Rabu, 27 Juli 2011

Pelestari Kain Tenun Ikat

Tahun 1961 merupakan masa penuh kenangan manis bagi Johanna Maria Pattinaja (73). Tahun itu sekaligus menjadi awal bagi dirinya mengoleksi kain tenun ikat tradisional Nusa Tenggara Timur. Johanna sangat mencintai salah satu aset budaya bangsa itu. 
Saat Tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT menemui Johanna di Hotel Sao Wisata, Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu, gurat kelelahan terlihat pada wajahnya karena baru menempuh perjalanan panjang Jakarta-Denpasar-Flores. Saat topik pembicaraan menyinggung kain tenun NTT, Johanna langsung bersemangat, seakan rasa lelah itu sirna.
Dia menuturkan lika-liku perjalanan mengoleksi kain tenun sejak 49 tahun lalu itu, keprihatinan akan masa depan kerajinan tenun ikat NTT, juga ide dan gagasan mengenai pentingnya pelestarian kerajinan dan produk tenun ikat.
”Tahun 1961 saya pertama kali berkunjung ke Maumere setelah menikah dengan almarhum (Frans Seda). Waktu itu, suami saya menjabat sebagai anggota DPR-GR/MPRS. Saat masa reses suami turun ke daerah pemilihan, saya mendapat kain tenun. Saya terheran-heran dengan gambarnya. Dulu, yang terkenal kan batik dan songket. Saya pikir, ini kain apa? Lalu saya mulai bertanya sana-sini soal tenun ikat,” Johanna mengenang.
Perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur, ini penasaran dengan kain tenun NTT, dan dia berupaya mencari informasi tambahan dari buku-buku. Dengan berjalannya waktu, rasa cinta dan bangga pada tenun ikat semakin tumbuh.
Sampai sekarang, ibu dua anak ini telah mengumpulkan sekitar 1.000 kain tenun ikat NTT, baik dari Pulau Timor, Sumba, maupun Flores. Kain koleksinya kini disimpan rapi dalam peti-peti yang memadati lantai dua kediamannya di Jalan Metro Kencana V, Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Johanna memutuskan fokus mengoleksi kain tenun ikat NTT karena waktu itu kerajinan batik dan tenun songket sudah lebih dikenal masyarakat.
”Kita harus bangga sebab Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mempunyai kain adat beraneka ragam, begitu pula variasi teknik pembuatannya. Di NTT, kerajinan tenun ikat umumnya dibuat dengan alat tenun gedok, terdiri dari benang lungsi dan pakan. Waktu benang pakan masuk, lalu ditarik ke arah perajin, ada bunyi dok, dok,” kata Johanna.
Falsafah tenun
Johanna mengagumi kain tenun ikat NTT karena bukan sekadar untuk penutup tubuh, melainkan juga mengandung falsafah serta sarat akan nuansa sakral atau magis.
Johanna umumnya memperoleh kain tenun dari pemilik yang menjual secara pribadi kepadanya. Bagi masyarakat NTT, kain tenun pada dasarnya dibuat bukan untuk dijual, melainkan dipakai sendiri, dan yang lebih utama untuk keperluan adat. Kain tenun baru dijual sebagai alternatif terakhir apabila keluarga si pemilik mengalami tekanan ekonomi yang berat.
Hal itu dialami Johanna tahun 1990-an. Saat itu, ada seorang guru di Aimere, Kabupaten Ngada, Flores, yang hendak menjual kain tenun peninggalan leluhurnya. Kain tenun itu diperkirakan berusia lebih dari 100 tahun. Biasanya, semakin tua kain tenun, harganya makin tinggi. Apalagi jika dibuat dengan pewarna alami.
Johanna sempat meminta keponakannya untuk mengambil kain tersebut. Namun, sang keponakan malah bermimpi didatangi seorang laki-laki tua berjanggut sehingga ia tak berani mengambil kain itu. Setelah dilakukan upacara adat dengan memotong ayam, baru kain tersebut dapat diambil.
Fenomena magis juga ada pada salah satu kain tenun perempuan Sumba yang dimilikinya. Setiap hendak dibersihkan (dikebas), pada kain tenun itu selalu ada semacam pasir pantai yang melekat. Setelah ditelusuri, konon kain itu merupakan kain khusus yang digunakan untuk orang yang sudah meninggal.
”Keunikan lain, kain tenun ikat NTT mempunyai falsafah. Seperti di Jawa, anak yang pertama kali akan menginjakkan kaki ke tanah, ada jenis kain tersendiri untuk upacara adatnya,” ujar Johanna.
Salah satu mahar kawin di Kabupaten Flores Timur dan Lembata adalah kain tenun. Pada adat etnik Lio Ende, kain tenun diserahkan oleh keluarga mempelai perempuan kepada keluarga mempelai laki-laki sebagai balasan atas pemberian mahar kawin (belis).
Motif dan ragam hias kain tenun ikat juga dapat menunjukkan perubahan sejarah suatu daerah. Misalnya, di Sumba dulu dikenal motif alam atau binatang, seperti udang atau ular. Namun, sejak Belanda masuk Sumba, mulai dikenal kain motif crown (mahkota). Motif itu mengacu pada mata uang gulden Belanda yang bergambar mahkota diapit dua singa. Akhirnya di Sumba dikenal istilah mahang (singa) meski di wilayah itu tidak ada singa. Pada masa itu pula, pada kain tenun juga dibubuhi tenunan berupa bendera kecil berwarna merah-putih-biru.
Pentingnya pelestarian
Johanna juga mengingatkan pentingnya pelestarian kain tenun ikat NTT agar tidak punah. ”Meski suatu saat kain tenun ikat NTT hanya menjadi benda seni, perlu ada masyarakat yang menguasai teknik pembuatannya sehingga selalu ada produk tenun,” katanya.
Jangan sampai terjadi seperti di Manado, Sulawesi Utara. Kain tenun ikat di sana tak dibuat lagi karena tidak ada lagi yang bisa membuatnya. Ironisnya, kain tenun ikat Manado tersimpan di museum Belanda.
Johanna berpendapat, perajin tenun ikat NTT perlu diproteksi pemerintah daerah, terutama dari ekspansi industri kain di Jawa yang berproduksi dengan motif tenun ikat NTT. Kualitas produk Jawa lebih tipis, halus, dan harga lebih murah dibandingkan harga kain tenun ikat alami yang bisa mencapai lebih dari Rp 500.000 per lembar.
”Produk tenun hasil print dengan hand made harus jelas labelnya agar tidak menjatuhkan perajin tenun ikat,” kata perempuan yang pada periode 1957-1961 mengajar di SMA Katolik St Ursula Jakarta itu.
Johanna amat mendukung upaya pelestarian seperti yang dilakukan oleh Himpunan Wastra Prima. Himpunan pencinta kain adat yang didirikan tahun 1976 itu mengawali kegiatan dengan mengumpulkan 400 kain adat dari seluruh Indonesia, termasuk kain tenun ikat NTT, kemudian disimpan di Museum Tekstil Jakarta. Johanna sendiri menjabat sebagai ketua himpunan ini tahun 1980-1993.

Senin, 25 Juli 2011

Keindahan Tenunan Batik Minangkabau Nan Langka

Tenunan berbenang emas yang cantik (kain balapak) sudah merupakan ciri khas pakaian adat Minangkabau. Keindahannya sering kali di nilai dengan “barek” atau seberapa berat kain tersebut. Karena memang kain tenun berbenang emas tersebut cukup berat bila di kenakan.
Namun tidak banyak yang tahu bahwa Minangkabau mempunyai tenunan khas berupa batik yang tidak kalah indahnya. Batik Minangkabau ini disebut batik tanah liek, karena batik yang asalnya dari Minangkabau ini salah satu pewarnanya adalah tanah  liek,  yaitu tanah liat.
Bila dilihat dari bahan pewarna yang digunakan dan cara pembuatan, teknologi pembuatan batik tanah liet ini merupakan teknologi tertua dalam pembuatan batik di Indonesia. Diduga batik ini muncul dari pengaruh kebudayaan Cina. Nenek moyang orang Minangkabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan Asia (Indo-Cina) mengarungi Laut Cina Selatan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian memudiki sungai Kampar, Siak, dan Inderagiri (atau; Kuantan). Sebagian di antaranya tinggal dan mengembangkan kebudayaan serta peradaban mereka di sekitar Kabupaten 50 Koto sekarang. Pada perkembangannya, batik tanah liet ini hanya dibuat beberapa orang perajin seperti di Tanah Datar. Tapi kerajinan ini hilang tanpa jejak sejak  zaman peperangan, mungkin zaman pendudukan Jepang.
Motif batik tanah liet banyak terinspirasi dari binatang-binatang seperti kuda laut dan burung hong yang merupakan motif kuno batik minangkabau ini. Dari 9 motif yang ada, 6 motif fauna dan 1 motif flora yaitu kaluak paku yang digunakan untuk pinggiran kain. Sedang motif lainnya berupa lukisan non figur.
Warna batik hanya ada dua, warna tanah dan hitam. Warna tanah didapatkan dari merendam kain dalam larutan tanah liat. Biasanya proses perendaman memakan waktu seminggu lamanya. Sedangkan warna hitam diperoleh dari larutan kulit jengkol yang direndam dalam air. Ada bermacam-macam sumber pewarna alam lain yang digunakan batik tanah liet ini. Ada yang  dari  kulit jengkol,  kulit  rambutan,  gambir,  kulit mahoni, daun jerami dan masih banyak akar-akar lainnya yang juga digunakan.
Karena harganya yang tergolong mahal, dahulu batik tanah liet hanya dipakai untuk upacara khusus saja. Pada acara itu pun hanya  dipakai  oleh ninik  mamak  dan bundo  kanduang,  atau panutan adat Para datuk memakainya dalam bentuk selendang yang dilingkarkan pada leher. Sedangkan kaum perempuan menyampirkan selendang itu di bahu. Caranya, ujung kain pertama dililit dua kali di bahu kiri. Ujung lainnya disampirkan di tangan kanan melalui bagian belakang badan. Selendang ini selalu dipertahankan oleh orang Minang sebagai kerajinan peninggalan nenek moyang.

Minggu, 24 Juli 2011

Tenun Sutera Sulawesi Selatan Yang Mempesona

Tanah Air kita masih menyimpan berbagai kekayaan tradisi lainnya yang menunggu untuk dieksplorasi. Misalnya saja sutera alam yang menjadi produk unggulan Sulawesi Selatan. 

Salah satu orang yang menyadari betul potensi tersebut adalah perancang busana Carmanita. Dalam sebuah pertunjukan fesyen, ia menampilkan sejumlah kreasi busana berbahan Celebes silk. 

Ada 20 potong busana yang diperagakan dalam pertunjukan yang berlangsung sejak pukul 12.30 WIB itu. Pergelaran ini termasuk dalam rangkaian acara South Sulawesi Silk Day, yang digelar Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam upaya menembus pasar internasional. 

"Terutamanya untuk mengangkat baju bodo (pakaian adat Sulawesi Selatan) kembali," ujar Carmanita saat ditanya tentang konsep pertunjukannya. 

Desainer yang membutuhkan waktu seminggu untuk menyiapkan koleksi tersebut, bermain dengan motif ikat dan printing Toraja nan manis. Sementara untuk teknik, ia memilih metode draping dalam membuat busana. 

"Semua draping. Kalau pakai patron itu, pertama, membuat kita tergantung. Selain itu, paternity. Membatasi. Kalau draping, kan, bebas," katanya. 

Kedua puluh busana yang dipamerkannya terdiri atas setelan atasan longgar dan celana model jodhpur, rok panjang, serta sejumlah gaun. Semuanya hadir dalam perpaduan warna dan corak yang berani, mulai dari hijau, biru, merah, kuning, cokelat, hitam, putih, dan oranye. 

Ia sendiri enggan memberikan judul pada koleksinya, termasuk kapan dan siapa yang pantas mengenakannya. "It's a free fashion," cetusnya lugas. 

Lantas, sulitkah mengolah kain tradisional tersebut menjadi busana yang sesuai dengan cita rasa kekinian? Ternyata tidak. 

"Tidak susah mengolahnya. Kalau sudah terbiasa, enggak ada persoalan," katanya enteng. 

Kendala 
Selama ini, Sulawesi Selatan memang terkenal dengan produksi suteranya. Persuteraan alam di daerah tersebut, khususnya pertenunan gedogan telah ada sejak abad ke-16. Kegiatan budidaya murbei dan ulat sutera dikembangkan sejak tahun 1960-an, yang diikuti dengan berkembangnya industri pemintalan dengan puncak produksi benang sutera pada 1970-an. 

Akan tetapi, beberapa tahun belakangan ini produksi benang sutera Sulawesi Selatan mengalami penurunan. Menurut Kepala Bidang Promosi Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Provinsi Sulawesi Selatan Sukarniaty Kondolele, pada tahun 2000 produksi benang sutera alam di Sulsel mencapai 250 ton pertahun. Angka tersebut terus menurun menjadi 200 ton pada 2007, dan merosot tajam menjadi hanya 80 ton pada 2009. Akibatnya, ketika ada permintaan tinggi, para pengrajin tidak mampu memenuhinya. 

Industri tekstil di negara  kita sendiri, diakuinya, masih bergantung pada sutera impor dari Cina. Kenyataan inilah yang lantas membuat Carmanita pesimistis sutera Indonesia bisa go international. 

"Bahan baku tidak mungkin diekspor. Kita aja kekurangan," katanya. 

Selain itu, masalah lain yang menjadi perhatian desainer tersebut adalah teknik pewarnaan kain. "Banyak warna-warna striking. Warnanya luntur. Saya mau bantu perbaiki pewarnaannya, sama tata letak tatanan motif." 

Sabtu, 23 Juli 2011

Motif Songket Palembang

Teknik dan jenis serta kualitas kain yang ditenun mempunyai istilah tersendiri, yaitu dikenal sebagai songket limar dan lepus.

Yang dimaksud dengan lepus adalah kain songket yang kainnya sepenuhnya adalah cukitan (sulaman) benang emas. Benang emasnya dengan kualitas tinggi didatangkan dari China. Kadangkala benang emas ini diambil dari kain songket yang sudah sangat tua (ratusan tahun) karena kainnya menjadi rapuh, benang emas disulam kembali kekain yang baru. Kualitas jenis songket lepus merupakan kualitas yang tertinggi dan termahal harganya.

Limar adalah kain sonket yang menurut sejarawan dan budayawan inggris R.O Windstedt yang menekuni kehidupan di nusantara pada zaman kolonial, yaitu: its colours are rich blend of reds ,yellows ,and greens .the shape of the pattern. If closely inspected, bearing a distinct resemblance to the “lime “ (limau) from which it has acquired its name.


Pendapat lain percaya bahwa nama limar timbul karena banyak nya bulatan 2 kecil dan percikan yang membentuk sebuah motif yang menyerupai tetesan air jeruk yang diperas. Menurut Mubin Sheppard: that kain limar is often in correctly spelt limau, with which it has no connexion. Sedangkan di Palembang limar itu lebih diartikan sebagai suatu teknik, is known as a process of dyeing threads.

Tumpal atau kepala kain, merupakan bagian pada kain yang berada di tengah bentangan kain, bagian kain yang lain disebut badan kain. Sedangkan pada selendang, tumpal berada dibentang kan kanan dan kiri badan kain .Tumpal biasa nya berukuran ¼ bagian dari bentangan kain songket. Motif sulaman pada tumpal adalah pucuk rebung.

Rumpak ( bumpak ) adalah kain songket untuk pria, motif pada kain tersebut tidak penuh seperti pada songket untuk wanita ,kepala kain atau tumpal pada rumpak disaat pemakaiannya berada di belakang badan ( pinggul ke bawah sampai dibawah dengkul: kalau sipemakai telah kawin). Kebalikannya dengan wanita, dimana tumpal berada didepan yaitu dari pinggul sampai mata kaki .rumpak jika di pakai oleh pemuda (belum kawin), maka kain tersebut menggantung sampai di atas lututnya.

Tanjak adalah kain songket persegi empat yang dibuat khusus untuk menutup kepala laki-laki sepasang dengan kain rumpak. Biasanya kain ini dibuat sepasang dengan kain rumpak, yaitu warna dan motifnya adalah sama satu sama lain. Pada awalnya tanjak dibuat dari kain batik, bukan dari songket.

Motif kain songket amat beragam, apalagi pada saat ini dimana kreasi-kreasi baru para pengrajin sangat imaginatif. Akan tetapi motif utama songket adalah:
• Bunga intan
• Tretes minder
• Janda beraes
• Bunga cina
• Bunga paciek

Sumber lain mengatakan bahwa Motif hias songket biasanya berbentuk geometris atau hasil stilisasi dari flora dan fauna, yang masing-masing mempunyai arti perlambangan yang baik. Misalnya bunga cengkeh, bunga tanjung, bunga melati dan bunga mawar yang wangi yang melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki dan segala kebaikan

Motif benang emas yang rapat dan mendominasi permukaan kain disebut songket LEPUS, sedangkan yang motif emasnya tersebar disebut songket TABUR. Pada tepi kain biasa dibuat motif tumpal, segitiga atau segi tiga terputus, yang disebut motif pucuk rebung. Tunas rebung yang tumbuh menjadi batang bambu yang kuat dan lentur, tidak tumbang diterpa angin ini melambangkan harapan yang baik.

Kain tiga negeri. Kain ini dari tiga bagian warna yaitu biru, hijau dan merah. Di bagian tepi motif tumpal berwarna merah, di tengahnya kain limar bermotif bunga tabung. Di bagian paling tengah berwarna hijau bermotif bunga bintang berantai.

Kekayaan alam Palembang sangat mempengaruhi terciptanya ragam hias dengan pola-pola yang mengagumkan. Sekali pun ragam hiasnya tercipta dari alat yang sederhana, namun tenunannya merupakan karya seni yang amat tinggi nilainya. Jadi, songket bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa penenunnya. Motif-motif ragam songket Palembang pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yaitu: motif tumbuh-tumbuhan (terutama bentuk stilisasi bunga-bungaan), motif geometris dan motif campuran antara tumbuh-tumbuhan dan geometris.

Motif-motif tersebut dari dahulu hingga sekarang diwariskan secara turun-temurun, sehingga polanya tidak berubah, karena cara memola motif itu sendiri hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, dan tidak setiap penenun dapat membuat motif sendiri. Orang yang menenun tinggal melaksanakan pola yang telah ditentukan. Jadi, kerajinan menenun merupakan suatu pekerjaan yang sifatnya kolektif. Sebagai catatan, para penenun di Palembang seluruhnya dilakukan oleh kaum perempuan baik tua maupun muda. Keahlian menenun tersebut pada umumnya diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi lainnya.

Beberapa nama ragam hias atau motif tenun songket Palembang antara lain adalah: lepus piham, lepus polos, lepus puler lurus, lepus puler ombak-ombak, lepus bintang, lepus naga besaung, lepus bungo jatuh, lepus berantai, lepus lemas kandang, tetes meder, bungo cino, bungo melati, bungo inten, bungo pacik, bungo suku hijau, bungo bertabur, bungo mawar, biji pare, jando berhias, limas berantai, dasar limai, pucuk rebung, tigo negeri dan emas jantung. Untuk lebih jelasnya, lihat contoh-contoh di bawah ini.

Selain sebagai sesuatu yang berfungsi memperindah tenunan (songket), ragam hias juga mempunyai makna. Salah satu contohnya adalah bentuk ragam hias yang tekenal yaitu “naga besaung” (naga bertarung). Dalam hal ini naga dianggap sebagai binatang yang melambangkan kemakmuran dan kejayaan. Orang yang memakai tenun songket motif nago besaung tentulah mengharapkan akan mendapatkan kemakmuran dan kejayaan dalam hidupnya. Motif ini diambil dari salah satu unsur kebudayaan Cina yang menganggap naga sebagai suatu hewan mitologi yang dapat mendatangkan kemakmuran dan kajayaan.

Sebagai catatan, pada zaman dahulu kerajaan Sriwijaya banyak didatangi orang-orang asing dari Cina, India dan lain sebagainya untuk berdagang. Contoh yang lain adalah motif pucuk rebung dan bunga-bungaan (cengkeh, tanjung, melati, dan mawar). Rebung dianggap sebagai tumbuhan yang sejak kecil dapat digunakan untuk bahan sayuran. Ketika telah tumbuh besar dan menjadi bambu pun masih tetap berguna, yaitu sebagai bahan bangunan dan lain sebagainya. Orang yang memakai motif ini tentulah diharapkan akan berguna pula bagi masyarakatnya (seperti bambu yang sangat berguna bagi manusia). Sedangkan, bunga-bungaan melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki dan kebaikan.

Kamis, 21 Juli 2011

Tenun Songket Palembang (Sumatera Selatan)

1. Asal Usul
Palembang adalah ibukota provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Di daerah ini ada sebuah kerajinan tenun yang biasa disebut “Tenun/siwet Songket Palembang”. Songket adalah kain tenun yang dibuat dengan teknik menambah benang pakan sebagai hiasan dengan menyisipkan benang perak, emas atau benang warna di atas benang lungsin. Kata “songket” itu sendiri berasal dari kata “tusuk” dan“cukit” yang diakronimkan menjadi “sukit”, kemudian berubah menjadi “sungki”, dan akhirnya menjadi “songket”.

Konon, tenunan dari daerah Palembang sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Teknologi pembuatannya sebenarnya bukan murni berasal dari daerah tersebut, melainkan dari China, India dan Arab. Adanya perdagangan antara bangsa-bangsa tersebut dengan Kerajaan Sriwijaya menyebabkan terjadinya akulturasi, yaitu saling menyerap unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan lainnya. Dan, salah satu unsur kebudayaan dari bangsa-bangsa asing yang telah diserap oleh masyarakat Palembang adalah teknologi pembuatan kain tenun yang hingga kini masih dilakukan oleh sebagian masyarakatnya.

Kain tenun songket Palembang banyak dipakai oleh kaum perempuan dalam upacara adat perkawinan, baik oleh mempelai perempuan, penari perempuan maupun tamu undangan perempuan yang menghadirinya. Selain itu, songket juga dipakai dalam acara-acara resmi penyambutan tamu (pejabat) dari luar maupun dari Palembang sendiri. Pemakaian songket yang hanya terbatas pada peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan tertentu tersebut disebabkan karena songket merupakan jenis pakaian yang tinggi nilainya, sangat dihargai oleh masyarakat Palembang.

Pada zaman dahulu (Kerajaan Sriwijaya) kain tenun songket Palembang tidak hanya diperdagangkan di daerah sekitarnya (di Pulau Sumatera saja), melainkan juga ke luar negeri, seperti: Tiongkok, Siam, India dan Arab. Namun, pada saat penjajahan Belanda dan Jepang, tenun songket tersebut mengalami kemunduran. Bahkan, saat terjadinya Revolusi fisik (1945--1950) kerajinan tenun songket di Palembang sempat terhenti karena tidak adanya bahan baku. Namun, di permulaan tahun 1960-an tenun songket Palembang mengalami kemajuan yang pesat karena pemerintah menyediakan dan mendatangkan bahan baku serta membantu pemasarannya.

Pengerjaan kain tenun di Palembang umumnya dikerjakan secara “sambilan” oleh gadis-gadis remaja yang menjelang berumah tangga dan ibu-ibu yang sudah lanjut usia sambil menunggu waktu menunaikan ibadah sholat. Pada umumnya pembuatan songket dikerjakan oleh kaum perempuan.

Dewasa ini pengrajin tenun songket Palembang tidak hanya memproduksi satu jenis songket tertentu, seperti sarung dan atau kain. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, sudah merambah ke produk jenis lain, seperti: gambar dinding, taplak meja, permadani bergambar, baju wanita, sprey,baju kursi, bantal permadani, selendang, serber, kain lap dapur, sapu tangan, bahan kemeja, dantussor (bahan tenun diagonal).

2. Peralatan dan Bahan
Peralatan tenun songket Palembang pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua, yakni peralatan pokok dan tambahan. Keduanya terbuat dari kayu dan bambu. Peralatan pokok adalah seperangkat alat tenun itu sendiri yang oleh mereka disebut sebagai “dayan”. Seperangkat alat yang berukuran 2 x 1,5 meter ini terdiri atas gulungan/boom (suatu alat yang digunakan untuk menggulung benang dasar tenunan), penyincing (suatu alat yang digunakan untuk merentang dan memperoleh benang tenunan),beliro (suatu alat yang digunakan untuk membuat motif songket), cahcah (suatu alat yang digunakan untuk memasukkan benang lain ke benang dasar), dan gun (suatu alat untuk mengangkat benang). Sedangkan, peralatan tambahan untuk mengatur posisi benang ketika sedang ditenun adalah peleting, gala, belero ragam, dan teropong palet. Peralatan tambahan tersebut diletakkan di sebelah kanan si penenun, agar mudah dicapai dengan tangan.

Bahan dasar kain tenun songket adalah benang tenun yang disebut lusi atau lungsin. Benang lungsinterbuat dari kapas, kulit kayu, serat pisang, serat nenas, dan daun palem. Sedangkan, hiasannya terdiri dari benang sutera dan benang emas2. Benang sutera berasal dari Taiwan dan China, sedangkan benang emas berasal dari India, Jepang, Thailand, Jerman dan Perancis.  Selain benang, ada pula barang yang harus diimpor dari Jerman dan Inggris yaitu bahan pewarna benang.

Cara membuat benang lungsin dilakukan dengan menggunakan pemberat yang diputar dengan jari tangan. Pemberat tersebut berbentuk seperti gasing dan terbuat dari kayu atau terakota. Cara lain yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia bagian Barat (Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok) adalah dengan menggunakan antih (alat yang terdiri dari sebuah roda lebar yang bisa diputar berikut pengaitnya untuk memutar roda tersebut). Sedangkan, untuk memperoleh warna tertentu3, benang yang akan diwarnai itu direndam dalam sabun selama kurang lebih 14 menit. 


Maksudnya adalah agar benang tersebut hilang zat minyaknya. Setelah itu, baru dicelup dengan warna yang diinginkan, lalu dijemur. Selanjutnya, setelah kering, benang tersebut dikelos (digulung). Setelah itu, penganian, yaitu menyiapkan jumlah helai benang yang akan ditenun sesuai dengan jenis dan atau bentuk songket yang akan dibuat. Namun, dewasa ini hanya sebagian yang masih melakukannya. Sebagian lainnya langsung membeli benang-warna yang telah diproduksi oleh suatu pabrik di Indonesia atau yang diimpor dari India, Cina, Jepang atau Thailand.

3. Teknik Pembuatan Tenun Songket
Pembuatan tenun songket Palembang pada dasarnya dilakukan dalam dua tahap, yaitu: tahap menenun kain dasar dengan konstruksi tenunan rata atau polos dan tahap menenun bagian ragam hias yang merupakan bagian tambahan dari benang pakan.  Masyarakat Amerika dan Eropa menyebut cara menenun seperti ini sebagai “inlay weaving system”.

a. Tahap Menenun Kain Dasar

Dalam tahap ini yang ingin dihasilkan adalah hasil tenunan yang rata dan polos. Untuk itu, langkah pertama yang dilakukan adalah benang yang sudah dikani, salah satu ujungnya direntangkan di atas meja. Sedangkan, ujung lainnya dimasukkan kedalam lubang suri (sisir). Pengisian benang ini diatur sedemikian rupa sehingga sekitar 25 buah lubang suri, setiap lubangnya dapat memuat 4 helai benang. Hal ini dimaksudkan untuk membuat pinggiran kain. Sedangkan, lubang-lubang yang lain, setiap lubangnya diisi dengan 2 helai benang.

Setelah benang dimasukkan ke dalam suri dan disusun sedemikian rupa (rata), maka barulah benang digulung dengan boom yang terbuat dari kayu. Pekerjaan ini dinamakan menyajin atau mensayinbenang.  Setelah itu, pemasangan dua buah gun atau alat pengangkat benang yang tempatnya dekat dengan sisir. Sesuai dengan apa yang dilakukan, pekerjaan ini disebut sebagai “pemasangan gunpenyenyit”. Selanjutnya, dengan posisi duduk, penenun mulai menggerakkan dayan dengan menginjaksalah satu pedal untuk memisahkan benang sedemikian rupa, sehingga benang yang digulung dapat dimasukkan dengan mudah, baik dari arah kiri ke kanan (melewati seluruh bidang dayan) maupun dari kanan ke kiri (secara bergantian). Benang yang posisinya melintang itu ketika dirapatkan dengandayan yang ber-suri akan membentuk kain dasar.

b. Tahap Pembuatan Ragam Hias
Setelah kain dasar terwujud, maka tahap berikutnya (tahap yang kedua) adalah pembuatan ragam hias. Dalam tahap ini kain dasar yang masih polos itu dihiasi dengan benang emas atau sutera dengan teknik pakan tambahan atau suplementary weft. Caranya agak rumit karena untuk memasukkannya ke dalam kain dasar harus melalui perhitungan yang teliti. Dalam hal ini bagian-bagian kain dipasangi gun kembang agar benang emas atau sutera dapat dimasukkan, sehingga terbentuk sebuah motif. Konon, pekerjaan ini memakan waktu yang cukup lama karena benang emas atau sutera itu harus dihitung satu-persatu dari pinggir kanan kain hingga pinggir kiri menurut hitungan tertentu, sesuai dengan contoh motif yang akan dibuat. Selanjutnya, benang tersebut dirapatkan satu demi satu, sehingga membentuk ragam hias yang diinginkan.

Lama dan tidaknya pembuatan suatu tenun songket, selain bergantung pada jenis tenunan yang dibuat dan ukurannya, juga kehalusan dan kerumitan motif songketnya. Semakin halus dan rumit motif songketnya, akan semakin lama pengerjaannya. Pembuatan sarung dan atau kain misalnya, bisa memerlukan waktu kurang lebih dua hingga enam bulan. Bahkan, seringkali lebih dari enam bulan karena setiap harinya seorang pengrajin rata-rata hanya dapat menyelesaikan kain sepanjang 5--10 sentimeter.

4. Motif Ragam Hias Tenun Songket Palembang
Kekayaan alam Palembang sangat mempengaruhi terciptanya ragam hias dengan pola-pola yang mengagumkan. Sekali pun ragam hiasnya tercipta dari alat yang sederhana, namun tenunannya merupakan karya seni yang amat tinggi nilainya. Jadi, songket bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa penenunnya. Motif-motif ragam songket Palembang pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yaitu: motif tumbuh-tumbuhan (terutama bentuk stilisasi bunga-bungaan), motif geometris dan motif campuran antara tumbuh-tumbuhan dan geometris.

Motif-motif tersebut dari dahulu hingga sekarang diwariskan secara turun-temurun, sehingga polanya tidak berubah, karena cara memola motif itu sendiri hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, dan tidak setiap penenun dapat membuat motif sendiri. Orang yang menenun tinggal melaksanakan pola yang telah ditentukan. Jadi, kerajinan menenun merupakan suatu pekerjaan yang sifatnya kolektif. Sebagai catatan, para penenun di Palembang seluruhnya dilakukan oleh kaum perempuan baik tua maupun muda. Keahlian menenun tersebut pada umumnya diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi lainnya.

Beberapa nama ragam hias atau motif tenun songket Palembang antara lain adalah: lepus piham,lepus poloslepus puler luruslepus puler ombak-ombaklepus bintanglepus naga besaunglepus bungo jatuhlepus berantailepus lemas kandangtetes mederbungo cinobungo melatibungo intenbungo pacikbungo suku hijaubungo bertaburbungo mawarbiji parejando berhiaslimas berantaidasar limai,pucuk rebungtigo negeri dan emas jantung


Selain sebagai sesuatu yang berfungsi memperindah tenunan (songket), ragam hias juga mempunyai makna. Salah satu contohnya adalah bentuk ragam hias yang tekenal yaitu “naga besaung” (naga bertarung). Dalam hal ini naga dianggap sebagai binatang yang melambangkan kemakmuran dan kejayaan. Orang yang memakai tenun songket motif nago besaung tentulah mengharapkan akan mendapatkan kemakmuran dan kejayaan dalam hidupnya. Motif ini diambil dari salah satu unsur kebudayaan Cina yang menganggap naga sebagai suatu hewan mitologi yang dapat mendatangkan kemakmuran dan kajayaan. Sebagai catatan, pada zaman dahulu kerajaan Sriwijaya banyak didatangi orang-orang asing dari Cina, India dan lain sebagainya untuk berdagang. Contoh yang lain adalah motif pucuk rebung dan bunga-bungaan (cengkeh, tanjung, melati, dan mawar).




Rebung dianggap sebagai tumbuhan yang sejak kecil dapat digunakan untuk bahan sayuran. Ketika telah tumbuh besar dan menjadi bambu pun masih tetap berguna, yaitu sebagai bahan bangunan dan lain sebagainya. Orang yang memakai motif ini tentulah diharapkan akan berguna pula bagi masyarakatnya (seperti bambu yang sangat berguna bagi manusia). Sedangkan, bunga-bungaan melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki dan kebaikan.

5. Nilai Budaya
Tenun Songket Palembang, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: kesakralan, keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.

Nilai kesakralan tercermin dari pemakaiannya yang umumnya hanya mengenakannya pada peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan upacara, seperti perkawinan, upacara menjemput tamu dan lain sebagainya. Nilai keindahan tercermin dari motif ragam hiasnya yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah tenun songket yang indah dan sarat makna.

Tentang Songket Palembang


Tenunanan / kain songket sudah dikenal sejak jaman kerajaan sriwijaya, kain ini biasanya dipakai oleh para pembesar pada jaman dahulu, sekarang kain ini tidak hanya dipakai oleh para pembesar tapi juga dipakai oleh khalayak umum. Biasanya kain ini dipakai saat acara repsesi atau acara adat, kain ini memang sangat menarik dari segi motif dan ciri khasnya, yang paling menonjol dari kain adalah benang mas yang disulam sedemikian rupa hingga bisa menjadi motif-motif yang menarik dan indah, tapi patut juga untuk diketahui kalau pembuatan motif untuk kain songket tidak sama dengan menyulam, cara pembuatannya pun cukup sulit dan tergolong agak unik, untuk membuat satu stel kain sonket ini memakan waktu sekitar 12 hari dan inipun dikerjakan dengan alat yang masih sangat sederhana sekali,. Pengrajin songkey ini termasuk usaha rumahan, sehingga sering kita temui yang mejadi pengrajin kain ini kebanyakan dari kalangan ibu- ibu rumah tangga.
Menurut salah satu dari pengrajin songket ini, yang masih jadi sedikit masalah adalah pemasaran, karena menurut mereka agak sulit untuk cari pembeli disekitar wilayah terdekat maka dari kebanyakan dari mereka menjual kain–kain songket mereka kepada tengkulak atau agen-agen yang sudah besar.
Songket tradisional dibuat dengan keterampilan masyarakat yang memahami berbagai cara untuk membuat kain bermutu, sekaligus mampu menghias kain dengan beragam desain. Rangkaian benang yang tersusun dan teranyam lewat pola simetris membuat motif kain ini halus dan terkesan rumit.
Tempo doeloe untuk model pewarnaan songket, benar-benar menggunakan warna alami. Maksudnya warna-warna yang diambil dari getah-getahan, serat tumbuh-tumbuhan dan bahan-bahan alam lainnya. Bahkan sebagia besar songket menggunakan benang emas, tapi ada yang kadarnya rendah dan ada pula yang benar-benar emas 24 karat.
Sekarang ini sudah banyak bahan sintetis/buatan yang digunakan untuk pembuatan songket ini. Hal ini terjadi karena bahan-bahan alami yang diperlukan untuk pembuaan kain songket ini sudah langka dan bahkan sudah musnah karena proses pembukaan lahan pertanian dengan cara dibakar. Ada beberapa pohon yang menghasilkan getah untuk pewarnaan dan pohon yang menghasilkan serat musnah karena terbakar. Sehingga beberapa pengrajin beralih menggunakan bahan/benang sinetis untuk pembuatan songket ini. Tetapi tetap saja terlihat indah dan mempunyai nilai jual yang cukup menjanjikan.
Usaha ini termasuk usaha rumahan, dan yang menjadi pengrajin kain ini kebanyakan dari kalangan ibu- ibu. Menurut salah satu dari pengrajin songket ini, yang masih jadi sedikit masalah adalah pemasaran, karena menurut mereka agak sulit untuk cari pembeli disekitar wilayah terdekat maka dari kebanyakan dari mereka menjual kain songket mereka kepada tengkulak atau agen- agen yang sudah besar dalam hal ini yang paling diuntungkan tentulah agen- agen yang sudah besar itu.
Bisakah songket ini di masa depan benar-benar menjadi kebanggaan Masyarakat Palembang? Beranikah kita membuat hak paten, agar songket ini tidak diakui menjadi budaya atau kebanggaan bangsa lain? Dan apakah para pengrajin songket benar-benar merasakan manfaat dari setiap helai benang yang dia tenun akan memberikan jaminan hidup bagi dia dan anak cucunya? Kami dan para pengrajin songket ingin kita semua Bangsa Indonesia bisa lebih dalam lagi mengenal kain songket ini.

Rabu, 20 Juli 2011

Pesona Tenun Indonesia

Indonesia memiliki amat banyak ragam kain tenun. Jika pada jaman dahulu, kain tenun digunakan untuk keperluan adat. Kini masyarakat urbanpun dapat menjadikan kain tenun sebagai salah satu alternatif fashion yang cantik dan unik.


Dalam pegelaran busana yang diselenggarakan oleh Cita Tenun Indonesia (CTI), tujuh designer terkemuka Indonesia memamerkan hasil karya terbaiknya.


Sebastian Gunawan menggunakan tenun cual dari Bangka Belitung. Dipadu dengan songket benang emas, tenun bewarna merah anggur ini tampak sangat cantik. Oscar Lawlalata hadir dengan tenunan yang berasal dari Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan legkap dengan baju bodo-nya yang sangat fashionable. Selain itu masih ada sederet nama lagi seperti; Stphanus Hamy, Chossy Latu, Rusli Tjohnardi, Priyo Oktaviani yang menjadikan tenun dari berbagai pelosok tanah air sebagai karya yang adiluhung.

Sekilas Tenun Tapis Lampung

Terbentuknya kain tapis Lampung melalui tahapan dan periodisasi waktu yang panjang. Dalam proses perjalanannya terjadi berbagai penyempurnaan, baik dari aspek teknik dan keterampilan pembuatan, bentuk motif yang diterapkan, dan metode penerapan motif pada kain dasar tapis, menyesuaikan dengan perubahan dan perkembangan zaman.

Perjalanan sejarah perkembangan terbentuknya ragam hias, kain tapis Lampung mendapat berbagai pengaruh kebudayan lain, seiring dengan terjalinnya kontak, interaksi, dan komunikasi masyarakat adat Lampung dengan kebudayaan luar. Kebudayaan yang memberikan pengaruh pada pembentukan gaya seni hias kain tapis antara lain, kebudayan Dongson dari daratan Asia, Hindu-Budha, Islam, dan Eropa.

Melalui proses yang panjang, akulturasi terjadi antara unsur-unsur hias kebudayaan asing dengan unsur-unsur hias lama. Unsur-unsur asing yang datang tidak menghilangkan unsur-unsur lama, akan tetapi semakin memperkaya corak, ragam, dan gaya yang sudah ada. Berbagai kebudayaan tersebut terpadu dan terintegrasi dalam satu konsep utuh yang tidak dapat dipisahkan dan melahirkan corak baru yang unik dan khas.

Nilai estetis kain tapis menyatu dalam beberapa azas dan ketentuan, yaitu (1) azas kesatuan organis, (2) azas tema atau konsep, (3) azas keseimbangan, (4) azas bertingkat, (5) azas kerumitan, dan (6) azas kesungguhan.

Kain tapis bagi masyarakat adat Lampung memiliki makna simbolis sebagai lambang kesucian yang dapat melindungi pemakainya dari segala kotoran dari luar. Selain itu dalam pemakaiannya kain tapis juga melambangkan status sosial pemakainya. Makna simbolis kain tapis terdapat pada kesatuan utuh bentuk motif yang diterapkan, serta bidang warna kain dasar sebagai wujud kepercayaan yang melambangkan kebesaran Pencipta Alam. Kain tapis merupakan pakaian resmi masyarakat adat Lampung dalam berbagai upacara adat dan keagamaan, dan merupakan perangkat adat yang serupa pusaka keluarga.

Terkait dengan pemerintahan adat, masyarakat Lampung yang beradat Pepadun memakai sistemkepunyimbangan berdasarkan garis keturunan laki-laki (matrilineal). Pada masyarakat Lampung Pepaduntingkatan punyimbang ada tiga, yaitu: (1) punyimbang marga atau paksi yang membawahi tiyuh(kampung), (2) punyimbang tiyuh yang membawahi beberapa suku atau bilik, dan (3) punyimbang sukuyang membawahi beberapa nuwow balak (rumah adat). Susunan masyarakat yang bertingkat-tingkat mengkondisikan adanya aturan yang mengatur pemakaian kain tapis sebagai busana adat yang menyesuaikan status sosialnya dalam  masyarakat. Aturan yang berlaku tersebut juga disertai hukuman atau sanksi adat (cepalo) bagi anggota masyarakat yang melanggarnya.

Dalam rentang perjalanannya, kain tapis tidak hanya menunjukkan suatu proses kontinum kelangsungannya, tetapi juga menampakkan terjadinya perubahan dan pengembangan dalam banyak aspek, seperti pada aspek fungsinya kain tapis berubah dari benda sacral yang terkait erat dengan adat dan kepercayaan masyarakat Lampung berubah menjadi benda profan dan sekuler yang berfungsi untuk komoditi pasar. Pada aspek produknya kain tapis tidak hanya berupa kain sarung adat, tetapi sudah mengalami modivikasi dan diversivikasi sehingga tercipta berbagai produk seni kerajinan kain tapis seperti, busana pesta, busana muslim, hiasan dinding, kaligrafi, partisi ruangan, perlengkapan kamar tidur, tas, dompet, kopiah, tempat tisu, dan sebagainya.

Pada aspek bentuk motif yang diterapkan tidak terjadi perubahan frontal, secara umum bentuk motifnya masih sama hanya terjadi perubahan seiring perubahan bentuk produk yang disertai pengembangan, modivikasi, variasi, penyederhanaan, dan sedikit penambahan. Perubahan signifikan terjadi pada penghilangan makna simbolis-filosofis yang terkandung di dalamnya. Motif kain tapis sekarang hanya dilihat dari aspek keindahannya semata.
Perubahan yang terjadi pada kain tapis Lampung terjadi seiring dengan perubahan masyarakat pendukungnya, seperti adanya interpretasi dan persepsi masyarakat Lampung terhadap kain tapis, keterbukaan masyarakat lampung terhadap berbagai inovasi, ide-ide, dan kreasi baru yang tercermin pada sifat dan watak nemui nyimah, dan nengah nyappur. Kecintaan, keinginan, dan sikap progresif para perajin kain tapis yang didukung bakat seni dan keterampilan teknik yang diturunkan generasi sebelumnya untuk melestarikan, mempertahankan, dan mengembangkan seni kerajinan kain tapis.

Faktor eksternal yang mendorong terjadinya perubahan seni kerajinan kain tapis Lampung, selain berkembangnya dunia pariwisata daerah Lampung adalah adanya lembaga atau institusi pemerintah maupun swasta di Lampung yang berusaha mengembangkan seni kerajinan kain tapis dengan melakukan berbagai usaha, seperti program pelatihan, penyuluhan, dan pembinaan untuk dapat meningkatkan kemampuan teknis, jiwa kewirausahaan, maupun manajemen usaha para perajin kain tapis. Pemerintah juga telah mengambil kebijakan penting dengan menciptakan lingkungan usaha yang kondusif dan memberikan kemudahan dalam bidang produksi, permodalan, distribusi, dan pemasaran.Pembubaran lembaga adat Lampung (kepunyimbangan) oleh pemerintah juga ikut mendorong perubahan yang terjadi pada kain tapis. 

Dengan berubahnya struktur pemerintahan, maka lembaga dan organisasi sosial dalam masyarakat adat tidak lagi memiliki legitimasi. Lembaga adat (kepunyimbangan) yang berfungsi sebagai pagar sekaligus kontrol dalam rangka melindungi stabilitas atau equilibrium masyarakat tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Namun akan lebih baik seandainya keputusan pemerintah tentang penghapusan lembaga adat ditinjau kembali, karena adanya lembaga tersebut akan semakin memperkokoh eksistensi kain tapis Lampung.

Selain dampak sosial budaya yang berhasil melestarikan dan mempertahankan kelangsungan seni kerajinan kain tapis, perubahan yang terjadi pada kain tapis juga mempunyai dampak sosial ekonomi. Dampak perubahan kain tapis dari aspek ekonomi sudah jelas pada meningkatnya penghasilan para perajin. 

Proses Menenun Songket

Mencelup benang

Pada masa kini penenun-penenun mewarnakan benang secara moden. Mereka menggunakan pewarna kimia yang diimport dari Amerika, Jerman dan England. Benang yang diwarnakan secara tradisional menggunakan pewarna tumbuh-tumbuhan seperti kesumba (carthanus tinctorius), kunyit (turmeric) dan sebagainya. Pewarna ini dicampur dengan jus asid buah gelugur atau buah belimbing. Sebelum benang sutera diwarnakan, ia perlu dibersihkan dengan memasukkannnya ke dalam air yang bercampur abu kerana sutera yang dibawa masuk dari China adalah sutera mentah, kasar dan berwarna kekuningan. Abu yang digunakan untuk mencuci sutera itu adalah dari kulit durian atau tangkai buah kelapa. Selepas itu ia dibilas dengan air yang bersih dan dikeringkan. Hasilnya sutera menjadi putih, lembut dan halus dan sedia untuk diwarnakan.

Menerai Benang

Setelah tongkol benang diwarnakan dan dikeringkan ia dililit kepada batang buluh kecil untuk dijadikan benang peleting dengan bantuan alat rahat dan Darwin atau daun ruing. Darwin biasanya terdiri daripada bingkai yang dibina daripada palang-palang buluh yang dihubungkan dengan tali penjuru yang bertentangan. Pada bingkai ini dimasukkan setongkol benang yang kemudian benang ini dililitkan ke batang buluh yang dipanggil peleting dengan memusingkan pemutar rahat ynag merupakan satu lat untuk proses putaran. Rahat pada zaman moden ini terdiri daripada roda kayu sebesar jejari 12 inci yang dihubungkan ke tempat pemutar yang dipanggil tangan rahat. 

Menganing Benang

Proses untuk penyediaan benang loseng dengan menggunakan alat anian yang terdiri daripada pemidang peleting dan bingkai pembuat loseng. Proses membuat benang loseng bertujuan menentukan berapa panjang benang yang perlu ditenun untuk mendapatkan saiz dan jumlah kain dikehendaki.

Menyapuk benang

Menyapuk dilakukan dengan menyusutkan dua urat benang loseng. Setelah zaman berlalu, cara menenun yang rumit telah mengalami sedikit perubahan. Sekarang untuk membuat latar belakang songket adalah lebih mudah dan cepat. Cara menenun latar belakang songket yang menggunakan teknik ikat memakan masa yang panjang dan tidak hairanlah kalau harganya terlalu mahal. Teknik menenun dan bahan yang digunakan dalam menghasilkan songket masih terpelihara sejak zaman berzaman.

Mengarat

Mengarat dimulakan dengan gelung bahagian bawah dahulu dan kemudian benang loseng diterbalikkan untuk dibuat gelung-gelung bahagian atas pula. Gelung-gelung ini dibuat dengan bantuan papan karat. Benang asing yang lebih tebal daripada benang loseng digunakan dalam membuat karat. Benang ini dimasukkan di bahagian bawah sebarisan benang loseng yang terangkat meninggalkn ruang yang disebut ruang belira iaitu ruang yang terjadi apabila kayu belira ditegakkan. Mengarat dimulakan dari bahagian hujung benang loseng.

Menyongket

Semasa menenun kain, penenun memasukkan kayu sumbi pada bahagian bawah kain yang ditenun. Kayu sumbi digunakan untuk mengawal supaya tepi kain yang ditenun itu sentiasa lurus mengikut lebar kain yang ditentukan.

Menenun

Penenun akan menggerakkan pijak karat dengan kakinya dan torak yang mengandungi dua lembar benang emas di dalamnya, disilang merentasi ruang belira. Selepas itu belira dikeluarkan dan benang emas disikat dan ditekan dengan gigi jentera supaya kedudukan benang pakan kelihatan kemas.

Corak Dan Motif Songket

Kecantikan songket terletak pada reka corak yang halus dan rumit, serta motif yang dihasilkan di atas kain tenunan tangan. Terdapat lebih dari 100 motif tradisional yang ditenun di atas kain songket sarung. Penenun-penenun tradisional biasanya tinggal di kampung-kampung yang dikelilingi oleh bermacam-macam jenis pokok buah-buahan atau berdekatan dengan laut dan sering mengalami musim tengkujuh. Mereka sangat kreatif dan mempunyai daya imaginasi yang kuat dan pemerhatian yang tajam. Kebanyakkan motif songket datangnya dari nama-nama pokok dan sesetengah motif songket datangnya daripada nama kuih Melayu dan dipercayai kuih-kuih ini adalah kesukaan raja-raja seperti ‘seri kaya’, ‘wajik’ dan ‘tepung talam’.

Terdapat banyak corak dan motif pada kain songket. Kadang-kadang motif yang sama tetapi mempunyai nama yang berbeza. Sebagai contoh motif ‘bunga bintang’ di negeri Kelantan, ‘tapak sulaiman’ di negeri Sarawak.

Pakar penenun di Terengganu dan Kelantan sekarang jarang sekali mendraf atau merekakan corak songket terlebih dahulu sebelum mereka mula menenun. Biasanya mereka akan meniru terus daripada contoh-contoh songket lama yang mereka simpan. Kadang-kadang mereka mengambil corak daripada sarung songket yang lain apabila cork ini menjadi kegemaran ramai. Bagaimanapun untuk membuat corak-corak songket, seseorang itu perlu mempunyai sifat-sifat penyabar, baik dari segi penglihatan mahupun ingatan.

Struktur kain songket terdiri daripada:

a) Badan kain
b) Kepala kain / petak kain
c) Tepi kain / kaki kain
d) Pengapit kepala kain
e) Tanah kain
f) Punca
g) Pengapit badan kain
h) Kaki punca
i) Kendik

Jenis-jenis Utama Corak Songket

Corak pada kain songket terdapat enam jenis yang utama seperti berikut:

1) Songket bunga penuh
2) Songket bunga bertabur
3) Songket corak jalur
a) Jalur corak berdiri
b) Jalur corak melintang
c) Tepi kain
4) Songket corak siku keluang (zig-zag)
5) Songket tapak catur
6) Songket pucuk rebung


Corak kain songket kontemporari

Menurut pengusaha kain songket Encik Mohamed Hussein di Cik Minah Songket negeri Kelantan, corak kain songket temporari yang ada di negeri itu tidak banyak perbezaannya jika dibandingkan dengan corak songket masa dahulu. Corak songket temporari yang ada adalah berdasarkan kehendak dan citarasa pengguna kain songket. Walaubagaimanapun motif bunga-bungaan yang ada pada kain songket kini adalah motif yang dianggap moden berbanding dengan motif bunga pada zaman dahulu. Contohnya motif bunga raya, bunga ros, tumbuh-tumbuhan seperti paku-pakis, rempah-ratus, motif pua kumbu dari negeri Sarawak, motif tulisan,motif logo syarikat dan sebagainya. pekerja-pekerja dari sektor kerajaan kini telah mewajibkan pekerja-pekerja mereka memakai songket pada hari Jumaat iaitu memakai sampin dan baju melayu bagi kaum lelaki khususnya dan menunaikan solat Jumaat.


Nilai-nilai estetik pada corak songket kontemporari

Corak kain songket masa kini sudah banyak perbezaannya dari segi pengolahan susun atur dan motif yang digunakan mengikut kehendak pengguna. Zaman sekarang pengusaha kain songket lebih mengutamakan citarasa pelanggan mereka. Pelanggan boleh menempah motif-motif yang mereka minati. Bagi pengguna kain songket ini konsep keindahan dapat dinikmati pada sesuatu motif itu berdasarkan citarasa dan selera si pemakai. Begitu juga dengan syarikat-syarikat dan badan-badan tertentu yang menjadikan motif tulisan atau logo mereka untuk dijadikan motif pada kain songket sebagai pakaian rasmi syarikat mereka. Jelas di sini menunjukkan bahawa penggunaan motif kain songket kini mendapat satu era pembaharuan tentang pengaplikasiannya.