Minggu, 16 Juni 2013

Pameran Khazanah Kain Tradisional Nusantara

Pamerkan Kain Serat Kayu, Stan Kalimantan Tengah Jadi Favorit

Dalam rangka Festival Krakatau XXII, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung menggelar Pameran Khazanah Kain Nasional Nusantara. Dalam kegiatan yang akan berlangsung hingga 30 Oktober ini, dipamerkan puluhan jenis kain koleksi 31 museum seluruh Indonesia ditambah milik para kolektor asal Medan, Jakarta, dan Bandung.

PULUHAN tenda menghiasi halaman parkir Museum Lampung kemarin. Di depannya berdiri megah sebuah panggung. Sementara deretan kursi berbalut kain putih telah berjajar rapi. Beberapa pria terlihat sibuk merapikan tempat-tempat itu.

Kesibukan makin terasa kala memasuki halaman aula museum yang berada di Jalan Z.A. Pagar Alam, Rajabasa, ini. Ratusan siswi berseragam SMP tengah menekuni kain sulam yang berada di tangan mereka. Para siswi SMP itu tengah mengikuti lomba sulam tapis yang memang menjadi salah satu muatan lokal di kota ini.

Namun, perhatian  lebih tersedot pada aktivitas di dalam aula museum. Di sana, ratusan pengunjung tengah tekun memperhatikan deretan kain dengan beragam corak dan jenis.

Puluhan kain itu terpajang rapi. Kain-kain tersebut sengaja disusun sesuai jenis, bentuk, dan asalnya. Beragam bentuk kain, mulai yang berukuran panjang hingga persegi, dapat ditemui di sini. Bermacam motif juga bisa dilihat. Seperti motif sulur, bunga, dan binatang.

Guna memudahkan pengunjung, setiap kain diberi semacam penjelasan yang berisi nama, asal, dan proses pembuatannya.

Dari puluhan stan, ada salah satu yang paling ramai dikunjungi, baik oleh pengunjung umum maupun para pelajar. Stan itu milik Museum Kalimantan Tengah (Kalteng). Di sana mayoritas kain yang dipamerkan berbahan dasar tumbuhan, berupa rumput atau kulit kayu. Antusiasme pengunjung sempat membuat pemandu stan kewalahan. Terutama ketika menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan para pelajar yang datang.

Dari penjelasan pemandu stan, salah satu unggulan mereka adalah pakaian adat laki-laki dari suku Dayak yang terbuat dari kayu nyamu. Nyamu adalah nama daerah jenis pohon hutan yang mengandung serat bagus untuk kain bahan pakaian. Biasanya setelah pohon ditebang, kemudian dipotong-potong dan kulit luarnya dilepas dan dipukuli hingga tinggal serat halusnya. Serat inilah yang akan dijadikan kain.

’’Biasanya direndam lebih dahulu dan dijemur di bawah terik matahari. Kemudian dipukul-pukul sampai terlihat licin. Semakin besar pohonnya, akan semakin bagus kulitnya,” ungkap Kepala Museum Kalteng Berthi Letlora, S.H.

Ia menyebutkan, selain kayu nyamu, kain tradisional suku Dayak ini juga dapat dibuat dari salusi, banturung, puru, dan karet mahumbung. ’’Untuk menghasilkan sehelai kain, dibutuhkan waktu cukup lama. Bisa sekitar satu minggu. Pengerjaannya pun tidak bisa sembarangan, harus menggunakan perasaan,” ujar pria berkulit hitam ini.

Meski terbuat dari serat kayu, jenis kain ini terasa sangat lembut dan nyaman saat dikenakan. Untuk membuatnya terlihat lebih indah, pakaian serat kayu itu biasanya ditambahkan dengan motek warna-warni.

Diketahui, Pameran Khazanah Kain Tenun Nusantara sengaja digelar sebagai bentuk apresiasi kain tenun tradisional Indonesia menuju pasar global sekaligus rangkaian kegiatan Festival Krakatau XXII. ’’Dari sana. kita mencoba mengenalkan kain tradisonal Lampung dalam kancah yang lebih besar,” ujar Kepala Bidang Pariwisata Disbudpar Lampung Yusuf Rusman, M.M. di sela kegiatan.

Menurutnya, pameran ini menyajikan beragam produk buatan Indonesia. Di antaranya kain kulit kayu dari Sulawesi Tengah, tenunan serat palem dari Papua, selimut ikat dari Sulawesi Barat, batik dari Jawa, songket benang emas dari Sumatera Selatan, hingga inovasi-inovasi kontemporer yang berkisar dari akhir abad ke-19 hingga saat ini.

Selain wisatawan domestik, kegiatan itu juga menarik minat turis mancanegara. Salah satunya turis asal Eropa, Barbara Jonsen. Ia mengaku sengaja mengunjungi pameran ini untuk melihat langsung keunikan dan keanekaragamn kain Indonesia. ’’Saya suka sekali dengan kain,” katanya dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar.

Perempuan yang mengaku sejak kecil telah tinggal di Jakarta ini menilai pameran seperti itu perlu terus diadakan dan dikembangkan. Sehingga masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, dapat lebih mencintai dan mengetahui kekayaan budaya bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar