Kamis, 22 Desember 2011

Geliat Kreasi Baru Tenun Bali

Kain tenun bukan hanya buah keterampilan turun-temurun bagi masyarakat Bali, melainkan juga bentuk identitas kultural dan artefak ritual. Di luar lingkup tradisi masyarakat daerah tujuan wisata itu, kain tenun Bali pun tidak sebatas cendera mata, tetapi terus berkembang sebagai komoditas berbasis budaya.

Desa Sidemen di Kabupaten Karangasem dikenal sebagai salah satu sentra produksi kain tenun di Bali. Menenun kain menjadi aktivitas sehari-hari di hampir semua rumah di desa khas Bali ini.

Kehijauan alami mendominasi pemandangan di Sidemen. Keindahan sawah berundak membuat pelancong tidak terganggu dengan kecuraman tebing yang membatasi jalan-jalan sempit menuju Sidemen, sekitar dua jam perjalanan dari Denpasar.

Di Sidemen, Swastika merupakan salah satu toko dan usaha tenun yang menonjol. Usaha ini dimiliki oleh I Gusti Ayu Oka (50). Tempat usaha ini berupa bangunan tiga lantai yang kokoh, dengan suguhan pemandangan alam memukau yang leluasa dinikmati dari balkon lantai atas.

”Semua orang di desa ini bisa menenun, belajar dari orang tua kami dulu,” ujar Oka. Namun, pada masa lalu sejumlah warga hanya menenun untuk keperluan keluarga sendiri berupacara. Sebagian lagi menenun untuk memenuhi permintaan warga Bali di bagian lain pulau indah ini, juga untuk keperluan upacara.

Dalam penggolongan paling sederhana, terdapat dua jenis kain tenun di Bali. Kain tenun ikat, biasa disebut endek, dipakai sehari-hari. Sementara kain tenun songket digunakan untuk beragam upacara penting dalam siklus kehidupan masyarakat Bali, antara lain upacara potong gigi, perkawinan, hari raya, dan kremasi.

Di Swastika, endek bisa dibeli dengan harga dari Rp 200.000 hingga Rp 1 juta per lembar. Sementara songket produksi Oka dijual dari Rp 1 juta hingga Rp 15 juta per lembar. Waktu pengerjaan setiap helai kain ini juga bervariasi, dari beberapa pekan hingga empat bulanan.

Oka mengatakan, meski sejak kanak-kanak akrab dengan tenunan, ia baru mulai menggeluti usaha ini sejak 1990. ”Sebelumnya saya jualan makanan jajan. Saya usung di atas kepala keliling desa setiap hari,” ujarnya.

Oka mulai dengan mengerjakan sendiri seluruh proses membuat kain tenun. Kini ia mengupah sekitar 50 perajin di desanya. Sebagian besar pembuatan kain tenun itu dikerjakan di masing-masing rumah perajin.

Di rumah para perajin ini, anggota keluarga yang lain juga dapat membantu. Putu Wijaya (11), siswa kelas V SD di Sidemen, misalnya, sudah menguasai teknik ikat. Teknik ini adalah bagian penting dari produksi kain tenun Bali.

Proses menghasilkan sehelai kain tenun ikat akan dimulai dengan memintal benang. Kemudian benang dibentangkan di alat perentang, dan helaiannya diikat dengan tali rafia sesuai pola ragam hias dan warna yang diinginkan.

Setelah pengikatan berpola tersebut, benang dicelup atau diwarnai. Benang yang sudah diwarnai kemudian di-gintir atau dipilah, lalu baru ditenun menjadi kain.

Pada tenun songket, kain ditenun dengan menyisipkan benang perak, emas, tembaga, atau benang warna di atas lungsin yang mendasari. Penempatan tambahan benang ini membentuk corak yang diinginkan dan adakalanya dipadu pula dengan teknik ikat.

Kreasi baru
Bagi kalangan yang ingin menggunakan kain tenun sebagai produk fashion, bukan demi kepentingan upacara, persoalan klasik menyangkut kain ini adalah ketebalan dan kekakuannya. Akibatnya, pada waktu lalu, kain songket tidak mudah digunakan dalam beragam model busana.

Merespons persoalan itu, Cita Tenun Indonesia (CTI) bekerja sama dengan Garuda Indonesia membentuk tim pembinaan perajin tenun di beberapa daerah, termasuk di Bali. Dalam tim ini, antara lain terdapat desainer tekstil, Ratna Panggabean, dan desainer fashion, Priyo Oktaviano.

”Dulu penenun memakai benang rangkap dua. Kain jadi tebal dan kaku. Sekarang kita perkenalkan tenunan dengan benang satu. Pengerjaannya makan waktu dua kali lipat lebih lama. Harga juga jauh lebih mahal, tetapi hasilnya, kain yang halus dan lembut,” ujar Ratna.

Kreasi baru juga diterapkan dalam pengaturan motif, ragam hias ikat dan songket, serta pewarnaan.

”Untuk upacara ritual, corak menjadi sakral kalau sudah diberkati, itu tidak diganggu. Namun, pada dasarnya orang Bali sangat terbuka dengan corak-corak baru yang diambil dari alam di sekitarnya, misal corak bunga dan daun,” ujar Priyo.

Warna dasar tenun bali umumnya warna cerah. Oleh karena itu, dikembangkan pula kreasi warna baru yang lebih natural, warna pastel, dengan bahan pewarnaan alam.

Oka dan para perajin lain yang dibina CTI di Sidemen, antara lain Ni Nyoman Suryasih dan I Wayan Suartana, merasakan bahwa kreasi baru tersebut memperluas pasar kain tenun produksi mereka. ”Selama saya buat tenun, penjualan pada 2010 lalu yang paling melonjak,” ujar Suryasih.

Ridwan Edi, pengelola program tanggung jawab sosial perusahaan Garuda Indonesia yang bekerja sama dengan CTI, menjelaskan, pelatihan dilakukan antara lain dengan memberi ”PR” bagi para perajin untuk membuat kain dengan metode baru pewarnaan, motif, atau teknik penenunan. Bila dikerjakan dengan baik, hasilnya dibeli oleh tim dengan harga tinggi. Sebaliknya, tidak akan dibeli jika tak sesuai pesanan dengan kreasi baru itu.

Setelah teknik dan corak kreasi baru dikuasai, mitra binaan mendapat pinjaman modal untuk mengembangkan usaha. Mitra ini digandeng pula untuk berpameran, bahkan hingga ke luar negeri.

Berpameran tidak hanya dapat mempromosikan karya para perajin, tetapi juga menyadarkan bahwa kreasi adalah proses yang tidak boleh berhenti.