Tampilkan postingan dengan label bengkulu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bengkulu. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Mei 2013

The Mary Hunt Kahlenberg Collection, Five Centuries of Indonesian Textiles


Sudah banyak buku ditulis mengenai tekstil Indonesia, tetapi kain Nusantara seperti sihir yang mendorong banyak orang terus menggali dan menuliskan tentangnya. Begitu juga dengan Mary Hunt Kahlenberg.

Dia memilih judul The Mary Hunt Kahlenberg Collection, Five Centuries of Indonesian Textiles (2010), karena di antara kain asli Nusantara koleksinya, terdapat tenun dari abad ke-15. Umumnya kurator dan kolektor kain skeptis terhadap kemampuan kain Nusantara bertahan ratusan tahun, karena dibuat lokal dan dikenakan sehari-hari, kain dapat diganti setiap saat begitu lapuk.


”Banyak orang meragukan kain asli Indonesia dapat bertahan dalam waktu panjang, mengingat udara yang panas dan lembap, serta cara penyimpanannya,” papar Kahlenberg di Museum Tekstil Jakarta, Desember lalu.


Kahlenberg yang tinggal di Santa Fe, AS, datang ke Jakarta bersama suaminya, Robert T Coffland, untuk diskusi buku yang diadakan antara lain oleh Museum Tekstil dan Perhimpunan Wastreprema. Ia merasa tertantang membuktikan usia kain Nusantara dengan lebih akurat. Selain memakai metode sejarah-seni, yaitu membandingkan corak atau tenunan dengan monumen arsitektur dan lukisan manuskrip sezaman, juga dengan uji karbon C-14.


Tahun 2003, ia mengirim contoh benang tenun dari tiga kain koleksinya, masing-masing dari Poso, Sulawesi Tengah; Komering di Sumatera Selatan; dan Timor di NTT, untuk uji karbon di Swiss.


Hasilnya, kain Komering berasal dari tahun 1403-1501 dengan kemungkinan 98,5 persen. Benang lungsi terbuat dari sutra dan benang pakannya katun bercorak ikat pakan cukup rumit. Kain ini juga memakai benang emas di tepinya. Sedangkan kain dari Poso diduga berasal dari tahun 1419-1627 dengan peluang 95 persen, sementara kain dari Timor diperkirakan berasal dari tahun 1419-1520.

”Uji tersebut membuktikan kain Indonesia dapat bertahan melalui waktu karena dijaga sebagai benda berharga milik keluarga. Kualitas kain-kain tersebut masih bagus. Tradisi menjaga kain sebagai benda berharga harus dipertahankan,” paparnya.


Cinta


Pertanyaan yang sering ditujukan kepada Kahlenberg, mengapa mencintai kain, terutama kain Indonesia? Ia bercerita, tumbuh besar dalam keluarga yang mengoleksi aneka pita dan perca kain yang dianyam para perempuan di keluarga besarnya. Hal itu memesona Kahlenberg, apalagi kemudian neneknya memberi pita-pita koleksinya untuk dia.


Tentang kain Indonesia, ia mengaku alasannya tak rasional. Dia jatuh cinta begitu saja saat pertama kali melihat foto kain Indonesia yang dikirim ahli dan penjual kain asal Belanda, Laurens Langewis. Pertengahan tahun 1960-an itu, Kahlenberg adalah kurator Museum Tekstil, Washington, AS. Foto-foto tersebut mendorongnya membaca lebih dalam buku tulisan Langewis dan Frits A Wagner, Decorative Art in Indonesian Textiles (1964). Dia paling tertarik pada tapis Lampung yang belakangan dia tahu bercorak cumi-cumi.


”Saya terpukau kerumitan corak dan kualitas pembuatannya. Juga kain Indonesia lain, seperti teknik rintang warna pada batik dan berbagai teknik tenun. Itu titik balik penting dalam hidup saya. Sayangnya, tak satu pun dari kain yang ditawarkan itu dibeli museum,” kenangnya.


Rasa penasaran Kahlenberg terobati ketika tahun 1969 pindah ke Los Angeles County Museum of Arts (LACMA) dan menjadi kepala bagian kostum dan kain. Dalam posisi itu, dia terbang pertama kali ke Kalimantan pada 1973. Tahun 1977, dia menyelenggarakan pameran ”Textile Traditions of Indonesia” di LACMA dan menjadi pameran besar pertama di AS khusus tentang kain Indonesia.


Selama 35 tahun sesudahnya, ia menjelajahi pulau-pulau Indonesia. Posisi suami pertamanya sebagai diplomat memberinya kesempatan belajar tekstil di Eropa dan mengunjungi museum untuk mempelajari kain Indonesia, sampai sempat terkunci sendirian. ”Saya tak ingin menyebut nama museumnya,” katanya diiringi tawa.


Di Indonesia, Kahlenberg membangun hubungan dengan orang-orang yang dia temui di desa dan kota, serta membentuk pengetahuan tentang lapis-lapis rumit pemahaman masyarakat Indonesia mengenai kehidupan religius dan sejarahnya yang berkaitan dengan fungsi kain dalam kehidupan.


”Bertemu dengan orang-orang yang membuat dan memakai kain itu sangat menarik, cara menenun dan menangani kain, juga detail kehidupan lainnya,” katanya.


Dia menemukan kesamaan dengan pengalamannya masa kecil, yaitu tradisi pembuatan dan perawatan kain diturunkan dari ibu kepada anak perempuan.


Ia berharap masyarakat dapat menjaga kualitas kain Indonesia karena berhubungan erat dengan tradisi yang dihidupi masyarakat sendiri. Terutama kini, ketika kain diperdagangkan dan kualitas ditentukan pembeli. ”Tentu, kain harus berkembang mengikuti perubahan waktu. Tetapi, sebagai pembeli, kita harus berusaha membeli kain yang bagus,” tandasnya.


Mengenalkan Indonesia

Meskipun kini tak terlalu kerap ke Indonesia, dia mengaku terus meriset kain. Bukunya, setebal 398 halaman termasuk indeks, bercerita tentang masyarakat pembuat kain-kain tersebut. Koleksinya lebih berdasar kualitas istimewa kain daripada kumpulan kain karena komunitas pembuatnya.


Melalui koleksi 350 lebih kain dan penjelasan yang ditulis beberapa ahli kain, antara lain Ruth Barnes dan Rens Heringa, pembaca diajak mengenal cara masyarakat Nusantara memandang dunia dalam dan dunia luar, yang bahkan bagi banyak pembaca Indonesia sekali pun merupakan pengetahuan baru.


Sebagai sarjana sejarah seni, Kahlenberg mendekati kain Indonesia melalui kacamata antropologi, seperti umum dilakukan para ahli kain, serta pendekatan seni dan sejarah. ”Menulis dari sisi seni lebih sulit karena menyampaikan apa yang kita rasakan, bagaimana pengaruh emosionalnya ketika kita melihat (kain),” ungkapnya.


Tantangan lain, meyakinkan masyarakat dunia, terutama di Barat, kain Indonesia adalah karya seni, bukan sekadar kriya. Oleh karena itu, dia berusaha membuat buku ini indah. ”Untuk membuat orang membaca dan melihat, lalu berpikir, oh (kain-kain) ini indah,” ungkap Mary Hunt Kahlenberg.

Selasa, 30 April 2013

Songket Diupayakan Sepopuler Batik

Kain songket asal Palembang saat ini sedang diupayakan agar dapat populer dan dikenal masyarakat di seluruh tanah air layaknya batik.

"Kami selalu mengharapkan songket dapat seperti batik yang dikenal oleh seluruh masyarakat di Indonesia," kata Pengurus Bidang Tenun Yayasan Az-Zahra, Farida Siregar, di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan, ada lebih dari 1.000 motif songket khas Palembang yang potensial untuk dikembangkan sebagai sumber inspirasi dalam dunia mode.

Farida mencontohkan beberapa motif songket khas Palembang di antaranya Bungo Tanjung, Nago Besaung, Bungo Melati, Nampan Perak, Pacar Cina, Tetes Mider, Tiga Negri, Jando Beraes, dan Bungu Pacik.

"Namun dari sisi harga kami akui songket memang masih sangat mahal karena proses pembuatannya rumit dan lama," katanya.

Sampai saat ini harga songket berkualitas masih berkisar Rp4 juta lebih, bahkan ada yang harganya mencapai Rp70 juta/lembar.

Hal itu karena kain songket belum diproduksi secara masal di samping juga harga bahan baku (benang) yang mahal. "Kami akan berupaya mencari bahan baku yang lebih murah agar songket dapat diproduksi secara masal sehingga harganya lebih terjangkau," katanya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar, dalam kesempatan yang sama mengatakan, upaya menasionalisasikan songket sejalan dengan program pemerintah.

"Pemerintah sedang mengembangkan gerakan nasional mengenakan baju tradisi misalnya tenun, batik, songket, dan jumputan," katanya.

Ia menambahkan, saat ini diperbolehkan dalam pertemuan resmi untuk mengenakan pakaian tradisional di samping mengenakan jas atau blazer.

Oleh karena itu, pihaknya siap mendukung sosialisasi songket dalam berbagai event di antaranya pameran budaya agar masyarakat semakin tergerak untuk mengenakan songket layaknya batik.

Selasa, 20 Maret 2012

Kain Tenun Basurek - Bengkulu

Kain besurek adalah salah satu kain batik hasil kerajinan tradisional daerah Bengkulu yang telah diwariskan secara turun – temurun dari generasi ke generasi. Meskipun kain besurek diyakini sebagai hasil budaya fisik masyarakat Melayu Bengkulu, tapi pada motifnya terlihat pengaruh unsur-unsur kebudayaan Islam, yaitu motifnya yang bernuansa kaligrafi Arab. Dalam perkembangan selanjutnya motif-motif tersebut dimodifikasi dengan menambahkan raflesia, bunga kibut.


Motif asli atau dasar kain besurek terdiri dari tujuh motif, antara lain:


1. Motif Kaligrafi Arab, Arti motif kaligrafi Arab artinya motif pada kain besurek berupa tulisan Arab.


2. Rembulan – Kaligrafi Arab, Motif rembulan dipadu dengan kaligrafi Arab menggambarkan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.


3. Kaligrafi Arab – Kembang Melati, motif ini selain menunjukkan adanya pengaruh Islam (kaligrafi Arab) juga menggambarkan kehidupan flora. Bunga melati adalati salah satu jenis tanaman yang banyak terdapat serta digunakan di Bengkulu sejak dulu.


4. Kaligrafi Arab – Burung Kuau, lukisan burung kuau dan kaligrafi Arab pada kain besurek menggambarkan kehidupan fauna. Burung kuau adalah hasil ciptaan pengrajin sejak dulu.


5. Pohon Hayat – Burung Kuau – Kaligrafi Arab, kain besurek dengan motif ini bisa dikatakan lebih berkembang dari yang disebutkan sebelumbya, karena terdiri dari tiga jenis motif/gambar. Motif kain ini menggambarkan kehidupan flora, fauna, dan pengaruh Islam.


6. Kaligrafi Arab - Kembang Cengkeh – Kembang Cempaka. Motif ini menggambarkan kehidupan flora dan fauna. Kembang cengkeh dan bunga cempaka adalah jenis tanaman yang banyak terdapat di Bengkulu.


7. Kaligrafi Arab – Relung Paku – Burung Punai. Motif ini menggambarkan kehidupan flora dan fauna. Relung paku adalah jenis tanaman yang banyak dijumpai di Bengkulu pada jaman dahulu. Oleh karena itu tanaman inipun mengilhami para pengrajin kain besurek untuk melukisnya di atas kain.