Tampilkan postingan dengan label Minangkabau. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Minangkabau. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 Juni 2013

DINAS Koperasi UMKM Peridustrian dan Perdagangan Kota Padang Panjang turut menyemarakkan Gebu Minang Expo. Tak mau kalah dengan stan pemerintah kabupaten/kota lain, Padang Panjang membawa kerajinan khasnya.

Perlengkapan atau aksesori dari kulit memang sudah tidak asing lagi bagi kita. Jika kulit tersebut diolah UMKM dari Padang Panjang, produk yang dihasilkan jadi bernilai tinggi.

Tas, dompet, jaket, sepatu, sandal, dan topi diboyong Padang Panjang ke Gebu Minang Expo 2012. Produk-produk ini dapat dibuat dan juga dipesan sesuai dengan permintaan konsumen. Sehingga, konsumen akan lebih puas terhadap produk yang dibelinya.

Deny, perwakilan Dinas Koperasi UMKM Perindustrian dan Perdagangan Kota Padang Panjang, mengatakan, produk-produk kulit asal Padang Panjang memiliki potensi dan historis untuk berkembang.

’’Untuk itu, Padang Panjang menjadi industri penyamakan kulit terbesar ketiga di Indonesia,’’ ujarnya kemarin (26/1).

Kota Padang Panjang merupakan salah satu daerah penghasil daging sapi yang terkenal di Sumatera Barat. Sehingga dikenal dengan lokasi pengrajin penyamakan kulit. Hal ini diperkuat dengan keberadaan pedagang-pedagang pengumpul kulit mentah di kota Padang Panjang.

Kualitas produk kulit ini sudah tidak diragukan lagi. Sebab mesin yang digunakan untuk penyamakan kulit sudah canggih. Sehingga kulit bisa tipis dan memiliki kualitas yang lebih baik. Dibuktikan dengan menembusnya produk ini ke pasar hingga pulau Jawa.

Harga berbagai macam produk kulit ini tidak semahal yang Anda bayangkan. Yakni hanya dibanderol mulai Rp250 ribu. Jika Anda berkunjung ke stan ini, tidak hanya produk kulit yang ditemui. Melainkan sejumlah sulaman, bordiran, dan tenunan, serta baju kurung. Harga yang ditawarkan untuk produk-produk ini mulai Rp500 ribu–Rp2,5 jutaan.

Tanahdatar Pamer Kawa Daun

BANDARLAMPUNG – Salah satu peserta luar Lampung yang ikut berpartisipasi pada Gebu Minang Expo di Bambu Kuning Square (BKS) adalah Kabupaten Tanahdatar. Jauh-jauh datang dari Sumatera Barat, mereka bukan tanpa misi. Daun kopi kering atau yang sering disebut kawa daun sengaja dibawa ke Lampung untuk dipamerkan.


Kawa daun merupakan bahan baku sebuah minuman khas Tanahdatar. Rasanya pun seperti kopi, namun tidak sepahit yang Anda bayangkan. Pasalnya setelah meminumnya badan akan terasa segar.

Pembuatan minuman ini sangat unik. Yaitu dari daun kopi yang digoreng di atas bara (panggang) hingga kering. Penyajiannya adalah dengan merebusnya sampai sari pati daun ini keluar dan mengakibatkan warna hitam seperti kopi.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kabupaten Tanahdatar Rina Aziz mengungkapkan, kawa daun merupakan minuman tradisional.

’’Konon dulu ketika zaman Belanda rakyat Indonesia tidak diperbolehkan memetik kopi. Namun, daunnya diperbolehkan untuk diambil. Karena saking penasarannya, dijadikanlah minuman daun kopi,’’ terang Rina kemarin (26/1).

Minuman ini disajikan dengan batok kelapa untuk meminumnya. Sangat tradisional memang. Setengah batok rebusan kawa daun ditambahkan gula dan perasan jerus nipis, akan menambah kesegaran minuman ini. pengadukan minuman ini pun menggunakan kayu manis. Kebanyakan orang lebih mengenalnya dengan lemon tea.

Bagi Anda yang bergender laki-laki, minuman ini sangat cocok untuk menambah stamina badan. Minuman ini juga dihadirkan dengan penambahan telur ayam kampung. Harga yang ditawarkan untuk satu gelas kawa daun adalah Rp2.000. Sedangkan untuk penambahan telur dihadirkan dengan harga Rp5.000. atau dapat membeli bentuk keringnya yaitu hanya dengan Rp10 ribu per bungkusnya.

Tidak hanya minuman khas saja yang dihadirkan Kabupaten Tanah Datar. Terdapat juga minuman kopi pinang dan ramuan pinang. Kedua minuman ini terbuat dari bahan-bahan rempah yang menyehatkan tubuh.

Khas Tanahdatar berikutnya adalah daka’-daka’ simabur. Sebuah makanan yang terbuat dari tepung beras. Harga per ¼ kg Rp15 ribu. Makanan ringan lain yang ditawarkan di stan ini adalah bungo durian, emping jagung, pias kacang, kacang goreng pasir, dan kerupuk kulit.

’’Namun kerupuk kulit sudah habis saat pembukaan pameran kemarin, masyarakat banyak yang menyukainya,’’ tutur Rina.

Di samping makanan dan minuman, Tanahdatar menawarkan berbagai jenis kain. Seperti, songket, tenunan silungkang, sulaman, dan bordiran. Bagi Anda yang ingin berburu makanan khas Sumatra Barat bisa mengunjungi stan Tanahdatar.

Selasa, 21 Mei 2013

Melihat Koleksi Tekstil di Tanahabang

ADALAH Justinus Vinck, tuan tanah Belanda, yang menguasai tanah luas di Weltevreden -kawasan yang antara lain meliputi Lapangan Banteng, Gambir, dan Senen– di tahun 1730-an dan membuat jalur yang menghubungkan Pasar Senen dan Tanahabang –kini bernama Jalan Prapatan dan Kebon Sirih. Ia jugalah yang menciptakan Pasar Senen (Vinck Passer) dan Tanahabang.

Sebenarnya, sejak abad 17 nama Tanahabang sudah mulai terdengar, yaitu saat tentara Mataram mengepung Batavia. Di dataran berbukit bertanah merah dan berawa itulah pangkalan tentara Mataram. Kawasan ini di masa itu juga masih menjadi kebun teh, melati, kacang, sirih, jahe. Pasar Tanahabang yang kemudian dibangun pada 30 Agustus 1735 merupakan pasar tradisional, tak berbeda jauh dengan Pasar di Tanahabang.

Pasar Tanahabang kemudian berkembang menjadi sentra tekstil terbesar di Asia Tenggara.

Namun kali ini bukan soal Pasar Senen atau Pasar Tanahabang yang jadi titik sentral. Dari Pasar Tanahabang ini, agak bergerak sedikit ke arah deretan rel keretapi di mana terdapat sebuah ”kampung”, di dalam kampung besar Jakarta, bernama Bongkaran. Dari sini tengoklah ke seberang. Di sana ada sederet pedagang kaki lima yang memenuhi hampir setengah badan jalan.

Di belakang rimbunan pedagang kaki lima ini akan mencuat sebuah bangunan. Banyak yang tahu bahwa bangunan itu tak lain adalah bangunan Museum Tekstil tapi sebagian besar warga Jakarta dan sekitarnya tak tahu menahu tentang keberadaan bangunan itu. Yang lebih parah, sebenarnya, adalah yang tahu keberadaan dan kondisi gedung itu tapi pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu.

Dari catatan Warta Kota, museum yang tersembunyi di antara keriuhan pedagang tadi berdiri di atas lahan seluas 9.800 m2. Bangunan itu semula milik seorang warga Prancis yang kemudian beberapa kali berpindah tangan. Tahun 1942 bangunan dengan halaman luas itu dibeli Dr Karel Christian Cruq dari tangan seorang konsul Turki. Di masa revolusi, rumah itu dijadikan markas Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Pada 1947 rumah itu dibeli seorang pengusaha bernama Lie Soin Phin yang kemudian dikontrakkan ke Departemen Sosial (Depsos). Tahun 1952 Depsos membeli bangunan itu dan bulan Oktober 1975 menyerahkannya ke Pemda DKI untuk dijadikan museum. Itulah awal keberadaan Museum Tekstil.

Lantas apa saja yang bisa dilihat di museum ini, selain alat tenun nonmesin yang dibuat tahun 1927 dan gedogan (alat tenun tradisional), serta beragam koleksi kain batik, ikat, kain tradisional, lukisan tangan, dan prada? Antaralain ada Bendera Kraton asal Cirebon buatan tahun 1776 yang merupakan panji kebesaran Kesultanan Cirebon; Kain Adat asal Bali dari abad ke -19. Kain ini disebut juga Geringsing Wayang Kebo, merupakan kain tenun yang pembuatannya paling rumit karena menggunakan teknik ikat ganda. Teknik ini adalah teknik langka yang hanya ada di sedikit negara.

Sri Susuhunan Pakubuwono XII menyumbangkan kain motif batik bernama Tumurun Srinarendra (kelahiran raja). Dibuat oleh almarhum Hardjonegoro untuk dikenakan sendiri pada perayaan ulangtahun Sunan Solo. Selain itu ada pula koleksi baju perang Irian Jaya berbahan rotan dan serat alam. Teknik pembuatan dianyam. Baju ini digunakan sebagai busana suku di Papua untuk melindungi dada dari serangan benda tajam.

Tentu tak hanya apa yang bisa disebutkan di sini, dari balik padatnya pedagang, riuhnya kendaraan khususnya angkot, dari buruknya kondisi lingkungan museum, tersembunyi kisah lain perihal sejarah pertekstilan negeri ini.

Selasa, 30 April 2013

Tenun Unggan Sijunjung yang Makin Bersinar

Dari berbagai pilihan kain tradisional Indonesia, tak hanya batik yang mampu menyihir para desainer untuk berlomba mengolahnya menjadi busana yang indah. Perancang Samuel Wattimena ternyata juga tertarik untuk mengolah kain tenun khas Sumatera Barat. "Kain yang digunakan adalah kain khas dari nagari sijunjung yang indah," ungkap Samuel, ketika ditemui sesaat setelah fashion show-nya, "Pagelaran tenun unggan Sumatera Barat Kabupaten Sijunjung" di KOI Cafe, Kemang, Jakarta Selatan,

Sumatera Barat merupakan sentra kain nusantara yang memiliki berbagai teknik dalam pembuatan tenun, bordir, sulam, tarik benang, dan songket. "Kekuatan inilah yang akhirnya dikembangkan untuk mempertahankan ciri khas dari suatu daerah, sekaligus meningkatkan perekonomian di daerahnya," ungkap Yuswir Arifin, Bupati Sijunjung, Sumatera Barat, dalam acara yang sama.

Fashion show ini bertujuan untuk mensosialisasikan jenis motif baru dari kain tenun unggan sijunjung, yaitu unggan seribu bukit. Unggan seribu bukit ini memiliki filosofi antara lain kekompakan dalam kerjasama, kegigihan dalam berusaha, keinginan untuk maju, dan sukses bersama. "Sebelum fashion show ini, kami terlebih dahulu melakukan pelatihan kepada penenun agar menghasilkan karya yang lebih baik lagi dan berstandar nasional," tambah Samuel.

Dalam acara ini Samuel ingin memperkenalkan kreasi busana dari tenun unggan yang ditujukan bagi kaum muda, sehingga koleksi busananya bernuansa muda. Ada sekitar 22 busana untuk perempuan dan laki-laki berwarna cerah yang ditampilkan Samuel dalam pagelaran ini. Lucunya, warna khas Sumatera Barat, merah, tak banyak ditampilkan. Hal ini sengaja dilakukan Samuel untuk menghilangkan kesan Minang yang terlalu lekat dengan warna terang, sehingga bisa lebih mudah digunakan dan dipadupadankan. "Ini juga merupakan sebuah simbol untuk pembauran budaya melalui warna," bebernya.

Seluruh koleksinya merupakan koleksi busana siap pakai yang terlihat sangat elegan dan unik dalam setiap siluet busananya. Motif-motif berbentuk bintang kecil yang ditenun dalam ukuran yang kecil dan tersebar pada seluruh bagian kain terlihat sangat unik dan indah. "Bahan yang digunakan antara lain, linen, katun, sampai sutera," tukas Samuel.

Perancang kelahiran Jakarta, 25 November 1960 ini juga bereksplorasi dalam memadukan berbagai kain tenun dengan kain lainnya, antara lain kain bordir Tasikmalaya, lurik Solo, sampai batik Solo.

Sammy banyak menunjukkan kreasi kain tenun yang fleksibel untuk digunakan dalam berbagai kesempatan, seperti acara formal, santai, sampai busana muslim. Dalam koleksi busana formal, busana Sammy lebih banyak didominasi oleh warna-warna yang sedikit lebih gelap seperti ungu, abu-abu, sampai fuchsia. Busana formalnya banyak menampilkan potongan blazer panjang dengan kerah modifikasi lebar dan tambahan kain lilit panjang yang menjuntai indah. Selain itu, busana formal juga tampil dalam potongan busana kerah shanghai berwarna coklat dengan rok A-line berwarna coklat mengkilat.

Sedangkan koleksi busana santai Sammy banyak dipenuhi dengan mini dress bermotif tanpa lengan, bolero berbentuk balon dengan kerah berbentuk V, dan aksen draperi yang penuh dan besar. Selain dipenuhi dengan koleksi gaun pendek dengan aksen draperi di bagian pundak dan leher, beberapa busana santai terlihat mengadaptasi siluet kebaya bali dengan tambahan ikatan kain warna senada yang lebih panjang dan berumbai.

Busana muslim juga dihadirkan dalam pagelaran ini. Busana gamis lengkap dengan aksen motif tenun unggan seribu bukit, serta blazer panjang yang dipadukan dengan celana panjang dan kerudung juga terlihat sangat serasi dalam balutan kain tenun ini.

Sammy mengaku sampai sekarang ia belum akan menjual koleksi busananya. Ia ingin mengadakan roadshow terlebih dulu ke sejumlah kota di Sumatera Barat untuk lebih mendekatkan potensi daerah dengan masyarakatnya secara langsung.

Kain Tenun Silungkang

Tenun atau menenun adalah proses pembuatan kain dengan anyaman benang pakan antara benang lungsi dengan menggunakan alat tenun yang terbuat dari kayu, tongkat, bambu dan logam. Dari proses ini akan diproduksi menenun kain dan songket. Songket merupakan salah satu produk tenunan Minangkabau yang terkenal oleh masyarakat dan memiliki kualitas tinggi, bukan hanya karena keindahan kilau benang emas dalam berbagai motif yang unik tetapi juga karena fungsi sosial sebagai alat kelengkapan kostum tradisional. Songket berasal dari sungkit atau leverage yang cara untuk menambah benang pakan dan benang emas dalam berbagai pembuatan menghiasi dilakukan dengan menyulam benang lungsi. Bahan yang digunakan untuk tenun benang dari kapas, serat, sutra dan benang Macau (benang emas dan perak). Thread yang umumnya digunakan adalah impor luar negeri seperti India, Cina dan Eropa. Hiasan atau motif songket disebut Cukie, beberapa menggunakan Macau benang (benang emas dan perak), sutera dan katun berwarna. Sebuah keunikan songket Minangkabau yang lama ada adalah kombinasi dari dua atau tiga jenis benang dalam motif tunggal.

Salah satu yang terkenal penenun songket lokal di Minangkabau adalah Silungkang desa. Silungkang desa terletak di tepi jalan raya Sumatera sekitar 95 km dari selatan-timur Kota Padang. Desa ini juga terkenal dengan seni seperti kerajinan anyaman rotan, tongkat, bambu, sapu dan menenun. Songket dan sarung tangan tenunan Silungkang sudah terkenal di Sumatera Barat. Songket Silungkang juga dibuat secara tradisional, dengan alat tenun yang mirip dengan alat tenun di Pandai sikek tapi sedikit memiliki ukuran lebih besar dari alat tenun di Pandai sikek. Tenun tradisi di daerah ini umumnya dilakukan oleh perempuan dalam rumah mereka.

Tenun di Silungkang telah umum jenis Batabua, songket yang dihiasi tidak memenuhi bidang kain, dan dengan beberapa dasar songket sangat polos dan beberapa kotak. Motif tenunan Silungkang berasal dari lingkungan alami seperti rabuang pucuak, bunga, motif burung, sirangkak, Balah katupek dan lain-lain. Bentuknya cukup sederhana jika dibandingkan dengan songket Pandai sikek dan tidak begitu rumit dalam proses tersebut sehingga dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat.

Dalam pengembangan tenun Silungkang saat ini ada juga kombinasi antara teknik tenun ikat dengan teknik songket dengan berbagai motif songket. Bahan yang digunakan hari ini kecuali kapas, ada juga telah dihias dengan benang sutra, benang Makau dan benang kapas berwarna. The Resultsof tenun Silungkang, kecuali pakaian yang dibuat ada juga kebutuhan untuk dekorasi dan aksesori lainnya. Sekarang, songket Silungkang memiliki kualitas yang cukup baik bahan, teknik manufaktur, motif dekoratif dan pemasaran, bahkan telah diproduksi juga mesin tenun dengan berbagai motif dan harga yang relatif murah. Silungkang juga dikenal sebagai pemasok lokal tenunan benang berwarna untuk kebutuhan penenun di Sumatra Barat.

Tenun Pandai Sikek Warisan Budaya Minangkabau

Kain tenun tidak hanya terkenal di Kalimantan ataupun Jawa, namun juga di Sumatera. salah satu kain tenun songket yang terkenal di sumatera adalah kain tenun pandai sikek yang bisa ditemui di minangkabau.

Tenun di daerah Minangkabau disebut tenun Pandai Sikek atau lebih familiar lagi disebut dengan tenun songket. Orang Pandai Sikek sendiri sebenarnya tidak menyebutnya songket, melainkan hanya tenun, sebab yang dimaksud adalah benang katun dan benang mas yang ditenun dengan tangan, diatas alat yang bernama panta sehingga menjadi kain, kain balapak atau kain bacatua yang dipakai pai baralek, yaitu pada pesta perkawinan.

Kain tenun Pandai Sikek secara umum terbagi menjadi dua jenis, yaitu Balapak dan Bacatua. Kain Balapak ditenun dengan melewatkan benang mas di seluruh bidang kain, sedangkan Kain Bacatua sebagian besar terdiri dari tenunan lungsin dengan pakan, dan di bagian-bagian tertentu diberi hiasan benang mas.

Tidak ada sejarah yang pasti kapan tenunan songket mulai dikembangkan di Minangkabau khususnya di Nagari Pandai Sikek. Akan tetapi keahlian dalam menenun merupakan warisan nenek moyang kita bangsa Austronesia atau lebih populer disebut dengan bangsa Malayo-Polynesia, Ketika terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari daratan Asia ke arah selatan dan timur beberapa ribu tahun yang lalu, bersamaan dengan segala kepandaian yang esensial untuk kehidupan, seperti kepandaian becocok tanam, kepandaian membuat dan menggunakan alat-alat pertanian, pertukangan dan senjata.

Motif-motif kain tenun Pandai Sikek selalu diambil dari contoh kain-kain tua yang masih tersimpan dengan baik dan sering dipakai sebagai pakaian pada upacara-upacara adat dan untuk fungsi lain dalam lingkup upacara adat, misalnya sebagai “tando,” dan dipajang juga pada waktu batagak rumah.

Motif-motif tenun Pandai Sikek diyakini sebagai motif asli pada kain-kain tenunan perempuan-perempuan Pandai Sikek pada zaman lampau, yang namanya sebagian masih diingat oleh beberapa orang tua yang hidup sekarang. Diantara mereka adalah: Sari Bentan, Namun, Salamah di Baruah; Nuriah, Ipah, Pasah, Nyiah dan Jalisah di Tanjung.

Ada kira-kira sepuluh orang master tenun di Pandai Sikek pada zaman atau generasi nama-nama diatas, kira-kira seratus tahun yang lalu. Ada juga beberapa wanita Pandai Sikek zaman dahulu yang dikenal dengan nama julukan yang berhubungan dengan peralatan tenun. Misalnya, dikenal Inyiak Makau di Tanjuang, Inyiak Suri di Koto Tinggi, Inyiak Banang, dan Inyiak Karok.

Kain tenun pandai sikek ini begitu terkenal disebabkan oleh peran para turis asing (manca negara) yang selalu membeli hasil kerajinan songket Pandai sikek sebagai cendramata untuk dibawa pulang ke negara mereka masing-masing. Hal ini berlangsung terus menerus, sehingga Songket Pandai sikek kian hari kian di kenal masyarakat Internasional.

15 Wisatawan AS Pelajari Tenun Minangkabau

Sebanyak 15 wisatawan asal Amerika Serikat mempelajari sejarah dan teknik pembuatan kain batik tanah liat, satu hasil kerajinan tenun tradisional di Minangkabau (Sumatera Barat).

Wisatawan itu, mempelajarinya di galeri batik tanah liat tradisional Minangkabau di Kota Padang, Kamis (28/8), kata Direktur Biro Perjalanan Wisata "Sumatra and Beyond", Ridwan Tulus

Ia menyebutkan, Ke-15 wisatawan AS itu mempelajari tenun tradisional Minangkabau dalam satu paket wisata "10 days from west to north textile tour Sumatra" digelar "Sumatra and Beyond"di Sumatera Barat dan Sumatera Utara.

Menurut dia, dipilihnya galeri batik tanah liat dalam kunjungan itu, karena hasil tenun tradisional tersebut saat ini sudah sangat langka di dunia, sehingga sangat menarik sebagai objek wisata dan penelitian.

Pada kunjungan itu, para wisatawan akan mengetahui sejarah batik tanah liat dan bagaimana teknik pembuatannya secara tradisional, tambahnya.

Selain mengunjungi batik tanah liat, para wisatawan juga akan melihat dan mempelajari teknik pembuatan kain songket tradisional Canduang, di Kabupaten Agam.

"Kain songket Candung juga, satu hasil tenun terbaik, bahkan seorang peneliti songket asal Swiss, Ben Hard pernah menyebutkan songket tersebut salah satu yang terbaik di dunia," katanya.

Para wisatawan juga akan mengunjungi Museum Adhityawarman Padang dan Pusat Dokumentasi Adat Minangkabau di Padang Panjang, untuk melihat koleksi tekstil adat tradisional Minangkabau, tambah Ridwan Tulus.

Ia mengatakan, bagi "Sumatra and Beyond" kunjungan tersebut membuka peluang menjadikan Sumbar sebagai daerah tujuan wisata dan penelitian kain tenung tradisional dunia

Sejarah Tenun di Minangkabau

Tidak ada sejarah yang pasti tentang kapan tenun songket mulai dikembangkan di Minangkabau atau di Pandai Sikek. Akan tetapi kepandaian menenun tetuntulah sudah dibawa oleh nenek moyang kita bangsa Austronesia atau yang disebut juga Malayo-Polynesia, dari Tanah Asal, ketika terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari daratan Asia ke arah selatan dan tumur beberapa ribu tahun yang lalu, bersamaan dengan segala kepandaian yang esensial untuk kehidupan, seperti kepandaian becocok tanam, kepandaian membuat dan menggunakan alat-alat pertanian dan pertukangan dan senjata, dan sebagainya. Sesuai dengan fitrah manusia, kepandaian dasar pertukangan tentu mengalami pengkayaan estetika sehingga menjadi apa yang sekarang dikenal dengan istilah kerajinan, dan kemudian menjadi seni. Hal ini sejalan dengan perkembangan di bidang ekpresi lainnya seperti seni gerak, seni suara dan seni pementasan. Sebagai warisan demikian, tenun bisa dikatakan sama umurnya dengan stelsel matrilinial orang Minang, terukaan sawah di Luhak nan Tigo, dan budaya lisan Kato Pusako pepatah petitih.

Di sini juga kita menemukan kesamaan rumpun Austronesia pada kain tenun Sumatra pada umumnya dengan seluruh kain tenun Nusantara hingga ke Sumba dan Timor, juga dengan tenunan La Na di Thailand utara dan Laos. Rumpun ini akan memecah nanti di lihat dari segi kahalusan motif setelah masuknya kebudayaan India dan Cina dari utara. Akan tetapi kesamaannya beretahan di segi peralatan tenun dan teknik bertenun.

Beberapa ratus tahun yang lalu, di hulu sungai Batanghari, yang disebut Sungai Dareh, berkembang suatu pemukiman dan pusat perdagangan yang makmur. Penduduk dari daerah yang sekarang disebut Alam Surambi Sungai Pagu, dan dari daerah-daerah yang lebih ke utara lagi, datang ke tempat ini untuk menjual hasil-hasil alam berupa rempah-rempah dan emas. Daerah ini dikunjungi pula oleh pedagang-pedagang yang datang dari seberang laut, dari India dan Cina. Kaum wanita di daerah ini memakai pakaian yang lebih cantik bagi ukuran masa itu, istilah sekarang: lebih fashionable.

Daerah ini kemudian terkenal dengan nama kerajaan Darmasyraya. Inilah cikal-bakal kebudayaan Melayu. Bertahun-tahun daerah ini menjadi titik pertemuan ekonomi dan budaya antara kebudayaan-kebudayan yang sudah lebih kaya dan maju di utara, Cina, Mongol dan India, dengan budaya lokal. Dalam kurun beberapa puluh tahun itu, atau mungkin sampai dua ratus tahun, setalah mengalami pergantian raja-raja dan penguasa, penduduknya menyerap banyak ilmu dan teknologi dari bangsa asing, disamping kemajuan bidang ekonomi dan politik yang memperkaya dan meningkatkan mutu kebudayaan lokal. Diantara kemajuan yang dialami adalah dalam bidang pakaian dan teknik bertenun, beserta pengkayaan corak motif dan bahan-bahan yang dapat dipergunakan.

Kalau sebelumnya, sesuai dengan perkembangan masyarakat, orang membuat pakaian dari benang yang dibuat dari bahan-bahan yang tersedia di tempat pemukiman mereka, seperti serat kulit pohon, dengan perkembangan perdagangan orang-orang India memperkenalkan bahan dari serat kapas dan linen, juga benang yang disalut dengan lempengan emas tipis. Pedagang Cina membawa benang sutra yang berasal dari kepompong ulat sutra, juga benang yang dibungkus dengan emas kertas kemudian dikenal dengan nama emas prada sehingga bisa diperkirakan bahwa pedangang India pun banyak memperdagangkan bahan tersbut.

Pada tahun 1347 Adityawarman memindahkan pusat kerajaan dan kebudayaan Melayu dari Darmasyraya ke Pagaruruyung, dan kawasan di sekitar gunung Merapi dan Gunung Singgalang yang pada waktu itu terdiri dari Luhak nan Tigo dan Rantaunya yang Tujuh Jurai, menjadi terkenal sebagai Alam Minangkabau, dengan beberapa pusat pemerintahan yang tersebar di Pariangan, Sungai Tarok, Limo Kaum, Pagaruryung, Batipuh, Sumanik, Saruaso, Buo, Biaro, Payakumbuh, dan lain-lain.

Alam Minangkabau dengan falsafah alam yang dianut masyrakatnya, alur dan patut serta alam takambang jadi guru, sangat memberi peluang bagi tumbuh dan berkembangya kebudayaan dan kesenian dengan pengkayaan dari unsur-unsur budaya asing. Susunan masyarakat yang bersuku-suku eksogami dan, yang lebih utama lagi, aturan sumando manyumando, telah mengeliminir konflik antar kelompok sehingga kedamaian dapat terwujud dalam jangka waktu yang panjang dan memberi kesempatan bagi anak nagari untuk memperlajari dan memperhalus ilmu-ilmu dan keterampilan termasuk keterampilan bertenun.

Daerah Batipuh, sebagai salah satu pusat pemerintahan, kedudukan Tuan Gadang Batipuh sebagai Harimau Campo Koto Piliang, dapat diduga menjadi salah satu daerah yang amat penting pada masa kejayaan Minangkabau dahulu, bersama daerah-daerah lain yang tersebut diatas. Sejalan dengan keadaan itu, masyarakatnya tentu mandapat kesempatan yang lebih banyak pula untuk melakukan kegiatan ekonomi dan budaya termasuk keterampilan tenun sehingga mutu dan corak kain tenun semakin tinggi dan halus. Gadis-gadis menenun kain sarung dan tingkuluk dengan benang emas untuk dipakai ketika mereka menikah, dan perempuan lainnya menenun kain untuk dijual.

Adat istiadat di Minangkabau mendorong kegiatan bertenun ini lebih jauh lagi karena pada setiap kesempatan upacara adat, kain tenun selalu wajib dipakai dan dihadirkan. Kata-kata adat dinukilkan di dalam nama-nama motif sehingga menjadi buah bibir dan diucapkan setiap saat. Kain tenun menjadi pakaian raja-raja, datuk-datuk dan puti-puti. Dimasa inilah, dimasa kejayaan Turki Usmani dan Asia Tengah, pada puncak kebesaran Dinasti Mongol di India ketika Sultan Akbar, 1556-1605 sangat memajukan seni dan ilmu pengetahuan, pada masa kejayaan Dinasti Ming dan Manchu di Cina: ketika itu pertukaran perdangangan dan budaya sedang sangat pesat dan melibatkan Minangkabau sebagai suatu kawasan yang menjadi lintasan perdagangan dan juga negri yang mempunyai komoditi dagang yang penting yaitu rempah-rempah dan emas, seni menenun kain dangan sutra dan benang emas di Sumatra, bersamaan dengan suji dan sulaman pun mencapai puncak kemajuannya dan menemukan ciri khasnya tersendiri.

Hampir semua pelosok Minangkabau, dari Luhak sampai ke rantau, mempunyai pusat-pusat kerajinan tenun, suji dan sulaman. Masing-masih mengembangkan corak dan ciri-cirinya sendiri, hal yang sangat dikuasai oleh para pedagang barang antik dan kolektor. Beberapa nagari yang terkenal sekali dengan kain tenununya dan sangat produktif pada masa itu adalah Koto Gadang, Sungayang, dan Pitalah di Batipuh, dan nagari yang melanjutkan tradisi warisan menenun hari ini adalah nagari yang termasuk Batipuh Sapuluh Koto juga yaitu Pandai Sikek.

Motif-motif kain tenun Pandai Sikek selalu diambil dari contoh kain-kain tua yang masih tersimpan dengan baik dan sering dipakai sebagai pakain pada upacara-upacara adat dan untuk fungsi lain dalam lingkup upacara adat, misalnya sebagai “tando,” dan juga dipajang atau digelar pada waktu batagak rumah.

Sulit mengatakan siapa yang dapat dikatakan sebagai master tenun hari ini; tetapi diantara ahli tenun yang terkenal pada generasi sebelum kita ada nama-nama Sari Bentan, Namun, Salamah di Baruah; Nuriah, Ipah, Pasah, Nyiah dan Jalisah di Tanjung.

Ada belasan orang master tenun di Pandai Sikek pada zaman itu. Akan tetap kira-kira seratus tahun yang lalu diyakin beberapa wanita Pandai Sikek sangat aktif dibidang usaha dan kerajinan menenuni ini sehingga nama julukan mereka yang terambil dari peralatan tenun lebih dikenal sampai sekarang. Diantaranya, dikenal nama-nama Inyiak Makau di Tanjuang, Inyiak Suri di Koto Tinggi, Inyiak Banang, dan Inyiak Karok.

Pandai Sikek, sebagai “center of excellece” di bidang tenun songket waktu itu, tentu wanita-wanitanya sudah mengerjakan juga berdasarkan permintaan tenunan yang khas dari daerah-daerah lain seperti dari Pitalah di Batipuah, Koto Gadang di Agam dan dari Sungayang dengan corak benang dan motif yang spesifik dengan daerah tersebut, dan dikenal sampai sekarang sebagai motif-motif Sungayang, motif Koto Gadang dan lain-lain.

Identitas Lokal Mulai Tergerus Industri

Dewasa ini identitas bangsa kita mulai tergerus oleh kepentingan industri. Hal tersebut tampak dari mulai sulitnya menemukan para perajin di daerah-daerah yang masih mengenal karya aslinya.

"Ada mata rantai yang lepas, tatkala masing-masing daerah melakukan modifikasi produk dengan kiblat Jakarta. Mereka selalu berusaha mengerjakan yang laku di daerah lain," kata Samuel Wattimena, perancang nasional, dalam serasehan peluang kerjasama dengan dunia usaha, khususnya fashion dan aksesoris etnik komunitas adat terpencil di Jakarta, Senin (12/10).

Untuk itu, ia mengaku sudah mulai membatasi diri memodifikasi produk lokal. Menurut dia, tiap daerah menunjukkan dulu kekhasan produknya ke masyarakat luas, supaya satu daerah dengan daerah lain saling mengenal kekayaannya. "Selain itu, kita mesti mendata supaya kita tahu kekuatan kita di mana," ujar Samuel.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa produk asli dan tiruan dari masyarakat lokal tidak boleh dipertentangkan. Keduanya saling mengada untuk saling melengkapi. "Kita tetap membutuhkan batik genuine, tapi juga perlu batik cap atau print," ungkap Samuel memberi contoh.

Produk yang asli, ucapnya, berhubungan dengan jati diri dan identitas suatu daerah dan tentunya bangsa kita. Sedangkan produk turunan atau tiruannya dibutuhkan untuk industri dan sosialisasi. "Batik boleh dicap untuk industri dan sosialisasi. Karena tidak semua orang bisa membeli yang tulis atau geniune," tutur Samuel.

Produk asli ini, tambah Samuel menjadi perhatian dari Departemen Sosial (Depsos). Departemen ini tidak berkonsentrasi pada pendapatan ekonomi, tapi untuk menjaga keasliaan dari komunitas yang bersangkutan. "Sedangkan Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian menginginkan perputaran yang cepat. Mereka orintasinya income," papar Samuel.

Mimpi-Mimpi Samuel Wattimena


Setiap orang bebas bermimpi, namun hanya sedikit yang kemudian terbangun dan berusaha mewujudkan mimpinya itu. Tak demikian dengan perancang Samuel Wattimena. "Saya punya mimpi untuk fashion Indonesia, tapi ini semua butuh kerjasama dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia," tukas Samuel, sesaat setelah fashion show"Pagelaran Tenun Unggan Sumatera Barat Kabupaten Sijunjung" di KOI Cafe & Gallery, Kemang, Jakarta Selatan,

Jika disadari, Indonesia sebenarnya memiliki banyak sekali potensi fashion yang indah dan memiliki nilai jual ke internasional. Sebut saja songket, batik, tenun, sulam, atau tarik benang. Sayangnya, saat ini masih banyak orang yang belum sadar akan kekayaan fashion Indonesia ini. "Orang Indonesia masih terlalu berkiblat pada tren fashion dunia, khususnya Barat, padahal belum tentu cocok untuk mereka," tukas pria yang akrab disapa Sammy ini.
Kekayaan kain nusantara merupakan kekuatan budaya, kreativitas, dan seni, yang mempunyai kemampuan menggerakkan perekonomian masyarakat dan mensejahterakan kehidupan masyarakat Indonesia. "Setiap daerah punya ciri khas masing-masing, baik dari motif, teknik, atau warnanya. Hal ini merupakan identitas yang harus dipertahankan," kata Sammy, sambil menambahkan bahwa masih ada masyarakat daerah yang belum mengenal kain tradisionalnya sendiri.

Yang sangat disayangkan Sammy sebenarnya adalah kurangnya minat generasi muda untuk mau menggunakan kain tradisional ini. Sampai saat ini langkah yang paling mungkin dilakukan oleh para desainer adalah memodifikasi kain tradisional ini agar tampil lebih trendi dan berjiwa muda.

Mimpi Sammy
Sudah bukan rahasia lagi kalau banyak warga asing yang mengagumi kain tradisional Indonesia dari Sabang sampai Merauke. "Koleksi kain tradisional kita itu paling banyak dibanding negara lain," tambahnya. Jika berpikir kreatif, seharusnya Indonesia mampu memodifikasi dan memanfaatkan kekayaan ini untuk meningkatkan perekonomian negara dan memperbaiki kehidupan ekonomi masyarakat.
Sammy mengaku terhadap kurangnya minat generasi muda untuk mengenal kain tradisional. Padahal, menurutnya Amerika Latin bisa menjadi pusat mode pakaian pantai karena sesuai dengan karakter daerah dan sumber daya yang ada. "Kenapa Indonesia tidak bisa menjadi pusat mode busana etnik di dunia dengan segudang kekayaan kain indahnya?" ungkap Sammy mengurai mimpinya.

Namun, Sammy mengakui bahwa tidak mudah mewujudkan semua mimpinya ini tanpa dukungan dari berbagai pihak seperti desainer lain, kaum muda, serta pemerintah.

Filosofi Motif Tenun Minangkabau


Tak hanya batik yang setiap motifnya punya makna berbeda. Tenun dari Sumatera Barat atau songket dengan kekayaan motifnya ternyata juga memiliki arti dan nilai kebersamaan tersendiri. "Keterampilan menenun bagi masyarakat Indonesia merupakan sebuah warisan yang perlu dipertahankan dan disosialisasikan, karena ini merupakan kekuatan budaya, kreativitas, dan seni dalam kehidupan bermasyarakat," ungkap perancang Samuel Wattimena, saat pagelaran busana "Pagelaran Tenun Unggan Sumatera Barat Kabupaten Sijunjung" .

Dalam perkembangannya terjadi proses akulturasi budaya dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, terutama sejak masuknya pengaruh Islam ke kota tersebut. Hal ini berpengaruh pada motif-motif tenun yang mengadaptasi motif-motif alam dan ragam hias dari Timur Tengah seperti Arab, Mesir, dan Siria. Sejak dahulu, unsur adat ini identik dengan alam karena alam dianggap sebagai sumber pokok dan penting bagi umat manusia yang telah memengaruhi perajin mengolah motif pada kain tenun songket ini.

Kenyataan ini ternyata membentuk suatu filosofi dalam berbagai motif kain tenun Sumatera Barat. Contohnya adalah sebagai berikut:

1. Pucuk rabuang. Motif ini memiliki makna bahwa hidup seseorang harus berguna sepanjang waktu. Motif ini bercerita bahwa hidup harus mencontoh falsafah bambu, dimana bambu selalu berguna sejak muda (rebung) untuk dimakan, dan saat tua (bambu) sebagai lantai rumah atau bahan bangunan. Motif rebung ini juga mengibaratkan bahwa tanaman ini berguna sepanjang hidupnya dan semua bagiannya memiliki banyak kegunaan.

2. Itiak pulang patang. Motif ini memiliki makna bahwa hidup dalam masyarakat haruslah seiya sekata, seiring sejalan dan mematuhi peraturan yang berlaku. Motif ini ingin mengajak masyarakat untuk bisa hidup bersama dan menggambarkan kerukunan masyarakat Minangkabau yang hidup dalam tatanan kegotongroyongan yang solid.

3. Kaluak paku. Motif ini memiliki makna bahwa kita sebagai manusia haruslah mawas diri sejak kecil, dan perlu belajar sejak dini mulai dari keluarga. Pendidikan dalam keluarga menjadi bekal utama untuk menjalankan kehidupan di masyarakat. Setelah dewasa kita harus bergaul ke tengah masyarakat, sehingga bekal hidup dari keluarga bisa menjadikan diri lebih kuat dan tidak mudah terpengaruh hal negatif. Uniknya, motif ini juga memiliki makna lainnya, yaitu seorang pemimpin harus mampu menjadi teladan bagi masyarakat yang ada disekitarnya.

4. Sajamba makan. Motif ini digunakan sebagai lambang kebersamaan dalam menikmati keberhasilan.

5. Tirai. seperti yang diketahui tirai merupakan hiasan dari kain yang diletakkan pada dinding, pintu, dan lainnya, yang berfungsi untuk menambah keindahan dan suasana yang semarak. Motif ini menggambarkan keindahan, lambang kemewahan dalam upacara adat Minangkabau.

6. Saluak laka. Motif ini memiliki memiliki arti lambang kekerabatan. Hal ini akan memberi makna dalam kehidupan masyarakat, bahwa kekuatan akan terjalin dari kesatuan yang saling terikat sehingga akan terwujud kekuatan bersama dalam menghadapi bermacam masalah.
7. Unggan seribu bukit. Ini merupakan motif terbaru yang diprakarsai oleh Samuel Wattimena yang bekerjasama dengan perajin tenun di Unggan, dan Dekranasda Sumatera Barat. Kerajinan tenun unggan ini merupakan perpaduan teknik bertenun dari pandai sikek dengan silungkang. Motif ini memiliki arti kekompakan dalam kerjasama, kegigihan dalam berusaha, dan sifat ingin maju seseorang.

Senin, 15 April 2013

Harmonisasi Selembar Songket


Setelah menunggu sekitar dua tahun, awal tahun ini Nanda Wirawan bisa bernapas lega. Dua karya pengembangan kain songket Minangkabau yang digarapnya memperoleh penghargaan kerajinan unggulan dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

Pertama adalah songket dengan gabungan motif bernama Saluak Laka dan Saik Ajik Babungo yang dibuat seniman Iswandi dan almarhum Alda Wimar. Motif ini pengembangan dari motif ukir di rumah gadang. Karya lainnya adalah songket kuno Kotogadang bermotif Sajamba Makan yang merupakan hasil revitalisasi dari songket kuno Nagari Kotogadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Songket itu dibuat di Studio Songket ErikaRianti di Jorong Panca, Nagari Batu Taba, Kecamatan Ampek Angkek, Agam. Nanda adalah direktur studio songket itu. Penghargaan dua tahunan untuk program Asia Tenggara di Malaysia itu berarti besar bagi Nanda. Kedua karya itu diberi penghargaan atas sejumlah indikator yang melekat, yaitu istimewa, otentik, inovatif, dan dapat dipasarkan.

Lebih penting

Namun, sebetulnya ada yang lebih penting selain penghargaan itu, yaitu filosofi orang Minangkabau dalam selembar kain. Soal toleransi pada masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Juga soal harmonisasi tentang beberapa unsur dalam kehidupan.

Hal itu terdapat dalam hasil karya pengembangan motif ukiran rumah gadang bernama Saluak Laka dan Saik Ajik Babungo. ”Motif Saluak Laka memiliki filosofi toleransi adat dan agama, perpaduan sistem matrilineal dan patrilineal. Saik Ajik Babungo berarti potongan yang sama besar atau keadilan,” ujar Nanda.

Iswandi, yang membuat motif Saluak Laka untuk kain songket, menuturkan, secara visual motif itu terlihat sebagai perpaduan garis lurus dan lengkung. ”Garis lurus yang cenderung kaku menggambarkan sifat agama, sedangkan lengkung menggambarkan sifat adat. Ini adalah motif yang menggambarkan perpaduan agama dan adat. Inilah yang dimaksud dengan adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (adat bersendi hukum agama, hukum agama bersendi Al Quran),” kata Iswandi yang juga suami Nanda.

Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah adalah konsensus antara pemimpin agama dan pemuka adat untuk memadukan ajaran Islam dan adat Minangkabau. Ada sejumlah versi tentang waktu terjadinya perjanjian itu. Akan tetapi, pegangan dalam menjalankan kehidupan bagi orang Minang itu kini masih didengungkan.

Nanda menambahkan, motif itu juga menggambarkan aturan agama yang sangat jelas dan aturan adat yang dinamis tidak pernah bertentangan. Sekalipun secara adat seorang anak di Minangkabau mewarisi garis ibu (matrilineal), tetapi ia tetap disaluak’kan (diikat) dengan keluarga ayah.

Hal itu mewujud dalam perkawinan ”anak pisang” atau anak dari anak laki-laki yang mesti mengutamakan persetujuan keluarga ayah (bako). Nanda menambahkan, jika ada anggota keluarga bako yang tutup usia, ”anak pisang” yang pertama kali mesti memberikan kain kafan.

Dalam buku Revitalisasi Songket Lama Minangkabau, Bernhard Bart dan kawan-kawan (2006), motif Saluak Laka berarti jalinan kuat lidi atau rotan yang menyatu erat sehingga mampu menyangga periuk. Laka adalah alas periuk. Saluak berati kait atau jalinan. Motif ini berarti jalinan kekerabatan yang kuat guna menjalankan tanggung jawab besar. Pada saat bersamaan tidak ada individu yang menonjolkan diri atau merasa paling berjasa. Ini ditunjukkan dengan tidak terlihatnya ujung ataupun pangkal dalam anyaman atau jalinan laka. Seluruhnya tersembunyi di bawah.

Adapun Saik Ajik Babungo, kata Iswandi, berarti potongan wajik yang sama besar. ”Wajik dalam tata cara penghidangan penganan adalah yang utama dan terletak di tengah-tengah sebagai ’bunga hidangan’ di antara lainnya,” paparnya.

Motif Sajamba Makan menggambarkan kebersamaan dalam masyarakat Minangkabau. ”Motif ini menunjukkan segala sesuatu menyangkut kehidupan kaum mesti diputuskan secara musyawarah untuk mufakat,” kata Nanda.

Mereka yang terlibat dalam forum musyawarah itu adalah orang-orang dengan kemampuan manguik sahabih sauang, baretong sampai sudah. ”Artinya, segala sesuatu ditelaah mendalam dengan prinsip keselarasan dan keseimbangan sehingga hasilnya membawa kebaikan kini dan di kemudian hari,” ujarnya.

Proses panjang

Nyaris seperti toleransi dan harmonisasi yang prosesnya di masyarakat relatif panjang, demikian pula dengan pembuatan kedua songket itu. Terutama untuk transformasi motif ukiran rumah gadang yang secara teknis tak pernah dilakukan sebelumnya di atas kain songket.

Pembuatan motif mulai dilakukan pada 2010 oleh Alda Wimar, yang dilanjutkan pada 2011 oleh Iswandi. Proses penenunan dilakukan April hingga Mei 2012. Revitalisasi songket kuno Kotogadang dimulai dengan pembuatan motif sejak 2006. Penenunan dikerjakan sejak September hingga Oktober 2011. Butuh lima kali penenunan yang gagal sebelum berhasil pada percobaan keenam untuk pembuatan kembali songket kuno Kotogadang itu. Pasalnya, ujar Nanda, revitalisasi sulit, sesuai tuntutan yang mesti sama persis dengan kaidah aslinya.

”Tingkat kesulitan tinggi karena ditenun dengan ukuran setengah lubang sisir tenun. Ini adalah kain paling halus yang pernah ditenun di Studio Songket ErikaRianti,” tutur Nanda.

Proses pada songket lain yang mentransformasikan motif ukiran rumah gadang dalam songket memiliki tantangan lain. Tak mudah memindahkan motif relung dan lingkaran dari ukiran kayu ke atas kain songket, yang disebut Nanda hampir mustahil.

”Ini membutuhkan garis motif yang banyak. Kain songket biasanya bermotif geometris, hampir tidak mungkin bermotif lingkaran,” kata Nanda. Apalagi, songket yang dibuatnya bukan berupa penyederhanaan bentuk, melainkan menenun sesuai dengan motifnya.

Warna menggunakan bahan alami, antara lain secang untuk warna merah dan ungu serta kulit kayu untuk warna coklat kemerahan. Songket itu sempat dipamerkan di Uni Emirat Arab.

Rabu, 15 Februari 2012

Kain Balapak Sumatera Barat

Kain balapak atau kain bacatua merupakan kain songket yang berasal dari Pandai Sikek Sumatera Barat. Kalau menyebut Pandai Sikek, tentu ingat songket. Pandai Sikek sudah identik dengan songket. Namun orang Pandai Sikek nya sendiri tidak menyebutnya songket tetapi tenun, sebab yang dimaksud adalah benang katun dan benang mas yang ditenun dengan tangan, diatas alat yang bernama panta sehingga menjadi kain, yang kemudian kita kenal dengan nama kain balapak atau kain bacatua yang dipakai pai baralek, yaitu pada pesta perkawinan. Benang katun dan emas ditenun dengan tangan di atas alat yang disebut panta, menghasilkan kain balapak atau kain bacatua yang dipakai Pai Baralek, yaitu pada pesta perkawinan dan pada setiap upacara adat. Dengan kata-kata adat Minangkabau diabadikan dalam nama-nama motifnya, kain tenun ini merupakan pakaian raja-raja, datuk-datuk dan puti-puti.



Bagi orang Minangkabau, yang menyebut diri mereka sebagai orang yang beradat, kain tenun adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari upacara-upacara adat istiadat, mulai dari yang dipakai sebagai sarung dan selendang, sebagai tingkuluk dan tokah bagi perempuan, dan sebagai sisamping, salempang dan cawek bajambua bagi laki-laki.


Kain tenun juga diberikan sebagai tando pada upacara adat pertunagan dan pada waktu kusuik ka disalasaikan-karuah ka dipajaniah. Selain itu kain-kain tenun yang menjadi koleksi suatu kaum akan dipajang pada seutas tali yang direntangkan diantara tiang-tiang utama rumah yang baru melaksanakan upacara batagak rumah gadang.

Tidak ada sejarah yang pasti tentang kapan tenun songket mulai dikembangkan di Minangkabau atau di Pandai Sikek. Akan tetapi kepandaian menenun tetuntulah sudah dibawa oleh nenek moyang kita bangsa Austronesia atau yang disebut juga Malayo-Polynesia, dari Tanah Asal, ketika terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari daratan Asia ke arah selatan dan tumur beberapa ribu tahun yang lalu, bersamaan dengan segala kepandaian yang esensial untuk kehidupan, seperti kepandaian becocok tanam, kepandaian membuat dan menggunakan alat-alat pertanian dan pertukangan dan senjata, dan sebagainya. Sesuai dengan fitrah manusia, kepandaian dasar pertukangan tentu mengalami pengkayaan estetika sehingga menjadi apa yang sekarang dikenal dengan istilah kerajinan, dan kemudian menjadi seni. Hal ini sejalan dengan perkembangan di bidang ekpresi lainnya seperti seni gerak, seni suara dan seni pementasan. Sebagai warisan demikian, tenun bisa dikatakan sama umurnya dengan stelsel matrilinial orang Minang, terukaan sawah di Luhak nan Tigo, dan budaya lisan Kato Pusako pepatah petitih.

Di sini juga kita menemukan kesamaan rumpun Austronesia pada kain tenun Sumatra pada umumnya dengan seluruh kain tenun Nusantara hingga ke Sumba dan Timor, juga dengan tenunan La Na di Thailand utara dan Laos. Rumpun ini akan memecah nanti di lihat dari segi kahalusan motif setelah masuknya kebudayaan India dan Cina dari utara. Akan tetapi kesamaannya beretahan di segi peralatan tenun dan teknik bertenun.

Beberapa ratus tahun yang lalu, di hulu sungai Batanghari, yang disebut Sungai Dareh, berkembang suatu pemukiman dan pusat perdagangan yang makmur. Penduduk dari daerah yang sekarang disebut Alam Surambi Sungai Pagu, dan dari daerah-daerah yang lebih ke utara lagi, datang ke tempat ini untuk menjual hasil-hasil alam berupa rempah-rempah dan emas. Daerah ini dikunjungi pula oleh pedagang-pedagang yang datang dari seberang laut, dari India dan Cina. Kaum wanita di daerah ini memakai pakaian yang lebih cantik bagi ukuran masa itu, istilah sekarang: lebih fashionable.

Daerah ini kemudian terkenal dengan nama kerajaan Darmasyraya. Inilah cikla-bakal kebudayaan Melayu. Bertahun-tahun daerah ini menjadi titik pertemuan ekonomi dan budaya antara kebudayaan-kebudayan yang sudah lebih kaya dan maju di utara, Cina, Mongol dan India, dengan budaya lokal. Dalam kurun beberapa puluh tahun itu, atau mungkin sampai dua ratus tahun, setalah mengalami pergantian raja-raja dan penguasa, penduduknya menyerap banyak ilmu dan teknologi dari bangsa asing, disamping kemajuan bidang ekonomi dan politik yang memperkaya dan meningkatkan mutu kebudayaan lokal. Diantara kemajuan yang dialami adalah dalam bidang pakaian dan teknik bertenun, beserta pengkayaan corak motif dan bahan-bahan yang dapat dipergunakan.

Kalau sebelumnya, sesuai dengan perkembangan masyarakat, orang membuat pakaian dari benang yang dibuat dari bahan-bahan yang tersedia di tempat pemukiman mereka, seperti serat kulit pohon, dengan perkembangan perdagangan orang-orang India memperkenalkan bahan dari serat kapas dan linen, juga benang yang disalut dengan lempengan emas tipis. Pedagang Cina membawa benang sutra yang berasal dari kepompong ulat sutra, juga benang yang dibungkus dengan emas kertas kemudian dikenal dengan nama emas prada sehingga bisa diperkirakan bahwa pedangang India pun banyak memperdagangkan bahan tersebut.

Pada tahun 1347 Adityawarman memindahkan pusat kerajaan dan kebudayaan Melayu dari Darmasyraya ke Pagaruruyung, dan kawasan di sekitar gunung Merapi dan Gunung Singgalang yang pada waktu itu terdiri dari Luhak nan Tigo dan Rantaunya yang Tujuh Jurai, menjadi terkenal sebagai Alam Minangkabau, dengan beberapa pusat pemerintahan yang tersebar di Pariangan, Sungai Tarok, Limo Kaum, Pagaruryung, Batipuh, Sumanik, Saruaso, Buo, Biaro, Payakumbuh, dan lain-lain.

Alam Minangkabau dengan falsafah alam yang dianut masyrakatnya, alur dan patut serta alam takambang jadi guru, sangat memberi peluang bagi tumbuh dan berkembangya kebudayaan dan kesenian dengan pengkayaan dari unsur-unsur budaya asing. Susunan masyarakat yang bersuku-suku eksogami dan, yang lebih utama lagi, aturan sumando manyumando, telah mengeliminir konflik antar kelompok sehingga kedamaian dapat terwujud dalam jangka waktu yang panjang dan memberi kesempatan bagi anak nagari untuk memperlajari dan memperhalus ilmu-ilmu dan keterampilan termasuk keterampilan bertenun.

Daerah Batipuh, sebagai salah satu pusat pemerintahan, kedudukan Tuan Gadang Batipuh sebagai Harimau Campo Koto Piliang, dapat diduga menjadi salah satu daerah yang amat penting pada masa kejayaan Minangkabau dahulu, bersama daerah-daerah lain yang tersebut diatas. Sejalan dengan keadaan itu, masyarakatnya tentu mandapat kesempatan yang lebih banyak pula untuk melakukan kegiatan ekonomi dan budaya termasuk keterampilan tenun sehingga mutu dan corak kain tenun semakin tinggi dan halus. Gadis-gadis menenun kain sarung dan tingkuluk dengan benang emas untuk dipakai ketika mereka menikah, dan perempuan lainnya menenun kain untuk dijual.

Adat istiadat di Minangkabau mendorong kegiatan bertenun ini lebih jauh lagi karena pada setiap kesempatan upacara adat, kain tenun selalu wajib dipakai dan dihadirkan. Kata-kata adat dinukilkan di dalam nama-nama motif sehingga menjadi buah bibir dan diucapkan setiap saat. Kain tenun menjadi pakaian raja-raja, datuk-datuk dan puti-puti. Dimasa inilah, dimasa kejayaan Turki Usmani dan Asia Tengah, pada puncak kebesaran Dinasti Mongol di India ketika Sultan Akbar, 1556-1605 sangat memajukan seni dan ilmu pengetahuan, pada masa kejayaan Dinasti Ming dan Manchu di Cina: ketika itu pertukaran perdangangan dan budaya sedang sangat pesat dan melibatkan Minangkabau sebagai suatu kawasan yang menjadi lintasan perdagangan dan juga negri yang mempunyai komoditi dagang yang penting yaitu rempah-rempah dan emas, seni menenun kain dangan sutra dan benang emas di Sumatra, bersamaan dengan suji dan sulaman pun mencapai puncak kemajuannya dan menemukan ciri khasnya tersendiri.

Hampir semua pelosok Minangkabau, dari Luhak sampai ke rantau, mempunyai pusat-pusat kerajinan tenun, suji dan sulaman. Masing-masih mengembangkan corak dan ciri-cirinya sendiri, hal yang sangat dikuasai oleh para pedagang barang antik dan kolektor. Beberapa nagari yang terkenal sekali dengan kain tenununya dan sangat produktif pada masa itu adalah Koto Gadang, Sungayang, dan Pitalah di Batipuh, dan nagari yang melanjutkan tradisi warisan menenun hari ini adalah nagari yang termasuk Batipuh Sapuluh Koto juga yaitu Pandai Sikek.

Motif-motif kain tenun Pandai Sikek selalu diambil dari contoh kain-kain tua yang masih tersimpan dengan baik dan sering dipakai sebagai pakain pada upacara-upacara adat dan untuk fungsi lain dalam lingkup upacara adat, misalnya sebagai “tando,” dan juga dipajang atau digelar pada waktu batagak rumah.

Sulit mengatakan siapa yang dapat dikatakan sebagai master tenun hari ini; tetapi diantara ahli tenun yang terkenal pada generasi sebelum kita ada nama-nama Sari Bentan, Namun, Salamah di Baruah; Nuriah, Ipah, Pasah, Nyiah dan Jalisah di Tanjung.

Ada belasan orang master tenun di Pandai Sikek pada zaman itu. Akan tetap kira-kira seratus tahun yang lalu diyakin beberapa wanita Pandai Sikek sangat aktif dibidang usaha dan kerajinan menenuni ini sehingga nama julukan mereka yang terambil dari peralatan tenun lebih dikenal sampai sekarang. Diantaranya, dikenal nama-nama Inyiak Makau di Tanjuang, Inyiak Suri di Koto Tinggi, Inyiak Banang, dan Inyiak Karok.

Jumat, 05 Agustus 2011

Kemilau Songket Minang

Kreativitas para perancang busana ternyata identik dengan keberuntungan. Tidak saja keberuntungan secara finansial yang diraih perancang dan perajin, tetapi juga keberuntungan bagi tumbuhnya sebuah kebudayaan. Secara sosial-ekonomi, industri tenun songket merupakan salah satu tulang punggung ekonomi rakyat yang cukup penting. Industri kecil masih tetap bertahan sebagai kegiatan ekonomi rakyat kecil.


Riny Suwardy menciptakan satu kolaborasi rancak dan bagi selembar kain songket Minang menjadi perpaduan yang sejiwa dengan kebaya-kebayanya. Ia tertarik mengangkat songket Minang karena kagum dengan motif-motif yang unik dan bermakna filosofis. Apalagi secara kualitas, menurut penelitian pakar tenun songket dunia dari Swiss, Bernhard Bart, merupakan tenun songket terhalus dan unik di dunia.
”Setelah membandingkan dengan sejumlah songket daerah lain, ternyata songket Minang lebih halus, motifnya beragam dan punya makna filosofis. Punya makna tersirat dan makna tersurat, bahkan makna tersuruk (tersembunyi). Di dalamnya terdapat simbol-simbol ajaran adat Minangkabau,” kata Riny Suwardy.

Motif  Bungo Antimun Dalam Songket Minang

Ia mencontohkan, motif bungo antimun . Simbol yang diambil dari tanaman mentimun (Cucumis sativus) bukan saja dari manfaat ataupun dari bentuk fisiknya, melainkan dari cara tumbuhnya yang menjalar atau merambat. Ketika menjalar, tanaman ini selalu menanamkan akar dari tiap ruasnya dan melekatkan akar tersebut pada kayu penopang.
Kata-kata adat mengungkapkan: Bak mantimun marantang tali (Ibarat mentimun merentang tali). Makna tersurat, yaitu mentimun bergerak merambat dengan perhitungan yang matang. Setahap demi setahap ia tanamkan akarnya pada tempat tumbuhnya, ruas demi ruas untuk terus bertumbuh.
Makna tersirat dari sifat ini, yaitu adanya perhitungan yang matang dalam melaksanakan rencana dan menyelesaikan masalah dengan langkah yang sistematis dan mengakar. Dalam kerangka berpikir teoretis demikian pula, gagasan yang diajukan haruslah mempunyai argumentasi yang jelas dengan dalil yang kuat.
”Motif bungo antimun menggambarkan ekspresi jiwa dan pikiran seseorang yang berkembang secara wajar dan bebas, tetapi tetap terikat pada nilai-nilai moral yang berlaku di dalam masyarakat. Bebas tetapi bertanggung jawab,” kata Riny.
Budayawan Edy Utama yang ditemui secara terpisah, awal Juli 2010 di Padang, mengatakan, songket Minang merupakan songket yang paling halus di dunia, serta memiliki motif-motif unik dan cerdas. Di dalam setiap motif mengandung nilai-nilai ajaran adat Minangkabau. Maknanya simbolik.

KebudayaanSongket Minangkabau Mulai Dihargai


Membuat songket membutuhkan ketelitian dan ketekunan. Bahkan, untuk menghasilkan songket yang halus dan berkualitas, kehati-hatian dan ketelitian diperlukan sekali. Jika selama ini warga malas bekerja membuat songket karena persoalan waktu dan kecilnya penghargaan, sejak beberapa tahun terakhir kondisinya berubah.


Di Studio Songket ErikaRianti, Bukittinggi, misalnya, ada tujuh orang yang terampil membuat songket. Sistem yang diterapkan, membuat ketujuh orang itu betah bekerja. ”Pekerja adalah mitra. Mereka harus dihargai secara wajar dan membuat mereka tetap betah,” kata Nanda Wirawan, pimpinan Studio Songket ErikaRianti.
Menurut Sukriyah (23), perempuan lajang yang bekerja di rumah songket, ia tertarik bekerja, selain mengagumi songket Minang, juga karena ia bisa sekaligus belajar banyak hal di Studio Songket. ”Karena songket yang dibuat bukan yang pasaran, tetapi yang sangat bernilai tinggi. Songket lama, berusia ratusan tahun yang dibuat kembali replikanya. Ini sesuatu yang langka dan membanggakan bisa mengerjakannya,” ujarnya.
Soal penghargaan, Sukriyah mengaku lebih baik. Karena selain dapat uang harian (uang makan dan gajian harian) Rp 20.000 per hari, juga ada uang lembur. ”Jika songket selesai dibuat, kami dapat lagi Rp 1 juta sampai Rp 1,8 juta per bulan, tergantung nilai jual songket yang kami buat,” katanya. Kalau ingin cepat selesai, bisa lembur dan juga dibayar.
Di Studio Songket juga ada dua remaja pria lulusan sekolah menengah kejuruan yang bekerja di situ. ”Bisa membuat songket, yang orang lain tak bisa, merupakan suatu kebanggaan. Sembari membuat songket, sekaligus juga belajar bagaimana membuat motif-motif songket lama. Soal penghargaan, dibayar secara profesional dan lumayan besar. Kisarannya Rp 1 juta sampai Rp 3 juta, di luar uang makan dan uang harian yang Rp 20.000 per hari,” kata Dodi (21).
Pendapatan per bulan dari membuat songket bagi Dodi sudah lumayan besar, bisa menutupi kebutuhan sehari-hari dan malah bisa menabung. ”Saya menyenangi pekerjaan ini walau mungkin amat jarang laki-laki yang bekerja membuat songket. Keterampilan yang menuntut keahlian pada dasarnya siapa saja bisa, baik laki-laki maupun wanita,” tambahnya.

Tradisi Menenun Songket Tumbuh Integral Dengan Kebudayaan Minangkabau

Ketua Umum Dewan Kerajinan Nasional Hj Mufidah Jusuf Kalla, yang juga memproduksi songket Minang dengan label ”Rumah Songket”, mengatakan, tradisi menenun songket dalam masyarakat Minangkabau tumbuh dan berkembang bersamaan dengan kebudayaan Minangkabau itu sendiri.
”Itu pula sebabnya fungsi dan kain songket dalam kehidupan masyarakat Minangkabau menjadi bagian yang integral dari kehidupan budayanya. Kain songket merupakan ekspresi budaya Minangkabau yang sekaligus juga menjadi kekuatan sosial ekonomi bagi masyarakat setempat,” katanya.
Sementara Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Sumatera Barat Ny Hj Vita Gamawan Fauzi mengatakan, di Sumbar terdapat sejumlah sentra tenunan songket. Ada sentra yang masih tetap berkembang saat ini dan ada pula yang tidak lagi memproduksi.
Vita menunjuk daerah yang pernah menjadi sentra tenunan songket, seperti Nagari Koto Gadang, Nagari Kubang, Nagari Sungayang, Nagari Pitalah, dan di antara yang masih tetap berkembang antara lain Nagari Pandai Sikek dan Nagari Silungkang.
”Namun, dalam dasawarsa belakangan ini, beberapa nagari di Sumatera Barat juga tumbuh sejumlah sentra industri tenun baru, seperti di Kota Padang, Payakumbuh, Solok, dan beberapa daerah lainnya,” ungkap Ny Hj Vita Gamawan Fauzi

Revitalisasi Songket Minangkabau Yang Merupakan Songket Terbaik Dunia

Peneliti songket asal Swiss, Bernhard Bart, menyebutkan, dari hasil penelitiannya selama 10 tahun di sejumlah negara dan kota-kota penghasil songket di Indonesia, songket Minang merupakan yang terhalus dan sangat kaya dengan motif-motif bermakna simbolik dan filosofis.
”Kalau kita cermati produk-produk budaya Minangkabau yang dihasilkan sekitar 100 tahun lalu, seperti hasil kerajinan songket, memang memperlihatkan Minangkabau memiliki kualitas yang patut dibanggakan. Minangkabau pernah mencapai suatu fase perkembangan yang mampu menciptakan karya budaya yang kualitasnya melewati zaman penciptaannya,” katanya.
Bernhard bekerja sama dengan Studio Songket Erika Rianti, Bukittinggi, sejak 4 tahun terakhir memproduksi songket terhalus dengan motif-motif yang umumnya tidak lagi diproduksi perajin songket lain di sentra-sentra songket di Sumatera Barat.
”Kain songket lama yang punah dan kini diproduksi kembali di dalamnya terdapat sejarah kebudayaan dan kehidupan masyarakat Minangkabau yang begitu menarik. Melalui motifnya yang begitu beragam, terdapat makna dan pesan-pesan adat Minangkabau, yang bersumber dari alam takambang jadi guru. Motif-motif tersebut tergambar dengan kuat, rapi, dan memperlihatkan tingkat kerumitan yang sulit dikerjakan oleh penenun masa kini,” ujar Nanda.
Di Padang, Nina Rianti Alda juga memproduksi kembali songket-songket lama Minangkabau bekerja sama dengan Bernhard. Membandingkan antara songket lama dan yang baru, menurut Nina, perbedaannya terletak pada orientasi di dalam tradisi pembuatan songket itu sendiri.
Menurut Nina, songket lama cenderung berorientasi pada kesadaran nilai dan ekspresi budaya Minangkabau karena di dalamnya ada simbol dari kebudayaan Minangkabau. Sementara pada songket baru, meskipun kesadaran terhadap nilai dan hubungannya dengan simbol serta identitas budaya Minangkabau itu masih ada, secara kualitas tidak lagi bisa dicapai seperti yang ada di dalam songket lama Minangkabau.