Tampilkan postingan dengan label sulawesi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sulawesi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Mei 2013

Bersahaja Tetapi Mewah

Indonesia Fashion Week 2013 kembali merayakan kekayaan kain Indonesia. Inspirasi bisa mewujud dalam aneka gaya mulai dari potongan gaun sederhana nan elegan hingga tampilan ceria dalam warna menawan.

Indonesia Fashion Week (IFW) 2013 digelar untuk kedua kalinya di Jakarta Convention Center, Jakarta, 14-17 Februari 2013. Ajang yang diprakarsai Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia bekerja sama dengan Radyatama ini membagi empat hari penyelenggaraan dengan tema masing-masing: busana pesta (cocktail), busana muslim, busana pria dan urban, serta busana dengan potongan kasual.

Pada tema busana pesta, tampil karya para perancang Auguste Soesastro, Denny Wirawan, Ivan Gunawan, Jeanny Ang, Rudy Chandra, Sofie, serta desainer Malaysia, Melinda Looi, dalam beragam cita rasa dan kekhasan gaya.

Auguste Soesastro, perancang yang meluncurkan merek Kraton di New York, Amerika Serikat, pada 2008, menunjukkan bahwa perempuan bisa cantik di mana saja—termasuk dalam pesta—dengan gaya sederhana, intelek, dan elegan. Koleksi yang ditampilkan di IFW kali ini masih kuat menampilkan ciri garis rancangan Auguste yang sederhana, polos tanpa aplikasi, tetapi menuntut kerumitan potongan dan presisi yang tinggi.

Auguste mencontohkan, pada sebuah jaket fuchsia, ia membuat dua kupnat di bahu dan satu kampuh (jahitan yang menyatukan bagian baju) mulai dari bawah lengan hingga kantong di depan. Untuk merangkai bagian-bagian itu menjadi jaket yang terkesan sederhana, pekerja tingkat terampil masih butuh waktu 60 jam.

Pada koleksi musim gugur dan musim dingin 2013-2014 ini, Auguste juga menampilkan kain tenun dari Ayotupas, Timor barat. Kain tenun dari serat organik dengan pewarna alam ini digunakan secara utuh sebagai syal. Ada pula yang dijahit menjadi atasan. Auguste menegaskan, tenun bukan kain yang mudah dijahit karena ketegangan yang tidak sama serta motif yang tampak simetris padahal sebenarnya tak begitu.

Batik monokromatik juga digunakan Auguste untuk bagian atas sebuah gaun berikut setelan selendangnya. Ia meyakini batik sebagai sebuah teknik yang mesti dilestarikan, tetapi motifnya perlu direlasikan dengan seni kontemporer masa kini. Keyakinan itulah yang dituangkan Auguste dalam desainnya.

Sabana megah

Sementara itu, Denny Wirawan mengusung songket Palembang yang tampil berbeda karena dibuat seluruhnya dengan pewarna alam. Songket menjadi komponan utama koleksi busana siap pakai berlabel Balijava pada IFW 2013 ini. Balijava adalah label Denny yang khusus mengolah kain warisan budaya Indonesia.

Denny menyuguhkan konsep padu padan yang kuat pada koleksinya. Beragam jaket, blazer, dan bolero dipadukan dengan blus dan bawahan rok pensil atau celana agak ketat yang lurus ramping. Palet warna tanah—krem, coklat keemasan, khaki, dan abu-abu—yang ia pilih pada koleksi ini, kata Denny, terinspirasi keindahan padang sabana. Hamparan ilalang mengering dan semak belukar liar mempunyai keindahan tersendiri.

Dari imajinasi itu, Denny menuangkannya dalam rancangan busana yang sebagian bersiluet sederhana. Sebagian lagi—pada segmen gaun pesta dan gaun pengantin—Denny menunjukkan bahwa songket berwarna tanah juga bisa terkesan mewah. Untuk gaun malam, penggunaan detail seperti frill, aplikasi bordir, dan bebatuan, dipilih yang berwarna senada sehingga lebih bersahaja.

Organza dan serat nanas ikut mempercantik koleksi busana pesta Balijava ini. Adapun untuk gaun pengantin Denny memadukan songket sutra dengan tulle.

IFW 2013 menjadi kesempatan pertama bagi Ivan Gunawan menampilkan koleksi berbahan kain warisan budaya Indonesia. Meski telah meluncurkan label Ivan Gunawan sejak 2004, Ivan mengakui, sebagian kalangan lebih mengenal sosoknya sebagai selebritas ketimbang garis rancangannya. Ia juga dianggap identik dengan warna-warna terang dan kesan bling-bling.


Kali ini Ivan menggunakan kain tenun Mandar, Sulawesi Barat, dengan tetap mempertahankan gaya ceria. Kepraktisan dan kenyamanan gaun menjadi faktor yang lebih diperhatikan. Motif tenun Mandar yang didominasi kotak-kotak—dalam keseharian lebih banyak dipakai sebagai sarung—diolah Ivan menjadi gaun ringan untuk acara semiformal, juga disulap lebih anggun untuk pesta atau acara lebih formal.

Tenun, misalnya, dibuat menjadi rok pendek berpotongan melebar di bagian bawah yang dipadu dengan brokat sebagai lapisan luar atasan yang ketat. Tenun juga ditampilkan dalam atasan model kemben dengan draperi berpadu dengan rok span semitransparan.

Sebanyak 208 desainer dan 503 merek beragam produk mode berpartisipasi dalam IFW 2013. Pada ajang ini digelar pula pameran dagang, kompetisi, dan seminar, selain pergelaran busana. IFW 2013 mengutamakan produk dengan konten lokal yang berstandar global.

Upaya menjembatani kerja sama para pelaku industri mode pada IFW 2013 didukung pula oleh empat kementerian, yakni Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, serta Asosiasi Pengusaha Indonesia.

Mengenal Teknik Membuat Tenun

Indonesia memiliki kekayaan kain tradisional. Sebut saja kain tenun ikat yang pesonanya bukan hanya berskala nasional tapi juga internasional. Warna dan corak dari helaian benang pakan dan benang lungsin itu menampilkan keragaman, tergantung daerah asal kain tenun ikat tersebut.

Pengamat kain tradisional, Judi Achjadi, mengatakan, tenun ikat Indonesia memiliki ciri khas yang patut dibanggakan. “Tenun Indonesia eksotis. Tidak hanya bisa digunakan sebagai busana tetapi bisa digunakan untuk pelapis interior atau peralatan rumah tangga,” ujar Judi Achjadi saat ditemui pada acara ‘Eksotika Tenun Indonesia’ di Gallery Springhill, Kemayoran, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Tenun ikat itu, kata Judi, hasil kerajinan tangan yang terbuat dari helaian benang pakan dan benang lungsin yang disusun dengan alat tenun bukan mesin. Kain-kain tradisional itu dipakai dalam berbagai kegiatan atau upacara keagamaan. Kain tenun juga dipakai untuk kebutuhan sehari-hari.

Menurut Judi, kain itu harus dilestarikan. Alasannya, kain sebagai kekayaan budaya bangsa itu bisa berkembang seiring dengan perkembangan zaman.

Saat ini, masyarakat sudah tak asing dengan tenun ikat. Motif yang hadir bukan melulu tradisional tapi juga dikembangkan sesuai selera masyarakat masa kini. Banyak daerah di Indonesia yang masyarakatnya memiliki budaya tenun ikat.

Namun, lembaran kain itu sulit berkembang di luar budaya pendukungnya. Pasalnya, masih ada yang menganggap harga kain tradisional itu terhitung mahal. Apalagi jika kain itu memakai benang emas. Selain itu, perawatan kain tradisional cenderung merepotkan karena harus dengan perlakukan tertentu. “Tenun sebaiknya tidak dicuci. Cukup diangin-anginkan saja. Jika dicuci, akan merusak lapisan emas pada benang,” ujar pakai kain tradisional Asmoro Damais.

Eksotika tenun Indonesia

Perancang busana kondang juga terpesona tenun ikat, seperti Oscar Lawalata dan Carmanita. Karya busana rancangan keduanya tampil pada acara ‘Eksotika Tenun Indonesia’ di Gallery Springhill, yang memadukan tenun ikat Indonesia.

Para peraganya ibu-ibu rumah tangga yang memamerkan busana dari tenun ikat Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera, dan Bali. Kain-kain rancangan keduanya diambil dari binaan Perkumpulan Pesona Kain Indonesia yang diketuai Ikke Nirwan Bakrie.

Di tangan Oscar dan Carmanita, busana-busana itu terlihat formal dan non-formal. Busananya dipadu dengan aksesori dan sepatu yang serasi sehingga ibu-ibu rumah tangga itu tampil bak peragawati profesional di atas catwalk.

Oscar Lawalata memadukan kebaya lengan panjang, kebaya lengan pendek, kebaya lengan tiga perempat, dan modifikasi baju bodo, dengan tenun ikat. Warna-warna kain terlihat trendi, seperti biru toska, merah menyala, merah marun, dan hitam-putih.

Sedangkan Carmanita menghadirkan kebaya modern bergaya tumpuk dengan rimpel yang dipadu dengan kain songket Sumatera Barat, songket Jambi, tenun Singaraja-Bali, tenun Sambas Kalimantan, dan ulos Sumatera Utara. Busana-busana itu terlihat sederhana dan ringan, sehingga yang memakainya nyaman. (

Selasa, 30 April 2013

Baju Bodo dan Songket dengan "Modern Twist"

Hampir setiap manusia memiliki khayalannya sendiri. Hidup di negeri dongeng dengan segala keindahan dan kenikmatan hidup adalah salah satunya. Ada yang berusaha mewujudkan negeri dongeng dalam khayalannya ke dalam kehidupan nyata, ada pula yang mendiamkan negeri dongeng itu tetap bersarang di benak. Hengky Kawilarang adalah satu yang berusaha mewujudkan negeri dongengnya menjadi nyata.

Di Jakarta Fashion and Food Festival 2011, Hengky mewujudkan negeri dongeng dalam fashion show-nya yang bertema "My Fairy Tale". "Saya terinspirasi ketika berkunjung ke berbagai pelosok Indonesia, dan menemukan batik, songket, dan pecinan Indonesia yang beragam. Lalu saya mulai merancang songket dan batik. Melalui koleksi saya kali ini, saya ingin menunjukkan bagaimana mengenakan batik dengan modern style," ungkap Hengky dalampress conference di Harris Hotel Jakarta.

Untuk peragaan busana tunggalnya yang pertama ini, Hengky mempersembahkan 60 koleksi yang terbagi dalam tiga bagian: Oriental, The Indonesian Culture, dan Le Couture. Koleksi The Oriental yang mengeksplorasi kain etnik dengan warna-warna lembut yang modern didedikasikannya untuk pelanggan orientalnya. Koleksinya terinspirasi dari baju cheong-sam dan busana Eropa yang begitu mewah, dikombinasikan dengan kain batik pesisir dan tenun garut.

The Indonesian Culture terinspirasi dari kebaya kurung dan baju bodo. Koleksi ini menampilkan berbagai kain songket Palembang, songket Bali, dan sutera Makassar dengan permainan warna yang cerah. Le Couture terinspirasi dari gaun pengantin dan kebaya yang telah dirancang untuk pelanggannya. Koleksinya mengeksplorasi keindahan batik white on whitedan songket emas Palembang, kain tenun Garut, dan jumputan Palembang, dalam konsep busana pengantin internasional.

"Garis rancangan saya mengedepankan keindahan, romantisme, dan kemewahan. Keindahan diwujudkan dalam gaya yang penuh dengan kualitas tinggi. Romantisme digambarkan melalui warna-warna indah yang menciptakan detail unik dan feminin. Sentuhan kemewahan terwujud dengan aplikasi kristal, payet, bebatuan, dan logam," katanya.

Warna-warna yang dipilih tidak lagi pucat seperti ciri khas Hengky selama ini. Pada peragaan kali ini Hengky banyak bermain dengan warna-warna pastel dan warna-warna cerah hingga penggunaan warna shocking pink yang sangat berani. Warna-warna pastel yang lembut dipadukan dengan aksen berkilau pada dada dan pinggang banyak ditemukan pada koleksinya. Ada pula blazer dari kain songket warna pink, serta blazer panjang dari kain songket yang melengkapi dress pendek.

Beberapa gaun rancangannya menampilkan gradasi warna hijau, kuning, dan biru. Ada pula motif kain batik yang dimasukkan pada bagian dada dan bagian bawah gaun, sedangkan gaunnya sendiri berwarna pastel polos.

Untuk gaun pengantin, Hengky mencoba mengombinasikan busana pengantin dari China dengan Jawa, serta Sumatera dengan gaun internasional. Ia mencoba mengakomodasi kain etnik kontemporer pada koleksinya. Bentuk gaunnya didominasi oleh bagian bawah gaun yang mekar mulai ujung lutut dengan aksen batik atau bunga. Sedangkan bagian atas gaunnya ada yang berbentuk kemben maupun one shoulder.

Rabu, 24 April 2013

Melihat Pembuatan Tenun Khas Mandar


Tangan terampil menari di atas benang-benang. Di bawah rumah panggung khas Mandar, seorang perempuan Mandar bernama Mudia menekuni kain tenun yang tengah dibuatnya. Mudia adalah warga Desa Bonde di Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.

“Ini tradisi dari lama. Kalau Bapak yang nelayan pergi melaut, Ibu di rumah menenun supaya tidak ada yang menganggur,” ceritanya sambil sibuk menenun.

Ya, sejak lama, suku Mandar bermata pencarian sebagai nelayan. Daerah Sulawesi Barat yang dihuni suku Mandar memang berada di daerah pesisir. Saat para laki-laki melaut, maka istri mereka menenun kain.

Nelayan bisa pergi melaut hingga berhari-hari. Sambil menunggu suami pulang, sang istri pun tetap bisa menghasilkan uang dengan berjualan kain.

Bunyi kayu beradu khas alat tenun tradisional. Murdia begitu lincah memainkan gulungan benang dan membuat motif pada kain yang ditenunnya. Ia biasa menyelesaikan selembar kain tenun sendirian selama sepuluh hari.

“Kalau bagi tugas, bisa selesai empat hari,” tuturnya.

Bagi tugas yang ia maksud adalah mulai dari tugas mencelup benang ke pewarna, lalu tugas menggelung benang, dan barulah tugas menenun. Rata-rata kain yang dia buat memiliki lebar 70 sentimeter dengan panjang sekitar satu setengah meter.

Benang yang ia pakai adalah sutera. Pulau Sulawesi terutama Sulawesi Selatan memang penghasil benang sutera. Sulawesi Barat sendiri merupakan provinsi baru hasil pemekaran Sulawesi Selatan. Murdia menuturkan, sehelai kain biasa ia jual dengan harga Rp 400.000.

“Ya, modal benang Rp 200.000,” katanya.

Ada beberapa sure atau motif khas Mandar. Salah satunya selintas mirip dengan kain sarung. Motif Parara merupakan motif yang biasa dikerjakan, bentuknya kotak-kotak. Warna-warna khas tenun Mandar adalah warna dingin seperti hitam dan hijau gelap, selain juga warna merah gelap.

Jadi, jika berkesempatan mampir ke Majene, berkunjunglah ke Desa Bonde untuk melihat proses pembuatan kain tenun khas Mandar secara tradisional. Lokasi desa ini sekitar tujuh kilometer dari pusat kota Majene.

Saat memasuki desa ini, suasana tradisional masih kental terasa dengan rumah-rumah panggung dari kayu yang berusia ratusan tahun dan cara hidup masyarakat yang juga masih memegang teguh adat istiadat Mandar.

Kain Tradisional dalam Koleksi "Ready-to-Wear"


Citra kain tradisional kini makin terangkat di dunia fashion. Panggung mode di Jakarta Fashion & Food Festival (JFFF)  menampilkan ragam koleksi busana ready-to-wear dengan sentuhan kain tradisional karya para perancang lokal. Kain tradisional dirancang dengan konsep modern, edgy, modis, sehingga menambah pesonanya.

Desainer ternama yang tergabung dalam Ikatan Perancang Muda Indonesa (IPMI) menampilkan konsep busana bergaya etnik dengan ragam pilihan kain tradisional. Sebut saja kain lurik Jawa, tenun ikat NTT, tenun sutera Makassar, tenun Badui, tenun Garut, kain Jambi, dan songket Bali, yang semuanya dirancang menjadi koleksi busana siap pakai.

Era Sukamto dengan tenun Badui dan Garut
Peragaan busana IPMI "Ethnic" pada Senin  lalu menampilkan Era Sukamto dengan koleksi busana dari tenun bertema "Sonata". Era mengangkat tenun Badui dengan teknik gedogan dan tenun ATBM Garut, dengan motif geometris. Motif tenun yang kaya makna ditafsirkan Era dengan busana ringan, romantis, modern, lengkap dengan detail menarik yang menonjolkan feminitas perempuan. Penafsiran Era dalam busana koleksinya terinspirasi dari makna tenun Badui yang memiliki arti cinta universal, cinta empat arah, atau dimensi paralel antara Tuhan, leluhur, alam, dan sesama manusia.

Barli Asmara dengan tenun sutera Makassar
Anggota baru IPMI, Barli Asmara, untuk pertama kali hadir di JFFF kedelapan. Busana ready-to-wear rancangan Barli memesona dengan mengangkat kain tenun sutera Makassar atau dikenal sutera Bugis (Lippa Sabe). Koleksi busananya bertema "Ecletic" dengan warna kalem dan feminin, seperti pink dan ungu. Barli membuktikan, rancangannya memberikan kesan tradisional modern pada busana siap pakai dalam balutan tenun Makassar.

"Kain tradisional sebagai inspirasi jangan dianggap tidak bisa tampil modern, edgy," katanya saat konferensi pers menjelang peragaan busana di Hotel Harris Kelapa Gading, Jakarta, Selasa

Stephanus Hamy dengan tenun NTT
Hamy tampil dalam dua kali show dalam satu malam. Pertama, Hamy menampilkan koleksi second line miliknya, "Earthnic". Satu panggung dengan Barli, Hamy mengawali peragaan busana dengan mengeluarkan koleksi jaket wanita dari tenun Nusa Tenggara Timur. Motif tenun Sumba yang identik dengan gambar binatang, terlihat apik dirancang dalam model jaket oleh Hamy. Ragam motif tenun NTT hadir dalam desain berbeda dengan sentuhan jebolan Lomba Perancang Mode Femina 1983 ini. Kesan modern, feminin, kental terasa dalam koleksi "Earthnic".

"Setiap daerah punya tenun, dan pasar tenun tradisional semakin baik. Permintaan tenun juga tinggi, satu dua tahun terakhir tenun semakin booming. Namun, kemampuan sumber daya masih terbatas. Karena itu, saya menggunakan tenun ATBM, bukan gedog, tetapi juga tidak menggunakan tenun yang terbuat dari mesin. Tenun mesin menghilangkan nilai tradisi dari tenun itu sendiri. Setiap perajin tenun punya hasil yang berbeda meski motifnya serupa. Perajin mengerjakannya dengan penuh perasaan sehingga tenun memiliki nyawa," kata Hamy.

Lagi-lagi, tenun menjadi primadona, disukai pasar dan dicintai perancang yang menafsirkan ragam tenun Nusantara dalam koleksi busananya. Menurut Hamy, peminat tenun terus bertambah seiring dengan banyaknya kegiatan yang menjadikan tenun sebagai dress code. Kain tenun tak lagi hanya digunakan sebagai selendang. Kini, kain tenun semakin elok melekat di tubuh sebagai rok, jaket, atau blus wanita.

"Dulu jualan busana kain tenun itu susah. Saya sudah delapan tahun menggunakan tenun NTT. Namun, kini permintaan semakin banyak, bahkan kesulitan untuk memenuhi permintaan khusus untuk tenun gedog," aku Hamy, yang juga menggelar pertunjukan tunggal "Jambi to Bali" seusai menampilkan koleksi "Earthnic".

Selain tenun, Hamy juga menangkap keindahan kain tradisional Jambi dan kain songket Bali. Ia kemudian merancang busana berlabel Hamy Culture, dengan padu-padan jaket, celana panjang, rok paduan kain Jambi, dan songket Bali.

Musa Widyatmodjo dengan lurik Jawa
Lain lagi dengan desainer kenamaan Musa Widyatmodjo. Bersama mitranya, Yogi Soegyono, Musa merancang kain lurik Jawa dalam model busana siap pakai untuk perempuan modern yang tegas, cerdas, dan elegan. Ia menamakan koleksinya "The Luric(she)ll", mewakili citra perempuan yang memiliki tekad kuat, dengan mengaplikasikan lurik dalam busana smart-casual hingga cocktail.

"Kain lurik Jawa diolah menjadi bahan utama busana maupun sebagai aksen. Kain lurik sejalan dengan tren fashion tahun ini dengan elemen garis," kata Musa dalam konferensi pers di Hotel Haris Jakarta, Jumat

Senin, 15 April 2013

Kain Tenun Khas Bira Laris Manis Jelang Lebaran


Pesanan sarung tenun khas Bira, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, melonjak tajam. Perajin tenun tradisional yang pada umumnya dikerjakan oleh kaum perempuan tersebut mengaku kewalahan memenuhi banyaknya pesanan yang datang.

"Berbeda Lebaran tahun sebelumnya, pesanan kain sarung tenun Lebaran tahun ini cukup banyak, sehingga kami kewalahan memenuhi kebutuhan mereka," ujar seorang perajin tenun tradisional, Mariana.

Per lembarnya sarung tenun khas Bira dijual mulai dari Rp 310.000 hingga Rp 600.000, tergantung dari motif maupun corak warna yang dipesan oleh konsumen. Menurut Mariana, Lebaran tahun ini, pesanan kain sarung tenun buatan perempuan Bira itu pada umumnya datang dari luar Sulawesi Selatan.

"Pesanan yang datang rata-rata dari Samarinda, Sumbawa dan Manado, sehingga kami harus menyelesaikan secepat mungkin. Konsumen meminta agar pesanan kain tenunnya sudah diterima empat hari dari hari-H nya," jelasnya.

Mariana mengaku untuk pengerjaan sehelai kain tenun sarung dikerjakan selama satu minggu. Sehingga untuk memenuhi pesanan konsumen yang datang, Mariana biasanya meminta bantuan kepada keluarganya atau tetangganya.

Minggu, 24 Juli 2011

Tenun Sutera Sulawesi Selatan Yang Mempesona

Tanah Air kita masih menyimpan berbagai kekayaan tradisi lainnya yang menunggu untuk dieksplorasi. Misalnya saja sutera alam yang menjadi produk unggulan Sulawesi Selatan. 

Salah satu orang yang menyadari betul potensi tersebut adalah perancang busana Carmanita. Dalam sebuah pertunjukan fesyen, ia menampilkan sejumlah kreasi busana berbahan Celebes silk. 

Ada 20 potong busana yang diperagakan dalam pertunjukan yang berlangsung sejak pukul 12.30 WIB itu. Pergelaran ini termasuk dalam rangkaian acara South Sulawesi Silk Day, yang digelar Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam upaya menembus pasar internasional. 

"Terutamanya untuk mengangkat baju bodo (pakaian adat Sulawesi Selatan) kembali," ujar Carmanita saat ditanya tentang konsep pertunjukannya. 

Desainer yang membutuhkan waktu seminggu untuk menyiapkan koleksi tersebut, bermain dengan motif ikat dan printing Toraja nan manis. Sementara untuk teknik, ia memilih metode draping dalam membuat busana. 

"Semua draping. Kalau pakai patron itu, pertama, membuat kita tergantung. Selain itu, paternity. Membatasi. Kalau draping, kan, bebas," katanya. 

Kedua puluh busana yang dipamerkannya terdiri atas setelan atasan longgar dan celana model jodhpur, rok panjang, serta sejumlah gaun. Semuanya hadir dalam perpaduan warna dan corak yang berani, mulai dari hijau, biru, merah, kuning, cokelat, hitam, putih, dan oranye. 

Ia sendiri enggan memberikan judul pada koleksinya, termasuk kapan dan siapa yang pantas mengenakannya. "It's a free fashion," cetusnya lugas. 

Lantas, sulitkah mengolah kain tradisional tersebut menjadi busana yang sesuai dengan cita rasa kekinian? Ternyata tidak. 

"Tidak susah mengolahnya. Kalau sudah terbiasa, enggak ada persoalan," katanya enteng. 

Kendala 
Selama ini, Sulawesi Selatan memang terkenal dengan produksi suteranya. Persuteraan alam di daerah tersebut, khususnya pertenunan gedogan telah ada sejak abad ke-16. Kegiatan budidaya murbei dan ulat sutera dikembangkan sejak tahun 1960-an, yang diikuti dengan berkembangnya industri pemintalan dengan puncak produksi benang sutera pada 1970-an. 

Akan tetapi, beberapa tahun belakangan ini produksi benang sutera Sulawesi Selatan mengalami penurunan. Menurut Kepala Bidang Promosi Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Provinsi Sulawesi Selatan Sukarniaty Kondolele, pada tahun 2000 produksi benang sutera alam di Sulsel mencapai 250 ton pertahun. Angka tersebut terus menurun menjadi 200 ton pada 2007, dan merosot tajam menjadi hanya 80 ton pada 2009. Akibatnya, ketika ada permintaan tinggi, para pengrajin tidak mampu memenuhinya. 

Industri tekstil di negara  kita sendiri, diakuinya, masih bergantung pada sutera impor dari Cina. Kenyataan inilah yang lantas membuat Carmanita pesimistis sutera Indonesia bisa go international. 

"Bahan baku tidak mungkin diekspor. Kita aja kekurangan," katanya. 

Selain itu, masalah lain yang menjadi perhatian desainer tersebut adalah teknik pewarnaan kain. "Banyak warna-warna striking. Warnanya luntur. Saya mau bantu perbaiki pewarnaannya, sama tata letak tatanan motif."