Pamerkan Kain Serat Kayu, Stan Kalimantan Tengah Jadi Favorit
Dalam rangka Festival Krakatau XXII, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung menggelar Pameran Khazanah Kain Nasional Nusantara. Dalam kegiatan yang akan berlangsung hingga 30 Oktober ini, dipamerkan puluhan jenis kain koleksi 31 museum seluruh Indonesia ditambah milik para kolektor asal Medan, Jakarta, dan Bandung.
PULUHAN tenda menghiasi halaman parkir Museum Lampung kemarin. Di depannya berdiri megah sebuah panggung. Sementara deretan kursi berbalut kain putih telah berjajar rapi. Beberapa pria terlihat sibuk merapikan tempat-tempat itu.
Kesibukan makin terasa kala memasuki halaman aula museum yang berada di Jalan Z.A. Pagar Alam, Rajabasa, ini. Ratusan siswi berseragam SMP tengah menekuni kain sulam yang berada di tangan mereka. Para siswi SMP itu tengah mengikuti lomba sulam tapis yang memang menjadi salah satu muatan lokal di kota ini.
Namun, perhatian lebih tersedot pada aktivitas di dalam aula museum. Di sana, ratusan pengunjung tengah tekun memperhatikan deretan kain dengan beragam corak dan jenis.
Puluhan kain itu terpajang rapi. Kain-kain tersebut sengaja disusun sesuai jenis, bentuk, dan asalnya. Beragam bentuk kain, mulai yang berukuran panjang hingga persegi, dapat ditemui di sini. Bermacam motif juga bisa dilihat. Seperti motif sulur, bunga, dan binatang.
Guna memudahkan pengunjung, setiap kain diberi semacam penjelasan yang berisi nama, asal, dan proses pembuatannya.
Dari puluhan stan, ada salah satu yang paling ramai dikunjungi, baik oleh pengunjung umum maupun para pelajar. Stan itu milik Museum Kalimantan Tengah (Kalteng). Di sana mayoritas kain yang dipamerkan berbahan dasar tumbuhan, berupa rumput atau kulit kayu. Antusiasme pengunjung sempat membuat pemandu stan kewalahan. Terutama ketika menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan para pelajar yang datang.
Dari penjelasan pemandu stan, salah satu unggulan mereka adalah pakaian adat laki-laki dari suku Dayak yang terbuat dari kayu nyamu. Nyamu adalah nama daerah jenis pohon hutan yang mengandung serat bagus untuk kain bahan pakaian. Biasanya setelah pohon ditebang, kemudian dipotong-potong dan kulit luarnya dilepas dan dipukuli hingga tinggal serat halusnya. Serat inilah yang akan dijadikan kain.
’’Biasanya direndam lebih dahulu dan dijemur di bawah terik matahari. Kemudian dipukul-pukul sampai terlihat licin. Semakin besar pohonnya, akan semakin bagus kulitnya,” ungkap Kepala Museum Kalteng Berthi Letlora, S.H.
Ia menyebutkan, selain kayu nyamu, kain tradisional suku Dayak ini juga dapat dibuat dari salusi, banturung, puru, dan karet mahumbung. ’’Untuk menghasilkan sehelai kain, dibutuhkan waktu cukup lama. Bisa sekitar satu minggu. Pengerjaannya pun tidak bisa sembarangan, harus menggunakan perasaan,” ujar pria berkulit hitam ini.
Meski terbuat dari serat kayu, jenis kain ini terasa sangat lembut dan nyaman saat dikenakan. Untuk membuatnya terlihat lebih indah, pakaian serat kayu itu biasanya ditambahkan dengan motek warna-warni.
Diketahui, Pameran Khazanah Kain Tenun Nusantara sengaja digelar sebagai bentuk apresiasi kain tenun tradisional Indonesia menuju pasar global sekaligus rangkaian kegiatan Festival Krakatau XXII. ’’Dari sana. kita mencoba mengenalkan kain tradisonal Lampung dalam kancah yang lebih besar,” ujar Kepala Bidang Pariwisata Disbudpar Lampung Yusuf Rusman, M.M. di sela kegiatan.
Menurutnya, pameran ini menyajikan beragam produk buatan Indonesia. Di antaranya kain kulit kayu dari Sulawesi Tengah, tenunan serat palem dari Papua, selimut ikat dari Sulawesi Barat, batik dari Jawa, songket benang emas dari Sumatera Selatan, hingga inovasi-inovasi kontemporer yang berkisar dari akhir abad ke-19 hingga saat ini.
Selain wisatawan domestik, kegiatan itu juga menarik minat turis mancanegara. Salah satunya turis asal Eropa, Barbara Jonsen. Ia mengaku sengaja mengunjungi pameran ini untuk melihat langsung keunikan dan keanekaragamn kain Indonesia. ’’Saya suka sekali dengan kain,” katanya dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar.
Perempuan yang mengaku sejak kecil telah tinggal di Jakarta ini menilai pameran seperti itu perlu terus diadakan dan dikembangkan. Sehingga masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, dapat lebih mencintai dan mengetahui kekayaan budaya bangsa Indonesia.
Tampilkan postingan dengan label pariwisata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pariwisata. Tampilkan semua postingan
Minggu, 16 Juni 2013
Senin, 06 Mei 2013
The Mary Hunt Kahlenberg Collection, Five Centuries of Indonesian Textiles
Sudah banyak buku ditulis mengenai tekstil Indonesia, tetapi kain Nusantara seperti sihir yang mendorong banyak orang terus menggali dan menuliskan tentangnya. Begitu juga dengan Mary Hunt Kahlenberg.
Dia memilih judul The Mary Hunt Kahlenberg Collection, Five Centuries of Indonesian Textiles (2010), karena di antara kain asli Nusantara koleksinya, terdapat tenun dari abad ke-15. Umumnya kurator dan kolektor kain skeptis terhadap kemampuan kain Nusantara bertahan ratusan tahun, karena dibuat lokal dan dikenakan sehari-hari, kain dapat diganti setiap saat begitu lapuk.
”Banyak orang meragukan kain asli Indonesia dapat bertahan dalam waktu panjang, mengingat udara yang panas dan lembap, serta cara penyimpanannya,” papar Kahlenberg di Museum Tekstil Jakarta, Desember lalu.
Kahlenberg yang tinggal di Santa Fe, AS, datang ke Jakarta bersama suaminya, Robert T Coffland, untuk diskusi buku yang diadakan antara lain oleh Museum Tekstil dan Perhimpunan Wastreprema. Ia merasa tertantang membuktikan usia kain Nusantara dengan lebih akurat. Selain memakai metode sejarah-seni, yaitu membandingkan corak atau tenunan dengan monumen arsitektur dan lukisan manuskrip sezaman, juga dengan uji karbon C-14.
Tahun 2003, ia mengirim contoh benang tenun dari tiga kain koleksinya, masing-masing dari Poso, Sulawesi Tengah; Komering di Sumatera Selatan; dan Timor di NTT, untuk uji karbon di Swiss.
Hasilnya, kain Komering berasal dari tahun 1403-1501 dengan kemungkinan 98,5 persen. Benang lungsi terbuat dari sutra dan benang pakannya katun bercorak ikat pakan cukup rumit. Kain ini juga memakai benang emas di tepinya. Sedangkan kain dari Poso diduga berasal dari tahun 1419-1627 dengan peluang 95 persen, sementara kain dari Timor diperkirakan berasal dari tahun 1419-1520.
”Uji tersebut membuktikan kain Indonesia dapat bertahan melalui waktu karena dijaga sebagai benda berharga milik keluarga. Kualitas kain-kain tersebut masih bagus. Tradisi menjaga kain sebagai benda berharga harus dipertahankan,” paparnya.
Cinta
Pertanyaan yang sering ditujukan kepada Kahlenberg, mengapa mencintai kain, terutama kain Indonesia? Ia bercerita, tumbuh besar dalam keluarga yang mengoleksi aneka pita dan perca kain yang dianyam para perempuan di keluarga besarnya. Hal itu memesona Kahlenberg, apalagi kemudian neneknya memberi pita-pita koleksinya untuk dia.
Tentang kain Indonesia, ia mengaku alasannya tak rasional. Dia jatuh cinta begitu saja saat pertama kali melihat foto kain Indonesia yang dikirim ahli dan penjual kain asal Belanda, Laurens Langewis. Pertengahan tahun 1960-an itu, Kahlenberg adalah kurator Museum Tekstil, Washington, AS. Foto-foto tersebut mendorongnya membaca lebih dalam buku tulisan Langewis dan Frits A Wagner, Decorative Art in Indonesian Textiles (1964). Dia paling tertarik pada tapis Lampung yang belakangan dia tahu bercorak cumi-cumi.
”Saya terpukau kerumitan corak dan kualitas pembuatannya. Juga kain Indonesia lain, seperti teknik rintang warna pada batik dan berbagai teknik tenun. Itu titik balik penting dalam hidup saya. Sayangnya, tak satu pun dari kain yang ditawarkan itu dibeli museum,” kenangnya.
Rasa penasaran Kahlenberg terobati ketika tahun 1969 pindah ke Los Angeles County Museum of Arts (LACMA) dan menjadi kepala bagian kostum dan kain. Dalam posisi itu, dia terbang pertama kali ke Kalimantan pada 1973. Tahun 1977, dia menyelenggarakan pameran ”Textile Traditions of Indonesia” di LACMA dan menjadi pameran besar pertama di AS khusus tentang kain Indonesia.
Selama 35 tahun sesudahnya, ia menjelajahi pulau-pulau Indonesia. Posisi suami pertamanya sebagai diplomat memberinya kesempatan belajar tekstil di Eropa dan mengunjungi museum untuk mempelajari kain Indonesia, sampai sempat terkunci sendirian. ”Saya tak ingin menyebut nama museumnya,” katanya diiringi tawa.
Di Indonesia, Kahlenberg membangun hubungan dengan orang-orang yang dia temui di desa dan kota, serta membentuk pengetahuan tentang lapis-lapis rumit pemahaman masyarakat Indonesia mengenai kehidupan religius dan sejarahnya yang berkaitan dengan fungsi kain dalam kehidupan.
”Bertemu dengan orang-orang yang membuat dan memakai kain itu sangat menarik, cara menenun dan menangani kain, juga detail kehidupan lainnya,” katanya.
Dia menemukan kesamaan dengan pengalamannya masa kecil, yaitu tradisi pembuatan dan perawatan kain diturunkan dari ibu kepada anak perempuan.
Ia berharap masyarakat dapat menjaga kualitas kain Indonesia karena berhubungan erat dengan tradisi yang dihidupi masyarakat sendiri. Terutama kini, ketika kain diperdagangkan dan kualitas ditentukan pembeli. ”Tentu, kain harus berkembang mengikuti perubahan waktu. Tetapi, sebagai pembeli, kita harus berusaha membeli kain yang bagus,” tandasnya.
Mengenalkan Indonesia
Meskipun kini tak terlalu kerap ke Indonesia, dia mengaku terus meriset kain. Bukunya, setebal 398 halaman termasuk indeks, bercerita tentang masyarakat pembuat kain-kain tersebut. Koleksinya lebih berdasar kualitas istimewa kain daripada kumpulan kain karena komunitas pembuatnya.
Melalui koleksi 350 lebih kain dan penjelasan yang ditulis beberapa ahli kain, antara lain Ruth Barnes dan Rens Heringa, pembaca diajak mengenal cara masyarakat Nusantara memandang dunia dalam dan dunia luar, yang bahkan bagi banyak pembaca Indonesia sekali pun merupakan pengetahuan baru.
Sebagai sarjana sejarah seni, Kahlenberg mendekati kain Indonesia melalui kacamata antropologi, seperti umum dilakukan para ahli kain, serta pendekatan seni dan sejarah. ”Menulis dari sisi seni lebih sulit karena menyampaikan apa yang kita rasakan, bagaimana pengaruh emosionalnya ketika kita melihat (kain),” ungkapnya.
Tantangan lain, meyakinkan masyarakat dunia, terutama di Barat, kain Indonesia adalah karya seni, bukan sekadar kriya. Oleh karena itu, dia berusaha membuat buku ini indah. ”Untuk membuat orang membaca dan melihat, lalu berpikir, oh (kain-kain) ini indah,” ungkap Mary Hunt Kahlenberg.
Selasa, 30 April 2013
Tenun Pandai Sikek Warisan Budaya Minangkabau
Kain tenun tidak hanya terkenal di Kalimantan ataupun Jawa, namun juga di Sumatera. salah satu kain tenun songket yang terkenal di sumatera adalah kain tenun pandai sikek yang bisa ditemui di minangkabau.
Tenun di daerah Minangkabau disebut tenun Pandai Sikek atau lebih familiar lagi disebut dengan tenun songket. Orang Pandai Sikek sendiri sebenarnya tidak menyebutnya songket, melainkan hanya tenun, sebab yang dimaksud adalah benang katun dan benang mas yang ditenun dengan tangan, diatas alat yang bernama panta sehingga menjadi kain, kain balapak atau kain bacatua yang dipakai pai baralek, yaitu pada pesta perkawinan.
Kain tenun Pandai Sikek secara umum terbagi menjadi dua jenis, yaitu Balapak dan Bacatua. Kain Balapak ditenun dengan melewatkan benang mas di seluruh bidang kain, sedangkan Kain Bacatua sebagian besar terdiri dari tenunan lungsin dengan pakan, dan di bagian-bagian tertentu diberi hiasan benang mas.
Tidak ada sejarah yang pasti kapan tenunan songket mulai dikembangkan di Minangkabau khususnya di Nagari Pandai Sikek. Akan tetapi keahlian dalam menenun merupakan warisan nenek moyang kita bangsa Austronesia atau lebih populer disebut dengan bangsa Malayo-Polynesia, Ketika terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari daratan Asia ke arah selatan dan timur beberapa ribu tahun yang lalu, bersamaan dengan segala kepandaian yang esensial untuk kehidupan, seperti kepandaian becocok tanam, kepandaian membuat dan menggunakan alat-alat pertanian, pertukangan dan senjata.
Motif-motif kain tenun Pandai Sikek selalu diambil dari contoh kain-kain tua yang masih tersimpan dengan baik dan sering dipakai sebagai pakaian pada upacara-upacara adat dan untuk fungsi lain dalam lingkup upacara adat, misalnya sebagai “tando,” dan dipajang juga pada waktu batagak rumah.
Motif-motif tenun Pandai Sikek diyakini sebagai motif asli pada kain-kain tenunan perempuan-perempuan Pandai Sikek pada zaman lampau, yang namanya sebagian masih diingat oleh beberapa orang tua yang hidup sekarang. Diantara mereka adalah: Sari Bentan, Namun, Salamah di Baruah; Nuriah, Ipah, Pasah, Nyiah dan Jalisah di Tanjung.
Ada kira-kira sepuluh orang master tenun di Pandai Sikek pada zaman atau generasi nama-nama diatas, kira-kira seratus tahun yang lalu. Ada juga beberapa wanita Pandai Sikek zaman dahulu yang dikenal dengan nama julukan yang berhubungan dengan peralatan tenun. Misalnya, dikenal Inyiak Makau di Tanjuang, Inyiak Suri di Koto Tinggi, Inyiak Banang, dan Inyiak Karok.
Kain tenun pandai sikek ini begitu terkenal disebabkan oleh peran para turis asing (manca negara) yang selalu membeli hasil kerajinan songket Pandai sikek sebagai cendramata untuk dibawa pulang ke negara mereka masing-masing. Hal ini berlangsung terus menerus, sehingga Songket Pandai sikek kian hari kian di kenal masyarakat Internasional.
Tenun di daerah Minangkabau disebut tenun Pandai Sikek atau lebih familiar lagi disebut dengan tenun songket. Orang Pandai Sikek sendiri sebenarnya tidak menyebutnya songket, melainkan hanya tenun, sebab yang dimaksud adalah benang katun dan benang mas yang ditenun dengan tangan, diatas alat yang bernama panta sehingga menjadi kain, kain balapak atau kain bacatua yang dipakai pai baralek, yaitu pada pesta perkawinan.
Kain tenun Pandai Sikek secara umum terbagi menjadi dua jenis, yaitu Balapak dan Bacatua. Kain Balapak ditenun dengan melewatkan benang mas di seluruh bidang kain, sedangkan Kain Bacatua sebagian besar terdiri dari tenunan lungsin dengan pakan, dan di bagian-bagian tertentu diberi hiasan benang mas.
Tidak ada sejarah yang pasti kapan tenunan songket mulai dikembangkan di Minangkabau khususnya di Nagari Pandai Sikek. Akan tetapi keahlian dalam menenun merupakan warisan nenek moyang kita bangsa Austronesia atau lebih populer disebut dengan bangsa Malayo-Polynesia, Ketika terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari daratan Asia ke arah selatan dan timur beberapa ribu tahun yang lalu, bersamaan dengan segala kepandaian yang esensial untuk kehidupan, seperti kepandaian becocok tanam, kepandaian membuat dan menggunakan alat-alat pertanian, pertukangan dan senjata.
Motif-motif kain tenun Pandai Sikek selalu diambil dari contoh kain-kain tua yang masih tersimpan dengan baik dan sering dipakai sebagai pakaian pada upacara-upacara adat dan untuk fungsi lain dalam lingkup upacara adat, misalnya sebagai “tando,” dan dipajang juga pada waktu batagak rumah.
Motif-motif tenun Pandai Sikek diyakini sebagai motif asli pada kain-kain tenunan perempuan-perempuan Pandai Sikek pada zaman lampau, yang namanya sebagian masih diingat oleh beberapa orang tua yang hidup sekarang. Diantara mereka adalah: Sari Bentan, Namun, Salamah di Baruah; Nuriah, Ipah, Pasah, Nyiah dan Jalisah di Tanjung.
Ada kira-kira sepuluh orang master tenun di Pandai Sikek pada zaman atau generasi nama-nama diatas, kira-kira seratus tahun yang lalu. Ada juga beberapa wanita Pandai Sikek zaman dahulu yang dikenal dengan nama julukan yang berhubungan dengan peralatan tenun. Misalnya, dikenal Inyiak Makau di Tanjuang, Inyiak Suri di Koto Tinggi, Inyiak Banang, dan Inyiak Karok.
Kain tenun pandai sikek ini begitu terkenal disebabkan oleh peran para turis asing (manca negara) yang selalu membeli hasil kerajinan songket Pandai sikek sebagai cendramata untuk dibawa pulang ke negara mereka masing-masing. Hal ini berlangsung terus menerus, sehingga Songket Pandai sikek kian hari kian di kenal masyarakat Internasional.
Senin, 15 April 2013
Topi Rea Khas Manggarai Barat Dicari Wisatawan
Kerajinan tangan khas Manggarai Barat dibangkitkan kembali sejalan dengan pengembangan dan kemajuan pariwisata Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, sejak binatang Komodo masuk dalam tujuh keajaiban dunia baru yang diumumkan pada November 2011. Kain songket, selendang songket sejak dahulu sudah dikerjakan oleh warga masyarakat di tiga kabupaten (Manggarai Barat, Manggarai Timur dan Manggarai).
Selama promosi tidak gencar dilakukan di media massa, maka pariwisata Kabupaten Manggarai Barat terutama kerajinan tangan khas Manggarai Barat tenggelam sangat dalam bersama dengan pengaruh modern yang kuat kepada masyarakat. Kain songket dan selendang songket khas Manggarai Barat dipadukan dengan topi Rea sungguh sangat indah dan memiliki kewibawaan bagi masyarakat Manggarai Barat. Sejak 2009 tamu-tamu yang minum kopi khas Manggarai Barat di Bandara Komodo selalu mencari sesuatu yang khas dari Manggarai Barat selain kain songket dan kain selendang.
Melihat peluang yang terjadi pasar ini maka warga berinisiatif mengumpulkan bahan-bahan khas Manggarai Barat dan Flores sejak tujuh tahun yang lalu di bidang souvenir. Souvenir yang sangat diminati wisatawan domestik dan mancanegara yakni kain songket, selendang, patung komodo, rumah adat Manggarai dan topi.
Nah, Topi yang paling unik dan khas Manggarai Barat adalah "Topi Rea" yang sangat asli hasil dari anyaman dari pohon Rea itu sendiri. Pusat Industri Kerajinan Topi Rea yang kini diubah namannya menjadi Topi Komodo yakni di Kampung Nunang, Bambor, Kecamatan Sano Nggoang; Daleng, Kecamatan Lembor; Kampung Melo, Mamis, Kecamatan Mbeliling selalu dipesan oleh para tamu dari Kota Labuan Bajo serta pejabat yang berkunjung ke Kota Labuan Bajo. Demikian dijelaskan, Ibu Maria Goreti Rueng (40), pedagang souvenir khas Flores dan Manggarai Barat di Kios Bandara Udara Komodo.
Rueng asal Sita, Kabupaten Manggarai Timur menikah dengan orang Manggarai Barat ini menuturkan, setiap hari banyak tamu di Bandara Udara Komodo selalu mencari topi Rea khas Manggarai Barat untuk dipakai atau dihadiahkan kepada tamu atau keluarga mereka. Rueng menjelaskan, bahan souvenir yang paling laris di standnya di Bandara Udara Komodo adalah rumah adat Manggarai Raya dengan dijual seharga Rp 100.000-Rp 300.000 dan kain selendang seharga Rp 50.000, kain songket seharga Rp 300.000 dan topi Rea yang sangat diminati orang dijual seharga Rp 100.000.
Penghasilan dari menjual souvenir khas Flores dan Manggarai Barat, menurut Rueng, bervariasi dimana saat pengunjung sepi dirinya akan memperoleh penghasilan Rp 500.000 per hari. Namun pada musim wisatawan berkunjung saat liburan, Rueng memperoleh penghasilan berkisar Rp 2.000.000-Rp 3.000.000 per hari.
Rueng melanjutkan, dulu dirinya berjualan souvenir di depan Gardena di pinggir pantai Labuan Bajo, namun, hasilnya sangat kurang. Barang-barang souvenir Topi Rea diambilnya dari Pusat Industri Kerajinan di Kampung Nunang, Kecamatan Sano Nggoang.
Sementara Maria Bia (59), warga Kampung Melo, di Rumah Sanggar Budaya Compang Toe menjelaskan, di rumah Sanggar Budaya Compang Toe selain disuguhkan kopi asli Manggarai Barat juga dijual Topi REA khas Manggarai Barat kepada wisatawan asing dan domestik yang berkunjung di Kampung Melo. Menurut Bia, Topi Rea ini dijual kepada wisman dan wisdom karena mereka sangat suka keaslian dari topi itu yang terbuat dari bahan-bahan alamiah.
Koordinator Lapangan di Manggarai Barat dari Tim Jelajah Sepeda Bali-Komodo, Frans Sarong menjelaskan, Tim Jelajah Sepeda Bali-Komodo sebaiknya diperkenalkan kepada aneka kerajinan tangan seperti Topi Rea ini. "Kami mencari yang unik untuk diperkenalkan kepada Tim Jelajah Sepeda Bali-Komodo sehingga kami melakukan survei di Kampung Melo," jelasnya.
Sarong memaparkan, dirinya sudah menyampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat untuk mempromosikan kekhasan masyarakat Manggarai Barat kepada tim dan rombongan Jelajah Sepeda Bali-Komodo.
Bupati Manggarai Barat, Agustinus Ch. Dula merespons baik usulan yang disampaikan di Labuan Bajo. Bupati Dula langsung memerintahkan Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Manggarai Barat segera menyiapkan 20 topi Rea untuk dipakai oleh Tim Jelajah Sepeda Bali-Komodo saat tiba di Pelabuhan Feri Labuan Bajo.
Pasalnya, dari Pelabuhan Feri Labuan Bajo, tim Jelajah Sepeda Bali-Komodo sambil menggowes sepeda keliling Kota Labuan Bajo akan memakai topi rea, topi khas Manggarai Barat di kepala mereka.
Sumsel Akan Gelar Festival Songket
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan akan menggelar festival songket di Palembang pada 2013 untuk mempromosikan tenun tradisional dari seluruh Indonesia.
Pergelaran tersebut pertama kali dilaksanakan dan diharapkan berjalan sukses, kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel Toni Panggarbesi di Palembang, Selasa.
Menurut dia, pagelaran itu juga untuk mempromosikan hasil usaha tenun tradisional Sumsel berbahan dasar benang sutra dan benang emas.
Sementara peserta yang akan diundang dalam festival itu, menurut dia, adalah daerah penghasil songket di seluruh Indonesia.
Bahkan, peserta luar negeri juga akan diundang supaya lebih meriah karena festival tersebut juga untuk mempromosikan kerajinan songket masing-masing daerah sehingga produk tersebut semakin dicintai.
Namun, yang lebih utama kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara ke Sumatra selatan.
"Jadi kegiatan tersebut untuk mempromosikan seni dan budaya Sumsel termasuk daerah peserta," kata dia.
Selain itu melalui kegiatan tersebut minat masyarakat akan tenun songket akan meningkat, tambah dia
Langganan:
Postingan (Atom)