Rabu, 25 April 2012

Songket Batubara Menembus Pasar Dunia

Dengan mempertahankan kekhasannya sebagai warisan leluhur, kain songket tetap bertahan di tengah gempuran industri tekstil sejenis. Salah satunya adalah songket Batubara yang memiliki keunggulan di sisi corak dan tenunan yang serba tradisional. Dinamakan kain songket Batubara karena sentra industri tekstil khas Sumatra Utara ini terletak di daerah bernama Batubara di Kabupaten Asahan, Sumatra utara.
Salah satu perajin songket Batubara di Asahan adalah Ibu Ade. Berbekal pengetahuan pembuatan kain tenun yang diperoleh secara turun-temurun, ia merintis usaha pembuatan songket Batubara dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional. Pembuatan songket dimulai dari menyusun benang, menggulung ke papan, memasukkan benang ke sisir, hingga menyusun motif sesuai warna dan grafis tetap dilakukan secara manual.
Kerumitan dan ketelatenan selama proses pembuatan membuat harga songket itu relatif mahal. Harga juga ditentukan kualitas benang dan motif yang dirajut. Kain songket termahal dibanderol Rp 1 juta per helai. Songket ini biasanya menggunakan benang nomor satu dengan jenis motif bunga pika delapan.
Selama ini, Ibu Ade mengaku tak pernah sepi dari pesanan apalagi menjelang Lebaran. Omzet usaha yang dirintisnya kini sudah mencapai Rp 100 juta per bulan. Selain dipasarkan di Sumut dan kota-kota besar di Tanah Air, songket Batubara sudah merambah ke beberapa negara ASEAN seperti Malaysia dan Brunei Darussalam

Sabtu, 21 April 2012

Tenun Ikat Timor Sarat Tradisi Bernilai Ekonomi


Menenun menjadi kegiatan keseharian bagi masyarakat Timor, Nusa Tenggara Timur. Kain tenun ikat bernilai ekonomi tinggi dan menjadi sumber mata pencaharian utama. Satu lembar kain tenun ikat tak hanya bermakna tradisi, namun juga menggambarkan keuletan perajin dalam memproduksinya berbulan-bulan. Kain tenun ikat dari Timor bahkan bisa mencetak sarjana. Inilah pengalaman Cornelis Talom (68) bersama anak dan istrinya dalam melestarikan kain tenun ikat dengan cara sederhana.

Cornelis, tak kenal lelah menawarkan kain tenun ikat buatan istrinya di halaman hotel di Kupang, NTT. Meski hari makin larut, bapak tujuh anak ini masih bertahan berjualan, berharap tamu hotel tertarik membeli kain tenun berwarna cerah, khas motif amanatun dari Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Tak jauh dari tempat Cornelis berjualan, deretan toko suvenir memajang ragam motif kain tenun NTT. Bapak tua ini percaya diri bersaing dengan toko yang menjual berbagai model aplikasi tenun. Sebagai bentuk penghargaan atas usaha perajin tenun, pemilik toko juga tak melarangnya berjualan di depan pertokoan. Rupanya, Cornelis seringkali mengikuti tamu hotel menuju toko tersebut. Ia berharap, pengunjung toko sudi membeli kain yang ditenun keluarganya.

"Saya membawa lima lembar kain dan lima lembar selendang tenun khas TTS untuk dijual 1-2 minggu di Kupang. Saya sudah satu minggu di Kupang, kalau sudah laku, saya kembali ke kampung. Kain tenun ini yang membuat istri dan anak," tutur Cornelis yang berasal dari desa Sahan, kecamatan Nungkolo, kabupaten TTS, NTT.

Cornelis berjualan kain tenun sejak puluhan tahun silam dan memilih cara sederhana menjual produk kerajinan tangannya. Meski sederhana, pria buta huruf ini pantang menyerah menjajakan kain tenun dari desa. Kegigihan inilah yang membuat anak-anaknya bisa bersekolah hingga perguruan tinggi, dan beberapa di antaranya berprofesi sebagai guru. Saat berjualan tenun di Kupang, Cornelis menumpang di rumah salah satu anaknya. "Enam anak saya sudah menikah dan tinggal di Kupang," jelas pria yang tak bisa berbahasa Indonesia ini.

Pengunjung toko atau tamu hotel yang ditawari kain tenun oleh Cornelis, memang membutuhkan orang lokal untuk menerjemahkan bahasanya. Cornelis memang pantang menyerah. Tanpa terlihat ingin dikasihani, ia gigih menawarkan kain tenun dari kampungnya. Ia yakin, akan ada orang lain yang membantunya bertransaksi. Benar saja, malam itu, Cornelis berhasil menjual satu selendang tenun dari TTS kepada pengunjung toko, senilai Rp 75.000.

Sementara, kain tenun model selimut senilai Rp 600.000 belum berhasil terjual. Kakek sembilan cucu ini berharap keberuntungan akan kembali menghampirinya esok hari. Setelah mendapatkan pembeli malam itu, Cornelis beranjak pulang menuju kediaman anaknya. Ia percaya diri, selendang tenun yang diproduksi selama lima hari, dan kain tenun selimut yang dibuat selama delapan bulan, akan memikat hati pengunjung toko atau tamu hotel, esok atau lusa.

Baginya membuat kain tenun di kampung, lalu menjualnya di kota, menjadi pekerjaan menguntungkan. Karena itulah, salah satu anak laki-laki Cornelis melakukan hal serupa. Membuat dan menjual kain tenun dengan cara sederhana seperti bapaknya.


Jumat, 20 April 2012

Songket Minang Di Lirik Amerika

Perempuan berkebaya tidak identik dengan usia paruh baya, tua. Remaja tetap memesona saat berkebaya.

Simpel karena model kebaya yang saya rancang lebih banyak menampilkan model-model kebaya pendek. Namun, dengan sentuhan perubahan ornamen-ornamen ’unik’ lainnya, seperti ’buntut’ di belakangnya, penampilan kebaya tersebut tampak lebih elegan. Keberadaan ’buntut’ tidak permanen sehingga pada suatu kesempatan lain, si pemakai dapat melepaskannya tanpa menghilangkan kecantikan dan keanggunan kebaya tersebut,” kata Riny Suwardy

Ia menambahkan, rancangan kebaya songket Minang telah mendapat tawaran digelar di Amerika Serikat. ”Target saya, songket Minang akan saya buat seterkenal batik dan songket harus go international,” ujar Riny yang kelahiran Jakarta, 19 Januari 1971.

Menurut pemerhati songket, Lia, keindahan kebaya-kebaya pegantin Riny kali ini tampak menjadi sempurna dengan perpaduan songket Minang—yang memang memiliki ciri khas warna-warna berani dan selalu tampil eye catching.”Dengan sedikit sentuhan, Riny menciptakan suatu kolaborasi cantik dan menarik bagi selembar songket Minang. Menjadi perpaduan yang sejiwa dengan kebaya-kebayanya. Apalagi kali ini Riny juga menggunakan songket Minang yang bahannya cukup ringan dan nyaman dikenakan untuk berbagai acara,

Riny menjelaskan, songket Minang amat kaya dengan motif dan maknanya sangat filosofis.”Misalnya, motif pucuak rabuang (pucuk rebung). Dalam filosofi Minang, ketek paguno gadang takapai. Artinya, sewaktu muda sudah berguna, pada masa tua menjadi lebih bermanfaat,” katanya.