Selasa, 21 Mei 2013

Melihat Koleksi Tekstil di Tanahabang

ADALAH Justinus Vinck, tuan tanah Belanda, yang menguasai tanah luas di Weltevreden -kawasan yang antara lain meliputi Lapangan Banteng, Gambir, dan Senen– di tahun 1730-an dan membuat jalur yang menghubungkan Pasar Senen dan Tanahabang –kini bernama Jalan Prapatan dan Kebon Sirih. Ia jugalah yang menciptakan Pasar Senen (Vinck Passer) dan Tanahabang.

Sebenarnya, sejak abad 17 nama Tanahabang sudah mulai terdengar, yaitu saat tentara Mataram mengepung Batavia. Di dataran berbukit bertanah merah dan berawa itulah pangkalan tentara Mataram. Kawasan ini di masa itu juga masih menjadi kebun teh, melati, kacang, sirih, jahe. Pasar Tanahabang yang kemudian dibangun pada 30 Agustus 1735 merupakan pasar tradisional, tak berbeda jauh dengan Pasar di Tanahabang.

Pasar Tanahabang kemudian berkembang menjadi sentra tekstil terbesar di Asia Tenggara.

Namun kali ini bukan soal Pasar Senen atau Pasar Tanahabang yang jadi titik sentral. Dari Pasar Tanahabang ini, agak bergerak sedikit ke arah deretan rel keretapi di mana terdapat sebuah ”kampung”, di dalam kampung besar Jakarta, bernama Bongkaran. Dari sini tengoklah ke seberang. Di sana ada sederet pedagang kaki lima yang memenuhi hampir setengah badan jalan.

Di belakang rimbunan pedagang kaki lima ini akan mencuat sebuah bangunan. Banyak yang tahu bahwa bangunan itu tak lain adalah bangunan Museum Tekstil tapi sebagian besar warga Jakarta dan sekitarnya tak tahu menahu tentang keberadaan bangunan itu. Yang lebih parah, sebenarnya, adalah yang tahu keberadaan dan kondisi gedung itu tapi pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu.

Dari catatan Warta Kota, museum yang tersembunyi di antara keriuhan pedagang tadi berdiri di atas lahan seluas 9.800 m2. Bangunan itu semula milik seorang warga Prancis yang kemudian beberapa kali berpindah tangan. Tahun 1942 bangunan dengan halaman luas itu dibeli Dr Karel Christian Cruq dari tangan seorang konsul Turki. Di masa revolusi, rumah itu dijadikan markas Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Pada 1947 rumah itu dibeli seorang pengusaha bernama Lie Soin Phin yang kemudian dikontrakkan ke Departemen Sosial (Depsos). Tahun 1952 Depsos membeli bangunan itu dan bulan Oktober 1975 menyerahkannya ke Pemda DKI untuk dijadikan museum. Itulah awal keberadaan Museum Tekstil.

Lantas apa saja yang bisa dilihat di museum ini, selain alat tenun nonmesin yang dibuat tahun 1927 dan gedogan (alat tenun tradisional), serta beragam koleksi kain batik, ikat, kain tradisional, lukisan tangan, dan prada? Antaralain ada Bendera Kraton asal Cirebon buatan tahun 1776 yang merupakan panji kebesaran Kesultanan Cirebon; Kain Adat asal Bali dari abad ke -19. Kain ini disebut juga Geringsing Wayang Kebo, merupakan kain tenun yang pembuatannya paling rumit karena menggunakan teknik ikat ganda. Teknik ini adalah teknik langka yang hanya ada di sedikit negara.

Sri Susuhunan Pakubuwono XII menyumbangkan kain motif batik bernama Tumurun Srinarendra (kelahiran raja). Dibuat oleh almarhum Hardjonegoro untuk dikenakan sendiri pada perayaan ulangtahun Sunan Solo. Selain itu ada pula koleksi baju perang Irian Jaya berbahan rotan dan serat alam. Teknik pembuatan dianyam. Baju ini digunakan sebagai busana suku di Papua untuk melindungi dada dari serangan benda tajam.

Tentu tak hanya apa yang bisa disebutkan di sini, dari balik padatnya pedagang, riuhnya kendaraan khususnya angkot, dari buruknya kondisi lingkungan museum, tersembunyi kisah lain perihal sejarah pertekstilan negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar