Minggu, 16 Juni 2013

Menilik Kain Bidak Galah Napuh Waykanan

Kain Bidak Galah Napuh, kain khas masyarakat Waykanan yang usianya ratusan tahun ini, sampai sekarang belum banyak yang tahu. Desainer kondang Lampung Raswan pun mencoba melestarikannya. Apa saja kendala dalam proses pembuatannya?

LAMPUNG memang kaya akan peninggalan benda-benda kesenian bersejarah, termasuk kain. Begitu kayanya, beberapa di antaranya terlupakan, termasuk Kain Bidak Galah Napuh.

Ketua Yayasan Tenun Peduli Tradisional Lampung Raswan menceritakan, lebih dari lima tahun, ia baru bisa membuat Kain Bidak Galah Napuh tersebut. Mulai penemuan motif asli hingga teknik pembuatannya. Ia mengatakan mengetahui keberadaan kain ini dari beberapa buku Indonesia Tekstil dan cerita dari orang-orang terdahulu.

Banyak kendala yang harus dilewatinya untuk menemukan kain ini. Selain karena motif asli kain itu sudah tidak bisa ditemukan lagi di tempat asalnya, yakni Kabupaten Waykanan, yang memilikinya juga tidak banyak. Bahkan untuk menemukan kain ini, ia mendapatkan contoh motif dari seorang teman yang merupakan kolektor benda-benda antik yang berdomisili di Jakarta. ’’Itu pun tidak bisa dipinjam, hanya boleh foto,” kenangnya.

Selain kesulitan menemukan kain asli dan motifnya, ia harus mengecek apakah benar motif tersebut merupakan asli dari Kain Bidak Galah Napuh, yakni bentuknya simetris dengan ciri khas bintik-bintik putih seperti leher kancil dan geometris.

’’Jadi observasinya juga cukup lama, karena kita tidak bisa langsung membuat tanpa tahu apakah ini motif asli dari Lampung,” ungkapnya.

Belum lagi, lanjut dia, pencarian sumber daya manusia (SDM)-nya sangat sulit karena proses pembuatan ini memerlukan tangan-tangan yang terampil. ’’Teknik pembuatannya sangat rumit dan tingkat kesulitannya begitu tinggi, penggabungan kain inuh dan songket,” terangnya.

Prosesnya, sambut Raswan, dengan cara benang dicelup dengan ikatan bagian per bagian. Kemudian dicelup dengan ATBM, yakni alat tenun yang merupakan pengembangan dari alat tenun nusantara. Dan penyungkitan seperti pembuatan songket, ATBM ini menggunakan sisirnya buatan Jepang dari Kyoto yang harganya puluhan juta.

Lelaki kelahiran 14 Maret 1966 ini menuturkan, karena tidak dimiliki banyak orang, dulunya kain ini digunakan untuk pakaian adat dari Waykanan, pengantin laki-laki, selingkep orang Lampung penutup badan laki-laki, dan juga sebagai penutup mayat.

Namun, terus Raswan, Kain Bidak Galah Napuh ini bisa dibuat kemeja, baju cewek, bahkan tapis khusunya tapis Kabupaten Waykanan yang berciri khas binatang-binatang. Untuk satu baju saja harganya bisa Rp400 ribu berukuran 2 meter 20.

’’Sebenarnya sudah banyak yang berminat, terlebih wisatawan lokal dan mancanegara. Tetapi tidak saya jual karena ini belum dipatenkan, sampai launching pada acara pameran nasional pertengahan Oktober di Hotel Ritz Calton di Jakarta. Serta akan didokumentasikan oleh Dekranasda Pusat dan majalah Kriya Dekranasda Nasional di bawah binaan Istri Ibu Andi Mallarangeng,” paparnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar