seorang perempuan menunjukkan kepribadian pemakainya. Sarung yang dipakai bukan sarung biasa. Ini menunjukkan pemakainya bukan sembarangan, melainkan orang berwibawa, bermutu, dan berkepribadian baik.

Selain prosesnya panjang dan rumit, motif tenun NTT unik dan beragam. Hampir semua daerah di NTT memiliki kerajinan tenun. Johanna Maria Pattinaja (73), istri almarhum Frans Seda, telah mengumpulkan sekitar 1.000 kain tenun ikat NTT, dari Pulau Timor, Sumba, sampai Flores.

Penelitian Romo Bosco Terwinju Pr (72) dari Keuskupan Agung Ende memperkuat hal itu. Untuk satu wilayah di Pulau Flores misalnya Sikka, ia mengoleksi sekitar 50 jenis kain tenun ikat. ”Motif kain tenun di NTT sangat banyak, berbeda-beda antarkabupaten,” katanya.

Hasil penelitian Romo Bosco di Pulau Flores, ada dua kategori tenun, jenis ikat tradisional dan sulam songket. Tenun ikat menyebar dari Flores bagian tengah, dari Kabupaten Ende hingga Kabupaten Flores Timur sampai Lembata. Adapun tenun sulam songket banyak dibuat dari Kabupaten Nagekeo sampai Kabupaten Manggarai Barat.

Warna kain tenun ikat dihasilkan dari pewarnaan kain, baik dengan bahan alam (mengkudu atau nila) maupun bahan kimia. Warna kain tenun sulam dihasilkan dari proses penyulaman benang beraneka warna.

Menurut Romo Bosco, motif kain tenun di Flores berdasarkan catatan sejarah merupakan turunan dari motif Patola, India, seperti gajah, bunga atau burung, yang kemudian berkembang dengan beragam variasi.

Tenun Kali Uda

Salah satu tenun NTT yang terkenal berasal dari Kali Uda di Pulau Sumba. Desa ini terletak 120 kilometer selatan Waingapu, Sumba Timur. Kualitas tenunan Kali Uda dianggap tertinggi karena lentur, tidak luntur, ringan, dan dapat dibuat menjadi pakaian.

Warna dasar tenun Kali Uda adalah merah, putih, dan hitam. Ragam motif biasanya ayam, burung, kuda, kerbau, sapi, serta mamuli (perhiasan berbentuk rahim perempuan).

Selain menjadi mahar kawin yang bernilai tinggi di kalangan warga Sumba, tenun ikat Kali Uda diminati turis asing. Bahkan di Denpasar, Bali, ada toko khusus yang menjual tenun Kali Uda. ”Meski harganya mahal, turis Jepang belanja sampai ratusan lembar,” kata Jery Nola (29), seorang pria perajin.

Harga selembar kain Kali Uda berukuran 1,7 meter x 2,3 meter Rp 800.000-Rp 25 juta per lembar, tergantung motif, tingkat kesulitan menenun, pewarna, dan kualitas benang.

Sayangnya, menurut Kepala Desa Kali Uda, Umbu Yiwa Hanggi, belum ada organisasi yang memayungi tenun ikat Kali Uda. Padahal, 90 persen warga Kali Uda adalah penenun.

Perkembangan tenun NTT menghadapi tantangan yang tidak ringan. Desakan ekonomi yang semakin berat memaksa penenun meninggalkannya.

Di Kali Uda, misalnya, sampai hari ini belum ada pemasaran yang masif atas hasil kerajinan masyarakat itu. Gagal panen dan kemarau panjang yang sering melanda pantai selatan Sumba Timur memperberat kondisi mereka. Kalau dulu, hasil panen bisa mengisi kekosongan pendapatan mereka; kini, pertanian tidak bisa lagi diandalkan.

”Tahun 2007 masyarakat pernah menyampaikan aspirasi melalui musyawarah rencana pembangunan desa agar dibangunkan sebuah pusat kerajinan tenun ikat di sini. Kemudian, hasil kerajinan masyarakat ditampung Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk dipasarkan ke luar Sumba. Tapi, belum ada tanggapan,” kata Umbu Yiwa.

Sejauh ini jajaran pegawai negeri sipil di NTT diwajibkan memakai baju tenun dua kali dalam seminggu, setiap Rabu dan Jumat. Kalangan penenun termasuk pemilik sentra kerajinan tenun daerah Ina Ndao, Dorce Lussi, di Kupang mengharapkan kebijakan wajib berpakaian tenun jadi empat kali seminggu. Dengan demikian, pasar tenun ikat NTT semakin terbuka

Selasa, 30 April 2013

Tenun Songket Akan Didaftarkan ke UNESCO

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu menyatakan akan segera mendaftarkan tenun songket sebagai warisan budaya layaknya batik ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

"Memang ada keinginan untuk didaftarkan seperti halnya batik dan kami akan melakukannya," kata Mari di Palembang, Sumatera Selatan.

Menurut Mari, tidak mudah untuk mendaftarkan songket sebagai warisan budaya ke UNESCO karena memerlukan proses yang detail, termasuk dalam hal verifikasi dan pembuktian. Oleh karena itu, katanya, harus disiapkan data pendukung yang lengkap agar proses pembuktiannya tidak memerlukan waktu yang terlalu lama.

"Ini sebenarnya tugas kita bersama karena setelah misalnya diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia seperti batik, tugas kita tidak berhenti sampai di situ saja," katanya.


Ia menambahkan, tenun songket harus dilestarikan dalam berbagai cara sekaligus menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari alias living culture dan living tradition. Hal itu, kata Mari, kalau disadari bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan karena songket benar-benar harus dimasyarakatkan.

Pada dasarnya tradisi tenun songket telah diratifikasi Konvensi UNESCO pada 2003 dalam hal kualitas sumber daya manusia yang bergerak di dalamnya sekaligus pengetahuan tentang songket. Berlanjut pada Konvensi UNESCO 2005 diratifikasi pula tenun songket dalam hal pemanfaatan karyanya.

Salah satu perajin songket ternama asli Palembang, Zainal Arifin, yang juga pemilik brand Zainal Songket, pada kesempatan yang sama menyatakan diri siap membantu pemerintah memberikan bukti-bukti songket milik Indonesia asli agar diakui sebagai warisan budaya oleh UNESCO layaknya batik.

"Saya siap memberikan bukti-bukti yang diperlukan," kata pria yang keluarganya secara turun-temurun telah menekuni songket sejak 1974.

Tenun Unggan Sijunjung yang Makin Bersinar

Dari berbagai pilihan kain tradisional Indonesia, tak hanya batik yang mampu menyihir para desainer untuk berlomba mengolahnya menjadi busana yang indah. Perancang Samuel Wattimena ternyata juga tertarik untuk mengolah kain tenun khas Sumatera Barat. "Kain yang digunakan adalah kain khas dari nagari sijunjung yang indah," ungkap Samuel, ketika ditemui sesaat setelah fashion show-nya, "Pagelaran tenun unggan Sumatera Barat Kabupaten Sijunjung" di KOI Cafe, Kemang, Jakarta Selatan,

Sumatera Barat merupakan sentra kain nusantara yang memiliki berbagai teknik dalam pembuatan tenun, bordir, sulam, tarik benang, dan songket. "Kekuatan inilah yang akhirnya dikembangkan untuk mempertahankan ciri khas dari suatu daerah, sekaligus meningkatkan perekonomian di daerahnya," ungkap Yuswir Arifin, Bupati Sijunjung, Sumatera Barat, dalam acara yang sama.

Fashion show ini bertujuan untuk mensosialisasikan jenis motif baru dari kain tenun unggan sijunjung, yaitu unggan seribu bukit. Unggan seribu bukit ini memiliki filosofi antara lain kekompakan dalam kerjasama, kegigihan dalam berusaha, keinginan untuk maju, dan sukses bersama. "Sebelum fashion show ini, kami terlebih dahulu melakukan pelatihan kepada penenun agar menghasilkan karya yang lebih baik lagi dan berstandar nasional," tambah Samuel.

Dalam acara ini Samuel ingin memperkenalkan kreasi busana dari tenun unggan yang ditujukan bagi kaum muda, sehingga koleksi busananya bernuansa muda. Ada sekitar 22 busana untuk perempuan dan laki-laki berwarna cerah yang ditampilkan Samuel dalam pagelaran ini. Lucunya, warna khas Sumatera Barat, merah, tak banyak ditampilkan. Hal ini sengaja dilakukan Samuel untuk menghilangkan kesan Minang yang terlalu lekat dengan warna terang, sehingga bisa lebih mudah digunakan dan dipadupadankan. "Ini juga merupakan sebuah simbol untuk pembauran budaya melalui warna," bebernya.

Seluruh koleksinya merupakan koleksi busana siap pakai yang terlihat sangat elegan dan unik dalam setiap siluet busananya. Motif-motif berbentuk bintang kecil yang ditenun dalam ukuran yang kecil dan tersebar pada seluruh bagian kain terlihat sangat unik dan indah. "Bahan yang digunakan antara lain, linen, katun, sampai sutera," tukas Samuel.

Perancang kelahiran Jakarta, 25 November 1960 ini juga bereksplorasi dalam memadukan berbagai kain tenun dengan kain lainnya, antara lain kain bordir Tasikmalaya, lurik Solo, sampai batik Solo.

Sammy banyak menunjukkan kreasi kain tenun yang fleksibel untuk digunakan dalam berbagai kesempatan, seperti acara formal, santai, sampai busana muslim. Dalam koleksi busana formal, busana Sammy lebih banyak didominasi oleh warna-warna yang sedikit lebih gelap seperti ungu, abu-abu, sampai fuchsia. Busana formalnya banyak menampilkan potongan blazer panjang dengan kerah modifikasi lebar dan tambahan kain lilit panjang yang menjuntai indah. Selain itu, busana formal juga tampil dalam potongan busana kerah shanghai berwarna coklat dengan rok A-line berwarna coklat mengkilat.

Sedangkan koleksi busana santai Sammy banyak dipenuhi dengan mini dress bermotif tanpa lengan, bolero berbentuk balon dengan kerah berbentuk V, dan aksen draperi yang penuh dan besar. Selain dipenuhi dengan koleksi gaun pendek dengan aksen draperi di bagian pundak dan leher, beberapa busana santai terlihat mengadaptasi siluet kebaya bali dengan tambahan ikatan kain warna senada yang lebih panjang dan berumbai.

Busana muslim juga dihadirkan dalam pagelaran ini. Busana gamis lengkap dengan aksen motif tenun unggan seribu bukit, serta blazer panjang yang dipadukan dengan celana panjang dan kerudung juga terlihat sangat serasi dalam balutan kain tenun ini.

Sammy mengaku sampai sekarang ia belum akan menjual koleksi busananya. Ia ingin mengadakan roadshow terlebih dulu ke sejumlah kota di Sumatera Barat untuk lebih mendekatkan potensi daerah dengan masyarakatnya secara langsung.

29 Songket Palembang Jadi Warisan Budaya

Sebanyak 22 motif tenun songket Palembang di tetapkan sebagai warisan budaya rakyat Palembang, Sumatera Selatan. Sebanyak 49 motif tradisional lainnya tengah dalam proses.

Pengajuan pengakuan sebagai warisan budaya ini dilakukan untuk melindungi kekhasan seni dan budaya Palembang. Motif-motif tersebut memperoleh pengakuan sebagai warisan budaya rakyat (folklore ) Palembang dari Kementerian Hukum dan HAM.

Beberapa di antaranya adalah motif bungo intan, lepus pulir, paku berkait, limar berantai, dan nampan emas.

Kepala Bidang Pembinaan Industri Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Palembang, Rosidi Ali, mengatakan, pengajuan sebagai warisan budaya masyarakat tersebut dilakukan sejak tahun 2004.

Motif-motif tersebut merupakan hasil pengembangan masyarakat Palembang sejak ratusan tahun lalu.

"Totalnya ada 71 motif tenun songket yang telah kami ajukan untuk memperoleh pengakuan. Jumlahya masih mungkin bertambah lagi di masa mendatang," katanya di Palembang, Sumatera Selatan.

Menurut Rosidi, pengakuan secara hukum ini penting untuk menjaga kekhasan budaya Palembang dan melindungi melindungi industri kecil yang bergerak di bidang songket . Adanya pengakuan secara hukum salah satunya akan mencegah klaim dari pihak lain.

Saat ini, sebanyak 49 motif lain masih dalam proses pengakuan tersebut. Di antaranya motif bungo ayam, semanggi, jupri, maskot, dan dua warna bunga kayu apui.

Selain di Sumatera Selatan, tenun songket juga berkembang di hampir semua daerah di Sumatera, namun dengan motif yang berbeda-beda.

Industri kecil kerajinan tenun songket Palembang terus mengalami pertumbuhan . Menurut data Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Palembang, saat ini tercatat sekitar 150 pemilik usaha kerajinan tenun songket di Palembang.

Masing-masing pemilik usaha mempunyai perajin upahan rata-rata 5-10 orang. Perajin upahan ini umumnya ibu-ibu rumah tangga di sekitar pemilik usaha songket.

Budayawan dan pemerhati Songket Sumatera Selatan, Ali Hanafiah, mengatakan, pertumbuhan kerajinan songket didukung oleh masih tingginya minat masyarakat Sumatera Selatan terhadap kain songket.

Hal ini didorong pula dengan berkembangnya kain-kain songket dengan harga relatif murah sehingga terjangkau oleh masyarakat banyak. Di masa lalu, kata Ali, kain songket biasanya dihiasi dengan serat emas asli dan digunakan sebagai lambang status sosial bangsawan Kesultanan Palembang.

"Harga kain songket pun menjadi sangat mahal sehingga hanya bisa dimiliki kalangan berada. Tapi sekarang berbeda. Sudah ada pergeseran budaya, sehingga songket bisa juga dimiliki masyarakat umum," ucapnya.

Perajin dan desainer songket asal Palembang, Zainal Abidin, mengatakan, pengakuan terhadap motif-motif tenun songket Palembang tersebut akan memperkuat posisi pengrajin dan pengusaha songket dari klaim dari negara lain.

Tanpa ada perlindungan seperti ini, motif tenun songket Palembang dapat dibuat dan diklaim di negara-negara lain. "Bisa-bisa kita sendiri kalah denan mereka karena modal mereka biasanya besar," tuturnya.

Saat ini, jumlah perajin di Zainal Songket sekitar 150 orang. Selain di Palembang, Zainal juga telah membuka gerai di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia. Promosi tenun songket Palembang juga telah dilakukan di sejumlah negara seperti Malaysia, Paris, Jepang, negara-negara tetangga, dan negara-negara Timur Tengah.