Kamis, 22 Desember 2011

Geliat Kreasi Baru Tenun Bali

Kain tenun bukan hanya buah keterampilan turun-temurun bagi masyarakat Bali, melainkan juga bentuk identitas kultural dan artefak ritual. Di luar lingkup tradisi masyarakat daerah tujuan wisata itu, kain tenun Bali pun tidak sebatas cendera mata, tetapi terus berkembang sebagai komoditas berbasis budaya.

Desa Sidemen di Kabupaten Karangasem dikenal sebagai salah satu sentra produksi kain tenun di Bali. Menenun kain menjadi aktivitas sehari-hari di hampir semua rumah di desa khas Bali ini.

Kehijauan alami mendominasi pemandangan di Sidemen. Keindahan sawah berundak membuat pelancong tidak terganggu dengan kecuraman tebing yang membatasi jalan-jalan sempit menuju Sidemen, sekitar dua jam perjalanan dari Denpasar.

Di Sidemen, Swastika merupakan salah satu toko dan usaha tenun yang menonjol. Usaha ini dimiliki oleh I Gusti Ayu Oka (50). Tempat usaha ini berupa bangunan tiga lantai yang kokoh, dengan suguhan pemandangan alam memukau yang leluasa dinikmati dari balkon lantai atas.

”Semua orang di desa ini bisa menenun, belajar dari orang tua kami dulu,” ujar Oka. Namun, pada masa lalu sejumlah warga hanya menenun untuk keperluan keluarga sendiri berupacara. Sebagian lagi menenun untuk memenuhi permintaan warga Bali di bagian lain pulau indah ini, juga untuk keperluan upacara.

Dalam penggolongan paling sederhana, terdapat dua jenis kain tenun di Bali. Kain tenun ikat, biasa disebut endek, dipakai sehari-hari. Sementara kain tenun songket digunakan untuk beragam upacara penting dalam siklus kehidupan masyarakat Bali, antara lain upacara potong gigi, perkawinan, hari raya, dan kremasi.

Di Swastika, endek bisa dibeli dengan harga dari Rp 200.000 hingga Rp 1 juta per lembar. Sementara songket produksi Oka dijual dari Rp 1 juta hingga Rp 15 juta per lembar. Waktu pengerjaan setiap helai kain ini juga bervariasi, dari beberapa pekan hingga empat bulanan.

Oka mengatakan, meski sejak kanak-kanak akrab dengan tenunan, ia baru mulai menggeluti usaha ini sejak 1990. ”Sebelumnya saya jualan makanan jajan. Saya usung di atas kepala keliling desa setiap hari,” ujarnya.

Oka mulai dengan mengerjakan sendiri seluruh proses membuat kain tenun. Kini ia mengupah sekitar 50 perajin di desanya. Sebagian besar pembuatan kain tenun itu dikerjakan di masing-masing rumah perajin.

Di rumah para perajin ini, anggota keluarga yang lain juga dapat membantu. Putu Wijaya (11), siswa kelas V SD di Sidemen, misalnya, sudah menguasai teknik ikat. Teknik ini adalah bagian penting dari produksi kain tenun Bali.

Proses menghasilkan sehelai kain tenun ikat akan dimulai dengan memintal benang. Kemudian benang dibentangkan di alat perentang, dan helaiannya diikat dengan tali rafia sesuai pola ragam hias dan warna yang diinginkan.

Setelah pengikatan berpola tersebut, benang dicelup atau diwarnai. Benang yang sudah diwarnai kemudian di-gintir atau dipilah, lalu baru ditenun menjadi kain.

Pada tenun songket, kain ditenun dengan menyisipkan benang perak, emas, tembaga, atau benang warna di atas lungsin yang mendasari. Penempatan tambahan benang ini membentuk corak yang diinginkan dan adakalanya dipadu pula dengan teknik ikat.

Kreasi baru
Bagi kalangan yang ingin menggunakan kain tenun sebagai produk fashion, bukan demi kepentingan upacara, persoalan klasik menyangkut kain ini adalah ketebalan dan kekakuannya. Akibatnya, pada waktu lalu, kain songket tidak mudah digunakan dalam beragam model busana.

Merespons persoalan itu, Cita Tenun Indonesia (CTI) bekerja sama dengan Garuda Indonesia membentuk tim pembinaan perajin tenun di beberapa daerah, termasuk di Bali. Dalam tim ini, antara lain terdapat desainer tekstil, Ratna Panggabean, dan desainer fashion, Priyo Oktaviano.

”Dulu penenun memakai benang rangkap dua. Kain jadi tebal dan kaku. Sekarang kita perkenalkan tenunan dengan benang satu. Pengerjaannya makan waktu dua kali lipat lebih lama. Harga juga jauh lebih mahal, tetapi hasilnya, kain yang halus dan lembut,” ujar Ratna.

Kreasi baru juga diterapkan dalam pengaturan motif, ragam hias ikat dan songket, serta pewarnaan.

”Untuk upacara ritual, corak menjadi sakral kalau sudah diberkati, itu tidak diganggu. Namun, pada dasarnya orang Bali sangat terbuka dengan corak-corak baru yang diambil dari alam di sekitarnya, misal corak bunga dan daun,” ujar Priyo.

Warna dasar tenun bali umumnya warna cerah. Oleh karena itu, dikembangkan pula kreasi warna baru yang lebih natural, warna pastel, dengan bahan pewarnaan alam.

Oka dan para perajin lain yang dibina CTI di Sidemen, antara lain Ni Nyoman Suryasih dan I Wayan Suartana, merasakan bahwa kreasi baru tersebut memperluas pasar kain tenun produksi mereka. ”Selama saya buat tenun, penjualan pada 2010 lalu yang paling melonjak,” ujar Suryasih.

Ridwan Edi, pengelola program tanggung jawab sosial perusahaan Garuda Indonesia yang bekerja sama dengan CTI, menjelaskan, pelatihan dilakukan antara lain dengan memberi ”PR” bagi para perajin untuk membuat kain dengan metode baru pewarnaan, motif, atau teknik penenunan. Bila dikerjakan dengan baik, hasilnya dibeli oleh tim dengan harga tinggi. Sebaliknya, tidak akan dibeli jika tak sesuai pesanan dengan kreasi baru itu.

Setelah teknik dan corak kreasi baru dikuasai, mitra binaan mendapat pinjaman modal untuk mengembangkan usaha. Mitra ini digandeng pula untuk berpameran, bahkan hingga ke luar negeri.

Berpameran tidak hanya dapat mempromosikan karya para perajin, tetapi juga menyadarkan bahwa kreasi adalah proses yang tidak boleh berhenti.

Jumat, 18 November 2011

Jenis Tapis Lampung Menurut Asal dan Pemakaiannya

Jenis Tapis Lampung Menurut Asalnya

Beberapa kain tapis yang umum digunakan masyarakat Lampung Pepadun dan Lampung Saibatin adalah :

Tapis Lampung dari Pesisir :

Tapis Inuh Tapis Cucuk Andak Tapis Semaka Tapis Kuning Tapis Cukkil Tapis Jinggu

Tapis lampung dari Pubian Telu Suku :

Tapis Jung Sarat Tapis Balak Tapis Laut Linau Tapis Raja Medal Tapis Pucuk Rebung Tapis Cucuk Handak Tapis Tuho Tapis Sasap Tapis Lawok Silung Tapis Lawok Handak

Tapis Lampung dari Sungkai Way Kanan :

Tapis Jung Sarat Tapis Balak Tapis Pucuk Rebung Tapis Halom/Gabo Tapis Kaca Tapis Kuning Tapis Lawok Halom Tapis Tuha Tapis Raja Medal Tapis Lawok Silung

Tapis Lampung dari Tulang Bawang Mego Pak:

Tapis Dewosano Tapis Limar Sekebar Tapis Ratu Tulang Bawang Tapis Bintang Perak Tapis Limar Tunggal Tapis Sasab Tapis Kilap Turki Tapis Jung Sarat Tapis Kaco Mato di Lem Tapis Kibang Tapis Cukkil Tapis Cucuk Sutero

Tapis Lampung dari Abung Siwo Mego :

Tapis Rajo Tunggal Tapis Lawet Andak Tapis Lawet Silung Tapis Lawet Linau Tapis Jung Sarat Tapis Raja Medal Tapis Nyelem di Laut Timbul di Gunung Tapis Cucuk Andak Tapis Balak Tapis Pucuk Rebung Tapis Cucuk Semako Tapis Tuho Tapis Cucuk Agheng Tapis Gajah Mekhem Tapis Sasap Tapis Kuning Tapis Kaco Tapis Serdadu Baris


Jenis Tapis Lampung Menurut Pemakainnya :

Tapis Jung Sarat

Dipakai oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat. Dapat juga dipakai oleh kelompok isteri kerabat yang lebih tua yang menghadiri upacara mengambil gelar, pengantin serta muli cangget (gadis penari) pada upacara adat.

Tapis Raja Tunggal

Dipakai oleh isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara perkawinan adat, pengambilan gelar pangeran dan sutan.

Di daerah Abung Lampung Utara dipakai oleh gadis-gadis dalam menghadiri upacara adat.

Tapis Raja Medal

Dipakai oleh kelompok isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara adat seperti : mengawinkan anak, pengambilan gelar pangeran dan sutan.

Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini digunakan oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat.

Tapis Laut Andak

Dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada acara adat cangget. Dipakai juga oleh Anak Benulung (isteri adik) sebagai pengiring pada upacara pengambilan gelar sutan serta dipakai juga oleh menantu perempuan pada acara pengambilan gelar sutan.

Tapis Balak

Dipakai oleh kelompok adik perempuan dan kelompok isteri anak seorang yang sedang mengambil gelar pangeran pada upacara pengambilan gelar atau pada upacara mengawinkan anak. Tapis ini dapat juga dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada upacara adat.

Tapis Silung

Dipakai oleh kelompok orang tua yang tergolong kerabat dekat pada upacara adat seperti mengawinkan anak, pengambilan gelar, khitanan dan lain-lain. Dapat juga dipakai pada saat pengarakan pengantin.

Tapis Laut Linau

Dipakai oleh kerabat isteri yang tergolong kerabat jauh dalam menghadiri upacara adat. Dipakai juga oleh para gadis pengiring pengantin pada upacara turun mandi pengantin dan mengambil gelar pangeran serta dikenakan pula oleh gadis penari (muli cangget).

Tapis Pucuk Rebung

Tapis ini dipakai oleh kelompok ibu-ibu/para isteri untuk menghadiri upacara adat.

Di daerah Menggala tapis ini disebut juga tapis balak, dipakai oleh wanita pada saat menghadiri upacara adat.

Tapis Cucuk Andak

Dipakai oleh kelompok isteri keluarga penyimbang (kepala adat/suku) yang sudah bergelar sutan dalam menghadiri upacara perkawinan, pengambilan gelar adat.

Di daerah Lampung Utara tapis ini dipakai oleh pengantin wanita dalam upacara perkawinan adat.

Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini dipakai oleh ibu-ibu pengiring pengantin pada upacara adat perkawinan.

Tapis Limar Sekebar

Tapis ini dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat serta dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin dalam upacara adat.

Tapis Cucuk Pinggir

Dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat dan dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin pada upacara perkawinan adat.

Tapis Tuho

Tapis ini dipakai oleh seorang isteri yang suaminya sedang mengambil gelar sutan. Dipakai juga oleh kelompok orang tua (mepahao) yang sedang mengambil gelar sutan serta dipakai pula oleh isteri sutan dalam menghadiri upacara pengambilan gelar kerabatnya yang dekat.

Tapis Agheng/Areng

Dipakai oleh kelompok isteri yang sudah mendapat gelar sutan (suaminya) pada upacara pengarakan naik pepadun/pengambilan gelar dan dipakai pula oleh pengantin sebagai pakaian sehari-hari.

Tapis Inuh

Kain tapis ini umumnya dipakai pada saat menghadiri upacara-upacara adat. Tapis ini berasal dari daerah Krui, Lampung Barat.

Tapis Dewosano

Di daerah Menggala dan Kota Bumi, kain tapis ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat menghadiri upacara adat.

Tapis Kaca

Tapis ini dipakai oleh wanita-wanita dalam menghadiri upacara adat. Bisa juga dipakai oleh wanita pengiring pengantin pada upacara adat. Tapis ini di daerah Pardasuka Lampung Selatan dipakai oleh laki-laki pada saat upacara adat.

Tapis Bintang

Tapis Bintang ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat upacara adat.

Tapis Bidak Cukkil

Model kain Tapis ini dipakai oleh laki-laki pada saat menghadiri upacara-upacara adat.

Tapis Bintang Perak

Tapis ini dapat dipakai pada upacara-upacara adat dan berasal dari daerah Menggala, Lampung Utara.

Kamis, 06 Oktober 2011

Sejarah Tenun Tapis Lampung

Kain Tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat. 

Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang lampung telah menenun kain Brokat yang disebut Nampan (Tampan) dan kain Pelepai sejak abad II masehi. Motif kain ini ialah kait dan konci (Key and Rhomboid shape), pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh. Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh taradisi Neolithikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia. 

Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis ini. Walaupun unsur baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan. Adanya komunikasi dan lalu lintas antar kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan jaman bahari sudah mulai berkembang sejak jaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam antara tahun 1500 1700.


Bermula dari latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi seniman pencipta jelas mempengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-ide pada kehidupan sehari-hari yang berlangsung disekitar lingkungan seniman dimana ia tinggal. Penggunaan transportasi pelayaran saat itu dan alam lingkungan laut telah memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal. Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan. Dalam perkembangannya, ternyata tidak semua suku Lampung menggunakan Tapis sebagai sarana perlengkapan hidup. Diketahui suku Lampung yang umum memproduksi dan mengembangkan tenun Tapis adalah suku Lampung yang beradat Pepadun.

Bahan dan Peralatan Tenun Tapis Lampung

Bahan Dasar Tapis Lampung : Kain tapis Lampung yang merupakan kerajinan tenun tradisional masyarakat Lampung ini dibuat dari benang katun dan benang emas. Benang katun adalah benang yang berasal dari bahan kapas dan digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan kain tapis, sedangkan benang emas dipakai untuk membuat ragam hias pada tapis dengan sistim sulam. Pada tahun 1950, para pengrajin tapis masih menggunakan bahan hasil pengolahan sendiri, khususnya untuk bahan tenun. Proses pengolahannya menggunakan sistim ikat, sedangkan penggunaan benang emas telah dikenal sejak lama.

Bahan-bahan baku itu antara lain : • Khambak/kapas digunakan untuk membuat benang. • Kepompong ulat sutera untuk membuat benang sutera. • Pantis/lilin sarang lebah untuk meregangkan benang. • Akar serai wangi untuk pengawet benang. • Daun sirih untuk membuat warna kain tidak luntur. • Buah pinang muda, daun pacar, kulit kayu kejal untuk pewarna merah. • Kulit kayu salam, kulit kayu rambutan untuk pewarna hitam. • Kulit kayu mahoni atau kalit kayu durian untuk pewarna coklat. • Buah deduku atau daun talom untuk pewarna biru. • Kunyit dan kapur sirih untuk pewarna kuning.

Pada saat ini bahan-bahan tersebut diatas sudah jarang digunakan lagi, oleh karena pengganti bahan-bahan diatas tersebut sudah banyak diperdagangkan di pasaran. Peralatan Tenun kain Tapis : Proses pembuatan tenun kain tapis menggunakn peralatan-peralatan sebagai berikut : • Sesang yaitu alat untuk menyusun benang sebelum dipasang pada alat tenun. • Mattakh yaitu alat untuk menenun kain tapis yang terdiri dari bagian

Alat-alat : • Terikan (alat menggulung benang) • Cacap (alat untuk meletakkan alat-alat mettakh) • Belida (alat untuk merapatkan benang) • Kusuran (alat untuk menyusun benang dan memisahkan benang) • Apik (alat untuk menahan rentangan benang dan menggulung hasil tenunan) • Guyun (alat untuk mengatur benang) • Ijan atau Peneken (tunjangan kaki penenun) • Sekeli (alat untuk tempat gulungan benang pakan, yaitu benang yang dimasukkan melintang) • Terupong/Teropong (alat untuk memasukkan benang pakan ke tenunan) • Amben (alat penahan punggung penenun) • Tekang yaitu alat untuk merentangkan kain pada saat menyulam benang emas.

Rabu, 21 September 2011

Mary Hunt Kahlenberg Menduniakan Keindahan Kain Indonesia

Sudah banyak buku ditulis mengenai tekstil Indonesia, tetapi kain Nusantara seperti sihir yang mendorong banyak orang terus menggali dan menuliskan tentangnya. Begitu juga dengan Mary Hunt Kahlenberg.
Dia memilih judul The Mary Hunt Kahlenberg Collection, Five Centuries of Indonesian Textiles (2010), karena di antara kain asli Nusantara koleksinya, terdapat tenun dari abad ke-15. Umumnya kurator dan kolektor kain skeptis terhadap kemampuan kain Nusantara bertahan ratusan tahun, karena dibuat lokal dan dikenakan sehari-hari, kain dapat diganti setiap saat begitu lapuk.

”Banyak orang meragukan kain asli Indonesia dapat bertahan dalam waktu panjang, mengingat udara yang panas dan lembap, serta cara penyimpanannya,” papar Kahlenberg di Museum Tekstil Jakarta, Desember lalu.

Kahlenberg yang tinggal di Santa Fe, AS, datang ke Jakarta bersama suaminya, Robert T Coffland, untuk diskusi buku yang diadakan antara lain oleh Museum Tekstil dan Perhimpunan Wastreprema. Ia merasa tertantang membuktikan usia kain Nusantara dengan lebih akurat. Selain memakai metode sejarah-seni, yaitu membandingkan corak atau tenunan dengan monumen arsitektur dan lukisan manuskrip sezaman, juga dengan uji karbon C-14.

Tahun 2003, ia mengirim contoh benang tenun dari tiga kain koleksinya, masing-masing dari Poso, Sulawesi Tengah; Komering di Sumatera Selatan; dan Timor di NTT, untuk uji karbon di Swiss.

Hasilnya, kain Komering berasal dari tahun 1403-1501 dengan kemungkinan 98,5 persen. Benang lungsi terbuat dari sutra dan benang pakannya katun bercorak ikat pakan cukup rumit. Kain ini juga memakai benang emas di tepinya. Sedangkan kain dari Poso diduga berasal dari tahun 1419-1627 dengan peluang 95 persen, sementara kain dari Timor diperkirakan berasal dari tahun 1419-1520.

”Uji tersebut membuktikan kain Indonesia dapat bertahan melalui waktu karena dijaga sebagai benda berharga milik keluarga. Kualitas kain-kain tersebut masih bagus. Tradisi menjaga kain sebagai benda berharga harus dipertahankan,” paparnya.

Cinta
Pertanyaan yang sering ditujukan kepada Kahlenberg, mengapa mencintai kain, terutama kain Indonesia? Ia bercerita, tumbuh besar dalam keluarga yang mengoleksi aneka pita dan perca kain yang dianyam para perempuan di keluarga besarnya. Hal itu memesona Kahlenberg, apalagi kemudian neneknya memberi pita-pita koleksinya untuk dia.

Tentang kain Indonesia, ia mengaku alasannya tak rasional. Dia jatuh cinta begitu saja saat pertama kali melihat foto kain Indonesia yang dikirim ahli dan penjual kain asal Belanda, Laurens Langewis. Pertengahan tahun 1960-an itu, Kahlenberg adalah kurator Museum Tekstil, Washington, AS. Foto-foto tersebut mendorongnya membaca lebih dalam buku tulisan Langewis dan Frits A Wagner, Decorative Art in Indonesian Textiles (1964). Dia paling tertarik pada tapis Lampung yang belakangan dia tahu bercorak cumi-cumi.

”Saya terpukau kerumitan corak dan kualitas pembuatannya. Juga kain Indonesia lain, seperti teknik rintang warna pada batik dan berbagai teknik tenun. Itu titik balik penting dalam hidup saya. Sayangnya, tak satu pun dari kain yang ditawarkan itu dibeli museum,” kenangnya.
Rasa penasaran Kahlenberg terobati ketika tahun 1969 pindah ke Los Angeles County Museum of Arts (LACMA) dan menjadi kepala bagian kostum dan kain. Dalam posisi itu, dia terbang pertama kali ke Kalimantan pada 1973. Tahun 1977, dia menyelenggarakan pameran ”Textile Traditions of Indonesia” di LACMA dan menjadi pameran besar pertama di AS khusus tentang kain Indonesia.

Selama 35 tahun sesudahnya, ia menjelajahi pulau-pulau Indonesia. Posisi suami pertamanya sebagai diplomat memberinya kesempatan belajar tekstil di Eropa dan mengunjungi museum untuk mempelajari kain Indonesia, sampai sempat terkunci sendirian. ”Saya tak ingin menyebut nama museumnya,” katanya diiringi tawa.

Di Indonesia, Kahlenberg membangun hubungan dengan orang-orang yang dia temui di desa dan kota, serta membentuk pengetahuan tentang lapis-lapis rumit pemahaman masyarakat Indonesia mengenai kehidupan religius dan sejarahnya yang berkaitan dengan fungsi kain dalam kehidupan.

”Bertemu dengan orang-orang yang membuat dan memakai kain itu sangat menarik, cara menenun dan menangani kain, juga detail kehidupan lainnya,” katanya.
Dia menemukan kesamaan dengan pengalamannya masa kecil, yaitu tradisi pembuatan dan perawatan kain diturunkan dari ibu kepada anak perempuan.

Ia berharap masyarakat dapat menjaga kualitas kain Indonesia karena berhubungan erat dengan tradisi yang dihidupi masyarakat sendiri. Terutama kini, ketika kain diperdagangkan dan kualitas ditentukan pembeli. ”Tentu, kain harus berkembang mengikuti perubahan waktu. Tetapi, sebagai pembeli, kita harus berusaha membeli kain yang bagus,” tandasnya.

Mengenalkan Indonesia

Meskipun kini tak terlalu kerap ke Indonesia, dia mengaku terus meriset kain. Bukunya, setebal 398 halaman termasuk indeks, bercerita tentang masyarakat pembuat kain-kain tersebut. Koleksinya lebih berdasar kualitas istimewa kain daripada kumpulan kain karena komunitas pembuatnya.

Melalui koleksi 350 lebih kain dan penjelasan yang ditulis beberapa ahli kain, antara lain Ruth Barnes dan Rens Heringa, pembaca diajak mengenal cara masyarakat Nusantara memandang dunia dalam dan dunia luar, yang bahkan bagi banyak pembaca Indonesia sekali pun merupakan pengetahuan baru.

Sebagai sarjana sejarah seni, Kahlenberg mendekati kain Indonesia melalui kacamata antropologi, seperti umum dilakukan para ahli kain, serta pendekatan seni dan sejarah. ”Menulis dari sisi seni lebih sulit karena menyampaikan apa yang kita rasakan, bagaimana pengaruh emosionalnya ketika kita melihat (kain),” ungkapnya.

Tantangan lain, meyakinkan masyarakat dunia, terutama di Barat, kain Indonesia adalah karya seni, bukan sekadar kriya. Oleh karena itu, dia berusaha membuat buku ini indah. ”Untuk membuat orang membaca dan melihat, lalu berpikir, oh (kain-kain) ini indah,” ungkap Mary Hunt Kahlenberg.

Jumat, 05 Agustus 2011

Kemilau Songket Minang

Kreativitas para perancang busana ternyata identik dengan keberuntungan. Tidak saja keberuntungan secara finansial yang diraih perancang dan perajin, tetapi juga keberuntungan bagi tumbuhnya sebuah kebudayaan. Secara sosial-ekonomi, industri tenun songket merupakan salah satu tulang punggung ekonomi rakyat yang cukup penting. Industri kecil masih tetap bertahan sebagai kegiatan ekonomi rakyat kecil.


Riny Suwardy menciptakan satu kolaborasi rancak dan bagi selembar kain songket Minang menjadi perpaduan yang sejiwa dengan kebaya-kebayanya. Ia tertarik mengangkat songket Minang karena kagum dengan motif-motif yang unik dan bermakna filosofis. Apalagi secara kualitas, menurut penelitian pakar tenun songket dunia dari Swiss, Bernhard Bart, merupakan tenun songket terhalus dan unik di dunia.
”Setelah membandingkan dengan sejumlah songket daerah lain, ternyata songket Minang lebih halus, motifnya beragam dan punya makna filosofis. Punya makna tersirat dan makna tersurat, bahkan makna tersuruk (tersembunyi). Di dalamnya terdapat simbol-simbol ajaran adat Minangkabau,” kata Riny Suwardy.

Motif  Bungo Antimun Dalam Songket Minang

Ia mencontohkan, motif bungo antimun . Simbol yang diambil dari tanaman mentimun (Cucumis sativus) bukan saja dari manfaat ataupun dari bentuk fisiknya, melainkan dari cara tumbuhnya yang menjalar atau merambat. Ketika menjalar, tanaman ini selalu menanamkan akar dari tiap ruasnya dan melekatkan akar tersebut pada kayu penopang.
Kata-kata adat mengungkapkan: Bak mantimun marantang tali (Ibarat mentimun merentang tali). Makna tersurat, yaitu mentimun bergerak merambat dengan perhitungan yang matang. Setahap demi setahap ia tanamkan akarnya pada tempat tumbuhnya, ruas demi ruas untuk terus bertumbuh.
Makna tersirat dari sifat ini, yaitu adanya perhitungan yang matang dalam melaksanakan rencana dan menyelesaikan masalah dengan langkah yang sistematis dan mengakar. Dalam kerangka berpikir teoretis demikian pula, gagasan yang diajukan haruslah mempunyai argumentasi yang jelas dengan dalil yang kuat.
”Motif bungo antimun menggambarkan ekspresi jiwa dan pikiran seseorang yang berkembang secara wajar dan bebas, tetapi tetap terikat pada nilai-nilai moral yang berlaku di dalam masyarakat. Bebas tetapi bertanggung jawab,” kata Riny.
Budayawan Edy Utama yang ditemui secara terpisah, awal Juli 2010 di Padang, mengatakan, songket Minang merupakan songket yang paling halus di dunia, serta memiliki motif-motif unik dan cerdas. Di dalam setiap motif mengandung nilai-nilai ajaran adat Minangkabau. Maknanya simbolik.

KebudayaanSongket Minangkabau Mulai Dihargai


Membuat songket membutuhkan ketelitian dan ketekunan. Bahkan, untuk menghasilkan songket yang halus dan berkualitas, kehati-hatian dan ketelitian diperlukan sekali. Jika selama ini warga malas bekerja membuat songket karena persoalan waktu dan kecilnya penghargaan, sejak beberapa tahun terakhir kondisinya berubah.


Di Studio Songket ErikaRianti, Bukittinggi, misalnya, ada tujuh orang yang terampil membuat songket. Sistem yang diterapkan, membuat ketujuh orang itu betah bekerja. ”Pekerja adalah mitra. Mereka harus dihargai secara wajar dan membuat mereka tetap betah,” kata Nanda Wirawan, pimpinan Studio Songket ErikaRianti.
Menurut Sukriyah (23), perempuan lajang yang bekerja di rumah songket, ia tertarik bekerja, selain mengagumi songket Minang, juga karena ia bisa sekaligus belajar banyak hal di Studio Songket. ”Karena songket yang dibuat bukan yang pasaran, tetapi yang sangat bernilai tinggi. Songket lama, berusia ratusan tahun yang dibuat kembali replikanya. Ini sesuatu yang langka dan membanggakan bisa mengerjakannya,” ujarnya.
Soal penghargaan, Sukriyah mengaku lebih baik. Karena selain dapat uang harian (uang makan dan gajian harian) Rp 20.000 per hari, juga ada uang lembur. ”Jika songket selesai dibuat, kami dapat lagi Rp 1 juta sampai Rp 1,8 juta per bulan, tergantung nilai jual songket yang kami buat,” katanya. Kalau ingin cepat selesai, bisa lembur dan juga dibayar.
Di Studio Songket juga ada dua remaja pria lulusan sekolah menengah kejuruan yang bekerja di situ. ”Bisa membuat songket, yang orang lain tak bisa, merupakan suatu kebanggaan. Sembari membuat songket, sekaligus juga belajar bagaimana membuat motif-motif songket lama. Soal penghargaan, dibayar secara profesional dan lumayan besar. Kisarannya Rp 1 juta sampai Rp 3 juta, di luar uang makan dan uang harian yang Rp 20.000 per hari,” kata Dodi (21).
Pendapatan per bulan dari membuat songket bagi Dodi sudah lumayan besar, bisa menutupi kebutuhan sehari-hari dan malah bisa menabung. ”Saya menyenangi pekerjaan ini walau mungkin amat jarang laki-laki yang bekerja membuat songket. Keterampilan yang menuntut keahlian pada dasarnya siapa saja bisa, baik laki-laki maupun wanita,” tambahnya.

Tradisi Menenun Songket Tumbuh Integral Dengan Kebudayaan Minangkabau

Ketua Umum Dewan Kerajinan Nasional Hj Mufidah Jusuf Kalla, yang juga memproduksi songket Minang dengan label ”Rumah Songket”, mengatakan, tradisi menenun songket dalam masyarakat Minangkabau tumbuh dan berkembang bersamaan dengan kebudayaan Minangkabau itu sendiri.
”Itu pula sebabnya fungsi dan kain songket dalam kehidupan masyarakat Minangkabau menjadi bagian yang integral dari kehidupan budayanya. Kain songket merupakan ekspresi budaya Minangkabau yang sekaligus juga menjadi kekuatan sosial ekonomi bagi masyarakat setempat,” katanya.
Sementara Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Sumatera Barat Ny Hj Vita Gamawan Fauzi mengatakan, di Sumbar terdapat sejumlah sentra tenunan songket. Ada sentra yang masih tetap berkembang saat ini dan ada pula yang tidak lagi memproduksi.
Vita menunjuk daerah yang pernah menjadi sentra tenunan songket, seperti Nagari Koto Gadang, Nagari Kubang, Nagari Sungayang, Nagari Pitalah, dan di antara yang masih tetap berkembang antara lain Nagari Pandai Sikek dan Nagari Silungkang.
”Namun, dalam dasawarsa belakangan ini, beberapa nagari di Sumatera Barat juga tumbuh sejumlah sentra industri tenun baru, seperti di Kota Padang, Payakumbuh, Solok, dan beberapa daerah lainnya,” ungkap Ny Hj Vita Gamawan Fauzi

Revitalisasi Songket Minangkabau Yang Merupakan Songket Terbaik Dunia

Peneliti songket asal Swiss, Bernhard Bart, menyebutkan, dari hasil penelitiannya selama 10 tahun di sejumlah negara dan kota-kota penghasil songket di Indonesia, songket Minang merupakan yang terhalus dan sangat kaya dengan motif-motif bermakna simbolik dan filosofis.
”Kalau kita cermati produk-produk budaya Minangkabau yang dihasilkan sekitar 100 tahun lalu, seperti hasil kerajinan songket, memang memperlihatkan Minangkabau memiliki kualitas yang patut dibanggakan. Minangkabau pernah mencapai suatu fase perkembangan yang mampu menciptakan karya budaya yang kualitasnya melewati zaman penciptaannya,” katanya.
Bernhard bekerja sama dengan Studio Songket Erika Rianti, Bukittinggi, sejak 4 tahun terakhir memproduksi songket terhalus dengan motif-motif yang umumnya tidak lagi diproduksi perajin songket lain di sentra-sentra songket di Sumatera Barat.
”Kain songket lama yang punah dan kini diproduksi kembali di dalamnya terdapat sejarah kebudayaan dan kehidupan masyarakat Minangkabau yang begitu menarik. Melalui motifnya yang begitu beragam, terdapat makna dan pesan-pesan adat Minangkabau, yang bersumber dari alam takambang jadi guru. Motif-motif tersebut tergambar dengan kuat, rapi, dan memperlihatkan tingkat kerumitan yang sulit dikerjakan oleh penenun masa kini,” ujar Nanda.
Di Padang, Nina Rianti Alda juga memproduksi kembali songket-songket lama Minangkabau bekerja sama dengan Bernhard. Membandingkan antara songket lama dan yang baru, menurut Nina, perbedaannya terletak pada orientasi di dalam tradisi pembuatan songket itu sendiri.
Menurut Nina, songket lama cenderung berorientasi pada kesadaran nilai dan ekspresi budaya Minangkabau karena di dalamnya ada simbol dari kebudayaan Minangkabau. Sementara pada songket baru, meskipun kesadaran terhadap nilai dan hubungannya dengan simbol serta identitas budaya Minangkabau itu masih ada, secara kualitas tidak lagi bisa dicapai seperti yang ada di dalam songket lama Minangkabau.

Rabu, 27 Juli 2011

Pelestari Kain Tenun Ikat

Tahun 1961 merupakan masa penuh kenangan manis bagi Johanna Maria Pattinaja (73). Tahun itu sekaligus menjadi awal bagi dirinya mengoleksi kain tenun ikat tradisional Nusa Tenggara Timur. Johanna sangat mencintai salah satu aset budaya bangsa itu. 
Saat Tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT menemui Johanna di Hotel Sao Wisata, Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu, gurat kelelahan terlihat pada wajahnya karena baru menempuh perjalanan panjang Jakarta-Denpasar-Flores. Saat topik pembicaraan menyinggung kain tenun NTT, Johanna langsung bersemangat, seakan rasa lelah itu sirna.
Dia menuturkan lika-liku perjalanan mengoleksi kain tenun sejak 49 tahun lalu itu, keprihatinan akan masa depan kerajinan tenun ikat NTT, juga ide dan gagasan mengenai pentingnya pelestarian kerajinan dan produk tenun ikat.
”Tahun 1961 saya pertama kali berkunjung ke Maumere setelah menikah dengan almarhum (Frans Seda). Waktu itu, suami saya menjabat sebagai anggota DPR-GR/MPRS. Saat masa reses suami turun ke daerah pemilihan, saya mendapat kain tenun. Saya terheran-heran dengan gambarnya. Dulu, yang terkenal kan batik dan songket. Saya pikir, ini kain apa? Lalu saya mulai bertanya sana-sini soal tenun ikat,” Johanna mengenang.
Perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur, ini penasaran dengan kain tenun NTT, dan dia berupaya mencari informasi tambahan dari buku-buku. Dengan berjalannya waktu, rasa cinta dan bangga pada tenun ikat semakin tumbuh.
Sampai sekarang, ibu dua anak ini telah mengumpulkan sekitar 1.000 kain tenun ikat NTT, baik dari Pulau Timor, Sumba, maupun Flores. Kain koleksinya kini disimpan rapi dalam peti-peti yang memadati lantai dua kediamannya di Jalan Metro Kencana V, Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Johanna memutuskan fokus mengoleksi kain tenun ikat NTT karena waktu itu kerajinan batik dan tenun songket sudah lebih dikenal masyarakat.
”Kita harus bangga sebab Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mempunyai kain adat beraneka ragam, begitu pula variasi teknik pembuatannya. Di NTT, kerajinan tenun ikat umumnya dibuat dengan alat tenun gedok, terdiri dari benang lungsi dan pakan. Waktu benang pakan masuk, lalu ditarik ke arah perajin, ada bunyi dok, dok,” kata Johanna.
Falsafah tenun
Johanna mengagumi kain tenun ikat NTT karena bukan sekadar untuk penutup tubuh, melainkan juga mengandung falsafah serta sarat akan nuansa sakral atau magis.
Johanna umumnya memperoleh kain tenun dari pemilik yang menjual secara pribadi kepadanya. Bagi masyarakat NTT, kain tenun pada dasarnya dibuat bukan untuk dijual, melainkan dipakai sendiri, dan yang lebih utama untuk keperluan adat. Kain tenun baru dijual sebagai alternatif terakhir apabila keluarga si pemilik mengalami tekanan ekonomi yang berat.
Hal itu dialami Johanna tahun 1990-an. Saat itu, ada seorang guru di Aimere, Kabupaten Ngada, Flores, yang hendak menjual kain tenun peninggalan leluhurnya. Kain tenun itu diperkirakan berusia lebih dari 100 tahun. Biasanya, semakin tua kain tenun, harganya makin tinggi. Apalagi jika dibuat dengan pewarna alami.
Johanna sempat meminta keponakannya untuk mengambil kain tersebut. Namun, sang keponakan malah bermimpi didatangi seorang laki-laki tua berjanggut sehingga ia tak berani mengambil kain itu. Setelah dilakukan upacara adat dengan memotong ayam, baru kain tersebut dapat diambil.
Fenomena magis juga ada pada salah satu kain tenun perempuan Sumba yang dimilikinya. Setiap hendak dibersihkan (dikebas), pada kain tenun itu selalu ada semacam pasir pantai yang melekat. Setelah ditelusuri, konon kain itu merupakan kain khusus yang digunakan untuk orang yang sudah meninggal.
”Keunikan lain, kain tenun ikat NTT mempunyai falsafah. Seperti di Jawa, anak yang pertama kali akan menginjakkan kaki ke tanah, ada jenis kain tersendiri untuk upacara adatnya,” ujar Johanna.
Salah satu mahar kawin di Kabupaten Flores Timur dan Lembata adalah kain tenun. Pada adat etnik Lio Ende, kain tenun diserahkan oleh keluarga mempelai perempuan kepada keluarga mempelai laki-laki sebagai balasan atas pemberian mahar kawin (belis).
Motif dan ragam hias kain tenun ikat juga dapat menunjukkan perubahan sejarah suatu daerah. Misalnya, di Sumba dulu dikenal motif alam atau binatang, seperti udang atau ular. Namun, sejak Belanda masuk Sumba, mulai dikenal kain motif crown (mahkota). Motif itu mengacu pada mata uang gulden Belanda yang bergambar mahkota diapit dua singa. Akhirnya di Sumba dikenal istilah mahang (singa) meski di wilayah itu tidak ada singa. Pada masa itu pula, pada kain tenun juga dibubuhi tenunan berupa bendera kecil berwarna merah-putih-biru.
Pentingnya pelestarian
Johanna juga mengingatkan pentingnya pelestarian kain tenun ikat NTT agar tidak punah. ”Meski suatu saat kain tenun ikat NTT hanya menjadi benda seni, perlu ada masyarakat yang menguasai teknik pembuatannya sehingga selalu ada produk tenun,” katanya.
Jangan sampai terjadi seperti di Manado, Sulawesi Utara. Kain tenun ikat di sana tak dibuat lagi karena tidak ada lagi yang bisa membuatnya. Ironisnya, kain tenun ikat Manado tersimpan di museum Belanda.
Johanna berpendapat, perajin tenun ikat NTT perlu diproteksi pemerintah daerah, terutama dari ekspansi industri kain di Jawa yang berproduksi dengan motif tenun ikat NTT. Kualitas produk Jawa lebih tipis, halus, dan harga lebih murah dibandingkan harga kain tenun ikat alami yang bisa mencapai lebih dari Rp 500.000 per lembar.
”Produk tenun hasil print dengan hand made harus jelas labelnya agar tidak menjatuhkan perajin tenun ikat,” kata perempuan yang pada periode 1957-1961 mengajar di SMA Katolik St Ursula Jakarta itu.
Johanna amat mendukung upaya pelestarian seperti yang dilakukan oleh Himpunan Wastra Prima. Himpunan pencinta kain adat yang didirikan tahun 1976 itu mengawali kegiatan dengan mengumpulkan 400 kain adat dari seluruh Indonesia, termasuk kain tenun ikat NTT, kemudian disimpan di Museum Tekstil Jakarta. Johanna sendiri menjabat sebagai ketua himpunan ini tahun 1980-1993.

Senin, 25 Juli 2011

Keindahan Tenunan Batik Minangkabau Nan Langka

Tenunan berbenang emas yang cantik (kain balapak) sudah merupakan ciri khas pakaian adat Minangkabau. Keindahannya sering kali di nilai dengan “barek” atau seberapa berat kain tersebut. Karena memang kain tenun berbenang emas tersebut cukup berat bila di kenakan.
Namun tidak banyak yang tahu bahwa Minangkabau mempunyai tenunan khas berupa batik yang tidak kalah indahnya. Batik Minangkabau ini disebut batik tanah liek, karena batik yang asalnya dari Minangkabau ini salah satu pewarnanya adalah tanah  liek,  yaitu tanah liat.
Bila dilihat dari bahan pewarna yang digunakan dan cara pembuatan, teknologi pembuatan batik tanah liet ini merupakan teknologi tertua dalam pembuatan batik di Indonesia. Diduga batik ini muncul dari pengaruh kebudayaan Cina. Nenek moyang orang Minangkabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan Asia (Indo-Cina) mengarungi Laut Cina Selatan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian memudiki sungai Kampar, Siak, dan Inderagiri (atau; Kuantan). Sebagian di antaranya tinggal dan mengembangkan kebudayaan serta peradaban mereka di sekitar Kabupaten 50 Koto sekarang. Pada perkembangannya, batik tanah liet ini hanya dibuat beberapa orang perajin seperti di Tanah Datar. Tapi kerajinan ini hilang tanpa jejak sejak  zaman peperangan, mungkin zaman pendudukan Jepang.
Motif batik tanah liet banyak terinspirasi dari binatang-binatang seperti kuda laut dan burung hong yang merupakan motif kuno batik minangkabau ini. Dari 9 motif yang ada, 6 motif fauna dan 1 motif flora yaitu kaluak paku yang digunakan untuk pinggiran kain. Sedang motif lainnya berupa lukisan non figur.
Warna batik hanya ada dua, warna tanah dan hitam. Warna tanah didapatkan dari merendam kain dalam larutan tanah liat. Biasanya proses perendaman memakan waktu seminggu lamanya. Sedangkan warna hitam diperoleh dari larutan kulit jengkol yang direndam dalam air. Ada bermacam-macam sumber pewarna alam lain yang digunakan batik tanah liet ini. Ada yang  dari  kulit jengkol,  kulit  rambutan,  gambir,  kulit mahoni, daun jerami dan masih banyak akar-akar lainnya yang juga digunakan.
Karena harganya yang tergolong mahal, dahulu batik tanah liet hanya dipakai untuk upacara khusus saja. Pada acara itu pun hanya  dipakai  oleh ninik  mamak  dan bundo  kanduang,  atau panutan adat Para datuk memakainya dalam bentuk selendang yang dilingkarkan pada leher. Sedangkan kaum perempuan menyampirkan selendang itu di bahu. Caranya, ujung kain pertama dililit dua kali di bahu kiri. Ujung lainnya disampirkan di tangan kanan melalui bagian belakang badan. Selendang ini selalu dipertahankan oleh orang Minang sebagai kerajinan peninggalan nenek moyang.

Minggu, 24 Juli 2011

Tenun Sutera Sulawesi Selatan Yang Mempesona

Tanah Air kita masih menyimpan berbagai kekayaan tradisi lainnya yang menunggu untuk dieksplorasi. Misalnya saja sutera alam yang menjadi produk unggulan Sulawesi Selatan. 

Salah satu orang yang menyadari betul potensi tersebut adalah perancang busana Carmanita. Dalam sebuah pertunjukan fesyen, ia menampilkan sejumlah kreasi busana berbahan Celebes silk. 

Ada 20 potong busana yang diperagakan dalam pertunjukan yang berlangsung sejak pukul 12.30 WIB itu. Pergelaran ini termasuk dalam rangkaian acara South Sulawesi Silk Day, yang digelar Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam upaya menembus pasar internasional. 

"Terutamanya untuk mengangkat baju bodo (pakaian adat Sulawesi Selatan) kembali," ujar Carmanita saat ditanya tentang konsep pertunjukannya. 

Desainer yang membutuhkan waktu seminggu untuk menyiapkan koleksi tersebut, bermain dengan motif ikat dan printing Toraja nan manis. Sementara untuk teknik, ia memilih metode draping dalam membuat busana. 

"Semua draping. Kalau pakai patron itu, pertama, membuat kita tergantung. Selain itu, paternity. Membatasi. Kalau draping, kan, bebas," katanya. 

Kedua puluh busana yang dipamerkannya terdiri atas setelan atasan longgar dan celana model jodhpur, rok panjang, serta sejumlah gaun. Semuanya hadir dalam perpaduan warna dan corak yang berani, mulai dari hijau, biru, merah, kuning, cokelat, hitam, putih, dan oranye. 

Ia sendiri enggan memberikan judul pada koleksinya, termasuk kapan dan siapa yang pantas mengenakannya. "It's a free fashion," cetusnya lugas. 

Lantas, sulitkah mengolah kain tradisional tersebut menjadi busana yang sesuai dengan cita rasa kekinian? Ternyata tidak. 

"Tidak susah mengolahnya. Kalau sudah terbiasa, enggak ada persoalan," katanya enteng. 

Kendala 
Selama ini, Sulawesi Selatan memang terkenal dengan produksi suteranya. Persuteraan alam di daerah tersebut, khususnya pertenunan gedogan telah ada sejak abad ke-16. Kegiatan budidaya murbei dan ulat sutera dikembangkan sejak tahun 1960-an, yang diikuti dengan berkembangnya industri pemintalan dengan puncak produksi benang sutera pada 1970-an. 

Akan tetapi, beberapa tahun belakangan ini produksi benang sutera Sulawesi Selatan mengalami penurunan. Menurut Kepala Bidang Promosi Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Provinsi Sulawesi Selatan Sukarniaty Kondolele, pada tahun 2000 produksi benang sutera alam di Sulsel mencapai 250 ton pertahun. Angka tersebut terus menurun menjadi 200 ton pada 2007, dan merosot tajam menjadi hanya 80 ton pada 2009. Akibatnya, ketika ada permintaan tinggi, para pengrajin tidak mampu memenuhinya. 

Industri tekstil di negara  kita sendiri, diakuinya, masih bergantung pada sutera impor dari Cina. Kenyataan inilah yang lantas membuat Carmanita pesimistis sutera Indonesia bisa go international. 

"Bahan baku tidak mungkin diekspor. Kita aja kekurangan," katanya. 

Selain itu, masalah lain yang menjadi perhatian desainer tersebut adalah teknik pewarnaan kain. "Banyak warna-warna striking. Warnanya luntur. Saya mau bantu perbaiki pewarnaannya, sama tata letak tatanan motif." 

Sabtu, 23 Juli 2011

Motif Songket Palembang

Teknik dan jenis serta kualitas kain yang ditenun mempunyai istilah tersendiri, yaitu dikenal sebagai songket limar dan lepus.

Yang dimaksud dengan lepus adalah kain songket yang kainnya sepenuhnya adalah cukitan (sulaman) benang emas. Benang emasnya dengan kualitas tinggi didatangkan dari China. Kadangkala benang emas ini diambil dari kain songket yang sudah sangat tua (ratusan tahun) karena kainnya menjadi rapuh, benang emas disulam kembali kekain yang baru. Kualitas jenis songket lepus merupakan kualitas yang tertinggi dan termahal harganya.

Limar adalah kain sonket yang menurut sejarawan dan budayawan inggris R.O Windstedt yang menekuni kehidupan di nusantara pada zaman kolonial, yaitu: its colours are rich blend of reds ,yellows ,and greens .the shape of the pattern. If closely inspected, bearing a distinct resemblance to the “lime “ (limau) from which it has acquired its name.


Pendapat lain percaya bahwa nama limar timbul karena banyak nya bulatan 2 kecil dan percikan yang membentuk sebuah motif yang menyerupai tetesan air jeruk yang diperas. Menurut Mubin Sheppard: that kain limar is often in correctly spelt limau, with which it has no connexion. Sedangkan di Palembang limar itu lebih diartikan sebagai suatu teknik, is known as a process of dyeing threads.

Tumpal atau kepala kain, merupakan bagian pada kain yang berada di tengah bentangan kain, bagian kain yang lain disebut badan kain. Sedangkan pada selendang, tumpal berada dibentang kan kanan dan kiri badan kain .Tumpal biasa nya berukuran ¼ bagian dari bentangan kain songket. Motif sulaman pada tumpal adalah pucuk rebung.

Rumpak ( bumpak ) adalah kain songket untuk pria, motif pada kain tersebut tidak penuh seperti pada songket untuk wanita ,kepala kain atau tumpal pada rumpak disaat pemakaiannya berada di belakang badan ( pinggul ke bawah sampai dibawah dengkul: kalau sipemakai telah kawin). Kebalikannya dengan wanita, dimana tumpal berada didepan yaitu dari pinggul sampai mata kaki .rumpak jika di pakai oleh pemuda (belum kawin), maka kain tersebut menggantung sampai di atas lututnya.

Tanjak adalah kain songket persegi empat yang dibuat khusus untuk menutup kepala laki-laki sepasang dengan kain rumpak. Biasanya kain ini dibuat sepasang dengan kain rumpak, yaitu warna dan motifnya adalah sama satu sama lain. Pada awalnya tanjak dibuat dari kain batik, bukan dari songket.

Motif kain songket amat beragam, apalagi pada saat ini dimana kreasi-kreasi baru para pengrajin sangat imaginatif. Akan tetapi motif utama songket adalah:
• Bunga intan
• Tretes minder
• Janda beraes
• Bunga cina
• Bunga paciek

Sumber lain mengatakan bahwa Motif hias songket biasanya berbentuk geometris atau hasil stilisasi dari flora dan fauna, yang masing-masing mempunyai arti perlambangan yang baik. Misalnya bunga cengkeh, bunga tanjung, bunga melati dan bunga mawar yang wangi yang melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki dan segala kebaikan

Motif benang emas yang rapat dan mendominasi permukaan kain disebut songket LEPUS, sedangkan yang motif emasnya tersebar disebut songket TABUR. Pada tepi kain biasa dibuat motif tumpal, segitiga atau segi tiga terputus, yang disebut motif pucuk rebung. Tunas rebung yang tumbuh menjadi batang bambu yang kuat dan lentur, tidak tumbang diterpa angin ini melambangkan harapan yang baik.

Kain tiga negeri. Kain ini dari tiga bagian warna yaitu biru, hijau dan merah. Di bagian tepi motif tumpal berwarna merah, di tengahnya kain limar bermotif bunga tabung. Di bagian paling tengah berwarna hijau bermotif bunga bintang berantai.

Kekayaan alam Palembang sangat mempengaruhi terciptanya ragam hias dengan pola-pola yang mengagumkan. Sekali pun ragam hiasnya tercipta dari alat yang sederhana, namun tenunannya merupakan karya seni yang amat tinggi nilainya. Jadi, songket bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa penenunnya. Motif-motif ragam songket Palembang pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yaitu: motif tumbuh-tumbuhan (terutama bentuk stilisasi bunga-bungaan), motif geometris dan motif campuran antara tumbuh-tumbuhan dan geometris.

Motif-motif tersebut dari dahulu hingga sekarang diwariskan secara turun-temurun, sehingga polanya tidak berubah, karena cara memola motif itu sendiri hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, dan tidak setiap penenun dapat membuat motif sendiri. Orang yang menenun tinggal melaksanakan pola yang telah ditentukan. Jadi, kerajinan menenun merupakan suatu pekerjaan yang sifatnya kolektif. Sebagai catatan, para penenun di Palembang seluruhnya dilakukan oleh kaum perempuan baik tua maupun muda. Keahlian menenun tersebut pada umumnya diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi lainnya.

Beberapa nama ragam hias atau motif tenun songket Palembang antara lain adalah: lepus piham, lepus polos, lepus puler lurus, lepus puler ombak-ombak, lepus bintang, lepus naga besaung, lepus bungo jatuh, lepus berantai, lepus lemas kandang, tetes meder, bungo cino, bungo melati, bungo inten, bungo pacik, bungo suku hijau, bungo bertabur, bungo mawar, biji pare, jando berhias, limas berantai, dasar limai, pucuk rebung, tigo negeri dan emas jantung. Untuk lebih jelasnya, lihat contoh-contoh di bawah ini.

Selain sebagai sesuatu yang berfungsi memperindah tenunan (songket), ragam hias juga mempunyai makna. Salah satu contohnya adalah bentuk ragam hias yang tekenal yaitu “naga besaung” (naga bertarung). Dalam hal ini naga dianggap sebagai binatang yang melambangkan kemakmuran dan kejayaan. Orang yang memakai tenun songket motif nago besaung tentulah mengharapkan akan mendapatkan kemakmuran dan kejayaan dalam hidupnya. Motif ini diambil dari salah satu unsur kebudayaan Cina yang menganggap naga sebagai suatu hewan mitologi yang dapat mendatangkan kemakmuran dan kajayaan.

Sebagai catatan, pada zaman dahulu kerajaan Sriwijaya banyak didatangi orang-orang asing dari Cina, India dan lain sebagainya untuk berdagang. Contoh yang lain adalah motif pucuk rebung dan bunga-bungaan (cengkeh, tanjung, melati, dan mawar). Rebung dianggap sebagai tumbuhan yang sejak kecil dapat digunakan untuk bahan sayuran. Ketika telah tumbuh besar dan menjadi bambu pun masih tetap berguna, yaitu sebagai bahan bangunan dan lain sebagainya. Orang yang memakai motif ini tentulah diharapkan akan berguna pula bagi masyarakatnya (seperti bambu yang sangat berguna bagi manusia). Sedangkan, bunga-bungaan melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki dan kebaikan.