Kain Bidak Galah Napuh, kain khas masyarakat Waykanan yang usianya ratusan tahun ini, sampai sekarang belum banyak yang tahu. Desainer kondang Lampung Raswan pun mencoba melestarikannya. Apa saja kendala dalam proses pembuatannya?
LAMPUNG memang kaya akan peninggalan benda-benda kesenian bersejarah, termasuk kain. Begitu kayanya, beberapa di antaranya terlupakan, termasuk Kain Bidak Galah Napuh.
Ketua Yayasan Tenun Peduli Tradisional Lampung Raswan menceritakan, lebih dari lima tahun, ia baru bisa membuat Kain Bidak Galah Napuh tersebut. Mulai penemuan motif asli hingga teknik pembuatannya. Ia mengatakan mengetahui keberadaan kain ini dari beberapa buku Indonesia Tekstil dan cerita dari orang-orang terdahulu.
Banyak kendala yang harus dilewatinya untuk menemukan kain ini. Selain karena motif asli kain itu sudah tidak bisa ditemukan lagi di tempat asalnya, yakni Kabupaten Waykanan, yang memilikinya juga tidak banyak. Bahkan untuk menemukan kain ini, ia mendapatkan contoh motif dari seorang teman yang merupakan kolektor benda-benda antik yang berdomisili di Jakarta. ’’Itu pun tidak bisa dipinjam, hanya boleh foto,” kenangnya.
Selain kesulitan menemukan kain asli dan motifnya, ia harus mengecek apakah benar motif tersebut merupakan asli dari Kain Bidak Galah Napuh, yakni bentuknya simetris dengan ciri khas bintik-bintik putih seperti leher kancil dan geometris.
’’Jadi observasinya juga cukup lama, karena kita tidak bisa langsung membuat tanpa tahu apakah ini motif asli dari Lampung,” ungkapnya.
Belum lagi, lanjut dia, pencarian sumber daya manusia (SDM)-nya sangat sulit karena proses pembuatan ini memerlukan tangan-tangan yang terampil. ’’Teknik pembuatannya sangat rumit dan tingkat kesulitannya begitu tinggi, penggabungan kain inuh dan songket,” terangnya.
Prosesnya, sambut Raswan, dengan cara benang dicelup dengan ikatan bagian per bagian. Kemudian dicelup dengan ATBM, yakni alat tenun yang merupakan pengembangan dari alat tenun nusantara. Dan penyungkitan seperti pembuatan songket, ATBM ini menggunakan sisirnya buatan Jepang dari Kyoto yang harganya puluhan juta.
Lelaki kelahiran 14 Maret 1966 ini menuturkan, karena tidak dimiliki banyak orang, dulunya kain ini digunakan untuk pakaian adat dari Waykanan, pengantin laki-laki, selingkep orang Lampung penutup badan laki-laki, dan juga sebagai penutup mayat.
Namun, terus Raswan, Kain Bidak Galah Napuh ini bisa dibuat kemeja, baju cewek, bahkan tapis khusunya tapis Kabupaten Waykanan yang berciri khas binatang-binatang. Untuk satu baju saja harganya bisa Rp400 ribu berukuran 2 meter 20.
’’Sebenarnya sudah banyak yang berminat, terlebih wisatawan lokal dan mancanegara. Tetapi tidak saya jual karena ini belum dipatenkan, sampai launching pada acara pameran nasional pertengahan Oktober di Hotel Ritz Calton di Jakarta. Serta akan didokumentasikan oleh Dekranasda Pusat dan majalah Kriya Dekranasda Nasional di bawah binaan Istri Ibu Andi Mallarangeng,” paparnya.
Tampilkan postingan dengan label lampung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lampung. Tampilkan semua postingan
Minggu, 16 Juni 2013
Badan Legislasi Kerja Cepat
Tari dan Tenun Tapis Masuk Draf Raperda
BANDARLAMPUNG – Draf rancangan peraturan daerah (raperda) pendidikan terus dikebut, menjelang ketok palu yang rencananya dilakukan 27 Desember. Hasil keputusan rapat internal Badan Legislasi (Banleg) DPRD Bandarlampung kemarin (13/12) menyepakati beberapa rumusan yang akan termuat dalam pasal dan butir raperda yang kali pertama diagagas wakil rakyat itu.
Ketua Banleg Raperda Pendidikan Wiyadi mengatakan, ada beberapa usulan yang dimasukkan dalam draf tersebut. Antara lain pembentukan lembaga bantuan hukum (LBH). Nantinya LBH ini bernaung di bawah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
’’Selama ini para guru punya harapan yang besar terhadap organisasi PGRI. Selain mewadahi para tenaga pengajar, PGRI diharapkan bisa memberikan proteksi dan memediasi berbagai kasus hukum yang sering menjerat para guru. Untuk itulah, kami sepakat LBH harus ada sebagai sandaran guru ketika menuai masalah hukum,” beber legislator dari PDI Perjuangan itu.
Tindakan yang bisa merembet ke jalur hukum, imbuhnya, seperti menjewer dan menepuk. Bagi kalangan guru selama ini, hal itu masih merupakan tindakan yang mendidik, bukan kekerasan. ’’Tetapi, dampaknya, si guru terkena tahanan kota dan harus mengikuti persidangan di pengadilan. Maka jangan sampai kasus-kasus ini muncul di kota kita,” ujar Wiyadi.
Dia pun melontarkan kritik kepada PGRI. Di mana, menurutnya, saat ini tidak banyak perjuangan yang dilakukan oleh PGRI untuk para guru. Diungkapkan, organisasi hanya sibuk dengan kegiatan seremonial seperti jalan santai dan seminar. Padahal ada tugas besar yang harus dikerjakan PGRI, yaitu melindungi profesi guru karena ini menyangkut peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri.
’’Kalau guru bekerja dengan rasa aman dan tidak tertekan, tentunya mereka akan memberikan pekerjaan terbaik untuk mendidik para siswanya,” kata dia,
Masih menurut Wiyadi, keberadaan LBH guru dan perlindungan para guru mutlak dikerjakan oleh PGRI. ’’Jangan sampai PGRI begitu ada anggotanya kena musibah, baru sibuk sana-sini mencari jalan selamat,” timpalnya.
Disinggung soal dewan kehormatan guru (DKG), Wiyadi menegaskan, hal itu memang penting karena perannya ikut melindungi profesi guru. Saat ini perlindungan terhadap profesi guru sangat lemah, termasuk guru langsung dibawa ke ranah pidana jika ada orang tua yang tak terima anaknya dihukum. ’’Jaminan perlindungan seharusnya diberikan pemerintah, organisasi guru, masyarakat, serta sekolah untuk mendorong guru melaksanakan tugasnya dengan aman dan nyaman dalam mendidik generasi bangsa,” tukasnya.
Menurut dia, jika ada guru yang melanggar kode etik, semestinya diproses lebih dahulu oleh DKG, seperti yang terjadi di profesi lainnya. Di beberapa kota/kabupaten, DKG sudah dibentuk pada 2008 berdasarkan pasal 44 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2010 tentang Guru dan Dosen. Dewan ini merekomendasikan sanksi atas pelanggaran kode etik yang dilakukan guru.
’’Dengan demikian, jangan terulang lagi guru diciduk aparat keamanan secara langsung di sekolah, seperti yang terjadi beberapa kali ini,” tegas Wiyadi.
Selain LBH dan DKG, terdapat pula muatan lokal seperti kurikulum pendidikan formal. Contohnya pendidikan bahasa daerah, bahasa Inggris, tenun tapis, tari Lampung, termasuk pula pendidikan agama.
’’Muatan lokal itu sebuah keharusan. Minimal sebagai wahana pelestarian budaya dan meningkatkan kemampuan pelajar. Jangan sampai muatan lokal itu tidak ada,” tandas dia.
Tidak hanya itu, dalam raperda mengatur skema pembagian tugas dan fungsi wakil kepala sekolah. Tujuannya dalam membantu peran kepala sekolah (Kepsek) yang selama ini masih terjadi tumpang tindih. ’’Kepsek berhak menunjuk wakilnya, dengan catatan ada rekomendasi dari kepala dinas maupun wali kota. Nah bagaimana skemanya, sekarang sedang kami godok,” ujar ketua Fraksi PDIP itu.
Untuk posisi wakil kepala sekolah, tentu tidak asal tunjuk. Ada beberapa hal penting yang menjadi syarat. Di antaranya harus berjenjang S1, masa pengabdian tidak kurang dari 15 tahun, dan usia di atas 40 tahun. Sementara untuk kepangkatan minimal golongan pembina IV. ’’Syarat-syarat lain belum kami bahas secara mendetail. Yang pasti aturan mainnya akan kami bakukan, lebih fleksibel, dan mudah diterima,” pungkasnya
BANDARLAMPUNG – Draf rancangan peraturan daerah (raperda) pendidikan terus dikebut, menjelang ketok palu yang rencananya dilakukan 27 Desember. Hasil keputusan rapat internal Badan Legislasi (Banleg) DPRD Bandarlampung kemarin (13/12) menyepakati beberapa rumusan yang akan termuat dalam pasal dan butir raperda yang kali pertama diagagas wakil rakyat itu.
Ketua Banleg Raperda Pendidikan Wiyadi mengatakan, ada beberapa usulan yang dimasukkan dalam draf tersebut. Antara lain pembentukan lembaga bantuan hukum (LBH). Nantinya LBH ini bernaung di bawah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
’’Selama ini para guru punya harapan yang besar terhadap organisasi PGRI. Selain mewadahi para tenaga pengajar, PGRI diharapkan bisa memberikan proteksi dan memediasi berbagai kasus hukum yang sering menjerat para guru. Untuk itulah, kami sepakat LBH harus ada sebagai sandaran guru ketika menuai masalah hukum,” beber legislator dari PDI Perjuangan itu.
Tindakan yang bisa merembet ke jalur hukum, imbuhnya, seperti menjewer dan menepuk. Bagi kalangan guru selama ini, hal itu masih merupakan tindakan yang mendidik, bukan kekerasan. ’’Tetapi, dampaknya, si guru terkena tahanan kota dan harus mengikuti persidangan di pengadilan. Maka jangan sampai kasus-kasus ini muncul di kota kita,” ujar Wiyadi.
Dia pun melontarkan kritik kepada PGRI. Di mana, menurutnya, saat ini tidak banyak perjuangan yang dilakukan oleh PGRI untuk para guru. Diungkapkan, organisasi hanya sibuk dengan kegiatan seremonial seperti jalan santai dan seminar. Padahal ada tugas besar yang harus dikerjakan PGRI, yaitu melindungi profesi guru karena ini menyangkut peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri.
’’Kalau guru bekerja dengan rasa aman dan tidak tertekan, tentunya mereka akan memberikan pekerjaan terbaik untuk mendidik para siswanya,” kata dia,
Masih menurut Wiyadi, keberadaan LBH guru dan perlindungan para guru mutlak dikerjakan oleh PGRI. ’’Jangan sampai PGRI begitu ada anggotanya kena musibah, baru sibuk sana-sini mencari jalan selamat,” timpalnya.
Disinggung soal dewan kehormatan guru (DKG), Wiyadi menegaskan, hal itu memang penting karena perannya ikut melindungi profesi guru. Saat ini perlindungan terhadap profesi guru sangat lemah, termasuk guru langsung dibawa ke ranah pidana jika ada orang tua yang tak terima anaknya dihukum. ’’Jaminan perlindungan seharusnya diberikan pemerintah, organisasi guru, masyarakat, serta sekolah untuk mendorong guru melaksanakan tugasnya dengan aman dan nyaman dalam mendidik generasi bangsa,” tukasnya.
Menurut dia, jika ada guru yang melanggar kode etik, semestinya diproses lebih dahulu oleh DKG, seperti yang terjadi di profesi lainnya. Di beberapa kota/kabupaten, DKG sudah dibentuk pada 2008 berdasarkan pasal 44 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2010 tentang Guru dan Dosen. Dewan ini merekomendasikan sanksi atas pelanggaran kode etik yang dilakukan guru.
’’Dengan demikian, jangan terulang lagi guru diciduk aparat keamanan secara langsung di sekolah, seperti yang terjadi beberapa kali ini,” tegas Wiyadi.
Selain LBH dan DKG, terdapat pula muatan lokal seperti kurikulum pendidikan formal. Contohnya pendidikan bahasa daerah, bahasa Inggris, tenun tapis, tari Lampung, termasuk pula pendidikan agama.
’’Muatan lokal itu sebuah keharusan. Minimal sebagai wahana pelestarian budaya dan meningkatkan kemampuan pelajar. Jangan sampai muatan lokal itu tidak ada,” tandas dia.
Tidak hanya itu, dalam raperda mengatur skema pembagian tugas dan fungsi wakil kepala sekolah. Tujuannya dalam membantu peran kepala sekolah (Kepsek) yang selama ini masih terjadi tumpang tindih. ’’Kepsek berhak menunjuk wakilnya, dengan catatan ada rekomendasi dari kepala dinas maupun wali kota. Nah bagaimana skemanya, sekarang sedang kami godok,” ujar ketua Fraksi PDIP itu.
Untuk posisi wakil kepala sekolah, tentu tidak asal tunjuk. Ada beberapa hal penting yang menjadi syarat. Di antaranya harus berjenjang S1, masa pengabdian tidak kurang dari 15 tahun, dan usia di atas 40 tahun. Sementara untuk kepangkatan minimal golongan pembina IV. ’’Syarat-syarat lain belum kami bahas secara mendetail. Yang pasti aturan mainnya akan kami bakukan, lebih fleksibel, dan mudah diterima,” pungkasnya
Raswan Tapis Dikenal hingga Mancanegara
BANDARLAMPUNG – Salah satu designer Lampung yang karyanya dikenal hingga mancanegara adalah Raswan. Dia sudah 13 tahun berkecimpung di dunia mode. Bermula dari hobi meneliti budaya-budaya sejarah kuno, lalu berkembang dengan mendesain baju-baju, kebaya, tapis, serta batik. Dan sekarang sudah banyak yang kenal dengan hasil rancangannya di bawah bendera usaha House of Kebaya & Raswan Tapis Fashion Designer.
Raswan Tapis di Jl. S. Parman, Bandarlampung, menyediakan kebaya, tapis, songket, batik Lampung, serta bahan kebaya. Selain itu, dibuka juga Tapis Helau Gallery di Jl. Teuku Umar, Bandarlampung. Guna memaksimalkan layanan, Raswan Tapis buka setiap hari dari pukul 09.00–21.00 WIB.
’’Hari libur kami tetap buka,’’ sebut Raswan.
Hasil karyanya sudah terkenal di luar Lampung hingga mancanegara. Seperti, Jakarta, Bali, dan Jepang. Bahan-bahan didesain sendiri dan alat produksinya pun sendiri. Namun, proses produksinya di Jawa, setelah hasil akhir baru dibawa ke Lampung.
’’Kualitas dan harga dijamin memuaskan konsumen,’’ bilangnya
Untuk harga baju berkisar Rp100.000–Rp500.000. Harga tapis berkisar Rp1.200.000–Rp10.000.000, tenun ikat sekitar Rp200.000–Rp400.000, dan batik Lampung Rp200.000–Rp400.000.
Raswan Tapis juga menerima pesanan seragam kantor, seragam sekolah, dan motif khusus per kabupaten. Untuk seragam harganya bervariasi dari Rp60.000 hingga Rp150.000 per potong. Dan untuk produk terbaru Raswan yaitu bidak galah napuh.
’’Bisa untuk tenun ikat, tapis dan dibuat baju lebih bagus,’’ sebutnya.
Dia menambahkan, tahun ini Raswan Tapis punya limited edition. Artinya, kata dia, cuma memproduksi satu.
’’Untuk ke depannya merencanakan rancangan per kabupaten punya situs sejarah. Dan itu pun perlu survei dan meneliti terlebih dahulu tidak asal buat,’’ tandasnya.
Untuk Lampung Selatan, akan mengangkat motif betang subing. Kalianda motif keratuan darah putih, Waykanan motif radin jambat, Pesawaran motif ratu gadis dan Lampung Barat motif siger emong. Lalu Lampung Timur motif ratu melimping, Tangamus motif ratu benawang.
Pada tahun ini juga dia ingin membuat produk jadi limited edition yang ada hubungan dengan motif Lampung. Serta ingin juga memadupadankan brukat dengan kain tapis. Karena menurutnya tapis dan brukat bagus jika dipadupadankan.
Ciptakan Tapis Berfilosofi, Patok Harga hingga Puluhan Juta
Raswan Tapis di Jl. S. Parman, Bandarlampung, menyediakan kebaya, tapis, songket, batik Lampung, serta bahan kebaya. Selain itu, dibuka juga Tapis Helau Gallery di Jl. Teuku Umar, Bandarlampung. Guna memaksimalkan layanan, Raswan Tapis buka setiap hari dari pukul 09.00–21.00 WIB.
’’Hari libur kami tetap buka,’’ sebut Raswan.
Hasil karyanya sudah terkenal di luar Lampung hingga mancanegara. Seperti, Jakarta, Bali, dan Jepang. Bahan-bahan didesain sendiri dan alat produksinya pun sendiri. Namun, proses produksinya di Jawa, setelah hasil akhir baru dibawa ke Lampung.
’’Kualitas dan harga dijamin memuaskan konsumen,’’ bilangnya
Untuk harga baju berkisar Rp100.000–Rp500.000. Harga tapis berkisar Rp1.200.000–Rp10.000.000, tenun ikat sekitar Rp200.000–Rp400.000, dan batik Lampung Rp200.000–Rp400.000.
Raswan Tapis juga menerima pesanan seragam kantor, seragam sekolah, dan motif khusus per kabupaten. Untuk seragam harganya bervariasi dari Rp60.000 hingga Rp150.000 per potong. Dan untuk produk terbaru Raswan yaitu bidak galah napuh.
’’Bisa untuk tenun ikat, tapis dan dibuat baju lebih bagus,’’ sebutnya.
Dia menambahkan, tahun ini Raswan Tapis punya limited edition. Artinya, kata dia, cuma memproduksi satu.
’’Untuk ke depannya merencanakan rancangan per kabupaten punya situs sejarah. Dan itu pun perlu survei dan meneliti terlebih dahulu tidak asal buat,’’ tandasnya.
Untuk Lampung Selatan, akan mengangkat motif betang subing. Kalianda motif keratuan darah putih, Waykanan motif radin jambat, Pesawaran motif ratu gadis dan Lampung Barat motif siger emong. Lalu Lampung Timur motif ratu melimping, Tangamus motif ratu benawang.
Pada tahun ini juga dia ingin membuat produk jadi limited edition yang ada hubungan dengan motif Lampung. Serta ingin juga memadupadankan brukat dengan kain tapis. Karena menurutnya tapis dan brukat bagus jika dipadupadankan.
Ciptakan Tapis Berfilosofi, Patok Harga hingga Puluhan Juta
Karyanya tak hanya dipakai pejabat Lampung seperti gubernur dan wali kota/bupati, melainkan para pejabat negara seperti menteri. Dan kini, tapis buatannya akan dipakai desainer dari luar negeri.
Mengawali karirnya pada 1989 sebagai perajin, Raswan tak sembarangan membuat tapis untuk diedarkan di pasaran. Hasil karyanya selalu mengusung tema desain yang klasik. Menurutnya, proses penciptaan sebuah kain tapis tidak sembarangan, tetapi ada filosofinya. ’’Mulai proses penenunan kain sampai penyulaman sehingga sebuah penciptaan tapis mampu menceritakan adat-istiadat Lampung hingga atraksi kebudayaan Lampung,” katanya.
Sekarang, ia telah memiliki galeri di Jalan Teuku Umar, Kedaton, Bandarlampung. Kemudian di Jalan S. Parman No. 23, Bandarlampung serta di UKM Galeri di Jalan Gatot Subroto. Ia juga mewakili Provinsi Lampung bersama dua perajin lainnya di City Thamrin Jakarta. Bahkan akan bergabung di galeri di Bali.
Ia mampu membuat 20 kain tapis setiap bulan dan telah memiliki 60 perajin. ’’Untuk harga bervariasi. Jika desainnya seperti di pasaran, harga yang dibanderol mulai Rp1,5 juta–Rp2 juta dan yang eksklusif mulai Rp3,5 juta-Rp25 juta,” ujarnya.
’’Kalau yang eksklusif, saya tidak pernah membuat banyak, paling hanya dua potong. Bahkan yang mencapai Rp25 juta ada sertifikatnya. Biasanya yang mengambil adalah kolektor,” ungkapnya.
Proses penciptaan kain dengan tingkat kreativitas yang tinggi itu dilakukan dengan mendesain dan melakukan pewarnaan secara khas dan unik. Karenanya tak heran jika dari sekian banyak perajin tapis di Lampung, karya tapisnya akan mewarnai tas buatan luar negeri yang bakal dipasarkan secara tradisional.
’’Untuk dipasarkan bagi orang asing karena harga yang dibanderol cukup tinggi, mencapai Rp10-20 juta. Dan rencananya produk tersebut akan dipamerkan pada fashion show Oktober mendatang di Bali,” bebernya.
Tetapi dalam perjalanannya menekuni bidang ini, ia mengalami banyak kendala. Pertama, dari bahan baku seperti benang yang mahal karena harganya sesuai dengan kurs dolar. Sebab benang yang digunakan tidak sembarangan, harus yang berkualitas sehingga tahan hingga puluhan tahun. ’’Sehingga nantinya kain ini menjadi barang antik,” katanya.
Kedua adalah SDM, semakin banyak orang yang tidak mau mengerjakan tapis karena lebih memilih menjadi pembantu rumah tangga atau kerja di toko-toko. “Memang membuat tapis termasuk rumit, jadi banyak yang memilih praktisnya padahal dalam masyarakat Lampung, sejak kecil sudah diajari membuat tapis, jadi untuk peningkatan SDM saya mengajarkan tapis kepada anak-anak putus sekolah,” ujarnya.
Selain itu, Raswan juga melatih pengrajin biasa agar menjadi mahir dengan cara memberikan upah yang lebih tinggi sehingga termotivasi.
Berkomitmen Hasilkan Tapis Berkualitas
KETERTARIKANNYA terhadap kain tenun khas Lampung bermula sejak ia kuliah dan melakukan penelitian tentang kebudayaan Lampung bersama Ir. Anshori Djausal, M.T. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk fokus pada bidang sosial dan budaya.
’’Dulu, saya sempat terlibat dalam pembuatan masterplan pariwisata 1989. Dan setiap berkunjung ke daerah-daerah Lampung, saya selalu menanyakan tentang kain-kain Lampung,” kenang Raswan.
Ia menuturkan, ternyata tapis adalah kain asli dari kebudayaan Indonesia, meski ada pengaruh India pada motif kainnya. ’’Sementara menyulam mendapat pengaruh dari Tingkok karena tapis ini lahir pada perkembangan budaya anemisme abad ke-2 sebelum Masehi dan pada masa itu adalah perkembangan agama Hindu dan Buddha,” paparnya.
Hal yang menarik dari tapis, kata dia, adalah kaya akan desain. ’’Desainnya lebih dari seratus. Juga pada proses pembuatannya, hanya tapis yang memiliki dua kali proses pembuatan dibandingkan kain lainnya seperti songket Palembang atau tenun NTT yang hanya satu kali yakni proses menenun pasang motif,” ujarnya.
Sedangkan tapis ditenun dulu, baru disulam dan dimotif kembali sehingga memakan waktu yang lebih lama. ’’Satu kain tapis bisa hingga setahun,” terangnya. Ia juga mengatakan akan tetap berkomitmen membuat suatu produk yang berkualitas dan desainnya berbeda.
Jadi kalau mereka yang pernah melihat atau memakainya pasti tahu dengan hanya melihat desainnya. ’’Dari pewarnaan, penyulaman, dan desainnya memiliki ciri khas sendiri, seperti penggunaan warna-warna yang etnik,” ujarnya.
Mengawali karirnya pada 1989 sebagai perajin, Raswan tak sembarangan membuat tapis untuk diedarkan di pasaran. Hasil karyanya selalu mengusung tema desain yang klasik. Menurutnya, proses penciptaan sebuah kain tapis tidak sembarangan, tetapi ada filosofinya. ’’Mulai proses penenunan kain sampai penyulaman sehingga sebuah penciptaan tapis mampu menceritakan adat-istiadat Lampung hingga atraksi kebudayaan Lampung,” katanya.
Sekarang, ia telah memiliki galeri di Jalan Teuku Umar, Kedaton, Bandarlampung. Kemudian di Jalan S. Parman No. 23, Bandarlampung serta di UKM Galeri di Jalan Gatot Subroto. Ia juga mewakili Provinsi Lampung bersama dua perajin lainnya di City Thamrin Jakarta. Bahkan akan bergabung di galeri di Bali.
Ia mampu membuat 20 kain tapis setiap bulan dan telah memiliki 60 perajin. ’’Untuk harga bervariasi. Jika desainnya seperti di pasaran, harga yang dibanderol mulai Rp1,5 juta–Rp2 juta dan yang eksklusif mulai Rp3,5 juta-Rp25 juta,” ujarnya.
’’Kalau yang eksklusif, saya tidak pernah membuat banyak, paling hanya dua potong. Bahkan yang mencapai Rp25 juta ada sertifikatnya. Biasanya yang mengambil adalah kolektor,” ungkapnya.
Proses penciptaan kain dengan tingkat kreativitas yang tinggi itu dilakukan dengan mendesain dan melakukan pewarnaan secara khas dan unik. Karenanya tak heran jika dari sekian banyak perajin tapis di Lampung, karya tapisnya akan mewarnai tas buatan luar negeri yang bakal dipasarkan secara tradisional.
’’Untuk dipasarkan bagi orang asing karena harga yang dibanderol cukup tinggi, mencapai Rp10-20 juta. Dan rencananya produk tersebut akan dipamerkan pada fashion show Oktober mendatang di Bali,” bebernya.
Tetapi dalam perjalanannya menekuni bidang ini, ia mengalami banyak kendala. Pertama, dari bahan baku seperti benang yang mahal karena harganya sesuai dengan kurs dolar. Sebab benang yang digunakan tidak sembarangan, harus yang berkualitas sehingga tahan hingga puluhan tahun. ’’Sehingga nantinya kain ini menjadi barang antik,” katanya.
Kedua adalah SDM, semakin banyak orang yang tidak mau mengerjakan tapis karena lebih memilih menjadi pembantu rumah tangga atau kerja di toko-toko. “Memang membuat tapis termasuk rumit, jadi banyak yang memilih praktisnya padahal dalam masyarakat Lampung, sejak kecil sudah diajari membuat tapis, jadi untuk peningkatan SDM saya mengajarkan tapis kepada anak-anak putus sekolah,” ujarnya.
Selain itu, Raswan juga melatih pengrajin biasa agar menjadi mahir dengan cara memberikan upah yang lebih tinggi sehingga termotivasi.
Berkomitmen Hasilkan Tapis Berkualitas
KETERTARIKANNYA terhadap kain tenun khas Lampung bermula sejak ia kuliah dan melakukan penelitian tentang kebudayaan Lampung bersama Ir. Anshori Djausal, M.T. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk fokus pada bidang sosial dan budaya.
’’Dulu, saya sempat terlibat dalam pembuatan masterplan pariwisata 1989. Dan setiap berkunjung ke daerah-daerah Lampung, saya selalu menanyakan tentang kain-kain Lampung,” kenang Raswan.
Ia menuturkan, ternyata tapis adalah kain asli dari kebudayaan Indonesia, meski ada pengaruh India pada motif kainnya. ’’Sementara menyulam mendapat pengaruh dari Tingkok karena tapis ini lahir pada perkembangan budaya anemisme abad ke-2 sebelum Masehi dan pada masa itu adalah perkembangan agama Hindu dan Buddha,” paparnya.
Hal yang menarik dari tapis, kata dia, adalah kaya akan desain. ’’Desainnya lebih dari seratus. Juga pada proses pembuatannya, hanya tapis yang memiliki dua kali proses pembuatan dibandingkan kain lainnya seperti songket Palembang atau tenun NTT yang hanya satu kali yakni proses menenun pasang motif,” ujarnya.
Sedangkan tapis ditenun dulu, baru disulam dan dimotif kembali sehingga memakan waktu yang lebih lama. ’’Satu kain tapis bisa hingga setahun,” terangnya. Ia juga mengatakan akan tetap berkomitmen membuat suatu produk yang berkualitas dan desainnya berbeda.
Jadi kalau mereka yang pernah melihat atau memakainya pasti tahu dengan hanya melihat desainnya. ’’Dari pewarnaan, penyulaman, dan desainnya memiliki ciri khas sendiri, seperti penggunaan warna-warna yang etnik,” ujarnya.
Tanahdatar Pamer Kawa Daun
BANDARLAMPUNG – Salah satu peserta luar Lampung yang ikut berpartisipasi pada Gebu Minang Expo di Bambu Kuning Square (BKS) adalah Kabupaten Tanahdatar. Jauh-jauh datang dari Sumatera Barat, mereka bukan tanpa misi. Daun kopi kering atau yang sering disebut kawa daun sengaja dibawa ke Lampung untuk dipamerkan.
Kawa daun merupakan bahan baku sebuah minuman khas Tanahdatar. Rasanya pun seperti kopi, namun tidak sepahit yang Anda bayangkan. Pasalnya setelah meminumnya badan akan terasa segar.
Pembuatan minuman ini sangat unik. Yaitu dari daun kopi yang digoreng di atas bara (panggang) hingga kering. Penyajiannya adalah dengan merebusnya sampai sari pati daun ini keluar dan mengakibatkan warna hitam seperti kopi.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kabupaten Tanahdatar Rina Aziz mengungkapkan, kawa daun merupakan minuman tradisional.
’’Konon dulu ketika zaman Belanda rakyat Indonesia tidak diperbolehkan memetik kopi. Namun, daunnya diperbolehkan untuk diambil. Karena saking penasarannya, dijadikanlah minuman daun kopi,’’ terang Rina kemarin (26/1).
Minuman ini disajikan dengan batok kelapa untuk meminumnya. Sangat tradisional memang. Setengah batok rebusan kawa daun ditambahkan gula dan perasan jerus nipis, akan menambah kesegaran minuman ini. pengadukan minuman ini pun menggunakan kayu manis. Kebanyakan orang lebih mengenalnya dengan lemon tea.
Bagi Anda yang bergender laki-laki, minuman ini sangat cocok untuk menambah stamina badan. Minuman ini juga dihadirkan dengan penambahan telur ayam kampung. Harga yang ditawarkan untuk satu gelas kawa daun adalah Rp2.000. Sedangkan untuk penambahan telur dihadirkan dengan harga Rp5.000. atau dapat membeli bentuk keringnya yaitu hanya dengan Rp10 ribu per bungkusnya.
Tidak hanya minuman khas saja yang dihadirkan Kabupaten Tanah Datar. Terdapat juga minuman kopi pinang dan ramuan pinang. Kedua minuman ini terbuat dari bahan-bahan rempah yang menyehatkan tubuh.
Khas Tanahdatar berikutnya adalah daka’-daka’ simabur. Sebuah makanan yang terbuat dari tepung beras. Harga per ¼ kg Rp15 ribu. Makanan ringan lain yang ditawarkan di stan ini adalah bungo durian, emping jagung, pias kacang, kacang goreng pasir, dan kerupuk kulit.
’’Namun kerupuk kulit sudah habis saat pembukaan pameran kemarin, masyarakat banyak yang menyukainya,’’ tutur Rina.
Di samping makanan dan minuman, Tanahdatar menawarkan berbagai jenis kain. Seperti, songket, tenunan silungkang, sulaman, dan bordiran. Bagi Anda yang ingin berburu makanan khas Sumatra Barat bisa mengunjungi stan Tanahdatar.
Kawa daun merupakan bahan baku sebuah minuman khas Tanahdatar. Rasanya pun seperti kopi, namun tidak sepahit yang Anda bayangkan. Pasalnya setelah meminumnya badan akan terasa segar.
Pembuatan minuman ini sangat unik. Yaitu dari daun kopi yang digoreng di atas bara (panggang) hingga kering. Penyajiannya adalah dengan merebusnya sampai sari pati daun ini keluar dan mengakibatkan warna hitam seperti kopi.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kabupaten Tanahdatar Rina Aziz mengungkapkan, kawa daun merupakan minuman tradisional.
’’Konon dulu ketika zaman Belanda rakyat Indonesia tidak diperbolehkan memetik kopi. Namun, daunnya diperbolehkan untuk diambil. Karena saking penasarannya, dijadikanlah minuman daun kopi,’’ terang Rina kemarin (26/1).
Minuman ini disajikan dengan batok kelapa untuk meminumnya. Sangat tradisional memang. Setengah batok rebusan kawa daun ditambahkan gula dan perasan jerus nipis, akan menambah kesegaran minuman ini. pengadukan minuman ini pun menggunakan kayu manis. Kebanyakan orang lebih mengenalnya dengan lemon tea.
Bagi Anda yang bergender laki-laki, minuman ini sangat cocok untuk menambah stamina badan. Minuman ini juga dihadirkan dengan penambahan telur ayam kampung. Harga yang ditawarkan untuk satu gelas kawa daun adalah Rp2.000. Sedangkan untuk penambahan telur dihadirkan dengan harga Rp5.000. atau dapat membeli bentuk keringnya yaitu hanya dengan Rp10 ribu per bungkusnya.
Tidak hanya minuman khas saja yang dihadirkan Kabupaten Tanah Datar. Terdapat juga minuman kopi pinang dan ramuan pinang. Kedua minuman ini terbuat dari bahan-bahan rempah yang menyehatkan tubuh.
Khas Tanahdatar berikutnya adalah daka’-daka’ simabur. Sebuah makanan yang terbuat dari tepung beras. Harga per ¼ kg Rp15 ribu. Makanan ringan lain yang ditawarkan di stan ini adalah bungo durian, emping jagung, pias kacang, kacang goreng pasir, dan kerupuk kulit.
’’Namun kerupuk kulit sudah habis saat pembukaan pameran kemarin, masyarakat banyak yang menyukainya,’’ tutur Rina.
Di samping makanan dan minuman, Tanahdatar menawarkan berbagai jenis kain. Seperti, songket, tenunan silungkang, sulaman, dan bordiran. Bagi Anda yang ingin berburu makanan khas Sumatra Barat bisa mengunjungi stan Tanahdatar.
Tapis Kian Dinamis
KAIN batik sudah ditetapkan sebagai warisan bangsa Indonesia. Demikian juga puluhan motif kain songket Palembang sudah mendapatkan hak paten. Bagaimana dengan kain tapis yang merupakan karya seni kebudayaan asli Lampung?
Belakangan, sejumlah desainer terus mengembangkan kreasi kain tapis. Bukan hanya ingin dilirik secara nasional, tapi juga agar kain tapis dapat go international sehingga menjadi salah satu khasanah kebudayaan Indonesia yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Salah satu desainer yang cukup intens melestarikan kain tapis adalah Raswan. Pemilik House of Kebaya & Raswan Tapis ini selalu memodifikasi tapis agar dapat terus dikenakan para generasi muda yang kini semakin dinamis.
Upaya Raswan yang diiringi dengan menggelar pameran dan fashion show terus membuahkan hasil. Bahkan apresiasi datang dari Ketua Umum Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) Herawati Boediono pada Gebyar Tapis di Bandarlampung belum lama ini.
Menurut Herawati ketika itu, tapis mengalami perkembangan pesat dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Istri Wakil Presiden Boediono ini pun mengungkapkan kekagumannya terhadap tapis karya Raswan. Di mana kini tapis tidak hanya dapat dipakai pada acara resmi. Namun, dapat dipadupadankan dengan pakaian kasual dan modern.
’’Sekarang banyak tapis berbahan ringan dan modelnya disesuaikan dengan zaman,” ungkap Raswan
Sementara pada waktu Gebyar Tapis lalu, Raswan menampilkan dua puluh karyanya. Sebagai cenderamata, Raswan memberikan tapis motif bintang perak kepada Herawati. Bahan pada tapis itu tidak hanya terdiri atas unsur benang emas, melainkan campuran benang sutera merah biru dan cokelat yang dikemas dalam sarung serta selendang.
Kain Tapis dari Masa ke Masa
Disebutkan bahwa orang Lampung telah menenun kain brokat yang disebut nampan (tampan) dan kain pelepai sejak abad ke-2 Masehi. Motif kain ini ialah kait dan kunci (key and rhomboid shape); pohon hayat; dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal.
Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan, dan bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.
Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh tradisi Neolitikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.
Masuknya agama Islam di Lampung ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis. Walaupun unsur baru itu telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan.
Adanya komunikasi dan lalu lintas antar-kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan zaman bahari sudah mulai berkembang sejak zaman kerajaan Hindu Indonesia serta mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam antara 1500–1700.
Bermula dari latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi seniman pencipta jelas memengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-ide pada kehidupan sehari-hari yang berlangsung di sekitar lingkungan seniman di mana ia tinggal. Penggunaan transportasi pelayaran waktu itu dan alam lingkungan laut telah memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal.
Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan.
Houndstooth, Pola Klasik yang Modern
MOTIF houndstood tak pernah lekang dimakan zaman. Kesan klasik dari pola seperti gerigi anjing pemburu, kadang terlihat seperti motif zigzag, dalam warna hitam dan putih ini tetap menunjukkan modernitas pemakainya. Motif tekstil berpatron segiempat dengan sudut yang tidak beraturan ini kali pertama muncul sebagai tenunan untuk pembungkus keranjang di abad ke-19.
Pemilik Imun’s Butik Plaza Lotus Maimun Apriliani mengatakan, seiring perkembangannya, motif ini banyak dilirik perancang busana untuk pakaian musim dingin dengan bahan wol. ’’Dan ke arah yang lebih modern, houndstooth di Indonesia banyak diganti dengan bahan spandek atau sifon sehingga nyaman dipakai di segala suasana,” katanya.
’’Kini banyak pakaian yang kembali hadir dengan motif houndstooth dengan material tipis. Tidak hanya mantel, tetapi juga kemeja, dress, rompi, rok, legging, dan lainnya. Bahkan motif ini dipakai sebagai aksesori seperti dasi, jilbab, tas, dan sepatu,” kata mahasiswa IBI Darmajaya Lampung ini.
Imun –sapaan akrab Maimun– menambahkan, memakai pakaian atau aksesori bermotif houndstooth akan terlihat lebih menawan dengan paduan kain polos. Tidak melulu harus serasi dengan atasan atau bawahan. Kecuali untuk setelan jas, kemeja dengan motif houndstooth cukup serasi dipadukan dengan blazer berwarna gelap seperti abu-abu atau blue marine.
’’Motif houndstooth sudah rame, kalau dipadukan dengan kotak-kotak lagi akan terlihat aneh,” ujar perempuan berjilbab ini.
Tidak hanya motif yang bervariasi, houndstooth juga memiliki banyak pilihan warna. Diantaranya hitam, abu-abu, pink, merah, dan lainnya. Bagi yang berjilbab, akan tetap terlihat anggun dengan motif houndstooth dengan sedikit menambahkan sentuhan aksesoris sebagai pemanis pada bagian yang menjadi pusat perhatian. Diantaranya seperti gelang atau jam tangan.
Padukan motif tersebut dengan jilbab polos dan alas kaki bertumit yang akan menambah kesan elegan saat mengenakannya. ’’Kalau memakai jenis dress sebaiknya tambahkan belt untuk menyiasati bagian perut,” kata dia.
Selain itu, jika menggunakan motif ini, sebaiknya pakai aksesori berwarna gold untuk menghilangkan kesan pucat pada si pemakai. Ketika menggunakan warna silver, maka akan terlihat pucat. (
Pemilik Imun’s Butik Plaza Lotus Maimun Apriliani mengatakan, seiring perkembangannya, motif ini banyak dilirik perancang busana untuk pakaian musim dingin dengan bahan wol. ’’Dan ke arah yang lebih modern, houndstooth di Indonesia banyak diganti dengan bahan spandek atau sifon sehingga nyaman dipakai di segala suasana,” katanya.
’’Kini banyak pakaian yang kembali hadir dengan motif houndstooth dengan material tipis. Tidak hanya mantel, tetapi juga kemeja, dress, rompi, rok, legging, dan lainnya. Bahkan motif ini dipakai sebagai aksesori seperti dasi, jilbab, tas, dan sepatu,” kata mahasiswa IBI Darmajaya Lampung ini.
Imun –sapaan akrab Maimun– menambahkan, memakai pakaian atau aksesori bermotif houndstooth akan terlihat lebih menawan dengan paduan kain polos. Tidak melulu harus serasi dengan atasan atau bawahan. Kecuali untuk setelan jas, kemeja dengan motif houndstooth cukup serasi dipadukan dengan blazer berwarna gelap seperti abu-abu atau blue marine.
’’Motif houndstooth sudah rame, kalau dipadukan dengan kotak-kotak lagi akan terlihat aneh,” ujar perempuan berjilbab ini.
Tidak hanya motif yang bervariasi, houndstooth juga memiliki banyak pilihan warna. Diantaranya hitam, abu-abu, pink, merah, dan lainnya. Bagi yang berjilbab, akan tetap terlihat anggun dengan motif houndstooth dengan sedikit menambahkan sentuhan aksesoris sebagai pemanis pada bagian yang menjadi pusat perhatian. Diantaranya seperti gelang atau jam tangan.
Padukan motif tersebut dengan jilbab polos dan alas kaki bertumit yang akan menambah kesan elegan saat mengenakannya. ’’Kalau memakai jenis dress sebaiknya tambahkan belt untuk menyiasati bagian perut,” kata dia.
Selain itu, jika menggunakan motif ini, sebaiknya pakai aksesori berwarna gold untuk menghilangkan kesan pucat pada si pemakai. Ketika menggunakan warna silver, maka akan terlihat pucat. (
Senin, 06 Mei 2013
The Mary Hunt Kahlenberg Collection, Five Centuries of Indonesian Textiles
Sudah banyak buku ditulis mengenai tekstil Indonesia, tetapi kain Nusantara seperti sihir yang mendorong banyak orang terus menggali dan menuliskan tentangnya. Begitu juga dengan Mary Hunt Kahlenberg.
Dia memilih judul The Mary Hunt Kahlenberg Collection, Five Centuries of Indonesian Textiles (2010), karena di antara kain asli Nusantara koleksinya, terdapat tenun dari abad ke-15. Umumnya kurator dan kolektor kain skeptis terhadap kemampuan kain Nusantara bertahan ratusan tahun, karena dibuat lokal dan dikenakan sehari-hari, kain dapat diganti setiap saat begitu lapuk.
”Banyak orang meragukan kain asli Indonesia dapat bertahan dalam waktu panjang, mengingat udara yang panas dan lembap, serta cara penyimpanannya,” papar Kahlenberg di Museum Tekstil Jakarta, Desember lalu.
Kahlenberg yang tinggal di Santa Fe, AS, datang ke Jakarta bersama suaminya, Robert T Coffland, untuk diskusi buku yang diadakan antara lain oleh Museum Tekstil dan Perhimpunan Wastreprema. Ia merasa tertantang membuktikan usia kain Nusantara dengan lebih akurat. Selain memakai metode sejarah-seni, yaitu membandingkan corak atau tenunan dengan monumen arsitektur dan lukisan manuskrip sezaman, juga dengan uji karbon C-14.
Tahun 2003, ia mengirim contoh benang tenun dari tiga kain koleksinya, masing-masing dari Poso, Sulawesi Tengah; Komering di Sumatera Selatan; dan Timor di NTT, untuk uji karbon di Swiss.
Hasilnya, kain Komering berasal dari tahun 1403-1501 dengan kemungkinan 98,5 persen. Benang lungsi terbuat dari sutra dan benang pakannya katun bercorak ikat pakan cukup rumit. Kain ini juga memakai benang emas di tepinya. Sedangkan kain dari Poso diduga berasal dari tahun 1419-1627 dengan peluang 95 persen, sementara kain dari Timor diperkirakan berasal dari tahun 1419-1520.
”Uji tersebut membuktikan kain Indonesia dapat bertahan melalui waktu karena dijaga sebagai benda berharga milik keluarga. Kualitas kain-kain tersebut masih bagus. Tradisi menjaga kain sebagai benda berharga harus dipertahankan,” paparnya.
Cinta
Pertanyaan yang sering ditujukan kepada Kahlenberg, mengapa mencintai kain, terutama kain Indonesia? Ia bercerita, tumbuh besar dalam keluarga yang mengoleksi aneka pita dan perca kain yang dianyam para perempuan di keluarga besarnya. Hal itu memesona Kahlenberg, apalagi kemudian neneknya memberi pita-pita koleksinya untuk dia.
Tentang kain Indonesia, ia mengaku alasannya tak rasional. Dia jatuh cinta begitu saja saat pertama kali melihat foto kain Indonesia yang dikirim ahli dan penjual kain asal Belanda, Laurens Langewis. Pertengahan tahun 1960-an itu, Kahlenberg adalah kurator Museum Tekstil, Washington, AS. Foto-foto tersebut mendorongnya membaca lebih dalam buku tulisan Langewis dan Frits A Wagner, Decorative Art in Indonesian Textiles (1964). Dia paling tertarik pada tapis Lampung yang belakangan dia tahu bercorak cumi-cumi.
”Saya terpukau kerumitan corak dan kualitas pembuatannya. Juga kain Indonesia lain, seperti teknik rintang warna pada batik dan berbagai teknik tenun. Itu titik balik penting dalam hidup saya. Sayangnya, tak satu pun dari kain yang ditawarkan itu dibeli museum,” kenangnya.
Rasa penasaran Kahlenberg terobati ketika tahun 1969 pindah ke Los Angeles County Museum of Arts (LACMA) dan menjadi kepala bagian kostum dan kain. Dalam posisi itu, dia terbang pertama kali ke Kalimantan pada 1973. Tahun 1977, dia menyelenggarakan pameran ”Textile Traditions of Indonesia” di LACMA dan menjadi pameran besar pertama di AS khusus tentang kain Indonesia.
Selama 35 tahun sesudahnya, ia menjelajahi pulau-pulau Indonesia. Posisi suami pertamanya sebagai diplomat memberinya kesempatan belajar tekstil di Eropa dan mengunjungi museum untuk mempelajari kain Indonesia, sampai sempat terkunci sendirian. ”Saya tak ingin menyebut nama museumnya,” katanya diiringi tawa.
Di Indonesia, Kahlenberg membangun hubungan dengan orang-orang yang dia temui di desa dan kota, serta membentuk pengetahuan tentang lapis-lapis rumit pemahaman masyarakat Indonesia mengenai kehidupan religius dan sejarahnya yang berkaitan dengan fungsi kain dalam kehidupan.
”Bertemu dengan orang-orang yang membuat dan memakai kain itu sangat menarik, cara menenun dan menangani kain, juga detail kehidupan lainnya,” katanya.
Dia menemukan kesamaan dengan pengalamannya masa kecil, yaitu tradisi pembuatan dan perawatan kain diturunkan dari ibu kepada anak perempuan.
Ia berharap masyarakat dapat menjaga kualitas kain Indonesia karena berhubungan erat dengan tradisi yang dihidupi masyarakat sendiri. Terutama kini, ketika kain diperdagangkan dan kualitas ditentukan pembeli. ”Tentu, kain harus berkembang mengikuti perubahan waktu. Tetapi, sebagai pembeli, kita harus berusaha membeli kain yang bagus,” tandasnya.
Mengenalkan Indonesia
Meskipun kini tak terlalu kerap ke Indonesia, dia mengaku terus meriset kain. Bukunya, setebal 398 halaman termasuk indeks, bercerita tentang masyarakat pembuat kain-kain tersebut. Koleksinya lebih berdasar kualitas istimewa kain daripada kumpulan kain karena komunitas pembuatnya.
Melalui koleksi 350 lebih kain dan penjelasan yang ditulis beberapa ahli kain, antara lain Ruth Barnes dan Rens Heringa, pembaca diajak mengenal cara masyarakat Nusantara memandang dunia dalam dan dunia luar, yang bahkan bagi banyak pembaca Indonesia sekali pun merupakan pengetahuan baru.
Sebagai sarjana sejarah seni, Kahlenberg mendekati kain Indonesia melalui kacamata antropologi, seperti umum dilakukan para ahli kain, serta pendekatan seni dan sejarah. ”Menulis dari sisi seni lebih sulit karena menyampaikan apa yang kita rasakan, bagaimana pengaruh emosionalnya ketika kita melihat (kain),” ungkapnya.
Tantangan lain, meyakinkan masyarakat dunia, terutama di Barat, kain Indonesia adalah karya seni, bukan sekadar kriya. Oleh karena itu, dia berusaha membuat buku ini indah. ”Untuk membuat orang membaca dan melihat, lalu berpikir, oh (kain-kain) ini indah,” ungkap Mary Hunt Kahlenberg.
Selasa, 30 April 2013
Identitas Lokal Mulai Tergerus Industri
Dewasa ini identitas bangsa kita mulai tergerus oleh kepentingan industri. Hal tersebut tampak dari mulai sulitnya menemukan para perajin di daerah-daerah yang masih mengenal karya aslinya.
"Ada mata rantai yang lepas, tatkala masing-masing daerah melakukan modifikasi produk dengan kiblat Jakarta. Mereka selalu berusaha mengerjakan yang laku di daerah lain," kata Samuel Wattimena, perancang nasional, dalam serasehan peluang kerjasama dengan dunia usaha, khususnya fashion dan aksesoris etnik komunitas adat terpencil di Jakarta, Senin (12/10).
Untuk itu, ia mengaku sudah mulai membatasi diri memodifikasi produk lokal. Menurut dia, tiap daerah menunjukkan dulu kekhasan produknya ke masyarakat luas, supaya satu daerah dengan daerah lain saling mengenal kekayaannya. "Selain itu, kita mesti mendata supaya kita tahu kekuatan kita di mana," ujar Samuel.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa produk asli dan tiruan dari masyarakat lokal tidak boleh dipertentangkan. Keduanya saling mengada untuk saling melengkapi. "Kita tetap membutuhkan batik genuine, tapi juga perlu batik cap atau print," ungkap Samuel memberi contoh.
Produk yang asli, ucapnya, berhubungan dengan jati diri dan identitas suatu daerah dan tentunya bangsa kita. Sedangkan produk turunan atau tiruannya dibutuhkan untuk industri dan sosialisasi. "Batik boleh dicap untuk industri dan sosialisasi. Karena tidak semua orang bisa membeli yang tulis atau geniune," tutur Samuel.
Produk asli ini, tambah Samuel menjadi perhatian dari Departemen Sosial (Depsos). Departemen ini tidak berkonsentrasi pada pendapatan ekonomi, tapi untuk menjaga keasliaan dari komunitas yang bersangkutan. "Sedangkan Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian menginginkan perputaran yang cepat. Mereka orintasinya income," papar Samuel.
"Ada mata rantai yang lepas, tatkala masing-masing daerah melakukan modifikasi produk dengan kiblat Jakarta. Mereka selalu berusaha mengerjakan yang laku di daerah lain," kata Samuel Wattimena, perancang nasional, dalam serasehan peluang kerjasama dengan dunia usaha, khususnya fashion dan aksesoris etnik komunitas adat terpencil di Jakarta, Senin (12/10).
Untuk itu, ia mengaku sudah mulai membatasi diri memodifikasi produk lokal. Menurut dia, tiap daerah menunjukkan dulu kekhasan produknya ke masyarakat luas, supaya satu daerah dengan daerah lain saling mengenal kekayaannya. "Selain itu, kita mesti mendata supaya kita tahu kekuatan kita di mana," ujar Samuel.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa produk asli dan tiruan dari masyarakat lokal tidak boleh dipertentangkan. Keduanya saling mengada untuk saling melengkapi. "Kita tetap membutuhkan batik genuine, tapi juga perlu batik cap atau print," ungkap Samuel memberi contoh.
Produk yang asli, ucapnya, berhubungan dengan jati diri dan identitas suatu daerah dan tentunya bangsa kita. Sedangkan produk turunan atau tiruannya dibutuhkan untuk industri dan sosialisasi. "Batik boleh dicap untuk industri dan sosialisasi. Karena tidak semua orang bisa membeli yang tulis atau geniune," tutur Samuel.
Produk asli ini, tambah Samuel menjadi perhatian dari Departemen Sosial (Depsos). Departemen ini tidak berkonsentrasi pada pendapatan ekonomi, tapi untuk menjaga keasliaan dari komunitas yang bersangkutan. "Sedangkan Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian menginginkan perputaran yang cepat. Mereka orintasinya income," papar Samuel.
Jumat, 18 November 2011
Jenis Tapis Lampung Menurut Asal dan Pemakaiannya
Jenis Tapis Lampung Menurut Asalnya
Beberapa kain tapis yang umum digunakan masyarakat Lampung Pepadun dan Lampung Saibatin adalah :
Tapis Lampung dari Pesisir :
Tapis Inuh Tapis Cucuk Andak Tapis Semaka Tapis Kuning Tapis Cukkil Tapis Jinggu
Tapis lampung dari Pubian Telu Suku :
Tapis Jung Sarat Tapis Balak Tapis Laut Linau Tapis Raja Medal Tapis Pucuk Rebung Tapis Cucuk Handak Tapis Tuho Tapis Sasap Tapis Lawok Silung Tapis Lawok Handak
Tapis Lampung dari Sungkai Way Kanan :
Tapis Jung Sarat Tapis Balak Tapis Pucuk Rebung Tapis Halom/Gabo Tapis Kaca Tapis Kuning Tapis Lawok Halom Tapis Tuha Tapis Raja Medal Tapis Lawok Silung
Tapis Lampung dari Tulang Bawang Mego Pak:
Tapis Dewosano Tapis Limar Sekebar Tapis Ratu Tulang Bawang Tapis Bintang Perak Tapis Limar Tunggal Tapis Sasab Tapis Kilap Turki Tapis Jung Sarat Tapis Kaco Mato di Lem Tapis Kibang Tapis Cukkil Tapis Cucuk Sutero
Tapis Lampung dari Abung Siwo Mego :
Tapis Rajo Tunggal Tapis Lawet Andak Tapis Lawet Silung Tapis Lawet Linau Tapis Jung Sarat Tapis Raja Medal Tapis Nyelem di Laut Timbul di Gunung Tapis Cucuk Andak Tapis Balak Tapis Pucuk Rebung Tapis Cucuk Semako Tapis Tuho Tapis Cucuk Agheng Tapis Gajah Mekhem Tapis Sasap Tapis Kuning Tapis Kaco Tapis Serdadu Baris
Jenis Tapis Lampung Menurut Pemakainnya :
Tapis Jung Sarat
Dipakai oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat. Dapat juga dipakai oleh kelompok isteri kerabat yang lebih tua yang menghadiri upacara mengambil gelar, pengantin serta muli cangget (gadis penari) pada upacara adat.
Tapis Raja Tunggal
Dipakai oleh isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara perkawinan adat, pengambilan gelar pangeran dan sutan.
Di daerah Abung Lampung Utara dipakai oleh gadis-gadis dalam menghadiri upacara adat.
Tapis Raja Medal
Dipakai oleh kelompok isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara adat seperti : mengawinkan anak, pengambilan gelar pangeran dan sutan.
Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini digunakan oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat.
Tapis Laut Andak
Dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada acara adat cangget. Dipakai juga oleh Anak Benulung (isteri adik) sebagai pengiring pada upacara pengambilan gelar sutan serta dipakai juga oleh menantu perempuan pada acara pengambilan gelar sutan.
Tapis Balak
Dipakai oleh kelompok adik perempuan dan kelompok isteri anak seorang yang sedang mengambil gelar pangeran pada upacara pengambilan gelar atau pada upacara mengawinkan anak. Tapis ini dapat juga dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada upacara adat.
Tapis Silung
Dipakai oleh kelompok orang tua yang tergolong kerabat dekat pada upacara adat seperti mengawinkan anak, pengambilan gelar, khitanan dan lain-lain. Dapat juga dipakai pada saat pengarakan pengantin.
Tapis Laut Linau
Dipakai oleh kerabat isteri yang tergolong kerabat jauh dalam menghadiri upacara adat. Dipakai juga oleh para gadis pengiring pengantin pada upacara turun mandi pengantin dan mengambil gelar pangeran serta dikenakan pula oleh gadis penari (muli cangget).
Tapis Pucuk Rebung
Tapis ini dipakai oleh kelompok ibu-ibu/para isteri untuk menghadiri upacara adat.
Di daerah Menggala tapis ini disebut juga tapis balak, dipakai oleh wanita pada saat menghadiri upacara adat.
Tapis Cucuk Andak
Dipakai oleh kelompok isteri keluarga penyimbang (kepala adat/suku) yang sudah bergelar sutan dalam menghadiri upacara perkawinan, pengambilan gelar adat.
Di daerah Lampung Utara tapis ini dipakai oleh pengantin wanita dalam upacara perkawinan adat.
Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini dipakai oleh ibu-ibu pengiring pengantin pada upacara adat perkawinan.
Tapis Limar Sekebar
Tapis ini dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat serta dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin dalam upacara adat.
Tapis Cucuk Pinggir
Dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat dan dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin pada upacara perkawinan adat.
Tapis Tuho
Tapis ini dipakai oleh seorang isteri yang suaminya sedang mengambil gelar sutan. Dipakai juga oleh kelompok orang tua (mepahao) yang sedang mengambil gelar sutan serta dipakai pula oleh isteri sutan dalam menghadiri upacara pengambilan gelar kerabatnya yang dekat.
Tapis Agheng/Areng
Dipakai oleh kelompok isteri yang sudah mendapat gelar sutan (suaminya) pada upacara pengarakan naik pepadun/pengambilan gelar dan dipakai pula oleh pengantin sebagai pakaian sehari-hari.
Tapis Inuh
Kain tapis ini umumnya dipakai pada saat menghadiri upacara-upacara adat. Tapis ini berasal dari daerah Krui, Lampung Barat.
Tapis Dewosano
Di daerah Menggala dan Kota Bumi, kain tapis ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat menghadiri upacara adat.
Tapis Kaca
Tapis ini dipakai oleh wanita-wanita dalam menghadiri upacara adat. Bisa juga dipakai oleh wanita pengiring pengantin pada upacara adat. Tapis ini di daerah Pardasuka Lampung Selatan dipakai oleh laki-laki pada saat upacara adat.
Tapis Bintang
Tapis Bintang ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat upacara adat.
Tapis Bidak Cukkil
Model kain Tapis ini dipakai oleh laki-laki pada saat menghadiri upacara-upacara adat.
Tapis Bintang Perak
Tapis ini dapat dipakai pada upacara-upacara adat dan berasal dari daerah Menggala, Lampung Utara.
Beberapa kain tapis yang umum digunakan masyarakat Lampung Pepadun dan Lampung Saibatin adalah :
Tapis Lampung dari Pesisir :
Tapis Inuh Tapis Cucuk Andak Tapis Semaka Tapis Kuning Tapis Cukkil Tapis Jinggu
Tapis lampung dari Pubian Telu Suku :
Tapis Jung Sarat Tapis Balak Tapis Laut Linau Tapis Raja Medal Tapis Pucuk Rebung Tapis Cucuk Handak Tapis Tuho Tapis Sasap Tapis Lawok Silung Tapis Lawok Handak
Tapis Lampung dari Sungkai Way Kanan :
Tapis Jung Sarat Tapis Balak Tapis Pucuk Rebung Tapis Halom/Gabo Tapis Kaca Tapis Kuning Tapis Lawok Halom Tapis Tuha Tapis Raja Medal Tapis Lawok Silung
Tapis Lampung dari Tulang Bawang Mego Pak:
Tapis Dewosano Tapis Limar Sekebar Tapis Ratu Tulang Bawang Tapis Bintang Perak Tapis Limar Tunggal Tapis Sasab Tapis Kilap Turki Tapis Jung Sarat Tapis Kaco Mato di Lem Tapis Kibang Tapis Cukkil Tapis Cucuk Sutero
Tapis Lampung dari Abung Siwo Mego :
Tapis Rajo Tunggal Tapis Lawet Andak Tapis Lawet Silung Tapis Lawet Linau Tapis Jung Sarat Tapis Raja Medal Tapis Nyelem di Laut Timbul di Gunung Tapis Cucuk Andak Tapis Balak Tapis Pucuk Rebung Tapis Cucuk Semako Tapis Tuho Tapis Cucuk Agheng Tapis Gajah Mekhem Tapis Sasap Tapis Kuning Tapis Kaco Tapis Serdadu Baris
Jenis Tapis Lampung Menurut Pemakainnya :
Tapis Jung Sarat
Dipakai oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat. Dapat juga dipakai oleh kelompok isteri kerabat yang lebih tua yang menghadiri upacara mengambil gelar, pengantin serta muli cangget (gadis penari) pada upacara adat.
Tapis Raja Tunggal
Dipakai oleh isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara perkawinan adat, pengambilan gelar pangeran dan sutan.
Di daerah Abung Lampung Utara dipakai oleh gadis-gadis dalam menghadiri upacara adat.
Tapis Raja Medal
Dipakai oleh kelompok isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara adat seperti : mengawinkan anak, pengambilan gelar pangeran dan sutan.
Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini digunakan oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat.
Tapis Laut Andak
Dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada acara adat cangget. Dipakai juga oleh Anak Benulung (isteri adik) sebagai pengiring pada upacara pengambilan gelar sutan serta dipakai juga oleh menantu perempuan pada acara pengambilan gelar sutan.
Tapis Balak
Dipakai oleh kelompok adik perempuan dan kelompok isteri anak seorang yang sedang mengambil gelar pangeran pada upacara pengambilan gelar atau pada upacara mengawinkan anak. Tapis ini dapat juga dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada upacara adat.
Tapis Silung
Dipakai oleh kelompok orang tua yang tergolong kerabat dekat pada upacara adat seperti mengawinkan anak, pengambilan gelar, khitanan dan lain-lain. Dapat juga dipakai pada saat pengarakan pengantin.
Tapis Laut Linau
Dipakai oleh kerabat isteri yang tergolong kerabat jauh dalam menghadiri upacara adat. Dipakai juga oleh para gadis pengiring pengantin pada upacara turun mandi pengantin dan mengambil gelar pangeran serta dikenakan pula oleh gadis penari (muli cangget).
Tapis Pucuk Rebung
Tapis ini dipakai oleh kelompok ibu-ibu/para isteri untuk menghadiri upacara adat.
Di daerah Menggala tapis ini disebut juga tapis balak, dipakai oleh wanita pada saat menghadiri upacara adat.
Tapis Cucuk Andak
Dipakai oleh kelompok isteri keluarga penyimbang (kepala adat/suku) yang sudah bergelar sutan dalam menghadiri upacara perkawinan, pengambilan gelar adat.
Di daerah Lampung Utara tapis ini dipakai oleh pengantin wanita dalam upacara perkawinan adat.
Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini dipakai oleh ibu-ibu pengiring pengantin pada upacara adat perkawinan.
Tapis Limar Sekebar
Tapis ini dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat serta dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin dalam upacara adat.
Tapis Cucuk Pinggir
Dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat dan dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin pada upacara perkawinan adat.
Tapis Tuho
Tapis ini dipakai oleh seorang isteri yang suaminya sedang mengambil gelar sutan. Dipakai juga oleh kelompok orang tua (mepahao) yang sedang mengambil gelar sutan serta dipakai pula oleh isteri sutan dalam menghadiri upacara pengambilan gelar kerabatnya yang dekat.
Tapis Agheng/Areng
Dipakai oleh kelompok isteri yang sudah mendapat gelar sutan (suaminya) pada upacara pengarakan naik pepadun/pengambilan gelar dan dipakai pula oleh pengantin sebagai pakaian sehari-hari.
Tapis Inuh
Kain tapis ini umumnya dipakai pada saat menghadiri upacara-upacara adat. Tapis ini berasal dari daerah Krui, Lampung Barat.
Tapis Dewosano
Di daerah Menggala dan Kota Bumi, kain tapis ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat menghadiri upacara adat.
Tapis Kaca
Tapis ini dipakai oleh wanita-wanita dalam menghadiri upacara adat. Bisa juga dipakai oleh wanita pengiring pengantin pada upacara adat. Tapis ini di daerah Pardasuka Lampung Selatan dipakai oleh laki-laki pada saat upacara adat.
Tapis Bintang
Tapis Bintang ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat upacara adat.
Tapis Bidak Cukkil
Model kain Tapis ini dipakai oleh laki-laki pada saat menghadiri upacara-upacara adat.
Tapis Bintang Perak
Tapis ini dapat dipakai pada upacara-upacara adat dan berasal dari daerah Menggala, Lampung Utara.
Kamis, 06 Oktober 2011
Sejarah Tenun Tapis Lampung
Kain Tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat.
Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang lampung telah menenun kain Brokat yang disebut Nampan (Tampan) dan kain Pelepai sejak abad II masehi. Motif kain ini ialah kait dan konci (Key and Rhomboid shape), pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh. Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh taradisi Neolithikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.
Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis ini. Walaupun unsur baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan. Adanya komunikasi dan lalu lintas antar kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan jaman bahari sudah mulai berkembang sejak jaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam antara tahun 1500 1700.
Bermula dari latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi seniman pencipta jelas mempengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-ide pada kehidupan sehari-hari yang berlangsung disekitar lingkungan seniman dimana ia tinggal. Penggunaan transportasi pelayaran saat itu dan alam lingkungan laut telah memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal. Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan. Dalam perkembangannya, ternyata tidak semua suku Lampung menggunakan Tapis sebagai sarana perlengkapan hidup. Diketahui suku Lampung yang umum memproduksi dan mengembangkan tenun Tapis adalah suku Lampung yang beradat Pepadun.
Bahan dan Peralatan Tenun Tapis Lampung
Bahan Dasar Tapis Lampung : Kain tapis Lampung yang merupakan kerajinan tenun tradisional masyarakat Lampung ini dibuat dari benang katun dan benang emas. Benang katun adalah benang yang berasal dari bahan kapas dan digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan kain tapis, sedangkan benang emas dipakai untuk membuat ragam hias pada tapis dengan sistim sulam. Pada tahun 1950, para pengrajin tapis masih menggunakan bahan hasil pengolahan sendiri, khususnya untuk bahan tenun. Proses pengolahannya menggunakan sistim ikat, sedangkan penggunaan benang emas telah dikenal sejak lama.
Bahan-bahan baku itu antara lain : • Khambak/kapas digunakan untuk membuat benang. • Kepompong ulat sutera untuk membuat benang sutera. • Pantis/lilin sarang lebah untuk meregangkan benang. • Akar serai wangi untuk pengawet benang. • Daun sirih untuk membuat warna kain tidak luntur. • Buah pinang muda, daun pacar, kulit kayu kejal untuk pewarna merah. • Kulit kayu salam, kulit kayu rambutan untuk pewarna hitam. • Kulit kayu mahoni atau kalit kayu durian untuk pewarna coklat. • Buah deduku atau daun talom untuk pewarna biru. • Kunyit dan kapur sirih untuk pewarna kuning.
Pada saat ini bahan-bahan tersebut diatas sudah jarang digunakan lagi, oleh karena pengganti bahan-bahan diatas tersebut sudah banyak diperdagangkan di pasaran. Peralatan Tenun kain Tapis : Proses pembuatan tenun kain tapis menggunakn peralatan-peralatan sebagai berikut : • Sesang yaitu alat untuk menyusun benang sebelum dipasang pada alat tenun. • Mattakh yaitu alat untuk menenun kain tapis yang terdiri dari bagian
Alat-alat : • Terikan (alat menggulung benang) • Cacap (alat untuk meletakkan alat-alat mettakh) • Belida (alat untuk merapatkan benang) • Kusuran (alat untuk menyusun benang dan memisahkan benang) • Apik (alat untuk menahan rentangan benang dan menggulung hasil tenunan) • Guyun (alat untuk mengatur benang) • Ijan atau Peneken (tunjangan kaki penenun) • Sekeli (alat untuk tempat gulungan benang pakan, yaitu benang yang dimasukkan melintang) • Terupong/Teropong (alat untuk memasukkan benang pakan ke tenunan) • Amben (alat penahan punggung penenun) • Tekang yaitu alat untuk merentangkan kain pada saat menyulam benang emas.
Rabu, 20 Juli 2011
Sekilas Tenun Tapis Lampung
Terbentuknya kain tapis Lampung melalui tahapan dan periodisasi waktu yang panjang. Dalam proses perjalanannya terjadi berbagai penyempurnaan, baik dari aspek teknik dan keterampilan pembuatan, bentuk motif yang diterapkan, dan metode penerapan motif pada kain dasar tapis, menyesuaikan dengan perubahan dan perkembangan zaman.
Perjalanan sejarah perkembangan terbentuknya ragam hias, kain tapis Lampung mendapat berbagai pengaruh kebudayan lain, seiring dengan terjalinnya kontak, interaksi, dan komunikasi masyarakat adat Lampung dengan kebudayaan luar. Kebudayaan yang memberikan pengaruh pada pembentukan gaya seni hias kain tapis antara lain, kebudayan Dongson dari daratan Asia, Hindu-Budha, Islam, dan Eropa.
Melalui proses yang panjang, akulturasi terjadi antara unsur-unsur hias kebudayaan asing dengan unsur-unsur hias lama. Unsur-unsur asing yang datang tidak menghilangkan unsur-unsur lama, akan tetapi semakin memperkaya corak, ragam, dan gaya yang sudah ada. Berbagai kebudayaan tersebut terpadu dan terintegrasi dalam satu konsep utuh yang tidak dapat dipisahkan dan melahirkan corak baru yang unik dan khas.
Nilai estetis kain tapis menyatu dalam beberapa azas dan ketentuan, yaitu (1) azas kesatuan organis, (2) azas tema atau konsep, (3) azas keseimbangan, (4) azas bertingkat, (5) azas kerumitan, dan (6) azas kesungguhan.
Kain tapis bagi masyarakat adat Lampung memiliki makna simbolis sebagai lambang kesucian yang dapat melindungi pemakainya dari segala kotoran dari luar. Selain itu dalam pemakaiannya kain tapis juga melambangkan status sosial pemakainya. Makna simbolis kain tapis terdapat pada kesatuan utuh bentuk motif yang diterapkan, serta bidang warna kain dasar sebagai wujud kepercayaan yang melambangkan kebesaran Pencipta Alam. Kain tapis merupakan pakaian resmi masyarakat adat Lampung dalam berbagai upacara adat dan keagamaan, dan merupakan perangkat adat yang serupa pusaka keluarga.
Terkait dengan pemerintahan adat, masyarakat Lampung yang beradat Pepadun memakai sistemkepunyimbangan berdasarkan garis keturunan laki-laki (matrilineal). Pada masyarakat Lampung Pepaduntingkatan punyimbang ada tiga, yaitu: (1) punyimbang marga atau paksi yang membawahi tiyuh(kampung), (2) punyimbang tiyuh yang membawahi beberapa suku atau bilik, dan (3) punyimbang sukuyang membawahi beberapa nuwow balak (rumah adat). Susunan masyarakat yang bertingkat-tingkat mengkondisikan adanya aturan yang mengatur pemakaian kain tapis sebagai busana adat yang menyesuaikan status sosialnya dalam masyarakat. Aturan yang berlaku tersebut juga disertai hukuman atau sanksi adat (cepalo) bagi anggota masyarakat yang melanggarnya.
Dalam rentang perjalanannya, kain tapis tidak hanya menunjukkan suatu proses kontinum kelangsungannya, tetapi juga menampakkan terjadinya perubahan dan pengembangan dalam banyak aspek, seperti pada aspek fungsinya kain tapis berubah dari benda sacral yang terkait erat dengan adat dan kepercayaan masyarakat Lampung berubah menjadi benda profan dan sekuler yang berfungsi untuk komoditi pasar. Pada aspek produknya kain tapis tidak hanya berupa kain sarung adat, tetapi sudah mengalami modivikasi dan diversivikasi sehingga tercipta berbagai produk seni kerajinan kain tapis seperti, busana pesta, busana muslim, hiasan dinding, kaligrafi, partisi ruangan, perlengkapan kamar tidur, tas, dompet, kopiah, tempat tisu, dan sebagainya.
Pada aspek bentuk motif yang diterapkan tidak terjadi perubahan frontal, secara umum bentuk motifnya masih sama hanya terjadi perubahan seiring perubahan bentuk produk yang disertai pengembangan, modivikasi, variasi, penyederhanaan, dan sedikit penambahan. Perubahan signifikan terjadi pada penghilangan makna simbolis-filosofis yang terkandung di dalamnya. Motif kain tapis sekarang hanya dilihat dari aspek keindahannya semata.
Perubahan yang terjadi pada kain tapis Lampung terjadi seiring dengan perubahan masyarakat pendukungnya, seperti adanya interpretasi dan persepsi masyarakat Lampung terhadap kain tapis, keterbukaan masyarakat lampung terhadap berbagai inovasi, ide-ide, dan kreasi baru yang tercermin pada sifat dan watak nemui nyimah, dan nengah nyappur. Kecintaan, keinginan, dan sikap progresif para perajin kain tapis yang didukung bakat seni dan keterampilan teknik yang diturunkan generasi sebelumnya untuk melestarikan, mempertahankan, dan mengembangkan seni kerajinan kain tapis.
Faktor eksternal yang mendorong terjadinya perubahan seni kerajinan kain tapis Lampung, selain berkembangnya dunia pariwisata daerah Lampung adalah adanya lembaga atau institusi pemerintah maupun swasta di Lampung yang berusaha mengembangkan seni kerajinan kain tapis dengan melakukan berbagai usaha, seperti program pelatihan, penyuluhan, dan pembinaan untuk dapat meningkatkan kemampuan teknis, jiwa kewirausahaan, maupun manajemen usaha para perajin kain tapis. Pemerintah juga telah mengambil kebijakan penting dengan menciptakan lingkungan usaha yang kondusif dan memberikan kemudahan dalam bidang produksi, permodalan, distribusi, dan pemasaran.Pembubaran lembaga adat Lampung (kepunyimbangan) oleh pemerintah juga ikut mendorong perubahan yang terjadi pada kain tapis.
Dengan berubahnya struktur pemerintahan, maka lembaga dan organisasi sosial dalam masyarakat adat tidak lagi memiliki legitimasi. Lembaga adat (kepunyimbangan) yang berfungsi sebagai pagar sekaligus kontrol dalam rangka melindungi stabilitas atau equilibrium masyarakat tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Namun akan lebih baik seandainya keputusan pemerintah tentang penghapusan lembaga adat ditinjau kembali, karena adanya lembaga tersebut akan semakin memperkokoh eksistensi kain tapis Lampung.
Selain dampak sosial budaya yang berhasil melestarikan dan mempertahankan kelangsungan seni kerajinan kain tapis, perubahan yang terjadi pada kain tapis juga mempunyai dampak sosial ekonomi. Dampak perubahan kain tapis dari aspek ekonomi sudah jelas pada meningkatnya penghasilan para perajin.
Langganan:
Postingan (Atom)