Raswan Tapis di Jl. S. Parman, Bandarlampung, menyediakan kebaya, tapis, songket, batik Lampung, serta bahan kebaya. Selain itu, dibuka juga Tapis Helau Gallery di Jl. Teuku Umar, Bandarlampung. Guna memaksimalkan layanan, Raswan Tapis buka setiap hari dari pukul 09.00–21.00 WIB.
’’Hari libur kami tetap buka,’’ sebut Raswan.
Hasil karyanya sudah terkenal di luar Lampung hingga mancanegara. Seperti, Jakarta, Bali, dan Jepang. Bahan-bahan didesain sendiri dan alat produksinya pun sendiri. Namun, proses produksinya di Jawa, setelah hasil akhir baru dibawa ke Lampung.
’’Kualitas dan harga dijamin memuaskan konsumen,’’ bilangnya
Untuk harga baju berkisar Rp100.000–Rp500.000. Harga tapis berkisar Rp1.200.000–Rp10.000.000, tenun ikat sekitar Rp200.000–Rp400.000, dan batik Lampung Rp200.000–Rp400.000.
Raswan Tapis juga menerima pesanan seragam kantor, seragam sekolah, dan motif khusus per kabupaten. Untuk seragam harganya bervariasi dari Rp60.000 hingga Rp150.000 per potong. Dan untuk produk terbaru Raswan yaitu bidak galah napuh.
’’Bisa untuk tenun ikat, tapis dan dibuat baju lebih bagus,’’ sebutnya.
Dia menambahkan, tahun ini Raswan Tapis punya limited edition. Artinya, kata dia, cuma memproduksi satu.
’’Untuk ke depannya merencanakan rancangan per kabupaten punya situs sejarah. Dan itu pun perlu survei dan meneliti terlebih dahulu tidak asal buat,’’ tandasnya.
Untuk Lampung Selatan, akan mengangkat motif betang subing. Kalianda motif keratuan darah putih, Waykanan motif radin jambat, Pesawaran motif ratu gadis dan Lampung Barat motif siger emong. Lalu Lampung Timur motif ratu melimping, Tangamus motif ratu benawang.
Pada tahun ini juga dia ingin membuat produk jadi limited edition yang ada hubungan dengan motif Lampung. Serta ingin juga memadupadankan brukat dengan kain tapis. Karena menurutnya tapis dan brukat bagus jika dipadupadankan.
Ciptakan Tapis Berfilosofi, Patok Harga hingga Puluhan Juta
Karyanya tak hanya dipakai pejabat Lampung seperti gubernur dan wali kota/bupati, melainkan para pejabat negara seperti menteri. Dan kini, tapis buatannya akan dipakai desainer dari luar negeri.
Mengawali karirnya pada 1989 sebagai perajin, Raswan tak sembarangan membuat tapis untuk diedarkan di pasaran. Hasil karyanya selalu mengusung tema desain yang klasik. Menurutnya, proses penciptaan sebuah kain tapis tidak sembarangan, tetapi ada filosofinya. ’’Mulai proses penenunan kain sampai penyulaman sehingga sebuah penciptaan tapis mampu menceritakan adat-istiadat Lampung hingga atraksi kebudayaan Lampung,” katanya.
Sekarang, ia telah memiliki galeri di Jalan Teuku Umar, Kedaton, Bandarlampung. Kemudian di Jalan S. Parman No. 23, Bandarlampung serta di UKM Galeri di Jalan Gatot Subroto. Ia juga mewakili Provinsi Lampung bersama dua perajin lainnya di City Thamrin Jakarta. Bahkan akan bergabung di galeri di Bali.
Ia mampu membuat 20 kain tapis setiap bulan dan telah memiliki 60 perajin. ’’Untuk harga bervariasi. Jika desainnya seperti di pasaran, harga yang dibanderol mulai Rp1,5 juta–Rp2 juta dan yang eksklusif mulai Rp3,5 juta-Rp25 juta,” ujarnya.
’’Kalau yang eksklusif, saya tidak pernah membuat banyak, paling hanya dua potong. Bahkan yang mencapai Rp25 juta ada sertifikatnya. Biasanya yang mengambil adalah kolektor,” ungkapnya.
Proses penciptaan kain dengan tingkat kreativitas yang tinggi itu dilakukan dengan mendesain dan melakukan pewarnaan secara khas dan unik. Karenanya tak heran jika dari sekian banyak perajin tapis di Lampung, karya tapisnya akan mewarnai tas buatan luar negeri yang bakal dipasarkan secara tradisional.
’’Untuk dipasarkan bagi orang asing karena harga yang dibanderol cukup tinggi, mencapai Rp10-20 juta. Dan rencananya produk tersebut akan dipamerkan pada fashion show Oktober mendatang di Bali,” bebernya.
Tetapi dalam perjalanannya menekuni bidang ini, ia mengalami banyak kendala. Pertama, dari bahan baku seperti benang yang mahal karena harganya sesuai dengan kurs dolar. Sebab benang yang digunakan tidak sembarangan, harus yang berkualitas sehingga tahan hingga puluhan tahun. ’’Sehingga nantinya kain ini menjadi barang antik,” katanya.
Kedua adalah SDM, semakin banyak orang yang tidak mau mengerjakan tapis karena lebih memilih menjadi pembantu rumah tangga atau kerja di toko-toko. “Memang membuat tapis termasuk rumit, jadi banyak yang memilih praktisnya padahal dalam masyarakat Lampung, sejak kecil sudah diajari membuat tapis, jadi untuk peningkatan SDM saya mengajarkan tapis kepada anak-anak putus sekolah,” ujarnya.
Selain itu, Raswan juga melatih pengrajin biasa agar menjadi mahir dengan cara memberikan upah yang lebih tinggi sehingga termotivasi.
Berkomitmen Hasilkan Tapis Berkualitas
KETERTARIKANNYA terhadap kain tenun khas Lampung bermula sejak ia kuliah dan melakukan penelitian tentang kebudayaan Lampung bersama Ir. Anshori Djausal, M.T. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk fokus pada bidang sosial dan budaya.
’’Dulu, saya sempat terlibat dalam pembuatan masterplan pariwisata 1989. Dan setiap berkunjung ke daerah-daerah Lampung, saya selalu menanyakan tentang kain-kain Lampung,” kenang Raswan.
Ia menuturkan, ternyata tapis adalah kain asli dari kebudayaan Indonesia, meski ada pengaruh India pada motif kainnya. ’’Sementara menyulam mendapat pengaruh dari Tingkok karena tapis ini lahir pada perkembangan budaya anemisme abad ke-2 sebelum Masehi dan pada masa itu adalah perkembangan agama Hindu dan Buddha,” paparnya.
Hal yang menarik dari tapis, kata dia, adalah kaya akan desain. ’’Desainnya lebih dari seratus. Juga pada proses pembuatannya, hanya tapis yang memiliki dua kali proses pembuatan dibandingkan kain lainnya seperti songket Palembang atau tenun NTT yang hanya satu kali yakni proses menenun pasang motif,” ujarnya.
Sedangkan tapis ditenun dulu, baru disulam dan dimotif kembali sehingga memakan waktu yang lebih lama. ’’Satu kain tapis bisa hingga setahun,” terangnya. Ia juga mengatakan akan tetap berkomitmen membuat suatu produk yang berkualitas dan desainnya berbeda.
Jadi kalau mereka yang pernah melihat atau memakainya pasti tahu dengan hanya melihat desainnya. ’’Dari pewarnaan, penyulaman, dan desainnya memiliki ciri khas sendiri, seperti penggunaan warna-warna yang etnik,” ujarnya.
Mengawali karirnya pada 1989 sebagai perajin, Raswan tak sembarangan membuat tapis untuk diedarkan di pasaran. Hasil karyanya selalu mengusung tema desain yang klasik. Menurutnya, proses penciptaan sebuah kain tapis tidak sembarangan, tetapi ada filosofinya. ’’Mulai proses penenunan kain sampai penyulaman sehingga sebuah penciptaan tapis mampu menceritakan adat-istiadat Lampung hingga atraksi kebudayaan Lampung,” katanya.
Sekarang, ia telah memiliki galeri di Jalan Teuku Umar, Kedaton, Bandarlampung. Kemudian di Jalan S. Parman No. 23, Bandarlampung serta di UKM Galeri di Jalan Gatot Subroto. Ia juga mewakili Provinsi Lampung bersama dua perajin lainnya di City Thamrin Jakarta. Bahkan akan bergabung di galeri di Bali.
Ia mampu membuat 20 kain tapis setiap bulan dan telah memiliki 60 perajin. ’’Untuk harga bervariasi. Jika desainnya seperti di pasaran, harga yang dibanderol mulai Rp1,5 juta–Rp2 juta dan yang eksklusif mulai Rp3,5 juta-Rp25 juta,” ujarnya.
’’Kalau yang eksklusif, saya tidak pernah membuat banyak, paling hanya dua potong. Bahkan yang mencapai Rp25 juta ada sertifikatnya. Biasanya yang mengambil adalah kolektor,” ungkapnya.
Proses penciptaan kain dengan tingkat kreativitas yang tinggi itu dilakukan dengan mendesain dan melakukan pewarnaan secara khas dan unik. Karenanya tak heran jika dari sekian banyak perajin tapis di Lampung, karya tapisnya akan mewarnai tas buatan luar negeri yang bakal dipasarkan secara tradisional.
’’Untuk dipasarkan bagi orang asing karena harga yang dibanderol cukup tinggi, mencapai Rp10-20 juta. Dan rencananya produk tersebut akan dipamerkan pada fashion show Oktober mendatang di Bali,” bebernya.
Tetapi dalam perjalanannya menekuni bidang ini, ia mengalami banyak kendala. Pertama, dari bahan baku seperti benang yang mahal karena harganya sesuai dengan kurs dolar. Sebab benang yang digunakan tidak sembarangan, harus yang berkualitas sehingga tahan hingga puluhan tahun. ’’Sehingga nantinya kain ini menjadi barang antik,” katanya.
Kedua adalah SDM, semakin banyak orang yang tidak mau mengerjakan tapis karena lebih memilih menjadi pembantu rumah tangga atau kerja di toko-toko. “Memang membuat tapis termasuk rumit, jadi banyak yang memilih praktisnya padahal dalam masyarakat Lampung, sejak kecil sudah diajari membuat tapis, jadi untuk peningkatan SDM saya mengajarkan tapis kepada anak-anak putus sekolah,” ujarnya.
Selain itu, Raswan juga melatih pengrajin biasa agar menjadi mahir dengan cara memberikan upah yang lebih tinggi sehingga termotivasi.
Berkomitmen Hasilkan Tapis Berkualitas
KETERTARIKANNYA terhadap kain tenun khas Lampung bermula sejak ia kuliah dan melakukan penelitian tentang kebudayaan Lampung bersama Ir. Anshori Djausal, M.T. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk fokus pada bidang sosial dan budaya.
’’Dulu, saya sempat terlibat dalam pembuatan masterplan pariwisata 1989. Dan setiap berkunjung ke daerah-daerah Lampung, saya selalu menanyakan tentang kain-kain Lampung,” kenang Raswan.
Ia menuturkan, ternyata tapis adalah kain asli dari kebudayaan Indonesia, meski ada pengaruh India pada motif kainnya. ’’Sementara menyulam mendapat pengaruh dari Tingkok karena tapis ini lahir pada perkembangan budaya anemisme abad ke-2 sebelum Masehi dan pada masa itu adalah perkembangan agama Hindu dan Buddha,” paparnya.
Hal yang menarik dari tapis, kata dia, adalah kaya akan desain. ’’Desainnya lebih dari seratus. Juga pada proses pembuatannya, hanya tapis yang memiliki dua kali proses pembuatan dibandingkan kain lainnya seperti songket Palembang atau tenun NTT yang hanya satu kali yakni proses menenun pasang motif,” ujarnya.
Sedangkan tapis ditenun dulu, baru disulam dan dimotif kembali sehingga memakan waktu yang lebih lama. ’’Satu kain tapis bisa hingga setahun,” terangnya. Ia juga mengatakan akan tetap berkomitmen membuat suatu produk yang berkualitas dan desainnya berbeda.
Jadi kalau mereka yang pernah melihat atau memakainya pasti tahu dengan hanya melihat desainnya. ’’Dari pewarnaan, penyulaman, dan desainnya memiliki ciri khas sendiri, seperti penggunaan warna-warna yang etnik,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar