Selasa, 21 Mei 2013

Bersahaja Tetapi Mewah

Indonesia Fashion Week 2013 kembali merayakan kekayaan kain Indonesia. Inspirasi bisa mewujud dalam aneka gaya mulai dari potongan gaun sederhana nan elegan hingga tampilan ceria dalam warna menawan.

Indonesia Fashion Week (IFW) 2013 digelar untuk kedua kalinya di Jakarta Convention Center, Jakarta, 14-17 Februari 2013. Ajang yang diprakarsai Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia bekerja sama dengan Radyatama ini membagi empat hari penyelenggaraan dengan tema masing-masing: busana pesta (cocktail), busana muslim, busana pria dan urban, serta busana dengan potongan kasual.

Pada tema busana pesta, tampil karya para perancang Auguste Soesastro, Denny Wirawan, Ivan Gunawan, Jeanny Ang, Rudy Chandra, Sofie, serta desainer Malaysia, Melinda Looi, dalam beragam cita rasa dan kekhasan gaya.

Auguste Soesastro, perancang yang meluncurkan merek Kraton di New York, Amerika Serikat, pada 2008, menunjukkan bahwa perempuan bisa cantik di mana saja—termasuk dalam pesta—dengan gaya sederhana, intelek, dan elegan. Koleksi yang ditampilkan di IFW kali ini masih kuat menampilkan ciri garis rancangan Auguste yang sederhana, polos tanpa aplikasi, tetapi menuntut kerumitan potongan dan presisi yang tinggi.

Auguste mencontohkan, pada sebuah jaket fuchsia, ia membuat dua kupnat di bahu dan satu kampuh (jahitan yang menyatukan bagian baju) mulai dari bawah lengan hingga kantong di depan. Untuk merangkai bagian-bagian itu menjadi jaket yang terkesan sederhana, pekerja tingkat terampil masih butuh waktu 60 jam.

Pada koleksi musim gugur dan musim dingin 2013-2014 ini, Auguste juga menampilkan kain tenun dari Ayotupas, Timor barat. Kain tenun dari serat organik dengan pewarna alam ini digunakan secara utuh sebagai syal. Ada pula yang dijahit menjadi atasan. Auguste menegaskan, tenun bukan kain yang mudah dijahit karena ketegangan yang tidak sama serta motif yang tampak simetris padahal sebenarnya tak begitu.

Batik monokromatik juga digunakan Auguste untuk bagian atas sebuah gaun berikut setelan selendangnya. Ia meyakini batik sebagai sebuah teknik yang mesti dilestarikan, tetapi motifnya perlu direlasikan dengan seni kontemporer masa kini. Keyakinan itulah yang dituangkan Auguste dalam desainnya.

Sabana megah

Sementara itu, Denny Wirawan mengusung songket Palembang yang tampil berbeda karena dibuat seluruhnya dengan pewarna alam. Songket menjadi komponan utama koleksi busana siap pakai berlabel Balijava pada IFW 2013 ini. Balijava adalah label Denny yang khusus mengolah kain warisan budaya Indonesia.

Denny menyuguhkan konsep padu padan yang kuat pada koleksinya. Beragam jaket, blazer, dan bolero dipadukan dengan blus dan bawahan rok pensil atau celana agak ketat yang lurus ramping. Palet warna tanah—krem, coklat keemasan, khaki, dan abu-abu—yang ia pilih pada koleksi ini, kata Denny, terinspirasi keindahan padang sabana. Hamparan ilalang mengering dan semak belukar liar mempunyai keindahan tersendiri.

Dari imajinasi itu, Denny menuangkannya dalam rancangan busana yang sebagian bersiluet sederhana. Sebagian lagi—pada segmen gaun pesta dan gaun pengantin—Denny menunjukkan bahwa songket berwarna tanah juga bisa terkesan mewah. Untuk gaun malam, penggunaan detail seperti frill, aplikasi bordir, dan bebatuan, dipilih yang berwarna senada sehingga lebih bersahaja.

Organza dan serat nanas ikut mempercantik koleksi busana pesta Balijava ini. Adapun untuk gaun pengantin Denny memadukan songket sutra dengan tulle.

IFW 2013 menjadi kesempatan pertama bagi Ivan Gunawan menampilkan koleksi berbahan kain warisan budaya Indonesia. Meski telah meluncurkan label Ivan Gunawan sejak 2004, Ivan mengakui, sebagian kalangan lebih mengenal sosoknya sebagai selebritas ketimbang garis rancangannya. Ia juga dianggap identik dengan warna-warna terang dan kesan bling-bling.


Kali ini Ivan menggunakan kain tenun Mandar, Sulawesi Barat, dengan tetap mempertahankan gaya ceria. Kepraktisan dan kenyamanan gaun menjadi faktor yang lebih diperhatikan. Motif tenun Mandar yang didominasi kotak-kotak—dalam keseharian lebih banyak dipakai sebagai sarung—diolah Ivan menjadi gaun ringan untuk acara semiformal, juga disulap lebih anggun untuk pesta atau acara lebih formal.

Tenun, misalnya, dibuat menjadi rok pendek berpotongan melebar di bagian bawah yang dipadu dengan brokat sebagai lapisan luar atasan yang ketat. Tenun juga ditampilkan dalam atasan model kemben dengan draperi berpadu dengan rok span semitransparan.

Sebanyak 208 desainer dan 503 merek beragam produk mode berpartisipasi dalam IFW 2013. Pada ajang ini digelar pula pameran dagang, kompetisi, dan seminar, selain pergelaran busana. IFW 2013 mengutamakan produk dengan konten lokal yang berstandar global.

Upaya menjembatani kerja sama para pelaku industri mode pada IFW 2013 didukung pula oleh empat kementerian, yakni Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, serta Asosiasi Pengusaha Indonesia.

Melihat Koleksi Tekstil di Tanahabang

ADALAH Justinus Vinck, tuan tanah Belanda, yang menguasai tanah luas di Weltevreden -kawasan yang antara lain meliputi Lapangan Banteng, Gambir, dan Senen– di tahun 1730-an dan membuat jalur yang menghubungkan Pasar Senen dan Tanahabang –kini bernama Jalan Prapatan dan Kebon Sirih. Ia jugalah yang menciptakan Pasar Senen (Vinck Passer) dan Tanahabang.

Sebenarnya, sejak abad 17 nama Tanahabang sudah mulai terdengar, yaitu saat tentara Mataram mengepung Batavia. Di dataran berbukit bertanah merah dan berawa itulah pangkalan tentara Mataram. Kawasan ini di masa itu juga masih menjadi kebun teh, melati, kacang, sirih, jahe. Pasar Tanahabang yang kemudian dibangun pada 30 Agustus 1735 merupakan pasar tradisional, tak berbeda jauh dengan Pasar di Tanahabang.

Pasar Tanahabang kemudian berkembang menjadi sentra tekstil terbesar di Asia Tenggara.

Namun kali ini bukan soal Pasar Senen atau Pasar Tanahabang yang jadi titik sentral. Dari Pasar Tanahabang ini, agak bergerak sedikit ke arah deretan rel keretapi di mana terdapat sebuah ”kampung”, di dalam kampung besar Jakarta, bernama Bongkaran. Dari sini tengoklah ke seberang. Di sana ada sederet pedagang kaki lima yang memenuhi hampir setengah badan jalan.

Di belakang rimbunan pedagang kaki lima ini akan mencuat sebuah bangunan. Banyak yang tahu bahwa bangunan itu tak lain adalah bangunan Museum Tekstil tapi sebagian besar warga Jakarta dan sekitarnya tak tahu menahu tentang keberadaan bangunan itu. Yang lebih parah, sebenarnya, adalah yang tahu keberadaan dan kondisi gedung itu tapi pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu.

Dari catatan Warta Kota, museum yang tersembunyi di antara keriuhan pedagang tadi berdiri di atas lahan seluas 9.800 m2. Bangunan itu semula milik seorang warga Prancis yang kemudian beberapa kali berpindah tangan. Tahun 1942 bangunan dengan halaman luas itu dibeli Dr Karel Christian Cruq dari tangan seorang konsul Turki. Di masa revolusi, rumah itu dijadikan markas Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Pada 1947 rumah itu dibeli seorang pengusaha bernama Lie Soin Phin yang kemudian dikontrakkan ke Departemen Sosial (Depsos). Tahun 1952 Depsos membeli bangunan itu dan bulan Oktober 1975 menyerahkannya ke Pemda DKI untuk dijadikan museum. Itulah awal keberadaan Museum Tekstil.

Lantas apa saja yang bisa dilihat di museum ini, selain alat tenun nonmesin yang dibuat tahun 1927 dan gedogan (alat tenun tradisional), serta beragam koleksi kain batik, ikat, kain tradisional, lukisan tangan, dan prada? Antaralain ada Bendera Kraton asal Cirebon buatan tahun 1776 yang merupakan panji kebesaran Kesultanan Cirebon; Kain Adat asal Bali dari abad ke -19. Kain ini disebut juga Geringsing Wayang Kebo, merupakan kain tenun yang pembuatannya paling rumit karena menggunakan teknik ikat ganda. Teknik ini adalah teknik langka yang hanya ada di sedikit negara.

Sri Susuhunan Pakubuwono XII menyumbangkan kain motif batik bernama Tumurun Srinarendra (kelahiran raja). Dibuat oleh almarhum Hardjonegoro untuk dikenakan sendiri pada perayaan ulangtahun Sunan Solo. Selain itu ada pula koleksi baju perang Irian Jaya berbahan rotan dan serat alam. Teknik pembuatan dianyam. Baju ini digunakan sebagai busana suku di Papua untuk melindungi dada dari serangan benda tajam.

Tentu tak hanya apa yang bisa disebutkan di sini, dari balik padatnya pedagang, riuhnya kendaraan khususnya angkot, dari buruknya kondisi lingkungan museum, tersembunyi kisah lain perihal sejarah pertekstilan negeri ini.

Perajin Baduy Butuh Suntikan Modal Usaha

Perajin khas kerajinan tradisional Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, membutuhkan suntikan permodalan untuk mengembangkan usahanya.

"Kami berharap pemerintah maupun perbankan menyalurkan bantuan penguatan modal guna meningkatkan produksi," kata Dainah, Kepala Pemerintahan Adat Baduy yang juga Kepala Desa Kanekes, Kamis (14/2).

Menurut Dainah, selama ini perkembangan kerajinan Baduy dinilai berjalan di tempat karena terbentur permodalan juga pemasaran. Perajin saat ini sangat membutuhkan suntikan modal untuk mengembangkan usahanya. "Jika mereka mendapat suntikan modal dipastikan usahanya berkembang," katanya seperti dikutip Antara.

Dainah mengatakan, produk kerajinan Baduy di antaranya kain tenun, golok, tas koja, cindera mata, gula aren, pakaian, selendang, dan samping bisa bersaing di pasar domestik dan mancanegara.

Menurut Dainah, saat ini para perajin Baduy mengeluh karena turunnya omzet penjualan akibat keterbatasan modal tersebut. Perajin hanya mampu memasarkan produknya di kawasan Baduy dan tidak dipasok ke luar daerah. Pihaknya berharap produk-produk kerajinan Baduy bisa ditampung oleh perusahaan.

Dainah menilai produk kerajinan Baduy memiliki nilai jual di pasaran karena bahan bakunya terbuat dari alam, seperti tas koja terbuat dari akar pepohonan yang ada di hutan kawasan Baduy. Harga produk Baduy, seperti kain tenun dijual dengan harga Rp 65.000, baju (Rp 70.000), selendang (Rp 250.000), tas koja (Rp 25.000), dan pernak-pernik dari harga Rp 15.000 hingga Rp 25.000

Wow, Tenun Kolase Kain Lawas Dibanderol Rp40 Juta

Siapa yang mengira kerajinan tenun kolase yang terbuat dari kepingan kain batik lawas bisa bernilai jual tinggi, hingga puluhan juta rupiah. Menurut, Miko Yusuf, salah satu pengelola Galeri Kriya Kertas, ide kolase yang terkesan unik ini muncul dari seorang bernama Fachturrohman selaku yang juga sebagai pemilik Kriya Kertas.

“Saat itu Pak Fachturrohman punya ide untuk menggabungkan berbagai macam kain batik bekas menjadi sebuah komposisi dan warna yang menarik. Muncullah ide untuk melakukan kolase,” jelas Miko saat ditemui Wartakotalive di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta Selatan, Jumat (07/09/2012).

Ditambahkan Miko, bahwa ide penggabungan tersebut tidak hanya sampai pada tahap kolase saja. Namun masih ada proses yang tak kalah penting untuk menjadikan penggabungan serpihan-serpihan kain selebar 4 mili meter itu, menjadi sebuah karya yang lebih menarik dan bernilai seni tinggi.

“Kita tidak hanya berhenti di kolase saja. Setelah kita ukur masing-masing potongan 4 mili, kemudian kita masuk ke tahap penenunan. Proses penenunan ini sangat penting dan butuh keahlian khusus bagi yang melakukannya,” ujar dia.

Jika diamati, tenun kolase kain lawas hasil karya Galeri Kriya Kertas ini nampak seperti lukisan 3 dimensi. Selain permukaan yang halus untuk ukuran kolase, komposisi warna serta kombinasi bahan yang digunakan juga penuh dengan perhitungan-perhitungan matang.

“Jadi ini murni ide dari kami. Kami bahkan tidak menerima pesanan untuk membuat tenun kolase. Pertama, kami punya gambaran ide. Kemudian kami mulai mengumpulkan bahan batik, setelah itu bahan dipotong-potong ukuran 4 mili, baru setelah itu ditenun. Di sini ada persoalan estetika dan faktor rasa untuk mewujudkan karya seni yang beritarasa tinggi,” terang dia.

Menurut Miko, bahan batik yang digunakan berasal dari berbagai daerah, seperti dari Pekalongan, Yogyakarta, Solo, Cirebon dan berbagai daerah yang lain. Sedangkan kesulitan utama yang dihadapi manajemen Kriya Kertas adalah soal pembinaan terhadap tukang tenun, dimana untuk menenun hasil kolase ini dibutuhkan keahlian khusus.

“Untuk itu perlu dilakukan pembinaan untuk penenun. Bahwa menenun potongan-potongan kain 4 mili, tentu saja dibutuhkan kejelian dan kehati-hatian yang ekstra. Sedikit saja salah, bisa rusak. Begitu juga pada saat proses pemotongan. Selain ukuran harus pas, juga harus memperhatikan komposisi warna, sesuai dengan rancangan desain yang sebelumnya telah dibuat,” jelasnya.

Sasar Konsumen Menengah Ke Atas

Diakui Miko, Galeri Kriya Kertas yang beralamat di Jalan Tubagus Ismail Raya nomer 167 Bandung ini kadang kewalahan melayani permintaan pembeli. Di sisi lain, jumlah produksi tenun kolase mereka juga terbatas.

“Ini kan produk seni. Kita juga tidak bisa mematok untuk memproduksi ini secara masal. Anggaplah ini seperti karya lukisan, kita yang membuat nanti kita tawarkan kepada para pecinta kolase. Jadi, sejauh ini kita tidak menerima orderan dari luar,” jelas Miko.

Satu karya tenun kolase kain lawas berukuran besar, imbuh Miko, biasanya dikerjakan dalam waktu 3 bulan oleh satu tim yang terdiri dari 4 orang.

“Jadi ada prosesnya. Dari tercetusnya ide, penyatuan komposisi, pemotongan hingga proses penenunan. Ini pekerjaan seni yang membutuhkan ketelitian. Untuk satu karya berukuran besar, biasanya memakan waktu sampai 3 bulan untuk menyelesaikannya. Untuk ukuran kecil, relatif antara 2 minggu hingga satu bulan. Intinya, waktu pembuatan juga tergantung dengan tingkat kerumitan,” terang dia.

Masalah harga, Kriya Kertas mematok tenun kolase kain lawas ini dengan harga rata-rata 40 juta untuk yang berukuran besar.

“Sebenarnya tidak ada patokan khusus mengenai harga. Tergantung tingkat kerumitan saja. Kalau yang besar rata-rata 40 juta. Ada yang 30 juta juga. Untuk ukuran terkecil, kita jual 2 juta,” jelas Miko Untuk pembeli sendiri, imbuh Miko, berasal dari kalangan menangah ke atas bahwa ada beberapa pelanggan yang berasal dari luar negeri seperti Filipina, Amerika, Spanyol dan negara-negara lain.

Terkait dengan omset, Miko menyebut setiap tiga bulan mereka mampu menjual rata-rata 5 karya kolase berukuran besar. “Kalau satu tenun kolase dihargai rata-rata Rp. 40 juta dan setiap tiga bulan kita bisa menjual 5 karya, ya berarti omsetnya sekitar Rp 200 juta setiap tiga bulan. Itu belum termasuk untuk penjualan kolase berukuran kecil dan kerajinan produksi kami yang lain,” pungkasnya.

Mira Lesmana Promosi Kain Tenun Atambua

Hal yang tidak biasa tampak pada sosok Mira Lesmana (48) pendiri Miles Production, kemarin. Sehelai kain tenun warna kuning terlihat melilit di lehernya.

Kain tenun berwarna kuning itu, kata dia merupakan kain tradisional asal Nusa Tengga Timur (NTT) yang dibelinya di Atambua, saat memproduksi film terbarunya berjudul Atambua 39 Derajat Celcius. "Ternyata kita kaya dengan budaya kain tenun. Ya, itung-itung promosi selendang Nusantara," ujar Mira Lesmana ditemui usai press screening Atambua 39 Derajat Celcius di Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Kuningan, Senin (5/11).

Bukan hanya produser film Sang Pemimpi itu yang mengenakan kain tenun di lehernya, Riri Reza, sutradara film itu, serta pemain dan beberapa kru yang terlibat dalam film itu juga mengenakan kain sutra dengan beragam motif. Mira mengatakan sebagian besar pemain dan kru rebutan berburu kain tenun dari Atambua usai menyelesaikan syuting selama 14 hari.

Kain tenun ini sangat apik dan dikerjakan oleh masyarakat desa di pelosok Timor dengan tangan (hand made). "Ini beneran jahitan tangan lho. Motif depan dan belakangnya sama," ujarnya.

Dalam penggarapan film ini, Mira mengatakan nyaris tidak mengalami hambatan. Bahkan, masyarakat perbatasan Indonesia- Timor Leste itu mendukung penuh kedatangan dirinya. Kakak kandung musisi Indra Lesmana menambahkan, masyarakat di sana sangat ramah dan menyambut gembira penggarapan film ini. Tuan rumah tidak sungkan menyapa duluan, meski belum saling mengenal.

"Tidak ada yang menyulitkan di sana. Sampai polisinya saja membantu kita," ujarnya.

Film Atambua 39 Derajat Celcius ini mengangkat kisah kehidupan masyarakat perbatasan 13 tahun pascamemorandum. Mereka banyak mengalami kesulitan untuk sekedar berkunjung ke makan leluhur atau bersilaturahmi saudaranya yang berada di daerah Timor Leste.

Mengenal Teknik Membuat Tenun

Indonesia memiliki kekayaan kain tradisional. Sebut saja kain tenun ikat yang pesonanya bukan hanya berskala nasional tapi juga internasional. Warna dan corak dari helaian benang pakan dan benang lungsin itu menampilkan keragaman, tergantung daerah asal kain tenun ikat tersebut.

Pengamat kain tradisional, Judi Achjadi, mengatakan, tenun ikat Indonesia memiliki ciri khas yang patut dibanggakan. “Tenun Indonesia eksotis. Tidak hanya bisa digunakan sebagai busana tetapi bisa digunakan untuk pelapis interior atau peralatan rumah tangga,” ujar Judi Achjadi saat ditemui pada acara ‘Eksotika Tenun Indonesia’ di Gallery Springhill, Kemayoran, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Tenun ikat itu, kata Judi, hasil kerajinan tangan yang terbuat dari helaian benang pakan dan benang lungsin yang disusun dengan alat tenun bukan mesin. Kain-kain tradisional itu dipakai dalam berbagai kegiatan atau upacara keagamaan. Kain tenun juga dipakai untuk kebutuhan sehari-hari.

Menurut Judi, kain itu harus dilestarikan. Alasannya, kain sebagai kekayaan budaya bangsa itu bisa berkembang seiring dengan perkembangan zaman.

Saat ini, masyarakat sudah tak asing dengan tenun ikat. Motif yang hadir bukan melulu tradisional tapi juga dikembangkan sesuai selera masyarakat masa kini. Banyak daerah di Indonesia yang masyarakatnya memiliki budaya tenun ikat.

Namun, lembaran kain itu sulit berkembang di luar budaya pendukungnya. Pasalnya, masih ada yang menganggap harga kain tradisional itu terhitung mahal. Apalagi jika kain itu memakai benang emas. Selain itu, perawatan kain tradisional cenderung merepotkan karena harus dengan perlakukan tertentu. “Tenun sebaiknya tidak dicuci. Cukup diangin-anginkan saja. Jika dicuci, akan merusak lapisan emas pada benang,” ujar pakai kain tradisional Asmoro Damais.

Eksotika tenun Indonesia

Perancang busana kondang juga terpesona tenun ikat, seperti Oscar Lawalata dan Carmanita. Karya busana rancangan keduanya tampil pada acara ‘Eksotika Tenun Indonesia’ di Gallery Springhill, yang memadukan tenun ikat Indonesia.

Para peraganya ibu-ibu rumah tangga yang memamerkan busana dari tenun ikat Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera, dan Bali. Kain-kain rancangan keduanya diambil dari binaan Perkumpulan Pesona Kain Indonesia yang diketuai Ikke Nirwan Bakrie.

Di tangan Oscar dan Carmanita, busana-busana itu terlihat formal dan non-formal. Busananya dipadu dengan aksesori dan sepatu yang serasi sehingga ibu-ibu rumah tangga itu tampil bak peragawati profesional di atas catwalk.

Oscar Lawalata memadukan kebaya lengan panjang, kebaya lengan pendek, kebaya lengan tiga perempat, dan modifikasi baju bodo, dengan tenun ikat. Warna-warna kain terlihat trendi, seperti biru toska, merah menyala, merah marun, dan hitam-putih.

Sedangkan Carmanita menghadirkan kebaya modern bergaya tumpuk dengan rimpel yang dipadu dengan kain songket Sumatera Barat, songket Jambi, tenun Singaraja-Bali, tenun Sambas Kalimantan, dan ulos Sumatera Utara. Busana-busana itu terlihat sederhana dan ringan, sehingga yang memakainya nyaman. (

Busana Tenun Memukau Ajang Fashiontastic 2013

Koleksi pakaian besutan desainer Stephanus Hamy membuka fashion show Fashiontastic 2013 di Pondok Indah Mal, Kebayoranlama, Jakarta Selatan, Minggu (5/5). Tak pelak, pengunjung mal tersebut terpukau.

Dengan tema Tenun, Hamy menampilkan deretan baju kasual yang menggunakan bahan dari beragam jenis tenun Nusatenggara Timut dan songket Bali. Koleksi tenun pada ajang itu makin mempertajam kepiawaian Hamy mengangkat kain tradisional menjadi busana cantik dan menawan.

Dalam acara yang mengusung tema EtnoNesia itu, Hamy menampilkan sekitar 32 stel rancangan khusus wanita. Mereka terdiri dari celana kulot, celana jodpur, celana panjang, jacket, dan rok overlap.

Hamy yang saat perhelatan itu, absen karena alasan kesehatan tetap menampilkan ciri khasnya, yakni busana berdetail lipit (pleats). Ia memadupadankan koleksinya yang dikombinasikan dengan lurik atau polosan.

Pada koleksi Stephanus Hamy yang terlihat didominasi warna tanah, namun diselipi juga warna cerah seperti merah, kuning dan hijau daun merupakan koleksi yang bisa digunakan untuk beragam kesempatan bagi fashionista Tanah Air.

Hamy yang merupakan salah satu desainer kebanggaan Indonesia lahir 7 Mei 1960 ini, memang bukan nama asing di telinga fashionista Tanah Air. Maklum, kiprahnya berkecimpung di industri fashion Indonesia selama lebih dari 20 tahun

Tenun Angkat Budaya Bangsa ke Panggung Dunia

Indonesia jangan pernah minder dengan pesatnya perkembangan fesyen dari para desainer dunia. Sebab, saat ini, para desainer Tanah Air juga terus melakukan eksplorasi gaya busana modern dengan mengangkat tema-tema berkaitan kebudayaan tradional Indonesia.

Hal itu diungkapkan oleh Okke Hatta Rajasa, Ketua Cita Tenun Indonesia (CTI), di sela-sela acara fashion showbertajuk The Glorious Handwoven of Indonesia, di Hotel Haris, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (15/5/2013) malam.

"Kita jangan pernah takut dengan modernisasi busana. Justru sebaliknya, jadikan modernisasi ini sebagai momentum untuk menggali apa yang selama ini masih belum diekspose, tentang budaya lokal, untuk kemudian kita angkat dan kita tunjukkan kepada dunia bahwa desainer-desainer Indonesia juga tak kalah," ujarnya.

Okke mencontohkan, dengan diangkatnya tenun menjadi bahan busana modern, itu merupakan upaya luar biasa untuk mengangkat kearifan lokal serta menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat kaya.

"Kain menampilkan identitas dan karakter dari berbagai daerah yang berbeda. Dan semua itu ada ceritanya. Jika tenun diramu menjadi busana yang modern, kain tenun kesannya tidak kain yang berat atau hanya dipakai dalam acara adat, tapi bisa kegiatan sehari-hari," kata Okke.

Maka Okke terus mendorong ke berbagai pihak, khususnya para desainer fashion, agar bersedia untuk menggunakan bahan dan corak tradional yang memiliki makna budaya tinggi dan dipresentasikan secara apik dalam setiap rancangan busana mereka.

"Kami di CTI juga mempunyai program untuk memberikan pelatihan kepada para perajin tenun agar menghasilkan tenun yang berkualitas dalam kerapihan struktur tenun, modifikasi corak tanpa meninggalkan unsur budaya dan warna-warna trend terkini," ungkapnya.

Lenny Agustin Tampilkan Tema Paper Garden



Mengambil tema 'Paper Garden', Lenny Agustin memperlihatkan keunikan rancangannya. Ke-15 rancangannya tampil dengan warna-warna menawan yang dipadu dengan tenun dan batik Pekalongan.

Tidak ketinggalan gaya Jepang terlihat di beberapa bagian dari busana yang ditampilkan Lenny dalam acara 'Kemang Fashion Week, Diva Glam' yang digelar di Lippo Mall Kemang tanggal 10-14 April 2013.

Lenny mengaku tidak banyak hal baru yang ia berikan dalam fahsion show kali ini mengingat pihak penyelenggara baru menghubunginya 2 pekan sebelum acara dimulai.

"Saya dihubungi mendadak jadi saya masih memilih rancangan Green Garden tetapi dengan beberapa tambahan disain," ujarnya.

Dari sekian banyak rancangan 'Green Garden' yang ia miliki, Lenny mengeluarkan sisa dari rancangan yang sudah ia pernah pamerkan. Tetapi semua merupakan rancangan baru yang masuk dalam tema 'Green Garden'.

Minggu, 19 Mei 2013

93 Tahun Eksis, Batik Keris Rilis Koleksi Puspa Nusa

Sembilan dekade bukanlah waktu yang sedikit bagi sebuah brand untuk mempertahankan eksistensinya. Sejak didirikan pada 1920, Batik Keris telah sukses memantapkan posisinya sebagai pabrik batik tradisional dan garmen ternama.

Kini menginjak usia ke-93 tahun, Batik Keris menggelar perayaan bertema Puspa Nusa yang diadakan di Center Court Puri Indah Mall, Jakarta Barat. Diramaikan dengan pagelaran tari, brand yang sudah memiliki lebih dari 100 toko ini menghadirkan koleksi busana batik terbaru mulai dari dewasa hingga untuk anak-anak.

"Puspa Nusa mengandung arti bunga nusa. Ingin angkat seni batik, seni tari, sebagai bunganya nusa dan bangsa," ujar President Director Batik Keris Handianto Tjokrosaputro.

Simple dan modern menjadi benang merah seluruh koleksi yang ditampilkan. Garis desain minimalis, tidak banyak memainkan detail atau potongan ekstrem demi menjaga nilai filosofis yang ada dalam motif-motif batik yang digunakan.

Peragaan busana yang diadakan pada Sabtu malam (11/05/2013) itu membawakan lima lini busana, profesional; collection; family; teenager dan kids. Lini profesional merupakan koleksi untuk pria dan wanita dewasa dengan gaya busana formal untuk ke kantor atau pesta resmi. Misalnya mini dress berpotongan lurus, setelan blouse dan rok, dress aksen tumpuk dengan warna-warna hijau, cokelat, merah tanah bergradasi.

Collection adalah koleksi busana berbahan sutera kualitas premium yang diproduksi secara terbatas. Setiap busana diproduksi secara handmade dan diperlukan waktu pembuatan hingga 1-2 bulan. Batik sutera terllihat lebih mewah dengan tambahan aplikasi payet. Mulai dari blouse mullet motif truntum, dress asimetris hingga rok pas badan. Selain sutera dan batik, hadir pula busana dari kain tenun.

Lini teenager bergaya lebih casual dan permainan warna kontras yang cocok untuk anak muda. Blouse memiliki potongan simple dan modern yang serasi dipadukan dengan jeans maupun hot pants. Terdapat juga summer dress dan bolero dengan perpaduan warna hitam-pink, turquoise, oranye dan kuning.

Sementara koleksi family didesain khusus untuk ayah, ibu dan anak dengan motif dan warna senada namun tetap dicocokkan sesuai usia pemakainya. Warna-warna tanah dan motif floral mendominasi koleksi ini.

Untuk si kecil, Batik Keris kembali memunculkan seri batik yang dikombinasikan dengan karakter Disney. Koleksi yang mendapat penghargaan The Asian Licensing Award sebagai Best License se-Asia ini merupakan kolaborasi Batik Keris dengan Disney International. Hadir dengan warna-warna ceria, motif paisley, mega mendung, floral, serta potongan yang nyaman digunakan.

"Kami sangat aktif dalam evolusi motif batik, selalu berubah. Supaya tetap populer harus dapat masukan juga dari berbagai daerah termasuk luar negeri. Batik Keris sendiri punya filosofi melestarikan budaya Nusantara secara keseluruhan. Jadi tidak hanya busana batik saja yang diangkat tapi juga kerajinan dalam negeri lainnya," terang Handianto.

Desainer IPMI 'Sulap' Kain Songket Hingga Sarung Jadi Busana Modern

Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) meramaikan Jakarta Fashion & Food Festival (JFFF) 2013, di Grand Ballroom Harris Hotel, Kelapa Gading, Jakarta, Senin(13/05/2013). 10 desainer IPMI, di antaranya Tri Handoko, Era Soekamto, Liliana Lim, Denny Wirawan, dan Didi Budiarjo menampilkan koleksi bergaya edgy dan modern dengan berbagai kain khas Indonesia.

Pagelaran busana bertema 'Kain Negeri' ini dibuka oleh Liliana Lim. Ia memamerkan tiga koleksi busana dengan kain ikat dari Bali. Konsep draperi yang dihias dengan batu alam dan payet menghiasi koleksi desainer yang memulai debut karirnya pada 1994 itu.

Sementara Tri Handoko, ia menampilkan koleksi busana yang menggunakan sarung dan dipadu-padankan dengan jeans. Berbeda pula dengan desainer Era Soekamto. Perancang mode wanita itu menggunakan kain berasan (manggar) dari Bojonegoro untuk ketiga koleksinya dengan konsep draperi bergaya edgy dan lady look.

Koleksi dari Denny Wirawan juga tak kalah menarik. Ia menampilkan tiga busana yang menggunakan songket Palembang. Kain songket yang didominasi warna tanah itu disulap menjadi jaket, serta busana pesta yang terlihat glamor.

Sedangkan Didi Budiarjo, ia menggunakan kain lunggi (songket) Sambas untuk ragam busananya. Ketiga koleksinya itu didesain dengan motif bunga tunjung (bunga teratai) berwarna perak.

Gaun Bermotif Wayang Buka Fashion Show Desainer APPMI di JFFF 2013

Masih mengangkat budaya Indonesia lewat kain nusantara, JFFF hari ke-9 dimeriahkan oleh empat desainer dari Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI). Keempat desainer yaitu Sugeng Waskito, Phillip Iswardono, Zainal Songket dan Misan mempresentasikan karya bertema Inotganic Ethnicity.

Masing-masing desainer menampilkan 12 koleksi yang mengarah ke busana ready-to-wear. Sebagai pembuka rangkaian show, Sugeng Waskito menyuguhkan koleksi gaun dengan bahan silk yang halus, bermotif wayang untuk mengangkat kekayaan Yogyakarta, tempat kelahirannya. Selain gaun maxi, ia juga menciptakan atasan kaftan yang dipadukan dengan legging kotak-kotak hitam putih untuk memberi kesan kontemporer dan etnik.

Fashion show yang digelar di Hotel Harris, Kelapa Gading, Kamis (16/5/2013) ini dilanjutkan dengan koleksi second line Phillip Iswardono, Ethnic Now. Koleksinya ini tampak lebih kasual namun tetap unik dengan potongan asimetrikal dari perpaduan batik lasem dan kombinasi tenun lurik. Ada beberapa dress pendek yang tampak santai, namun di bagian roknya dibuat asimetris dan detail draperi. Beberapa gaun juga dilengkapi variasi jaket atau vest menambah kesan kasual.

Selanjutnya adalah koleksi Zainal Songket yang bertajuk 'Warna Sriwijaya'. Sang desainer pun menggambarkan tema Sriwijaya dengan warna gold dan merah yang glamour. Berbeda dari desainer lain yang membuat busana ready-to-wear, Zainal menampilkan karya yang lebih bertema wedding. Kain santung warna emas dan merah dihiasi bordir emas dan payet berkilau dibuat menjadi kebaya panjang bergaya Palembang yang dikemas modern. Sedangkan sarungnya dibuat dari kain songket Palembang dengan warna senada.

Desainer asal Bandung, Misan menutup fashion show. Ia menampilkan cocktail dan evening dress yang tampak glamour. Karyanya yang bertajuk 'Glamorous Mix' didominasi warna hitam dan putih namun diberi sentuhan warna terang sehingga gaun tampak lebih cerah. Misalnya saja gaun dengan atasan lace putih berdetail backless yang seksi namun bagian roknya dibuat dari paduan kain tulle hijau dan ungu dengan furing kain hitam. Gaun-gaun diberi tambahan kain tulle, payet dan lace yang feminin. Motif polkadot dan bulu semakin mempercantik koleksinya.

Poppy Dharsono Tampilkan Batik Parang Bergaya Glamour di JFFF 2013

Desainer Poppy Dharsono ikut memeriahkan panggung mode dalam fashion show dari para desainer APPMI (Asosiasi Pengusaha Perancang Mode Indonesia) di JFFF 2013, Kamis (16/5/2013). Poppy mengolah kain batik dengan cara yang modern dan elegan. Dengan tema 'Redefining Parang', potongan busana yang tegas dari kain parang, namun terlihat begitu mewah karena tambahan material payet dan sequin, sesuai ciri rancangan Poppy.

Misalnya saja, batik parang yang dibuat menjadi gaun maxi one shoulder. Atau coat panjang bahan batik yang dipadukan dengan gaun pendek sequin warna emas. Koleksi Poppy ini juga banyak menggunakan warna dasar hitam dan cokelat sehingga tidak meninggalkan kesan elegan.

Selain Poppy, desainer APPMI lain yang menunjukkan koleksi busana batiknya dalam fashion show di Hotel Harris, Kelapa Gading itu adalah Handy Hartono. Uniknya, koleksi batik Handy diproduksinya sendiri dengan dekoratif yang modern dan simpel. Dikeluarkan dari lini keduanya, Batik Boy, kain batik Handy diklaim sebagai batik pertama yang ditulis di atas kain linen. Hasilnya adalah busana ready-to-wear, dress cantik dengan motif batik geometris atau bunga yang didominasi warna krem atau pink.

Karya berbeda ditampilkan desainer Elok Rege Napio. Ia memamerkan koleksi busana nasional yang terinspirasi dari gaya busana Duchess of Cambridge, Kate Middleton. Menurutnya, kebaya tak harus dipasangkan dengan sarung, tapi bisa juga dengan material lain yang lebih modern. Sebagai contoh, ia membuat kebaya dari brokat dengan taburan payet namun bagian roknya dibuat dari tulle ataupun velvet.

Koleksi yang agak berbeda dari Jimmy Fei Fei, anggota APPMI Jawa Barat, menutup rangkaian fashion show ini. Karyanya mengingatkan kepada tokoh di film fiksi bertema galaktika yang futuristik. Rancangan Jimmy yang didominasi warna putih di antaranya dibuat menjadi dress pendek berdetail ruffle dan lace. Ada pula gaun panjang dengan ornamen lace potong yang kaku di bagian kerah. Kesemua rancangannya ditaburi batuan swarovski yang mewah. Para model juga dipercantik dengan headpiece unik dan wig yang juga berwarna putih.

Kolaborasi Cantik Anne Avantie dan Sarung Ramli di Panggung JFFF 2013

Desainer senior Ramli memang sudah berpulang pada sang pencipta di awal tahun lalu. Namun tak lantas, karya-karyanya pun ikut hilang. Rancangan Ramli yang cantik dan kaya detail tetap jadi inspirasi bagi desainer lain. Salah satu desainer yang mengagumi karyanya adalah Anne Avantie.

Di panggung mode JFFF (Jakarta Fashion & Food Festival), Jumat (17/05/2013) malam lalu, Anne Avantie pun mencoba 'membawa' Alm. Ramli untuk berkolaborasi dengannya dalam satu panggung.

"Saya memang tidak mengenal sosok pribadi Ramli begitu dalam. Namun bagi saya, dedikasi Ramli di dunia mode sangat memberi inspirasi. Saya pernah menyebutnya dalam buku saya, saya ingin sekali berkolaborasi dengan beliau dalam satu panggung, dan hal itu terpikirkan ketika pihak JFFF menawarkan saya untuk ikut meramaikan panggung," ungkap bunda Anne sebelum show dimulai di Hotel Hariss, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Dalam show bertajuk 'Ramli dalam Kenangan' itu, Anne menampilkan sekitar 40 koleksi. Terdiri dari 20 koleksi Ramli dan 20 lainnya koleksi Anne. Bukan hanya karya Ramli yang dibawa naik keatas panggung, Anne juga membawa para model asuhan Ramli dari periode 70 hingga 80-an. Diantaranya, Soraya Haque, Oki Asokawati, Wanda Hamidah dan masih banyak lagi.

Pertunjukan pun dibuka oleh lima kebaya Ramli bertema kebaya encim dengan sarung yang dihiasi renda yang cantik. Kebaya-kebaya sang maestro itu sempat menjadi tren tahun 70-an yang ditemukan Anne di lemari almarhum.

Bunda Anne, demikian ia biasa disapa, juga menampilkan hal baru yaitu kebaya berwarna hitam dan gold yang begitu mewah dan kaya detail. Sesuai ciri rancangannya, kebaya pun tampak mewah namun seksi dengan detail backless dan potongan yang terbuka di bagian dada.

Ia juga membuat kreasi baru dengan melukis di atas kain organdi. Kebaya-kebaya cantik itu dipadankan bersama kain batik dengan potongan tinggi sepaha di bagian depannya dan diberi tambahan lace dan payet di bagian bawah kain.

14 Desainer Olah Tenun Ikat Bali Jadi Lebih Casual di JFFF 2013

Perkembangan zaman membuat tenun ikat Bali atau endek semakin bervariasi. Kini tidak hanya bisa dipakai saat ke kantor atau acara resmi saja, tapi juga dapat dikenakan sebagai busana keseharian.

Kain endek dikenal sejak 1960-an. Namun awal tahun '90, endek mulai surut karena kalah saing dengan tenun ikat dari daerah lain. Untuk itu, Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Denpasar ingin mengangkat kembali warisan budaya tersebut agar para desainer serta pengrajin Bali semakin kreatif dan terus berinovasi mengikuti perkembangan tren.

Dalam pagelaran busana di panggung Jakarta Fashion & Food Festival (JFFF) 2013, 14 desainer asal Bali menyuguhkan endek yang menjadi busana casual. Kesan edgy dan stylish tampak pada keseluruhan rancangan yang ditampilkan.

"Kita di sini tidak membuat desain endek untuk busana kerja saja tapi juga casual yang bisa dipakai ke berbagai acara," ujar Desi Aryani, salah satu desainer asal Bali sesaat sebelum fashion show di Harris Hotel & Conventions Mal Kelapa Gading, Lantai 5, Jakarta, Sabtu (18/5/2013).

Dalam pagelaran tersebut, tampak atasan dari endek dipadukan dengan celana atau rok jeans. Adapun celana dari tenun ikat yang terkesan santai tapi stylish. Strapless dress dan model H-line juga menghiasi fashion show yang bertajuk 'Denpasar Endek, Bordir, and Songket, The Authentic Culture of Excellence' itu.

Warna-warna kuat seperti merah pekat, hitam, biru, hingga ungu tua mendominasi panggung JFFF. Outer dengan bordir serta bahan lace menyempurnakan rancangan keempat belas desainer yang berasal dari Asosiasi Bordir, Endek, dan Songket Kota Denpasar serta APPMI Bali. Setiap desainer membawakan 5 sampai 7 koleksi endek.

Tidak hanya pakaian saja yang dipamerkan, tapi juga aksesori seperti kalung, gelang, anting, tas, serta kipas Bali. Dua desainer aksesori dan kipas ikut memeriahkan acara fashion show tadi malam. Secara keseluruhan, terdapat 16 desainer asal Bali yang memamerkan karyanya di panggung JFFF 2013.

Senin, 06 Mei 2013

The Mary Hunt Kahlenberg Collection, Five Centuries of Indonesian Textiles


Sudah banyak buku ditulis mengenai tekstil Indonesia, tetapi kain Nusantara seperti sihir yang mendorong banyak orang terus menggali dan menuliskan tentangnya. Begitu juga dengan Mary Hunt Kahlenberg.

Dia memilih judul The Mary Hunt Kahlenberg Collection, Five Centuries of Indonesian Textiles (2010), karena di antara kain asli Nusantara koleksinya, terdapat tenun dari abad ke-15. Umumnya kurator dan kolektor kain skeptis terhadap kemampuan kain Nusantara bertahan ratusan tahun, karena dibuat lokal dan dikenakan sehari-hari, kain dapat diganti setiap saat begitu lapuk.


”Banyak orang meragukan kain asli Indonesia dapat bertahan dalam waktu panjang, mengingat udara yang panas dan lembap, serta cara penyimpanannya,” papar Kahlenberg di Museum Tekstil Jakarta, Desember lalu.


Kahlenberg yang tinggal di Santa Fe, AS, datang ke Jakarta bersama suaminya, Robert T Coffland, untuk diskusi buku yang diadakan antara lain oleh Museum Tekstil dan Perhimpunan Wastreprema. Ia merasa tertantang membuktikan usia kain Nusantara dengan lebih akurat. Selain memakai metode sejarah-seni, yaitu membandingkan corak atau tenunan dengan monumen arsitektur dan lukisan manuskrip sezaman, juga dengan uji karbon C-14.


Tahun 2003, ia mengirim contoh benang tenun dari tiga kain koleksinya, masing-masing dari Poso, Sulawesi Tengah; Komering di Sumatera Selatan; dan Timor di NTT, untuk uji karbon di Swiss.


Hasilnya, kain Komering berasal dari tahun 1403-1501 dengan kemungkinan 98,5 persen. Benang lungsi terbuat dari sutra dan benang pakannya katun bercorak ikat pakan cukup rumit. Kain ini juga memakai benang emas di tepinya. Sedangkan kain dari Poso diduga berasal dari tahun 1419-1627 dengan peluang 95 persen, sementara kain dari Timor diperkirakan berasal dari tahun 1419-1520.

”Uji tersebut membuktikan kain Indonesia dapat bertahan melalui waktu karena dijaga sebagai benda berharga milik keluarga. Kualitas kain-kain tersebut masih bagus. Tradisi menjaga kain sebagai benda berharga harus dipertahankan,” paparnya.


Cinta


Pertanyaan yang sering ditujukan kepada Kahlenberg, mengapa mencintai kain, terutama kain Indonesia? Ia bercerita, tumbuh besar dalam keluarga yang mengoleksi aneka pita dan perca kain yang dianyam para perempuan di keluarga besarnya. Hal itu memesona Kahlenberg, apalagi kemudian neneknya memberi pita-pita koleksinya untuk dia.


Tentang kain Indonesia, ia mengaku alasannya tak rasional. Dia jatuh cinta begitu saja saat pertama kali melihat foto kain Indonesia yang dikirim ahli dan penjual kain asal Belanda, Laurens Langewis. Pertengahan tahun 1960-an itu, Kahlenberg adalah kurator Museum Tekstil, Washington, AS. Foto-foto tersebut mendorongnya membaca lebih dalam buku tulisan Langewis dan Frits A Wagner, Decorative Art in Indonesian Textiles (1964). Dia paling tertarik pada tapis Lampung yang belakangan dia tahu bercorak cumi-cumi.


”Saya terpukau kerumitan corak dan kualitas pembuatannya. Juga kain Indonesia lain, seperti teknik rintang warna pada batik dan berbagai teknik tenun. Itu titik balik penting dalam hidup saya. Sayangnya, tak satu pun dari kain yang ditawarkan itu dibeli museum,” kenangnya.


Rasa penasaran Kahlenberg terobati ketika tahun 1969 pindah ke Los Angeles County Museum of Arts (LACMA) dan menjadi kepala bagian kostum dan kain. Dalam posisi itu, dia terbang pertama kali ke Kalimantan pada 1973. Tahun 1977, dia menyelenggarakan pameran ”Textile Traditions of Indonesia” di LACMA dan menjadi pameran besar pertama di AS khusus tentang kain Indonesia.


Selama 35 tahun sesudahnya, ia menjelajahi pulau-pulau Indonesia. Posisi suami pertamanya sebagai diplomat memberinya kesempatan belajar tekstil di Eropa dan mengunjungi museum untuk mempelajari kain Indonesia, sampai sempat terkunci sendirian. ”Saya tak ingin menyebut nama museumnya,” katanya diiringi tawa.


Di Indonesia, Kahlenberg membangun hubungan dengan orang-orang yang dia temui di desa dan kota, serta membentuk pengetahuan tentang lapis-lapis rumit pemahaman masyarakat Indonesia mengenai kehidupan religius dan sejarahnya yang berkaitan dengan fungsi kain dalam kehidupan.


”Bertemu dengan orang-orang yang membuat dan memakai kain itu sangat menarik, cara menenun dan menangani kain, juga detail kehidupan lainnya,” katanya.


Dia menemukan kesamaan dengan pengalamannya masa kecil, yaitu tradisi pembuatan dan perawatan kain diturunkan dari ibu kepada anak perempuan.


Ia berharap masyarakat dapat menjaga kualitas kain Indonesia karena berhubungan erat dengan tradisi yang dihidupi masyarakat sendiri. Terutama kini, ketika kain diperdagangkan dan kualitas ditentukan pembeli. ”Tentu, kain harus berkembang mengikuti perubahan waktu. Tetapi, sebagai pembeli, kita harus berusaha membeli kain yang bagus,” tandasnya.


Mengenalkan Indonesia

Meskipun kini tak terlalu kerap ke Indonesia, dia mengaku terus meriset kain. Bukunya, setebal 398 halaman termasuk indeks, bercerita tentang masyarakat pembuat kain-kain tersebut. Koleksinya lebih berdasar kualitas istimewa kain daripada kumpulan kain karena komunitas pembuatnya.


Melalui koleksi 350 lebih kain dan penjelasan yang ditulis beberapa ahli kain, antara lain Ruth Barnes dan Rens Heringa, pembaca diajak mengenal cara masyarakat Nusantara memandang dunia dalam dan dunia luar, yang bahkan bagi banyak pembaca Indonesia sekali pun merupakan pengetahuan baru.


Sebagai sarjana sejarah seni, Kahlenberg mendekati kain Indonesia melalui kacamata antropologi, seperti umum dilakukan para ahli kain, serta pendekatan seni dan sejarah. ”Menulis dari sisi seni lebih sulit karena menyampaikan apa yang kita rasakan, bagaimana pengaruh emosionalnya ketika kita melihat (kain),” ungkapnya.


Tantangan lain, meyakinkan masyarakat dunia, terutama di Barat, kain Indonesia adalah karya seni, bukan sekadar kriya. Oleh karena itu, dia berusaha membuat buku ini indah. ”Untuk membuat orang membaca dan melihat, lalu berpikir, oh (kain-kain) ini indah,” ungkap Mary Hunt Kahlenberg.

Tenun NTT Bukan Tenunan Biasa


Kerajinan tenun Nusa Tenggara Timur merupakan aset budaya luar biasa. Selain beragam motifnya, proses pembuatannya pun tak sembarangan, yaitu melalui proses ritual (doa sakral). Kain tenun NTT bukan sekadar kain biasa, melainkan juga memiliki jiwa.

Ketika melewati kampung tua As Manulea di Kecamatan Sasita Mean, Kabupaten Belu, NTT, misalnya, tim Kompas bertemu dengan para perajin yang membuat kain tenun dari benang yang mereka pintal sendiri.

Pada era 1990-an, kegiatan memintal masih terlihat di mana-mana, terutama saat para wanita pergi-pulang dari pasar. Sambil berjalan kaki, dengan junjungan di kepala, mereka memintal benang dari kapas. Kini, kegiatan memintal benang seperti itu sudah langka ditemui di NTT karena tergusur benang industri.

Perempuan As Manulea itu, Lenci Abuk (38), tekun memintal benang dari abas (kapas lokal). Di samping dia, Natalia Kole (52), bersama seorang wanita sebaya dibantu seorang pria, membenahi seperangkat alat tenun kuno yang disebut bninsa.

Menurut Rosalina Lotu, seorang penenun, tais atau bĂȘte (selendang untuk pria) dari benang lokal harganya mahal, paling murah Rp 5 juta per lembar. ”Saya menanam kapas di pekarangan. Hasilnya sangat terbatas. Kalau menenun dengan benang dari kebun sendiri, harus menunggu bertahun-tahun hingga cukup untuk selembar kain,” katanya.

Di Ende, ada jenis kain tenun yang tidak bisa sembarangan dipakai. Kain itu hanya dibuat oleh kalangan tertentu, seperti keluarga tetua adat (mosalaki). Menurut Kepala Museum Tenun Ikat di Ende, Ali Abubakar Pae, pembuatan kain tenun ini umumnya dilakukan secara rahasia dan disertai ritual khusus.

”Umumnya masyarakat Ende di pesisir selatan memanjatkan doa khusus itu pada malam hari di dalam rumah,” kata Ali.

Ali mengibaratkan menenun seperti membuat keris di Jawa. Kekuatan supranatural dari roh-roh leluhur akan menjiwai kain tenun.

Ada ungkapan dalam bahasa Sikka, Ami nulung lobe. Naha utang wawa buku ubeng. Naha utang merah blanu, blekot (Kami tidak memakai sarung murahan, harus sarung dari dasar tempat simpan, harus sarung yang merah, mantap, dan bermutu).

Ungkapan itu mengandung pengertian, sarung yang dikenakan seorang perempuan menunjukkan kepribadian pemakainya. Sarung yang dipakai bukan sarung biasa. Ini menunjukkan pemakainya bukan sembarangan, melainkan orang berwibawa, bermutu, dan berkepribadian baik.

Selain prosesnya panjang dan rumit, motif tenun NTT unik dan beragam. Hampir semua daerah di NTT memiliki kerajinan tenun. Johanna Maria Pattinaja (73), istri almarhum Frans Seda, telah mengumpulkan sekitar 1.000 kain tenun ikat NTT, dari Pulau Timor, Sumba, sampai Flores.

Penelitian Romo Bosco Terwinju Pr (72) dari Keuskupan Agung Ende memperkuat hal itu. Untuk satu wilayah di Pulau Flores misalnya Sikka, ia mengoleksi sekitar 50 jenis kain tenun ikat. ”Motif kain tenun di NTT sangat banyak, berbeda-beda antarkabupaten,” katanya.

Hasil penelitian Romo Bosco di Pulau Flores, ada dua kategori tenun, jenis ikat tradisional dan sulam songket. Tenun ikat menyebar dari Flores bagian tengah, dari Kabupaten Ende hingga Kabupaten Flores Timur sampai Lembata. Adapun tenun sulam songket banyak dibuat dari Kabupaten Nagekeo sampai Kabupaten Manggarai Barat.

Warna kain tenun ikat dihasilkan dari pewarnaan kain, baik dengan bahan alam (mengkudu atau nila) maupun bahan kimia. Warna kain tenun sulam dihasilkan dari proses penyulaman benang beraneka warna.

Menurut Romo Bosco, motif kain tenun di Flores berdasarkan catatan sejarah merupakan turunan dari motif Patola, India, seperti gajah, bunga atau burung, yang kemudian berkembang dengan beragam variasi.

Tenun Kali Uda

Salah satu tenun NTT yang terkenal berasal dari Kali Uda di Pulau Sumba. Desa ini terletak 120 kilometer selatan Waingapu, Sumba Timur. Kualitas tenunan Kali Uda dianggap tertinggi karena lentur, tidak luntur, ringan, dan dapat dibuat menjadi pakaian.

Warna dasar tenun Kali Uda adalah merah, putih, dan hitam. Ragam motif biasanya ayam, burung, kuda, kerbau, sapi, serta mamuli (perhiasan berbentuk rahim perempuan).

Selain menjadi mahar kawin yang bernilai tinggi di kalangan warga Sumba, tenun ikat Kali Uda diminati turis asing. Bahkan di Denpasar, Bali, ada toko khusus yang menjual tenun Kali Uda. ”Meski harganya mahal, turis Jepang belanja sampai ratusan lembar,” kata Jery Nola (29), seorang pria perajin.

Harga selembar kain Kali Uda berukuran 1,7 meter x 2,3 meter Rp 800.000-Rp 25 juta per lembar, tergantung motif, tingkat kesulitan menenun, pewarna, dan kualitas benang.

Sayangnya, menurut Kepala Desa Kali Uda, Umbu Yiwa Hanggi, belum ada organisasi yang memayungi tenun ikat Kali Uda. Padahal, 90 persen warga Kali Uda adalah penenun.

Perkembangan tenun NTT menghadapi tantangan yang tidak ringan. Desakan ekonomi yang semakin berat memaksa penenun meninggalkannya.

Di Kali Uda, misalnya, sampai hari ini belum ada pemasaran yang masif atas hasil kerajinan masyarakat itu. Gagal panen dan kemarau panjang yang sering melanda pantai selatan Sumba Timur memperberat kondisi mereka. Kalau dulu, hasil panen bisa mengisi kekosongan pendapatan mereka; kini, pertanian tidak bisa lagi diandalkan.

”Tahun 2007 masyarakat pernah menyampaikan aspirasi melalui musyawarah rencana pembangunan desa agar dibangunkan sebuah pusat kerajinan tenun ikat di sini. Kemudian, hasil kerajinan masyarakat ditampung Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk dipasarkan ke luar Sumba. Tapi, belum ada tanggapan,” kata Umbu Yiwa.

Sejauh ini jajaran pegawai negeri sipil di NTT diwajibkan memakai baju tenun dua kali dalam seminggu, setiap Rabu dan Jumat. Kalangan penenun termasuk pemilik sentra kerajinan tenun daerah Ina Ndao, Dorce Lussi, di Kupang mengharapkan kebijakan wajib berpakaian tenun jadi empat kali seminggu. Dengan demikian, pasar tenun ikat NTT semakin terbuka