Sabtu, 08 Desember 2012

Tenun Ikat Khas Waingapu Sumba Timur, NTT


Tenun ikat merupakan salah satu hasil kerajinan tangan masyarakat Waingapu di kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.  Membuat kain tenun ikat merupakan kebiasaan wanita Waingapu sejak ratusan tahun lalu. Hingga kini, mereka membuat kerajinan ini untuk dipakai sendiri ataupun dijual ke orang lain. Hendrik Pali, salah seorang warga Lambanapu, Waingapu menceritakan, masyarakat Waingapu pada awalnya menjadikan tenun ikat sebagai satu perlengkapan penting dalam acara adat istiadat, seperti pernikahan ataupun upacara penobatan raja. Namun setelah Indonesiamenjadi Negara Republik, tidak ada perbedaan, semua dapat mengenakan kain tenun dengan berbagai motif dan jenis. Bahkan kini, tenun ikat telah menjadi bahan untuk aneka kerajinan, seperti tas, selendang, serta baju.


"Jadi itu fungsinya itu, gunanya, kalau dulu itu untuk sosial budaya ya. Sosial budaya itu adat istiadat. Kalau kita melamar seorang pengantin putri, itu dari pihak laki-laki membawa kuda, dari pihak wanita itu menyiapkan kain. Dan ini juga fungsinya kalau misalnya kalau pergi pesta ya pakai, memang ada yang khusus kalau dulu. Ada yang dipakai khusus untuk raja-raja dan ada yang dipakai khusus untuk orang biasa. Kalau sekarang ya tidak lagi, setelah negara menjadi Negara Republik itu sudah bebas ya. Hak asasinya disamakan saja. Kalau sekarang ini memang sudah bisa dipakai untuk buat baju, sudah biasa pakai dengan bermacam-macam. Orang sudah jahitin tas, orang sudah jahit baju, orang sudah jahit longdress, sudah bisa saja dipakai begitu. Dan sudah ya dibisniskan juga."



Kerajinan tenun dari Waingapu ini dinamakan tenun ikat karena sebelum ditenun, benang diikat hingga menjadi beberapa ikatan kemudian diberi warna mengikuti pola yang telah ditentukan.  Untuk menghasilkan sehelai kain tenun ikat khas Waingapu tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk proses pewarnaan benangnya saja membutuhkan proses yang bertahap dan butuh kesabaran. Pada musim penghujan, pengrajin tenun biasanya memulai kegiatan dengan mengikat benang, membentuk motif, serta menyiapkan bahan pewarna alami.


Biasanya, mereka membuat warna merah dari akar mengkudu yang dicampur dengan daun loba dan untuk warna hijau dibuat dari zat hijau daun.  Mereka akan memulai proses pewarnaan benang ketika musim kemarau, karena setelah dicelup warna, benang yang telah diikat itu harus dijemur di bawah terik matahari. Untuk menghasilkan satu buah warna yang bagus, paling tidak diperlukan hingga empat kali proses pencelupan.


Itupun, hasil pewarnaan harus diolah kembali dan dijemur selama beberapa waktu. Setelah benang diberi warna, barulah ikatan benang itu dibuka dan benang yang akan ditenun diuraikan satu per satu. Wanita Waingapu kemudian menenun benang ini hingga menjadi selembar kain tenun menggunakan alat tenun tradisional yang terbuat dari kayu. Karena proses yang cukup panjang dan butuh waktu yang cukup lama itulah, tak heran jika Hendrik Pali, seorang warga Lambanapu, Waingapu mengatakan harga kain tenun ikat khas Waingapu relatif mahal bahkan hingga mencapai jutaan rupiah.


"Emang agak mahal ya, karena ini manual ya, dikerjakan manual. Sehari selembar benang, setahun selembar kain. Jadi akan agak mahal dia. Jadi harga itu memang dilihat dari kualitasnya. Ada harga 5 juta, 4 juta, 1 juta, ada yang 500 ribu. Kalau selendang ada yang 60 ribu, 260 ribu."



Pengrajin tenun ikat di Sumba Timur umumnya menghasilkan kain dengan motif hewan dan tumbuhan, seperti udang, penyu, buaya, serta pohon andung, salah satu jenis pohon yang dapat dijumpai di daerah Sumba Timur. Hendrik Pali, seorang warga Waingapu mengatakan motif tenun ikat di Sumba Timur memiliki ciri khas tersendiri dan bagi warga Waigapu, setiap motif itu memiliki arti.  Untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap tentang itu, mari kita dengarkan penjelasan Hendrik Pali berikut ini.


"Motif udang ini ada simbol tersendiri. Simbol itu, orang dulu belum tau tulis dan ingin menyatakan bahwa hidup ini tidak dilenyapkan. Bahkan di balik kematian, ada kehidupan. Karena ada itu punya istilah adatnya, syairnya itu Dulu La Kuraluku Halukulamanumara, seperti udang itu menjelma di kali, di sungai dan seperti orang-orang dulu yang beragama asli dan juga mereka mengatakan setelah kematian ada kehidupan. Dia mau beritahu begitu, nilai religiusnya. Dulu ini kalau ini hanya dipakai oleh raja-raja, buaya dan penyu hanya dipakai oleh raja-raja, karena penyu dan buaya merupakan lambang keagungan dan kebesaran dari seorang raja"



Apa anda mulai tertarik dengan kain tenun ikat khas Waingapu?.  Anda dapat menjadikan kerajinan ini sebagai salah satu cinderamata ketika berkunjung ke kota Waingapu, kabupaten Sumba Timur.

Minggu, 23 September 2012

Tenun Ikat Sintang Lebih Dekoratif

Komisaris Group Femina, Pia Alisjahbana mengatakan, tenun ikat Sintang lebih dekoratif dan dalam bentuk aslinya dengan nilai budaya yang tinggi lebih cocok dipajang untuk hiasan dinding bernilai tinggi.”Saya lihat tenun ikat ini sudah cukup bagus, apalagi dibalik hasil tenunan ada cerita yag menyertainya,” katanya, kemarin.Ia menilai kulitas kain untuk tenun ikat Sintang sudah cukup baik, tinggal mengemas dan mempromosikan terus mennerus kerajinan ini agar bernilai tinggi. “Saya sebenarnya sudah sangat familiar dengan tenun ikat Sintang, sudah beberapa kali saya berkunjung ke Sintang dan melihat langsung kerajinan ini,” kata wanita sukses yang masih kerabat dekat sastrawan angkatan lama Sutan Takdir Aslisjahbana ini .

Ia menilai kemampuan untuk mempromosikan kerajinan khas Sintang ini tentunya akan memberikan nilai tambah lebih baik terhadap hasil kerajinan maupun peningkatan kesejahteraan perajin.“Kalau batik sudah oke. Artinya, secara nasional dan internasional sudah diakui, tinggal bagaimana kita memoles kerajinan tenun ikat ini agar lebih baik dan dikenal luas,” ucapnya.Direktur Yayasan Kobus, Pastor Jacques Maessen mengatakan, ada 1300 penenun yang sudah dibina melalui Koperasi Jasa Menenun Mandiri. “Begitu tahu tenun ikat, saya lihat saya kalau tidak diteruskan,” ucapnya.Ia mengatakan, dahulu, kerajinan tenun ikat ini seperti ditinggalkan padahal kerajinan ini adalah warisan dari nenek moyang yang tidak boleh hilang. “Dan sekarang tenun ikat Sintang ini sudah jadi salah satu kebanggan dunia karena sudah mulai dikenal luas,” ucapnya.

Pia meminta para penenun agar tetap menjaga dan meningkatkan kualitas tenunan dan melakukan proses regenerasi agar kerajinan tenun ikat Sintang tetap lestari.“Kalau bisa para penenun yang sudah tua tidak menjadikan kain hasil kreasinya hanya sebatas pusaka, selain disimpan, sampaikan juga ke anak cucu bahwa ada cerita dibalik kain tenun ini agar mereka nanti tetap ingat dan mengetahui nilai-nilai budaya yang dimiliki nenek moyangnya,” ujarnya. 

Senin, 20 Agustus 2012

Hasil Tenun dengan Alat Gedongan / ATBM


  1. Tenun sederhana.
    Tenun yang dihasilkan dari benang pakan masuk keluar kedalam benang lungsi dengan ritme yang sama, sehingga menghasilkan tenun polos tanpa corak atau dengan corak garis-garis, kotak-kotak sesuai dengan warna dan jenis benang yang dipakai, sehingga menghasilkan tenunan yang disebut tenun lurik (garis-garis) atau tenun poleng (kotak-kotak). Tenun ini banyak dijumpai di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Sulawesi Tenggara.
  2. Tenun ikat lungsi
    Tenun ikat lungsi adalah produk tenun dengan desain yang terjadi dari kumpulan benang lungsi yang dibentangkan pada alat perentang diikat dengan tali rafia berbagai warna yang disesuaikan dengan ragam hias dan warna yang diinginkan, kemudian dicelup. Setelah mengering pada bagian yang ditandai oleh warna rafia tertentu dibuka ikatannya dan dicolet dengan warna yang diinginkan, dilakukan seterusnya pada ikatan warna rafia yang lain dicolet dengan warna-warna yang diinginkan. Setelah kering, kemudian ditata pada alat tenun dan ditenun dengan benang pakan warna tertentu sesuai dengan warna yang diinginkan secara keseluruhan.

    Hasil tenun ikat lungsi banyak dijumpai dari daerah NTB, NTT, Maluku, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat , Sulawesi Utara, Papua Barat
  3. Tenun ikat pakan
    Tenun ikat pakan proses pembuatannya sama dengan tenun ikat lungsi, tetapi yang diikat adalah kumpulan benang pakan sesuai dengan ragam hias dan warna yang diinginkan, kemudian ditenun pada bentangan benang lungsi yang sudah tertata pada alat tenun dengan warna yang yang diinginkan secara keseluruhan.

    Hasil tenun ikat pakan banyak dijumpai dari daerah Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah.
  4. Tenun ikat ganda (ikat lungsi dan pakan)
    Kedua teknik tersebut diatas digabungkan dalam proses penenunannya, sehingga corak akan terbentuk dari persilangan benang lungsi dan benang pakan yang bertumpuk pada titik pertemuan corak yang dikehendaki.

    Hasil tenun ikat ganda dapat dijumpai dari Bali (Tenganan),Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
  5. Tenun songket
    Tenun songket adalah tenun dengan teknik menambah benang pakan sebagai hiasan, yaitu dengan menyisipkan benang perak, emas, tembaga atau benang warna diatas benang lungsi. Penempatannya tergantung dari corak yang diinginkan, ada kalanya penuh dengan berbagai ragam hias, atau beberapa bagian kain saja dan kadangkala dipadu dengan teknik ikat.

    Tenun songket banyak terdapat di daerah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Maluku Utara.

Jumat, 20 Juli 2012

MEMBUAT MOTIF KAIN DENGAN TEKNIK JUMPUTAN

Jumputan adalah salah satu cara pemberian motif di atas kain yang dilakukan dengan cara mengisi kain, melipat kain dan mengikat kain dengan cara tertentu , kemudian mencelup pada larutan zat warna sehingga akan terjadi reaksi antara serat tekstil dan zat warnanya.

Jumputan merupakan salah satu cara pembuatan motif pada kain dengan cara mengikat kain kemudian dilakukan pencelupan atau dyeing. Kain dengan motif jumputan ini banyak ditemukan di daerah Surakarta dan D.I. Yogyakarta. Proses pembuatan kain ini tidaklah sesulit yang dibayangkan hanya dengan mengikat kain dan melakukan pencelupan pada zat warna maka akan tercipta kain bermotif jumputan yang bisa dibuat selendang, angkin, dan pada masa sekarang banyak dibuat pakaian seperti daster, kaos oblong, kebaya dan baju pesta yang mewah. Anda penasaran dengan pembelajaran ini? Ikuti terus materi ini selanjutnya karena semua hal tentang jumputan akan ditemukan di sini.

Jumputan dalam bahasa Jepang disebut (shibori,1,2,3) ditemukan sekitar 3000 tahun sebelum Masehi. Jumputan dapat dilakukan dengan cara mengisi kain, mengikat dan melipat kain dengan cara tertentu, kemudian mencelup dalam larutan zat warna yang akan membentuk ikatan reaksi antara serat tekstil dan zat warnanya, sehingga terciptalah suatu motif pada kain tersebut. Perbedaan cara mengisi, melipat, dan mengikat kain akan menghasilkan warna dan motif yang berbeda. Dengan cara ini dapat tercipta ribuan motif.

Kamis, 12 Juli 2012

Bisnis Sarung Tenun Ikat, Produk Menggoda Hingga Mancanegara

Krisis ekonomi yang saat ini terjadi, sangat memukul sebagian besar pengusaha tekstil. Dampaknya selain banyak perusahaan yang harus siap-siap gulung tikar atau mengurangi produksi dan jumlah karyawan yang dipekerjakan.

Kondisi tersebut ditambah pemberlakuan terhadap produk tekstil asal Indonesia di negara-negara maju. Sehingga mengurangi omzet penjualan, yang berakibat suramnya usaha di bidang itu.

Selain itu, juga muncul kasus-kasus yang kian memperburuk usaha tersebut. Sebagai contoh, kasus kebakaran Pasar Tanah Abang, beberapa waktu lalu. Dampaknya sangat berpengaruh terhadap pengusaha garmen. Sehingga daerah yang selama ini banyak menyuplai produk tekstil itu, merasa terpukul karena pasarnya telah rusak akibat kasus kebakaran yang tidak diduga sebelumnya.

Kasus-kasus seperti itu, kian menambah bayang-bayang suram dan tentu terasa menyakitkan bagi sebagian besar pekerja yang sangat menggantungkan masa depannya di sektor tersebut. Mau banting stir ke arah pekerjaan lain, modal keterampilannya sangat kurang. Sehingga selalu kalah dalam persaingan di pasar kerja.

Melihat kondisi seperti itu, menurut Direktur Utama PT Asaputex Jaya Trading and Co, Jamaludin Ali Alkatiri (39), pengusaha harus pandai-pandai mencari peluang usaha yang tepat dan tahan banting.


Usaha yang tepat dan tahan banting, kata pengusaha sarung tenun ikat asal Kota Tegal itu, adalah usaha yang tidak mudah goyah oleh terpaan krisis ekonomi yang berkepanjangan dan pasarnya sangat terbuka lebar baik di dalam maupun di luar negeri. "Bila perlu temukan pasar yang bebas dan tidak dibatasi dengan kuota," papar suami Rachmah Ratu (28) yang dikaruniai dua putri yang masih belia, Riezca (11) dan Sabrina (9).


Dia akui, untuk menemukan usaha seperti itu memang tidak mudah. Sebagai contoh, dia yang kini menggeluti usaha ekspor sarung tenun ikat dengan merek Reizca, Pohon Korma, Rutob, Botol Kumbang dan Al-Hayat, awalnya usaha itu digeluti secara tekun secara perorangan dan berlangsung sudah puluhan tahun.


Sarung tenun ikat yang kini sudah dikenal di kawasan Afrika dan Timur Tengah, atau negara-negara nonkuota atas barang produksinya, awalnya digeluti oleh ayahnya Ali Salim Alkatiri sejak 1947 dengan perusahaan bernama PT ASA yang merupakan singkatan nama tersebut. Menginjak dewasa, dia ikut menawarkan sarung itu dari pintu, sampai akhirnya mendirikan PT Asaputex Nusantara yang kini berkantor di Jl Jalak 124 Kota Tegal.


Perusahaan yang berdiri mulai 15 Januari 1986 ternyata terus berkembang pesat. Bahkan pemasarannya merambah mancanegara seperti kawasan Afrika dan Timur Tengah. Negara-negara itu terus mendesak agar dipasok produk tekstil jenis tersebut.


Namun dengan prinsip geguyuban dalam berusaha yang dikedepankan, membuat dirinya tidak repot-repot untuk memenuhi permintaan pasar yang terbuka luas. Kebersamaan dalam berusaha yang dipegang, akhirnya menjadi penolong untuk terus melanggengkan usahanya.


Yakni, dengan membangun basis ekonomi masyarakat bawah untuk mengikatnya menjadi kekuatan besar. Sejumlah sentra-sentra produksi sarung tenun ikat yang tersebar di Kota/Kabupaten Tegal dan Pemalang diberi modal untuk mengerjakan pesanan dalam partai besar.


"Kita kasih modal bahan baku, benang, pewarna dan lain-lain yang sesuai dengan standar ekspor. Karena 80% produk kita arahnya adalah ekspor," papar Jamaludin. Mitra binaan yang tersebar di tiga daerah itu ada 108 buah, dengan jumlah tenaga kerja mencapai lebih dari 6.000 orang.


Jumlah tenaga kerja sebanyak itu rata-rata mengantongi penghasilan setiap bulan di atas Rp 500 ribu. Sedangkan kini setelah usahanya berhasil merambah mancanegara, dia mendirikan PT Asaputex Jaya Trading and Co di Jl Gadjah Mada No 80 Kota Tegal yang akan melayani ekspor pemasaran produksi sarung-sarung di atas.


Jumlah karyawannya baik di PT Asaputex Nusantara maupun di PT Asaputex Jaya Trading and Co, mencapai hampir 2.000 orang. Dengan penghasilan rata-rata mencapai Rp 750 ribu/bulan hingga Rp 4,5 juta.


Keberhasilannya membangun kebersamaan dalam berusaha dengan merekrut tenaga kerja dalam jumlah ribuan orang, membuat pemerintah pusat kemudian memberikan sejumlah penghargaan. Antara lain, Upakarti pada 1991 dari Presiden, Byasna Bhakti Upapradana tahun 1990 dari Gubernur Jateng, penghargaan dari Wali Kota Tegal pada 1991 dan 1994, penghargaan dari Dekranas Pusat pada 1991 dan Penghargaan dari API dan Masyarakat Tekstil RI pada 1992.


Deretan panjang penghargaan yang diraih pria kelahiran Kota Tegal 29 Maret 1964 itu sangat panjang untuk disebut. Bahkan hanya penghargaan tertentu saja yang dipajang di ruang kerjanya yang sangat sederhana, rapi dan bersih. "Bagi saya, kalau banyak warga masyarakat yang terlibat dalam pembuatan sarung tenun ikat, tentu membuat ekspor ke mancanegara bertambah besar. Ekspor sarung tenun ikat di berbagai negara tidak dibatasi dan itulah yang membuat usaha di bidang ini eksis di tengah krisis pertekstilan nasional," paparnya.


Sementara itu, sebagian besar perajin sarung tradisional tenun ikat khas Kota Kediri, Jawa Timur, kini kebanjiran order. Maklum Lebaran sudah di depan mata. Permintaan yang datang dari berbagai kota di Indonesia, terus meningkat hingga 30 persen.


Hal itu diakui Siti Ruqayah, salah satu perajin sarung tenun ikat asal Kelurahan Bandarkidul, Kota Kediri. Menurut Siti, sejak Juli lalu, permintaan sarung tradisional tenun ikat, meningkat dibanding bulan-bulan sebelumnya. Jika sebelumnya permintaan sarung hanya 500 potong sebulan, kini naik mencapai 650 potong lebih. Untuk memenuhi permintaan pasar, Siti harus menambah jumlah karyawan dari 10 orang menjadi 15 orang.


Selain permintaan kain untuk bahan sarung, Bandarkidul juga memroduksi kain untuk bahan pakaian. Untuk satu potong kain sarung dijual seharga Rp125 ribu. Sedangkan kain katun untuk pakaian dijual seharga Rp42 ribu per-meter. Sementara itu, kain semi sutra dijual Rp72 ribu per-meter dan kain sutra seharga Rp100 ribu per-meter.


Kerajinan kain tenun ikat yang merupakan usaha turun temurun sejak zaman penjajahan Jepang itu banyak digemari pembeli dari Kota Malang, Nganjuk, Surabaya, Bandung, Jakarta, dan Palembang. Tak hanya lokal. Permintaan dari mancanegara pun tak kalah banyakanya. Saat ini baru Singapura dan Malaysia yang acap meminta.


Ada pula pemilik Pandan Sari yang mulai menggeluti bisnis kain tenunikat sejak 2 Maret 1989. Awalnya hanya memroduksi baju dan busana muslim. Namun kemudian berkembang dengan tambahan produk interior.


Produk interiornya kecil-kecil namun beragam. Misalnya, sarung bantal, taplak meja, tas, bed cover dan produk-produk sejenisnya. Kadang ada juga pelanggan yang memesan khusus hiasan untuk sofa. Semua benda itu terbuat dari kain tenun ikat.


Menurut Adistya Gumilang Ramadhan, salah satu pemilik Pandan Sari, tenun ikat banyak diminati konsumen karena dianggap memiliki chemistry khusus dibadingkan jenis kain yang lain. Warnanya yang natural jika dipasangkan untuk interior ruangan membuat suasana menjadi hangat dan nyaman. "Mungkin cara pembuatannya yang manual (hand made) menjadikannya berbeda," lanjutnya.


Menurut Adis, panggilan karib Adistya Gumilang, selama ini kelebihan kain tenun Pandan Sari lebih dikenal di luar negeri. Mulai Jepang, Belgia, Amerika, Australia, hingga Arab Saudi. Hebatnya, menurut Adis, para pelanggan asing itu tak pernah pindah ke lain hati. "Bertahun-tahun pelanggan dari Jepang tetap setia terhadap produk saya," katanya.


Keberhasilan manajemen Pandan Sari merangkul pasar mancanegara dirasa sebagai keberhasilan yang luar biasa bagi Adis. Sebab, sampai saat ini Pandaan belum dikenal sebagai daerah khas penghasil tenun ikat. Adis menyebutkan selama ini yang paling terkenal adalah tenun ikat NTT, Sumbawa, Bali, dan Lombok.


Sebetulnya semua tenun ikat dikerjakan dengan teknik yang hampir sama. Yang membedakan adalah warna-warnanya yang khas di masing-masing daerah.


Jika anda suka dengan warna ngejreng beli saja tenun ikat asal Timor. Sebaliknya, warna-warna kalem bisa ditemui di tenunan ikat Rote dan Ende. Kedua daerah ini memiliki warna dasar yang sama. Yakni hitam dan putih. Tapi, Rote warna tenunnya dominan hitam dan putih saja, sedangkan Ende ada sedikit imbuhan warna cerah seperti biru dan oranye.


Tenun ikat Bali condong pada paduan warna dan motif. Selain itu, tenun ikat Pulau Dewata itu kental dengan unsur religi. Sebab di sana kain tenun ikat sering dipergunakan untuk upacara keagamaan.


Sementara itu, tenun ikat Pandan Sari Pandaan punya ciri khas warna lebih bervariatif. Untuk kiriman ke Jepang warna dominan putih dipadu warna-warna lembut seperti coklat, krem, dan biru tua. Seminggu sekali Adis harus memenuhi pesanan sekitar 100 meter kain tenunan ke Jepang. Menurutnya, kain-kain itu di Jepang digunakan untuk interior ruangan dan sandal.


Sementara untuk pelanggan dari Arab Saudi, jenis yang digemari adalah sarung tenun sutera. Per minggu dia harus mengirimkan 45 lembar sarung. Untuk negara lainnya pemesanan tidak secara rutin, tapi insidental. Namun sekali pesan biasanya dalam jumlah yang besar.


Menurut Adis, keuntungan dari usaha tenun ikat sebenarnya tidak banyak. Karena disisihkan juga untuk pembelian bahan baku dan jasa tenaga kerjanya. Bahan baku miliknya terdiri dari kain sutera 100 persen dan 50 persen. Selain itu juga kain berbahan katun. Keduanya didatangkan langsung dari China dan India.


Untuk keperluan interior, pelanggan Pandan Sari lebih cenderung memilih bahan katun. Sementara untuk kepentingan berbusana, jenis sutera lebih disukai. Sebab, dalam berbusana orang mementingkan prestige.


Di luar keperluan belanja bahan, keuntungan penjualan juga disisihkan untuk pembuatan alat tenun bukan mesin. Yakni alat tenun dari kayu dan dioperasikan secara tradisional.


Jika ditotal semuanya, keuntungan bersih yang didapatkan pengusaha tenun ikat rata-rata di bawah Rp 5 juta untuk setiap pengiriman. Kini, Adis berusaha keras mencari pasar baru untuk mendongkrak penjualannya. Selama ini Adis terkendala keterbatasan sumberdaya tenaga kerja dan mesin.Akibatnya sejumlah pesanan konsumen tak bisa terpenuhi.


Paling tidak dalam sehari per mesin sanggup membuat satu seperempat sarung. Total ada lima sarung. "Iya kalau yang pesan satu klien saja waktu itu. Bertambah satu klien yang memesan sarung saja kemungkinan kami akan kewalahan," ujarnya.


Meskipun pengusaha lainnya ribut mengantispasi masuknya barang buatan luar ke dalam negeri, Pandan Sari justru tidak terpengaruh. Dia yakin dengan perdagangan bebas ini akan memperlebar jangkauannya. Adis yakin produk hand made bercirikan budaya negara pasarnya tidak akan habis. Karena produk adat akan tetap diminati sampai kapan pun.

Rabu, 20 Juni 2012

KEINDAHAN TENUN IKAT DARI "COPA DE FLORES"

Copa de Flores yang berarti Tanjung Bunga merupakan sebutan yang diberikan oleh bangsa Portugis untuk Flores lima abad lalu. Saat kali pertama mereka tiba disana dan terpesona oleh kecantikan pulau tersebut.
Flores dihuni berbagai kelompok etnis dimana masing-masing menempati wilayah tertentu lengkap dengan aturan-aturan adat, kemasyarakatan dan budaya yang berbeda dan mengikat utuh masyarakatnya. Salah satunya adalah Sikka dari etnis mukang.
Sikka di Flores selain sebagai nama etnis juga nama kabupaten dengan Maumere sebagai ibukota. Salah satu yang terkenal dari kekayaan budaya pembuatan tenun ikat yang dipakai dalam setiap upacara adat maupun kehidupan sehari-hari.
Salah satu komunitas yang aktif terus melestarikan dan mengembangkan tenun ikat sekaligus budaya dan kesenian adat Sikka adalah Sanggar Bliran sina bertempat di desa Watublapi 20 kilometer dari Maumere.
Berdiri 1998 di oleh alm. Romanus Rewo, ayahnda dari Daniel David yang kini meneruskan perjuangan sang ayah. Komunitas ini terus menggali dan memberikan kesadaran melestarikan adapt dan budaya Sikka. Untuk pengembangan tenun ikat selalu konsisten dan terus menerus menggali penggunaan motif-motif tradisional, selain kreasi baru dan penggunaan bahan pewarna alami untuk seluruh proses pewarnaan. Untuk lebih memberdayakan anggotanya yang 56 orang itu, salah satu upaya komunitas ini adalah membentuk koperasi (2006) dan memperkenalkan ke berbagai forum nasional maupun internasional. Baik upaya mandiri maupun undangan dari berbagai pihak. Selain itu mereka mendapat bantuan manajemen dari Swisscontact Wisata.
Para perempuan penenun di Watublapi perlahan-lahan beralih dan memilih mengerjakan tenun ikat dengan warna organik yang bahan-bahannya berasal dari tumbuhan local sama seperti yang dilakukan oleh leluhur mereka.
Komitmen tersebut dijalankan bersama dimotivasi oleh beberapa hal, yakni pelestarian warisan budaya bangsa (tenun ikat tradisional dapat dijumpai dari Sabang sampai Merauke), berwawasan lingkungan (mengurangi limbah dari bahan pewarna kimia dan melakukan penanaman kembali tanaman pewarna organic), kesehatan ibu dan anak (pewarna organic aman untuk kesehatan), kesetaraan gender (membantu kaum ibu memiliki penghasilan sendiri) dan mengangkat ekonomi kerakyatan (menambah pendapatan perkapita keluarga).
"Mata pencaharian masyarakat setempat adalah bertani, selama pengamatan selama 3 tahun terjadi peningkatan income setelah mereka juga membuat tenun ikat dalam kelompok kami." Jelas Danial David.
Dalam pameran ini kali mengusung rombongan 18 anggota dari Sikka dan 300 lebar tenun ikat dan sekaligus perangkatnya, seperti alat pintal kapas menjadi benang dan alat tenun.

Selasa, 12 Juni 2012

Palembang Tunggu Hak Paten Motif Songket

Pemerintah Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, masih menunggu hak paten atas usulan 49 motif songket yang mereka daftarkan pada 9 November 2004 ke Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia.
“Sampai kini kami masih menunggu keputusan Menteri Hukum dan HAM mematenkan 49 motif songket dari yang mereka usulkan 71 motif,” kata Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Palembang, Hatta Wazol di Palembang, Sabtu.
Menurut dia, usulan hak cipta motif songket tersebut didaftarkan sejak Tahun 2004. Namun sampai saat ini baru 22 motif songket yang diterbitkan hak patennya, tambah dia.
Ia mengatakan, pihaknya telah mengusulkan kembali 49 motif songket yang belum mendapatkan paten tersebut.
Mendaftarkan hak cipta dan kekayaan intelektual pengrajin songket Palembang tersebut merupakan salah satu upaya melestarikan dan memberikan perlindungan hukum serta penghargaan atas kreativitas pengrajin yang telah bertahan turun temurun, katanya.
Dia menjelaskan, pendataan ulang terhadap 49 motif songket tersebut telah mereka lakukan.
Motif songket yang telah dikreasikan pengrajin tersebut merupakan aset atau kekayaan daerah sehingga wajib diberi perlindungan, ujarnya.
Hatta menambahkan, sebanyak 22 motif songket yang telah dipatenkan tersebut diantaranya lepus pulir tigo negeri, limar berantai, limar mawar jepang berantai, bungo intan dan limar kandang (jando beraes).
Sementara bungo pacik, dua warna bunga kayu apui, lepus bintang berakam, tabur limar bintang gajah mada, jupri dan bungo bakung merupakan sejumlah motif yang kembali diusulkan karena termasuk 49 motif songket yang belum terbit patennya, tambah dia.

Senin, 14 Mei 2012

Raup Omzet Puluhan Juta Dengan Bisnis Kain Songket

Hasanuddin menunjukkan produk songket hasil karyanya yang telah dipasarkan ke berbagai daerah. Membangun kredibilitas dan reputasi di mata konsumen adalah kunci kesuksesan Hasanuddin dalam mengembangkan usaha.
Pantang mengecewakan konsumen adalah modal utama Hasanuddin, 57, dan istri, Purnawati, 52, untuk membesarkan usaha kerajinan songket. “Membangun sikap percaya pada orang lain serta tidak mengecewakan konsumen akan selalu dijaga. Dengan tetap memegang prinsip itu, automatis usaha apa pun yang digeluti akan berbuah manis,” ujar Hasanuddin memulai cerita awal mula terjun ke bisnis songket.
Semula Hasanuddin merupakan pedagang yang membuka usaha rumah makan di Kelurahan 19 Ilir Palembang, Sumatera Selatan. Sementara sang istri secara kecil-kecilan membuka usaha kerajinan songket rumahan di Jalan Talang Kerangga, Lorong Kahamidin, RT 12 RW 94 Kelurahan 30 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II, Palembang.
Bisnis kerajinan songket itu dirintis mulai 1982. Hasil dari usaha songket itu tergolong cukup untuk menopang kehidupan Hasanuddin yang memiliki delapan anak. Hasil pas-pasan itu pun membuat alumnus SMA Veteran Palembang ini tetap bersemangat. Seiring perjalanan waktu, prospek usaha songket di Palembang dan sekitarnya semakin cerah karena tingginya permintaan masyarakat akan produk songket.
Karena itu, pada 1990, Hasanuddin memutuskan mengambil alih manajemen kerajinan songket yang merupakan usaha keluarga yang diwariskan turun-temurun. Keahlian menenun songket ini didapat secara autodidak dari kedua orang tua mereka, M Kawi Hamzah dan Nyayu Ona. “Bakat menenun songket ini sudah lama ada secara turun-temurun,” tutur Hasanuddin.
Selain melihat peluang yang kian besar, Hasanuddin sering teringat pesan kedua orang tua bahwa usaha songket harus tetap dikembangkan agar menjadi khazanah sepanjang masa. Sebab songket memiliki ciri khas tersendiri yang patut dibanggakan.
Bahkan, kerajinan songket ini apabila ditekuni mampu menghasilkan sesuatu yang tak ternilai di samping hasilnya dapat menopang kehidupan keluarga. Hasanuddin kemudian mendirikan usaha songket Harapan Baru pada 1990 dengan modal Rp10 juta.
Modal ini diperoleh dari penjualan songket jantung atau songket lama yang telah diperbarui sedemikian rupa dengan benang emas sehingga bernilai tinggi. Berjualan songket jantung ternyata mampu menopang usaha pria kelahiran Palembang, 15 Maret 1953 ini. Satu buah songket benang emas kristal dijual Rp1,5 juta-Rp4 juta.
Permintaan pasar terhadap songket yang terus meningkat membuat Hasanuddin kewalahan. Dia pun merekrut tenaga profesional terlatih dari sekitar rumahnya untuk melayani permintaan pelanggan yang rata-rata dari kalangan menengah ke atas.
Hasanuddin juga mendatangkan pekerja songket dari Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir hingga Komering sehingga total pekerjanya 40 orang. “Permintaan konsumen tetap nomor satu. Kami harus merangkul lebih banyak tenaga kerja agar semua pesanan dapat selesai sesuai dengan permintaan sehingga kami harus menambah pekerja 5-10 orang,” ucap Hasanuddin.
Songket yang diproduksi Hasanuddin terdiri atas 10 jenis. Di antaranya songket pengantin, songket lepus naga besaung, bunga china, songket lepus beranti, songket limar, songket cantik manis, songket lepus lintang berlapis. Untuk benang terdiri atas berbagai jenis,antara lain benang sutra alam halus, benang emas kristal, benang emas sartini dengan bermacam warna.
Saat itu, per kilo benang sutra alam dibeli seharga Rp800 ribu. Adapun satu ikatan benang emas yang berisi lima ikat dibeli seharga Rp400 ribu. Perjalanan bisnis kerajinan songket ini tidak selalu berjalan mulus. Krisis moneter 1998 yang menerpa Indonesia sempat memukul para perajin songket. Harga bahan baku songket melambung sangat tinggi dan permintaan barang menurun drastis.
Saat krisis itu, pengerjaan satu setel songket memakan waktu satu bulan, paling cepat 20 hari. Satu jenis songket biasa dikerjakan dua orang. Satu orang menenun kain dan yang satu lagi menenun selendang. Untuk satu setel songket, Hasanuddin harus mengeluarkan kompensasi sebesar Rp500 ribu-Rp600 ribu per orang.
Agar usaha songketnya tetap bertahan dari badai krisis ekonomi 1998, Hasanuddin bersama istri dan keluarga memilih opsi menjual harta simpanan 10 suku emas hasil bisnis songketnya untuk menanggung semua biaya operasional dan kompensasi 40 tenaga kerja.
Dua tahun kemudian, Hasanuddin akhirnya tak sanggup lagi menanggung biaya operasional maupun gaji karyawan.Alternatif pengurangan tenaga kerja merupakan jalan akhir yang terpaksa harus dilakukan hingga karyawannya berkurang menjadi 30 orang. Tahun 2000, usaha songket kembali normal seiring dengan membaiknya perekonomian nasional.
Harun Al Rasyid, rekan Hasanuddin yang pada saat itu sebagai pendamping perajin songket Palembang, menyarankan Hasanuddin meminjam modal ke PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) melalui program kemitraan bina lingkungan (PKBL) untuk mengembangkan usaha songketnya.
Saran itu dilaksanakan dan Hasanuddin mendapatkan bantuan Rp20 juta dari Pusri. Setelah melunasi dengan baik pinjaman itu, Hasanuddin mengajukan pinjaman modal lagi ke Pusri. Gayung pun bersambut. Dia kembali mendapatkan pinjaman Rp 40 juta. “Alhamdulillah, berkat kepercayaan Pusri memberikan pinjaman, akhirnya usaha songket saya ini semakin berkembang,” ujarnya.
Sejak mendapat pinjaman dari Pusri itu, lambat laun usaha Hasanuddin terus berkembang. Selain bantuan modal, Pusri juga memberikan pembinaan dan pelatihan tentang tata cara mengelola suatu usaha serta melakukan pemasaran yang baik.
Hasanuddin bahkan pernah melakukan studi banding ke sejumlah usaha di Jawa, termasuk Bandung, Bali, Surabaya, dan Batam yang difasilitasi Pusri. “Saya sering mengikuti pelatihan dan event-event besar seperti pameran dari Pusri ke Jakarta, Bandung hingga Kalimantan. Banyak manfaat yang dipetik dengan mengikuti pelatihan dan pembinaan dari Pusri itu,” tutur Hasanuddin yang kini mempekerjakan 25 orang.
Hasil songket Harapan Baru dipasarkan di toko dekat pintu gerbang sentra songket Talang Kerangga Palembang. Produk songket juga dikirimkan ke Jakarta, Medan, Bandung hingga Kalimantan melalui pameran program PKBL Pusri serta dapat diakses melalui http://www.songketpalembang.com/. Dari usaha membuat songket, Hasanuddin mampu meraup keuntungan Rp30 juta per bulan.
Saat pameran atau event besar, laba bertambah lantaran omzetnya bisa mencapai Rp50 juta sekali pameran. Biasanya setiap mengikuti pameran Hasanuddin selalu membawa 40 setel songket dan rata-rata laku 30 setel setiap pameran.
Berkat kerajinan songket itu, Hasanuddin mampu menyekolahkan anak-anaknya. Ada yang ke jenjang strata satu, diploma tiga, ada yang masih bersekolah di SMA dan SMP. Dia optimistis ke depan usaha kerajinan songket ini akan terus berkembang karena songket sangat dibutuhkan masyarakat.
Biasanya permintaan songket akan ramai sebelum bulan puasa dan sesudah Lebaran atau pada musim resepsi pernikahan. Selain menjual songket, Hasanuddin juga menyediakan suvenir pernikahan seperti gantungan kunci, kipas, dompet, topi, hiasan dinding hingga baju batik.
Sementara itu, ada pula Suaidah, pemilik Kenanga Songket, menggeluti usaha songket karena satu alasan. Dia ingin bisnis songket yang telah ditekuni kedua orangtuanya tetap lestari sampai kapan pun.

Bermula dari usaha orangtua itulah Suaidah yang akrab disapa Cek Ada, menggeluti kerajinan kain songket. Kedua orangtua Cek Ada, Ahmad Zaenuri dan Hj Zubaedah, semasa hidupnya adalah perajin songket ternama di Palembang, Sumatera Selatan. Selepas kepergian kedua orang tuanya menghadap Sang Khalik, Cek Ada mengambil alih usaha tersebut pada 1997. Cek Ada mengakui keputusannya mengambil alih bisnis orangtua karena ingin usaha tersebut dapat terus berkembang. ”Kalau bisa sampai kapan pun,”ungkapnya.

Mengambil alih usaha songket bukan perkara mudah. Selain harus mengetahui seluk-beluk cara pembuatan kain songket, Cek Ada juga harus memikirkan selera pasar yang terus berkembang. Beruntung Cek Ada memiliki orangtua seperti Zaenuri dan Zubaedah.

Pelajaran dari kedua orangtuanya yang telah memperkenalkan kain songket kepada Cek Ada sejak kanak-kanak menjadi bekal berharga saat dia memutuskan mengambil alih usaha tersebut. ”Sejak duduk di bangku sekolah dasar saya sudah diperkenalkan dengan kain songket,” tuturnya.

Bicara kain songket, tentu tak afdol kalau tidak menyampaikan informasi di balik perkembangan kain yang menjadi salah satu ciri khas Palembang ini. Cek Ada menuturkan, kain songket merupakan tenunan benang sutera atau kapas yang ditenun bersama-sama benang emas atau perak. Pada zaman dulu songket melambangkan kebesaran raja-raja dan pembesar-pembesar istana saja yang memakainya. Seiring perkembangan zaman, songket mulai digunakan untuk pakaian pengantin, perhiasan dinding, alas meja, barang-barang cenderamata dan sebagainya. Songket bangsa Melayu menjadi cikal-bakal perkembangan kain songket.

Kata songket sendiri berasal dari ’sungkit’, yaitu teknik menyungkit. Bunga atau hiasan di kepala kain di tenun mengikuti citarasa penenun. Corak atau ragam hias tersebut dikenali dengan nama-nama seperti tapak manggis, pucuk rebung, lawi ayam, dan sebagainya. Menurut Cek Ada, sebagai perajin industri kecil, kemahiran seorang penenun mengambil peran penting atas hasil kain yang diproduksi. Kreativitas menjadi harga yang paling mahal dalam proses menenun.

Dibutuhkan waktu sekitar empat hingga enam pekan untuk menghasilkan sehelai kain songket yang panjangnya 20–40 meter. ”Itulah kenapa tiap bulannya tidak banyak kain songket yang kami produksi,” tutur ibu empat anak ini. Lantaran produk yang dihasilkan tiap bulannya terbatas, melalui bendera Kenanga Songket Cek Ada lantas lebih memikirkan pada penyempurnaan produk dan kualitas produk.

Desain-desain yang lebih memenuhi selera pasar menjadi andalan. ”Ya, desain dan pengembangan produk menjadi salah satu andalan kami untuk tetap eksis di tengah persaingan,” tuturnya.

Pengembangan produk yang dilakukan Kenanga Songket di antaranya menyediakan beraneka macam kain songket, pelangi, baju sutera, tajung, blongsong, jumputan, dan lain-lain. Produk-produk tersebut menjadi hasil karya dari enam orang perajin yang setia mendampingi perjalanan bisnis Cek Ada. Dari sekian produk yang berhasil dikembangkan, songket sutera tenun benang emas menjadi andalan Kenanga Songket. Yang khas dari produk tersebut ialah beragam benang emas yang menghiasinya.

Terdapat beberapa benang emas seperti satibi, kristal,dan jantung. Khusus untuk songket tenun yang menggunakan benang emas jantung, menurut Cek Ada, harganya paling mahal. Produk-produk berkualitas Cek Ada dijual dengan kisaran antara Rp1,5–7,5 juta. Mahal? Tentu saja relatif. Bagi sebagian kalangan yang mengetahui seluk-beluk pembuatan dan bahan-bahan yang digunakan, harga tinggi bukanlah masalah. ”Biasanya konsumen yang paham kain songket berkualitas tak pernah mempersoalkan harga,” ungkap Cek Ada.

Perempuan berusia 50 tahun ini mengatakan, produk-produknya telah menyebar ke mana-mana. Melalui promosi dari mulut ke mulut, produk Kenanga Songket merambah beberapa daerah di Indonesia. Kota Palembang tentu menjadi sasaran produk-produk karya seni bercitarasa tinggi ini.

Sejalan dengan pemasaran yang semakin luas, omzet usahanya meningkat. Setidaknya omzet Rp20 juta per bulan telah mampu dibukukan dari usahanya. Perkembangan usaha Kenanga Songket juga tak lepas dari berbagai kegiatan pemasaran.

Rabu, 25 April 2012

Songket Batubara Menembus Pasar Dunia

Dengan mempertahankan kekhasannya sebagai warisan leluhur, kain songket tetap bertahan di tengah gempuran industri tekstil sejenis. Salah satunya adalah songket Batubara yang memiliki keunggulan di sisi corak dan tenunan yang serba tradisional. Dinamakan kain songket Batubara karena sentra industri tekstil khas Sumatra Utara ini terletak di daerah bernama Batubara di Kabupaten Asahan, Sumatra utara.
Salah satu perajin songket Batubara di Asahan adalah Ibu Ade. Berbekal pengetahuan pembuatan kain tenun yang diperoleh secara turun-temurun, ia merintis usaha pembuatan songket Batubara dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional. Pembuatan songket dimulai dari menyusun benang, menggulung ke papan, memasukkan benang ke sisir, hingga menyusun motif sesuai warna dan grafis tetap dilakukan secara manual.
Kerumitan dan ketelatenan selama proses pembuatan membuat harga songket itu relatif mahal. Harga juga ditentukan kualitas benang dan motif yang dirajut. Kain songket termahal dibanderol Rp 1 juta per helai. Songket ini biasanya menggunakan benang nomor satu dengan jenis motif bunga pika delapan.
Selama ini, Ibu Ade mengaku tak pernah sepi dari pesanan apalagi menjelang Lebaran. Omzet usaha yang dirintisnya kini sudah mencapai Rp 100 juta per bulan. Selain dipasarkan di Sumut dan kota-kota besar di Tanah Air, songket Batubara sudah merambah ke beberapa negara ASEAN seperti Malaysia dan Brunei Darussalam

Sabtu, 21 April 2012

Tenun Ikat Timor Sarat Tradisi Bernilai Ekonomi


Menenun menjadi kegiatan keseharian bagi masyarakat Timor, Nusa Tenggara Timur. Kain tenun ikat bernilai ekonomi tinggi dan menjadi sumber mata pencaharian utama. Satu lembar kain tenun ikat tak hanya bermakna tradisi, namun juga menggambarkan keuletan perajin dalam memproduksinya berbulan-bulan. Kain tenun ikat dari Timor bahkan bisa mencetak sarjana. Inilah pengalaman Cornelis Talom (68) bersama anak dan istrinya dalam melestarikan kain tenun ikat dengan cara sederhana.

Cornelis, tak kenal lelah menawarkan kain tenun ikat buatan istrinya di halaman hotel di Kupang, NTT. Meski hari makin larut, bapak tujuh anak ini masih bertahan berjualan, berharap tamu hotel tertarik membeli kain tenun berwarna cerah, khas motif amanatun dari Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Tak jauh dari tempat Cornelis berjualan, deretan toko suvenir memajang ragam motif kain tenun NTT. Bapak tua ini percaya diri bersaing dengan toko yang menjual berbagai model aplikasi tenun. Sebagai bentuk penghargaan atas usaha perajin tenun, pemilik toko juga tak melarangnya berjualan di depan pertokoan. Rupanya, Cornelis seringkali mengikuti tamu hotel menuju toko tersebut. Ia berharap, pengunjung toko sudi membeli kain yang ditenun keluarganya.

"Saya membawa lima lembar kain dan lima lembar selendang tenun khas TTS untuk dijual 1-2 minggu di Kupang. Saya sudah satu minggu di Kupang, kalau sudah laku, saya kembali ke kampung. Kain tenun ini yang membuat istri dan anak," tutur Cornelis yang berasal dari desa Sahan, kecamatan Nungkolo, kabupaten TTS, NTT.

Cornelis berjualan kain tenun sejak puluhan tahun silam dan memilih cara sederhana menjual produk kerajinan tangannya. Meski sederhana, pria buta huruf ini pantang menyerah menjajakan kain tenun dari desa. Kegigihan inilah yang membuat anak-anaknya bisa bersekolah hingga perguruan tinggi, dan beberapa di antaranya berprofesi sebagai guru. Saat berjualan tenun di Kupang, Cornelis menumpang di rumah salah satu anaknya. "Enam anak saya sudah menikah dan tinggal di Kupang," jelas pria yang tak bisa berbahasa Indonesia ini.

Pengunjung toko atau tamu hotel yang ditawari kain tenun oleh Cornelis, memang membutuhkan orang lokal untuk menerjemahkan bahasanya. Cornelis memang pantang menyerah. Tanpa terlihat ingin dikasihani, ia gigih menawarkan kain tenun dari kampungnya. Ia yakin, akan ada orang lain yang membantunya bertransaksi. Benar saja, malam itu, Cornelis berhasil menjual satu selendang tenun dari TTS kepada pengunjung toko, senilai Rp 75.000.

Sementara, kain tenun model selimut senilai Rp 600.000 belum berhasil terjual. Kakek sembilan cucu ini berharap keberuntungan akan kembali menghampirinya esok hari. Setelah mendapatkan pembeli malam itu, Cornelis beranjak pulang menuju kediaman anaknya. Ia percaya diri, selendang tenun yang diproduksi selama lima hari, dan kain tenun selimut yang dibuat selama delapan bulan, akan memikat hati pengunjung toko atau tamu hotel, esok atau lusa.

Baginya membuat kain tenun di kampung, lalu menjualnya di kota, menjadi pekerjaan menguntungkan. Karena itulah, salah satu anak laki-laki Cornelis melakukan hal serupa. Membuat dan menjual kain tenun dengan cara sederhana seperti bapaknya.


Jumat, 20 April 2012

Songket Minang Di Lirik Amerika

Perempuan berkebaya tidak identik dengan usia paruh baya, tua. Remaja tetap memesona saat berkebaya.

Simpel karena model kebaya yang saya rancang lebih banyak menampilkan model-model kebaya pendek. Namun, dengan sentuhan perubahan ornamen-ornamen ’unik’ lainnya, seperti ’buntut’ di belakangnya, penampilan kebaya tersebut tampak lebih elegan. Keberadaan ’buntut’ tidak permanen sehingga pada suatu kesempatan lain, si pemakai dapat melepaskannya tanpa menghilangkan kecantikan dan keanggunan kebaya tersebut,” kata Riny Suwardy

Ia menambahkan, rancangan kebaya songket Minang telah mendapat tawaran digelar di Amerika Serikat. ”Target saya, songket Minang akan saya buat seterkenal batik dan songket harus go international,” ujar Riny yang kelahiran Jakarta, 19 Januari 1971.

Menurut pemerhati songket, Lia, keindahan kebaya-kebaya pegantin Riny kali ini tampak menjadi sempurna dengan perpaduan songket Minang—yang memang memiliki ciri khas warna-warna berani dan selalu tampil eye catching.”Dengan sedikit sentuhan, Riny menciptakan suatu kolaborasi cantik dan menarik bagi selembar songket Minang. Menjadi perpaduan yang sejiwa dengan kebaya-kebayanya. Apalagi kali ini Riny juga menggunakan songket Minang yang bahannya cukup ringan dan nyaman dikenakan untuk berbagai acara,

Riny menjelaskan, songket Minang amat kaya dengan motif dan maknanya sangat filosofis.”Misalnya, motif pucuak rabuang (pucuk rebung). Dalam filosofi Minang, ketek paguno gadang takapai. Artinya, sewaktu muda sudah berguna, pada masa tua menjadi lebih bermanfaat,” katanya.

Kamis, 22 Maret 2012

Bicara nagari Silungkang, pasti orang akan teringat dengan tenunannya, Apalagi yang namanya “ tenunan Songket, tidak ada orang yang tidak mengenalnya, Bahkan isteri presiden, ny Ani SBY ketika berkunjung ke Sumbar juga sangat tertarik dengan produksi tenunan Silungkang ini. Kehidupan orang Silungkang memang kental dengan kerajinan tenunnya itu, 

Gebrakan ketua tim penggerak PKK Sawahlunto Ny, Emnidar Amran mempromosikan tenunan songket Silungkang sebagai bahan dasar pakaian adat penganten nagari, pakaian anak sekolah, bahkan pakaian pegawai negeri sipil (pns) pada hari Kamis dan jumat diwajibkan memakai pakaian dasar dari tenunan songket, saat ini laku keras, berapa  ada stok, semuanya habis terjual, 

Anjuran isteri walikota Sawahlunto Amran Nur digagasnya 5 tahun belakangan itu saat ini telah membuahkan hasil gemilang, malahan souvenir atau toko-toko yang khusus menjual produksi anak nagari Silungkang disepanjang jalan lintas Sumatera Kecamatan Silungkang Sawahlunto  saat ini kewalahan mencari tenunan Songket Silungkang, imbasnya. Pesanan  datang dari luar Sumatera Barat, seperti dari Pekan Baru- Jakarta dan Surabaya terpaksa ditolak, karena pengrajin kewalahan memproduksi songket dalam jumlah besar.

Penjual Songket Silungkang, Ny, Aina Mardiah, ditemui koran ini di kampung tenun Batu Mananggau desa Silungkang Tigo, mengakui sulit saat ini mencari Songket Silungkang,

“ Enam puluh (60 )orang pengrajin Songket hanya mampu memproduksi 2 kodi songket (40 buah) dalam seminggu. Produksi sebanyak itu hanya mampu mengisi pesanan dalam kota Sawahlunto saja, imbasnya pesanan dari luar Sawahlunto seperti dari Bukit tinggi maupun Padang terpaksa ditolak ujar Aina Mardiah yang juga pengrajin songket itu.

Bahan dasar songket khususnya untuk pakaian anak sekolah maupun pegawai (Pns) dijual seharga Rp.400 ribu/stel, laris manis, semuanya habis terjual, tidak ada stok yang tersisa, tandas pengrajin yang telah menggulati usahanya itu sejak tahun 1980 itu.

Memacu produksi dengan mengerahkan seluruh pengrajin menurut Aina Mardiah, hal yang tidak memungkin, pasalnya, memproduksi songket, tidak bisa dikerjakan dengan mesin, hanya  bisa diproduksi melalui elusan tangan-tangan terampil yang dikerjakan super hati-hati serta penuh kesabaran, ungkap, Aina. 
  
Menurut Aina, produksi Songket Silungkang laris manis, tidak hanya sebatas pesanan pegawai Sawahlunto semata, bahkan pegawai luar daerah lainnya, seperti pns dari kabupatren Sijunjung dan Tanah Datar juga memesan ke Silungkang, disisi lainnya produksi terbatas, sehinga pesanan luar daerah seperti Bukit Tinggi-Padang maupun Jakarta-Pekan Baru tidak terlayani  imbuhnya.

Dikemukakan, Songket laris manis tersebut khusus untuk harga pakaian dasar seharga Rp.400 ribu/stel, kualitasnya cukup baik bisa dibawa ke tempat keramaian seperti kenduri atau ke kantor, sedangkan songket yang bernilai Rp.5 juta s/d Rp 6 juta persedian masih cukup, pasalnya, songket tersebut khusus dipesan untuk cendera mata imbuhnya

Selasa, 20 Maret 2012

Kain Tenun Basurek - Bengkulu

Kain besurek adalah salah satu kain batik hasil kerajinan tradisional daerah Bengkulu yang telah diwariskan secara turun – temurun dari generasi ke generasi. Meskipun kain besurek diyakini sebagai hasil budaya fisik masyarakat Melayu Bengkulu, tapi pada motifnya terlihat pengaruh unsur-unsur kebudayaan Islam, yaitu motifnya yang bernuansa kaligrafi Arab. Dalam perkembangan selanjutnya motif-motif tersebut dimodifikasi dengan menambahkan raflesia, bunga kibut.


Motif asli atau dasar kain besurek terdiri dari tujuh motif, antara lain:


1. Motif Kaligrafi Arab, Arti motif kaligrafi Arab artinya motif pada kain besurek berupa tulisan Arab.


2. Rembulan – Kaligrafi Arab, Motif rembulan dipadu dengan kaligrafi Arab menggambarkan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.


3. Kaligrafi Arab – Kembang Melati, motif ini selain menunjukkan adanya pengaruh Islam (kaligrafi Arab) juga menggambarkan kehidupan flora. Bunga melati adalati salah satu jenis tanaman yang banyak terdapat serta digunakan di Bengkulu sejak dulu.


4. Kaligrafi Arab – Burung Kuau, lukisan burung kuau dan kaligrafi Arab pada kain besurek menggambarkan kehidupan fauna. Burung kuau adalah hasil ciptaan pengrajin sejak dulu.


5. Pohon Hayat – Burung Kuau – Kaligrafi Arab, kain besurek dengan motif ini bisa dikatakan lebih berkembang dari yang disebutkan sebelumbya, karena terdiri dari tiga jenis motif/gambar. Motif kain ini menggambarkan kehidupan flora, fauna, dan pengaruh Islam.


6. Kaligrafi Arab - Kembang Cengkeh – Kembang Cempaka. Motif ini menggambarkan kehidupan flora dan fauna. Kembang cengkeh dan bunga cempaka adalah jenis tanaman yang banyak terdapat di Bengkulu.


7. Kaligrafi Arab – Relung Paku – Burung Punai. Motif ini menggambarkan kehidupan flora dan fauna. Relung paku adalah jenis tanaman yang banyak dijumpai di Bengkulu pada jaman dahulu. Oleh karena itu tanaman inipun mengilhami para pengrajin kain besurek untuk melukisnya di atas kain.