Tampilkan postingan dengan label motif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label motif. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 Juni 2013

Raswan Tapis Dikenal hingga Mancanegara

BANDARLAMPUNG – Salah satu designer Lampung yang karyanya dikenal hingga mancanegara adalah Raswan. Dia sudah 13 tahun berkecimpung di dunia mode. Bermula dari hobi meneliti budaya-budaya sejarah kuno, lalu berkembang dengan mendesain baju-baju, kebaya, tapis, serta batik. Dan sekarang sudah banyak yang kenal dengan hasil rancangannya di bawah bendera usaha House of Kebaya & Raswan Tapis Fashion Designer.

Raswan Tapis di Jl. S. Parman, Bandarlampung, menyediakan kebaya, tapis, songket, batik Lampung, serta bahan kebaya. Selain itu, dibuka juga Tapis Helau Gallery di Jl. Teuku Umar, Bandarlampung. Guna memaksimalkan layanan, Raswan Tapis buka setiap hari dari pukul 09.00–21.00 WIB.

’’Hari libur kami tetap buka,’’ sebut Raswan.

Hasil karyanya sudah terkenal di luar Lampung hingga mancanegara. Seperti, Jakarta, Bali, dan Jepang. Bahan-bahan didesain sendiri dan alat produksinya pun sendiri. Namun, proses produksinya di Jawa, setelah hasil akhir baru dibawa ke Lampung.

’’Kualitas dan harga dijamin memuaskan konsumen,’’ bilangnya

Untuk harga baju berkisar Rp100.000–Rp500.000. Harga tapis berkisar Rp1.200.000–Rp10.000.000, tenun ikat sekitar Rp200.000–Rp400.000, dan batik Lampung Rp200.000–Rp400.000.

Raswan Tapis juga menerima pesanan seragam kantor, seragam sekolah, dan motif khusus per kabupaten. Untuk seragam harganya bervariasi dari Rp60.000 hingga Rp150.000 per potong. Dan untuk produk terbaru Raswan yaitu bidak galah napuh.

’’Bisa untuk tenun ikat, tapis dan dibuat baju lebih bagus,’’ sebutnya.

Dia menambahkan, tahun ini Raswan Tapis punya limited edition. Artinya, kata dia, cuma memproduksi satu.

’’Untuk ke depannya merencanakan rancangan per kabupaten punya situs sejarah. Dan itu pun perlu survei dan meneliti terlebih dahulu tidak asal buat,’’ tandasnya.

Untuk Lampung Selatan, akan mengangkat motif betang subing. Kalianda motif keratuan darah putih, Waykanan motif radin jambat, Pesawaran motif ratu gadis dan Lampung Barat motif siger emong. Lalu Lampung Timur motif ratu melimping, Tangamus motif ratu benawang.

Pada tahun ini juga dia ingin membuat produk jadi limited edition yang ada hubungan dengan motif Lampung. Serta ingin juga memadupadankan brukat dengan kain tapis. Karena menurutnya tapis dan brukat bagus jika dipadupadankan.


Ciptakan Tapis Berfilosofi, Patok Harga hingga Puluhan Juta

Karyanya tak hanya dipakai pejabat Lampung seperti gubernur dan wali kota/bupati, melainkan para pejabat negara seperti menteri. Dan kini, tapis buatannya akan dipakai desainer dari luar negeri.

Mengawali  karirnya pada 1989 sebagai perajin, Raswan tak sembarangan membuat tapis untuk diedarkan di pasaran. Hasil karyanya selalu mengusung tema desain yang klasik. Menurutnya, proses penciptaan sebuah kain tapis tidak sembarangan, tetapi ada filosofinya. ’’Mulai proses penenunan kain sampai penyulaman sehingga sebuah penciptaan tapis mampu menceritakan adat-istiadat Lampung hingga atraksi kebudayaan Lampung,” katanya.

Sekarang, ia telah memiliki galeri di Jalan Teuku Umar, Kedaton, Bandarlampung. Kemudian di Jalan S. Parman No. 23, Bandarlampung serta di UKM Galeri di Jalan Gatot Subroto. Ia juga mewakili Provinsi Lampung bersama dua perajin lainnya di City Thamrin Jakarta. Bahkan akan bergabung di galeri di Bali.

Ia mampu membuat 20 kain tapis setiap bulan dan telah memiliki 60 perajin. ’’Untuk harga bervariasi. Jika desainnya seperti di pasaran, harga yang dibanderol mulai Rp1,5 juta–Rp2 juta dan yang eksklusif mulai Rp3,5 juta-Rp25 juta,” ujarnya.

’’Kalau yang eksklusif, saya tidak pernah membuat banyak, paling hanya dua potong. Bahkan yang mencapai Rp25 juta ada sertifikatnya. Biasanya yang mengambil adalah kolektor,” ungkapnya.

Proses penciptaan kain dengan tingkat kreativitas yang tinggi itu dilakukan dengan mendesain dan melakukan pewarnaan secara khas dan unik. Karenanya tak heran jika dari sekian banyak perajin tapis di Lampung, karya tapisnya akan mewarnai tas buatan luar negeri yang bakal dipasarkan secara tradisional.

’’Untuk dipasarkan bagi orang asing karena harga yang dibanderol cukup tinggi, mencapai Rp10-20 juta. Dan rencananya produk tersebut akan dipamerkan pada fashion show Oktober mendatang di Bali,” bebernya.

Tetapi dalam perjalanannya menekuni bidang ini, ia mengalami banyak kendala. Pertama, dari bahan baku seperti benang yang mahal karena harganya sesuai dengan kurs dolar. Sebab benang yang digunakan tidak sembarangan, harus yang berkualitas sehingga tahan hingga puluhan tahun. ’’Sehingga nantinya kain ini menjadi barang antik,” katanya.

Kedua adalah SDM, semakin banyak orang yang tidak mau mengerjakan tapis karena lebih memilih menjadi pembantu rumah tangga atau kerja di toko-toko. “Memang membuat tapis termasuk rumit, jadi banyak yang memilih praktisnya padahal dalam masyarakat Lampung, sejak kecil sudah diajari membuat tapis, jadi untuk peningkatan SDM saya mengajarkan tapis kepada anak-anak putus sekolah,” ujarnya.

Selain itu, Raswan juga melatih pengrajin biasa agar menjadi mahir dengan cara memberikan upah yang lebih tinggi sehingga termotivasi.

Berkomitmen Hasilkan Tapis Berkualitas

KETERTARIKANNYA terhadap kain tenun khas Lampung bermula sejak ia kuliah dan melakukan penelitian tentang kebudayaan Lampung bersama Ir. Anshori Djausal, M.T. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk fokus pada bidang sosial dan budaya.

’’Dulu, saya sempat terlibat dalam pembuatan masterplan pariwisata 1989. Dan setiap berkunjung ke daerah-daerah Lampung, saya selalu menanyakan tentang kain-kain Lampung,” kenang Raswan.

Ia menuturkan, ternyata tapis adalah kain asli dari kebudayaan Indonesia, meski ada pengaruh India pada motif kainnya. ’’Sementara menyulam mendapat pengaruh dari Tingkok karena tapis ini lahir pada perkembangan budaya anemisme abad ke-2 sebelum Masehi dan pada masa itu adalah perkembangan agama Hindu dan Buddha,” paparnya.

Hal yang menarik dari tapis, kata dia, adalah kaya akan desain. ’’Desainnya lebih dari seratus. Juga pada proses pembuatannya, hanya tapis yang memiliki dua kali proses pembuatan dibandingkan kain lainnya seperti songket Palembang atau tenun NTT yang hanya satu kali yakni proses menenun pasang motif,” ujarnya.

Sedangkan tapis ditenun dulu, baru disulam dan dimotif kembali sehingga memakan waktu yang lebih lama. ’’Satu kain tapis bisa hingga setahun,” terangnya. Ia juga mengatakan akan tetap berkomitmen membuat suatu produk yang berkualitas dan desainnya berbeda.

Jadi kalau mereka yang pernah melihat atau memakainya pasti tahu dengan hanya melihat desainnya. ’’Dari pewarnaan, penyulaman, dan desainnya memiliki ciri khas sendiri, seperti penggunaan warna-warna yang etnik,” ujarnya.

Pesona Etnik Modern

PESONA batik dan kain tenun khas Lampung tidak ada habisnya. Kekhasan dan kesan klasik yang dimiliki dua warisan budaya ini luar biasa. Mulai dari motif hingga makna yang terkandung di dalamnya patut dilestarikan. Memasuki 2012 ini, kedua jenis kain itu akan tetap menjadi idola. Banyak perancang busana yang gencar mempromosikan kedua jenis kain etnik ini ke dalam desain cantik dan modern. Perpaduan kain tenun dan batik ini tergolong cukup langka serta unik.


Pasalnya, kain tenun dibuat dengan teknik secara tradisional yang menghasilkan serat yang khas sehingga terasa kurang nyaman untuk dijadikan pakaian sehari-hari. Namun, dengan perpaduan batik, ini merupakan inovasi baru pada dunia fashion dengan hasil luar biasa.

’’Batik sekarang ini merupakan salah satu pilihan masyarakat untuk dapat dijadikan pakaian formal maupun semiformal,” kata perancang busana Lampung, Raswan.

Pemilik House of Kebaya & Raswan Tapis ini menjelaskan, dari tahun ke tahun, masyarakat Lampung memiliki ketertarikan tersendiri dengan gaya busana batik. Perkembangannya pun terus berevolusi dengan bentuk dan warna yang semakin modern.

Pada 2012 ini, perkembangan batik di Lampung pun mengalami peningkatan. ’’Sekarang ini masyarakat Lampung banyak memilih batik warna terang. Berbeda dengan 2011, dengan warna dop atau yang menyerap cahaya,” ujar Raswan.

Menurut dia, tren yang berkembang tahun ini adalah batik yang dikombinasikan dengan kain tenun. Kolaborasinya pun semakin unik. Yakni dengan menggunakan dua jenis kain ini untuk minidress dan bolero. Kebaya Kartini juga dimodifikasi apik menggunakan batik.

Tidak hanya pada acara formal untuk ke pesta. Gabungan dua kain ini akan banyak terlihat pada kegiatan tidak resmi. Sebagai padanan batik, tenun yang akan banyak dipakai adalah tenun ikat Bidak Galah Napuh dan tenun ikat Inuh.

’’Untuk model dan warna disesuaikan dengan usia. Anak-anak muda akan banyak menggunakan konsep mini dan seksi. Sedangkan perempuan dewasa lebih anggun dan simpel,” tuturnya.

Untuk acara tidak resmi, batik dapat dipadukan dengan bahan kain polos, span pendek, atau rok. (nur/c2/dna)

Merawat Kain Tenun

BAGI para kolektor, kain tenun seperti tapis dan songket merupakan benda investasi. Merawatnya tentu tidak mudah, namun tidak berarti sulit untuk dilakukan. Ada beberapa hal penting yang harus dilakukan agar koleksi tenun kita tetaplah awet, sehingga bisa kita wariskan untuk generasi mendatang.

Berikut ini adalah cara merawat kain tenun menurut Ketua Yayasan Tenun Peduli Tradisional Lampung Raswan.

1. Setelah dipakai, sebaiknya kain diangin-anginkan terlebih dahulu dengan cara digantung atau dibuka selebar-lebarnya. Ini karena ada keringat yang menempel di kain itu. Apabila kain lembab, akan muncul jamur yang dapat merusak benang emas pada kain.

2. Kain songket maupun tapis dapat dicuci dengan cara dicuci kering atau dry clean.

3. Simpanlah dengan cara digulung. Gunakanlah sebuah pipa paralon sebagai media dan lapisilah kain terlebih dahulu dengan kertas koran yang kering. Hal ini dilakukan dikarenakan songket banyak menggunakan benang emas yang apabila ditekuk akan mudah putus atau berserabut. Letakkan rempah-rempah di sisi kiri dan kanannya. Jangan menggunakan kapur barus karena dapat membuat kain berlubang.

4. Jangan dilipat. Sebab, cara ini dapat merusak benang emas seperti kusut dan patah. Apabila Anda tetap melipat kain tenun ikat, biasakan untuk secara rutin mengeluarkannya dari lemari. Minimal sebulan sekali agar mendapat udara segar dan terkena sedikit sinar matahari. Hal ini bertujuan agar bekas lipatan tidak akan membekas selamanya pada kain tenun itu.

5. Apabila mencuci kain batik, pisahkan dengan kain-kain yang lain agar noda tidak tercampur dan pembiasan warna. Ciri batik yang bagus, setelah dicuci warnanya akan terlihat terang dari sebelumnya.

Jika kain tenun terkena kotoran atau noda kecil, jangan langsung panik. Lakukan pembersihan sendiri dengan menggumpalkan kain kapas yang sedikit dibasahi.

Tekan-tekan sedikit di bagian yang masih bersih terlebih dahulu untuk mengetahui apakah tenun yang dimiliki mudah luntur pewarnanya. Jika ternyata warna banyak yang terangkat, kurangi intensitas air di kapas itu.

Tapis Kian Dinamis


KAIN batik sudah ditetapkan sebagai warisan bangsa Indonesia. Demikian juga puluhan motif kain songket Palembang sudah mendapatkan hak paten. Bagaimana dengan kain tapis yang merupakan karya seni kebudayaan asli Lampung?


Belakangan, sejumlah desainer terus mengembangkan kreasi kain tapis. Bukan hanya ingin dilirik secara nasional, tapi juga agar kain tapis dapat go international sehingga menjadi salah satu khasanah kebudayaan Indonesia yang tidak dapat dipandang sebelah mata.

Salah satu desainer yang cukup intens melestarikan kain tapis adalah Raswan. Pemilik House of Kebaya & Raswan Tapis ini selalu memodifikasi tapis agar dapat terus dikenakan para generasi muda yang kini semakin dinamis.

Upaya Raswan yang diiringi dengan menggelar pameran dan fashion show terus membuahkan hasil. Bahkan apresiasi datang dari Ketua Umum Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) Herawati Boediono pada Gebyar Tapis di Bandarlampung belum lama ini.

Menurut Herawati ketika itu, tapis mengalami perkembangan pesat dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Istri Wakil Presiden Boediono ini pun mengungkapkan kekagumannya terhadap tapis karya Raswan. Di mana kini tapis tidak hanya dapat dipakai pada acara resmi. Namun, dapat dipadupadankan dengan pakaian kasual dan modern.

’’Sekarang banyak tapis berbahan ringan dan modelnya disesuaikan dengan zaman,” ungkap Raswan

Sementara pada waktu Gebyar Tapis lalu, Raswan menampilkan dua puluh karyanya. Sebagai cenderamata, Raswan memberikan tapis motif bintang perak kepada Herawati. Bahan pada tapis itu tidak hanya terdiri atas unsur benang emas, melainkan campuran benang sutera merah biru dan cokelat yang dikemas dalam sarung serta selendang. 

Kain Tapis dari Masa ke Masa
Disebutkan bahwa orang Lampung telah menenun kain brokat yang disebut nampan (tampan) dan kain pelepai sejak abad ke-2 Masehi. Motif kain ini ialah kait dan kunci (key and rhomboid shape); pohon hayat; dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal.

Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan, dan bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.

Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh tradisi Neolitikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.

Masuknya agama Islam di Lampung ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis. Walaupun unsur baru itu telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan.

Adanya komunikasi dan lalu lintas antar-kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan zaman bahari sudah mulai berkembang sejak zaman kerajaan Hindu Indonesia serta mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam antara 1500–1700.

Bermula dari latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi seniman pencipta jelas memengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-ide pada kehidupan sehari-hari yang berlangsung di sekitar lingkungan seniman di mana ia tinggal. Penggunaan transportasi pelayaran waktu itu dan alam lingkungan laut telah memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal.

Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan.

Houndstooth, Pola Klasik yang Modern

MOTIF houndstood tak pernah lekang dimakan zaman. Kesan klasik dari pola seperti gerigi anjing pemburu, kadang terlihat seperti motif zigzag, dalam warna hitam dan putih ini tetap menunjukkan modernitas pemakainya. Motif tekstil berpatron segiempat dengan sudut yang tidak beraturan ini kali pertama muncul sebagai tenunan untuk pembungkus keranjang di abad ke-19.

Pemilik Imun’s Butik Plaza Lotus Maimun Apriliani mengatakan, seiring perkembangannya, motif ini banyak dilirik perancang busana untuk pakaian musim dingin dengan bahan wol. ’’Dan ke arah yang lebih modern, houndstooth di Indonesia banyak diganti dengan bahan spandek atau sifon sehingga nyaman dipakai di segala suasana,” katanya.

’’Kini banyak pakaian yang kembali hadir dengan motif houndstooth dengan material tipis. Tidak hanya mantel, tetapi juga kemeja, dress, rompi, rok, legging, dan lainnya. Bahkan motif ini dipakai sebagai aksesori seperti dasi, jilbab, tas, dan sepatu,” kata mahasiswa IBI Darmajaya Lampung ini.

Imun –sapaan akrab Maimun– menambahkan, memakai pakaian atau aksesori bermotif houndstooth akan terlihat lebih menawan dengan paduan kain polos. Tidak melulu harus serasi dengan atasan atau bawahan. Kecuali untuk setelan jas, kemeja dengan motif houndstooth cukup serasi dipadukan dengan blazer berwarna gelap seperti abu-abu atau blue marine.

’’Motif houndstooth sudah rame, kalau dipadukan dengan kotak-kotak lagi akan terlihat aneh,” ujar perempuan berjilbab ini.

Tidak hanya motif yang bervariasi, houndstooth juga memiliki banyak pilihan warna. Diantaranya hitam, abu-abu, pink, merah, dan lainnya. Bagi yang berjilbab, akan tetap terlihat anggun dengan motif houndstooth dengan sedikit menambahkan sentuhan aksesoris sebagai pemanis pada bagian yang menjadi pusat perhatian. Diantaranya seperti gelang atau jam tangan.

Padukan motif tersebut dengan jilbab polos dan alas kaki bertumit yang akan menambah kesan elegan saat mengenakannya. ’’Kalau memakai jenis dress sebaiknya tambahkan belt untuk menyiasati bagian perut,” kata dia.

Selain itu, jika menggunakan motif ini, sebaiknya pakai aksesori berwarna gold untuk menghilangkan kesan pucat pada si pemakai. Ketika menggunakan warna silver, maka akan terlihat pucat. (

Senin, 06 Mei 2013

Tenun NTT Bukan Tenunan Biasa


Kerajinan tenun Nusa Tenggara Timur merupakan aset budaya luar biasa. Selain beragam motifnya, proses pembuatannya pun tak sembarangan, yaitu melalui proses ritual (doa sakral). Kain tenun NTT bukan sekadar kain biasa, melainkan juga memiliki jiwa.

Ketika melewati kampung tua As Manulea di Kecamatan Sasita Mean, Kabupaten Belu, NTT, misalnya, tim Kompas bertemu dengan para perajin yang membuat kain tenun dari benang yang mereka pintal sendiri.

Pada era 1990-an, kegiatan memintal masih terlihat di mana-mana, terutama saat para wanita pergi-pulang dari pasar. Sambil berjalan kaki, dengan junjungan di kepala, mereka memintal benang dari kapas. Kini, kegiatan memintal benang seperti itu sudah langka ditemui di NTT karena tergusur benang industri.

Perempuan As Manulea itu, Lenci Abuk (38), tekun memintal benang dari abas (kapas lokal). Di samping dia, Natalia Kole (52), bersama seorang wanita sebaya dibantu seorang pria, membenahi seperangkat alat tenun kuno yang disebut bninsa.

Menurut Rosalina Lotu, seorang penenun, tais atau bĂȘte (selendang untuk pria) dari benang lokal harganya mahal, paling murah Rp 5 juta per lembar. ”Saya menanam kapas di pekarangan. Hasilnya sangat terbatas. Kalau menenun dengan benang dari kebun sendiri, harus menunggu bertahun-tahun hingga cukup untuk selembar kain,” katanya.

Di Ende, ada jenis kain tenun yang tidak bisa sembarangan dipakai. Kain itu hanya dibuat oleh kalangan tertentu, seperti keluarga tetua adat (mosalaki). Menurut Kepala Museum Tenun Ikat di Ende, Ali Abubakar Pae, pembuatan kain tenun ini umumnya dilakukan secara rahasia dan disertai ritual khusus.

”Umumnya masyarakat Ende di pesisir selatan memanjatkan doa khusus itu pada malam hari di dalam rumah,” kata Ali.

Ali mengibaratkan menenun seperti membuat keris di Jawa. Kekuatan supranatural dari roh-roh leluhur akan menjiwai kain tenun.

Ada ungkapan dalam bahasa Sikka, Ami nulung lobe. Naha utang wawa buku ubeng. Naha utang merah blanu, blekot (Kami tidak memakai sarung murahan, harus sarung dari dasar tempat simpan, harus sarung yang merah, mantap, dan bermutu).

Ungkapan itu mengandung pengertian, sarung yang dikenakan seorang perempuan menunjukkan kepribadian pemakainya. Sarung yang dipakai bukan sarung biasa. Ini menunjukkan pemakainya bukan sembarangan, melainkan orang berwibawa, bermutu, dan berkepribadian baik.

Selain prosesnya panjang dan rumit, motif tenun NTT unik dan beragam. Hampir semua daerah di NTT memiliki kerajinan tenun. Johanna Maria Pattinaja (73), istri almarhum Frans Seda, telah mengumpulkan sekitar 1.000 kain tenun ikat NTT, dari Pulau Timor, Sumba, sampai Flores.

Penelitian Romo Bosco Terwinju Pr (72) dari Keuskupan Agung Ende memperkuat hal itu. Untuk satu wilayah di Pulau Flores misalnya Sikka, ia mengoleksi sekitar 50 jenis kain tenun ikat. ”Motif kain tenun di NTT sangat banyak, berbeda-beda antarkabupaten,” katanya.

Hasil penelitian Romo Bosco di Pulau Flores, ada dua kategori tenun, jenis ikat tradisional dan sulam songket. Tenun ikat menyebar dari Flores bagian tengah, dari Kabupaten Ende hingga Kabupaten Flores Timur sampai Lembata. Adapun tenun sulam songket banyak dibuat dari Kabupaten Nagekeo sampai Kabupaten Manggarai Barat.

Warna kain tenun ikat dihasilkan dari pewarnaan kain, baik dengan bahan alam (mengkudu atau nila) maupun bahan kimia. Warna kain tenun sulam dihasilkan dari proses penyulaman benang beraneka warna.

Menurut Romo Bosco, motif kain tenun di Flores berdasarkan catatan sejarah merupakan turunan dari motif Patola, India, seperti gajah, bunga atau burung, yang kemudian berkembang dengan beragam variasi.

Tenun Kali Uda

Salah satu tenun NTT yang terkenal berasal dari Kali Uda di Pulau Sumba. Desa ini terletak 120 kilometer selatan Waingapu, Sumba Timur. Kualitas tenunan Kali Uda dianggap tertinggi karena lentur, tidak luntur, ringan, dan dapat dibuat menjadi pakaian.

Warna dasar tenun Kali Uda adalah merah, putih, dan hitam. Ragam motif biasanya ayam, burung, kuda, kerbau, sapi, serta mamuli (perhiasan berbentuk rahim perempuan).

Selain menjadi mahar kawin yang bernilai tinggi di kalangan warga Sumba, tenun ikat Kali Uda diminati turis asing. Bahkan di Denpasar, Bali, ada toko khusus yang menjual tenun Kali Uda. ”Meski harganya mahal, turis Jepang belanja sampai ratusan lembar,” kata Jery Nola (29), seorang pria perajin.

Harga selembar kain Kali Uda berukuran 1,7 meter x 2,3 meter Rp 800.000-Rp 25 juta per lembar, tergantung motif, tingkat kesulitan menenun, pewarna, dan kualitas benang.

Sayangnya, menurut Kepala Desa Kali Uda, Umbu Yiwa Hanggi, belum ada organisasi yang memayungi tenun ikat Kali Uda. Padahal, 90 persen warga Kali Uda adalah penenun.

Perkembangan tenun NTT menghadapi tantangan yang tidak ringan. Desakan ekonomi yang semakin berat memaksa penenun meninggalkannya.

Di Kali Uda, misalnya, sampai hari ini belum ada pemasaran yang masif atas hasil kerajinan masyarakat itu. Gagal panen dan kemarau panjang yang sering melanda pantai selatan Sumba Timur memperberat kondisi mereka. Kalau dulu, hasil panen bisa mengisi kekosongan pendapatan mereka; kini, pertanian tidak bisa lagi diandalkan.

”Tahun 2007 masyarakat pernah menyampaikan aspirasi melalui musyawarah rencana pembangunan desa agar dibangunkan sebuah pusat kerajinan tenun ikat di sini. Kemudian, hasil kerajinan masyarakat ditampung Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk dipasarkan ke luar Sumba. Tapi, belum ada tanggapan,” kata Umbu Yiwa.

Sejauh ini jajaran pegawai negeri sipil di NTT diwajibkan memakai baju tenun dua kali dalam seminggu, setiap Rabu dan Jumat. Kalangan penenun termasuk pemilik sentra kerajinan tenun daerah Ina Ndao, Dorce Lussi, di Kupang mengharapkan kebijakan wajib berpakaian tenun jadi empat kali seminggu. Dengan demikian, pasar tenun ikat NTT semakin terbuka

Selasa, 30 April 2013

29 Songket Palembang Jadi Warisan Budaya

Sebanyak 22 motif tenun songket Palembang di tetapkan sebagai warisan budaya rakyat Palembang, Sumatera Selatan. Sebanyak 49 motif tradisional lainnya tengah dalam proses.

Pengajuan pengakuan sebagai warisan budaya ini dilakukan untuk melindungi kekhasan seni dan budaya Palembang. Motif-motif tersebut memperoleh pengakuan sebagai warisan budaya rakyat (folklore ) Palembang dari Kementerian Hukum dan HAM.

Beberapa di antaranya adalah motif bungo intan, lepus pulir, paku berkait, limar berantai, dan nampan emas.

Kepala Bidang Pembinaan Industri Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Palembang, Rosidi Ali, mengatakan, pengajuan sebagai warisan budaya masyarakat tersebut dilakukan sejak tahun 2004.

Motif-motif tersebut merupakan hasil pengembangan masyarakat Palembang sejak ratusan tahun lalu.

"Totalnya ada 71 motif tenun songket yang telah kami ajukan untuk memperoleh pengakuan. Jumlahya masih mungkin bertambah lagi di masa mendatang," katanya di Palembang, Sumatera Selatan.

Menurut Rosidi, pengakuan secara hukum ini penting untuk menjaga kekhasan budaya Palembang dan melindungi melindungi industri kecil yang bergerak di bidang songket . Adanya pengakuan secara hukum salah satunya akan mencegah klaim dari pihak lain.

Saat ini, sebanyak 49 motif lain masih dalam proses pengakuan tersebut. Di antaranya motif bungo ayam, semanggi, jupri, maskot, dan dua warna bunga kayu apui.

Selain di Sumatera Selatan, tenun songket juga berkembang di hampir semua daerah di Sumatera, namun dengan motif yang berbeda-beda.

Industri kecil kerajinan tenun songket Palembang terus mengalami pertumbuhan . Menurut data Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Palembang, saat ini tercatat sekitar 150 pemilik usaha kerajinan tenun songket di Palembang.

Masing-masing pemilik usaha mempunyai perajin upahan rata-rata 5-10 orang. Perajin upahan ini umumnya ibu-ibu rumah tangga di sekitar pemilik usaha songket.

Budayawan dan pemerhati Songket Sumatera Selatan, Ali Hanafiah, mengatakan, pertumbuhan kerajinan songket didukung oleh masih tingginya minat masyarakat Sumatera Selatan terhadap kain songket.

Hal ini didorong pula dengan berkembangnya kain-kain songket dengan harga relatif murah sehingga terjangkau oleh masyarakat banyak. Di masa lalu, kata Ali, kain songket biasanya dihiasi dengan serat emas asli dan digunakan sebagai lambang status sosial bangsawan Kesultanan Palembang.

"Harga kain songket pun menjadi sangat mahal sehingga hanya bisa dimiliki kalangan berada. Tapi sekarang berbeda. Sudah ada pergeseran budaya, sehingga songket bisa juga dimiliki masyarakat umum," ucapnya.

Perajin dan desainer songket asal Palembang, Zainal Abidin, mengatakan, pengakuan terhadap motif-motif tenun songket Palembang tersebut akan memperkuat posisi pengrajin dan pengusaha songket dari klaim dari negara lain.

Tanpa ada perlindungan seperti ini, motif tenun songket Palembang dapat dibuat dan diklaim di negara-negara lain. "Bisa-bisa kita sendiri kalah denan mereka karena modal mereka biasanya besar," tuturnya.

Saat ini, jumlah perajin di Zainal Songket sekitar 150 orang. Selain di Palembang, Zainal juga telah membuka gerai di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia. Promosi tenun songket Palembang juga telah dilakukan di sejumlah negara seperti Malaysia, Paris, Jepang, negara-negara tetangga, dan negara-negara Timur Tengah.

Mengenalkan Tenun Hingga ke Arab dan India

Apakah Anda sepakat bahwa kain Indonesia banyak yang indah dan menyimpan nilai-nilai bagus, namun belum banyak terekspos atau pun tergali? Jika ya, berarti Anda sepakat dengan niat yayasan Cita Tenun Indonesia memperkenalkan tenun Indonesia ke Arab dan India.

Cita Tenun Indonesia, merupakan wadah para pencinta tenun Indonesia untuk berbagi rasa kecintaan terhadap tenunan, baik dalam bentuk menjaga, mengembangkan, dan memasarkannya ke manca negara dan dalam negeri.

Pada bulan April lalu, Cita Tenun Indonesia berpartisipasi dalam kegiatan yang dilangsungkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Perusahaan Gas Negara (PGN) yang bertajuk "Indonesian Heritage: Remarkable Indonesia". Program malam kultur tersebut dilangsungkan di dua lokasi, yakni Dubai, Uni Emirat Arab dan Mumbai, India.

Keterlibatan Cita Tenun Indonesia pada acara tersebut, menurut Okke Hatta Rajasa, ketua Cita Tenun Indonesia, "Merupakan upaya kami untuk memperkenalkan, sekaligus memproteksi tenun Indonesia. Kan, supaya orang-orang tahu, bahwa barang tersebut adalah milik kita, harus diperkenalkan dulu."

Di acara tersebut, CTI mengajak dua perancang kenamaan Indonesia, Denny Wirawan dan Chossy Lattu untuk memamerkan hasil rancangan mereka yang menggunakan kain-kain tenunan Indonesia. Denny Wirawan diberikan mandat untuk mengulik tenun Sulawesi Tenggara daratan dan kepulauan Wakatomi dengan pewarnaan air garam. Sementara Chossy Latu, diberi tugas mengembangkan tenunan Sumatera Selatan.

Okke menjelaskan, bahwa hasil tenunan Indonesia mendapatkan respon yang luar biasa. "India juga memiliki kain yang dibuat dengan cara yang serupa dengan tenun Indonesia. Namun, di sana menggunakan benang yang di dalamnya terbuat dari bahan polyester kemudian ditutup dengan katun. Namun, sayangnya, karena itu, mudah menyusut dan rusak. Sementara, bahan benang yang kita gunakan semuanya terbuat dari katun, sehingga lebih kuat dan tak mudah rusak. Hal-hal semacam ini yang membuat tenunan kita lebih unggul."

"Sambutan dari India menyatakan, bahwa mereka tak menyangka ada tekstil lain yang menarik dari Indonesia selain batik. Di sana tidak ada penjualan, tapi kami mengejar awareness. Sambutannya pun sangat baik, dan banyak peliputan dari media-media di India untuk hal ini," terang Chossy.

Baju Bodo dan Songket dengan "Modern Twist"

Hampir setiap manusia memiliki khayalannya sendiri. Hidup di negeri dongeng dengan segala keindahan dan kenikmatan hidup adalah salah satunya. Ada yang berusaha mewujudkan negeri dongeng dalam khayalannya ke dalam kehidupan nyata, ada pula yang mendiamkan negeri dongeng itu tetap bersarang di benak. Hengky Kawilarang adalah satu yang berusaha mewujudkan negeri dongengnya menjadi nyata.

Di Jakarta Fashion and Food Festival 2011, Hengky mewujudkan negeri dongeng dalam fashion show-nya yang bertema "My Fairy Tale". "Saya terinspirasi ketika berkunjung ke berbagai pelosok Indonesia, dan menemukan batik, songket, dan pecinan Indonesia yang beragam. Lalu saya mulai merancang songket dan batik. Melalui koleksi saya kali ini, saya ingin menunjukkan bagaimana mengenakan batik dengan modern style," ungkap Hengky dalampress conference di Harris Hotel Jakarta.

Untuk peragaan busana tunggalnya yang pertama ini, Hengky mempersembahkan 60 koleksi yang terbagi dalam tiga bagian: Oriental, The Indonesian Culture, dan Le Couture. Koleksi The Oriental yang mengeksplorasi kain etnik dengan warna-warna lembut yang modern didedikasikannya untuk pelanggan orientalnya. Koleksinya terinspirasi dari baju cheong-sam dan busana Eropa yang begitu mewah, dikombinasikan dengan kain batik pesisir dan tenun garut.

The Indonesian Culture terinspirasi dari kebaya kurung dan baju bodo. Koleksi ini menampilkan berbagai kain songket Palembang, songket Bali, dan sutera Makassar dengan permainan warna yang cerah. Le Couture terinspirasi dari gaun pengantin dan kebaya yang telah dirancang untuk pelanggannya. Koleksinya mengeksplorasi keindahan batik white on whitedan songket emas Palembang, kain tenun Garut, dan jumputan Palembang, dalam konsep busana pengantin internasional.

"Garis rancangan saya mengedepankan keindahan, romantisme, dan kemewahan. Keindahan diwujudkan dalam gaya yang penuh dengan kualitas tinggi. Romantisme digambarkan melalui warna-warna indah yang menciptakan detail unik dan feminin. Sentuhan kemewahan terwujud dengan aplikasi kristal, payet, bebatuan, dan logam," katanya.

Warna-warna yang dipilih tidak lagi pucat seperti ciri khas Hengky selama ini. Pada peragaan kali ini Hengky banyak bermain dengan warna-warna pastel dan warna-warna cerah hingga penggunaan warna shocking pink yang sangat berani. Warna-warna pastel yang lembut dipadukan dengan aksen berkilau pada dada dan pinggang banyak ditemukan pada koleksinya. Ada pula blazer dari kain songket warna pink, serta blazer panjang dari kain songket yang melengkapi dress pendek.

Beberapa gaun rancangannya menampilkan gradasi warna hijau, kuning, dan biru. Ada pula motif kain batik yang dimasukkan pada bagian dada dan bagian bawah gaun, sedangkan gaunnya sendiri berwarna pastel polos.

Untuk gaun pengantin, Hengky mencoba mengombinasikan busana pengantin dari China dengan Jawa, serta Sumatera dengan gaun internasional. Ia mencoba mengakomodasi kain etnik kontemporer pada koleksinya. Bentuk gaunnya didominasi oleh bagian bawah gaun yang mekar mulai ujung lutut dengan aksen batik atau bunga. Sedangkan bagian atas gaunnya ada yang berbentuk kemben maupun one shoulder.

Rabu, 24 April 2013

Memperkaya Koleksi "Ready to Wear" dengan Lurik


Koleksi busana ready-to-wear karya perancang lokal sudah waktunya merajai pasar. Meski kondisinya kini, tak banyak desainer Indonesia yang memasarkan rancangannya di berbagai departement store. Fokus pada rancangan ready-to-wear, berkualitas, dengan harga terjangkau, inilah yang dilakukan desainer ternama Musa Widyatmodjo.

Menurut Musa, rancangan busana ready-to-wear dari desainer Indonesia perlu semakin banyak diciptakan dan dipasarkan. Busana siap pakai lebih terjangkau. Perempuan masa kini juga lebih senang yang praktis, langsung pakai, tak sabar menunggu busana pesanan dengan harga yang mahal.

"Busana ready-to-wear dari desainer lokal rata-rata mulai Rp 400.000. Sedangkan busana pesanan bisa mencapai Rp 15-20 juta. Ready-to-wear M by Musa sendiri harganya antara Rp 700.000 - Rp 3 juta," jelas Musa di sela peragaan busana the luric(she)ll di Jakarta Fashion & Food Festival 2011, Kelapa Gading, beberapa waktu lalu.

Kebutuhan busana siap pakai juga tinggi di daerah, kata Musa. Jeli melihat kebutuhan ini, Musa fokus merancang busana dan memasarkan second line miliknya M by Musa.

Di JFFF 2011, Musa mengenalkan koleksi ready-to-wear M by Musa, the luric(she)ll. Bukan pertama kalinya Musa mencipta koleksi busana siap pakai. Selama 20 tahun berkarya di dunia fashion, Musa memimpin tiga divisi bisnis fashion di bawah bendera PT Musa Atelier. Divisi seragam dengan klien kebanyakan dari perbankan, divisi private order atau custom made, Musa Widyatmodjo, dan divisi ready-to-wear M by Musa, busana siap pakai untuk pasar perempuan.

"Merek Musa Widyatmodjo lebih menyasar pesanan khusus, dengan rancangan bernuansa etnik, dan harga di atas Rp 3 juta. Berbeda dengan koleksi siap pakai yang berharga di bawah Rp 3 juta, dan sudah dipasarkan di Sogo atau Seibu," jelasnya.

Busana lurik yang feminin
Pengalaman puluhan tahun di industri fashion, meyakinkan Musa untuk fokus mengembangkan koleksi busana siap. Rancangan terbarunya, the luric(she)ll menambah pilihan koleksinya. Koleksi busana lurik dihadirkan Musa sebagai bentuk kontribusinya mengangkat nilai tradisi sekaligus memberdayakan perajin daerah.

"Lurik itu unik. Fashionista bisa tampil modis dan modern dengan lurik," kata Musa yang menggunakan lurik di seluruh bagian busana dan sebagai aksen pada koleksi siap pakainya.

Sebanyak 80 set koleksi the luric(she)ll ditampilkan Musa di JFFF 2011. Karakter feminin menonjol dalam rancangan Musa yang kebanyakan modelnya berupa busana terusan. Desain kontemporer modern kental hadir dalam koleksi the luric(she)ll. Siluet terinspirasi dari era 20-70 an menjadi pilihan Musa dalam mendesain busana siap pakai ini. Kombinasi lurik dan lace menampilkan busana siap pakai yang feminin namun kental nilai tradisi.

"Koleksi ini ada yang sudah keluar di pasar. Namun nantinya akan diproduksi bertahap. Nanti juga akan keluar versi busana muslim jelang lebaran. Koleksi siap pakai ini memang dirancang bisa mix-match untuk baju lebaran," jelas Musa.

Eksplorasi Kain Tenun NTT di Tangan Musa


Kecintaan Musa Widyatmodjo pada budaya Indonesia membuat desainer ini selalu fokus pada eksplorasi kain-kain khas Indonesia. Setelah mengeluarkan koleksi The (Ine) Kelimutu beberapa bulan lalu, dalam ajang Jakarta Fashion and Food Festival kali ini ia mengeluarkan koleksi terbarunya, The Flobamora Indone(she)aku.

"Koleksi ini banyak bercerita tentang berbagai keindahan dan kekayaan motif kain tenun dari Nusa Tenggara Timur," ungkap Musa menjelang show-nya di Hotel Harris, Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (23/5/2012) lalu. Dalam koleksinya kali ini Musa banyak menggunakan kain-kain dari "Flobamora", yang tak lain singkatan dari pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur, yaitu Flores, Sumba, Timor, dan Alor.

Tak mudah mengolah kain tenun. Kesulitannya sangat terasa ketika proses pemotongan bahannya, karena jika salah potong maka pola garis di kain tenun ini akan menjadi tidak simetris atau tidak sejajar. "Setiap kain tenun punya motif dan warnanya sendiri-sendiri. Namun, Musa bisa mengombinasikan aneka motif dan warna tenun yang berbeda-beda ini dalam satu paduan busana yang serasi," puji Lusia Leburaya, Ketua Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) NTT.

Musa memadukan kain tenun dengan ketrampilan khas dari kawasan lain di Indonesia, seperti bordir bunga anggrek timbul dari Tasikmalaya, motif selendang sulam suji dari Koto Gadang, dan juga batu kaca (glass bead) dari Jombang.

"Namun, kain tenun yang digunakan untuk baju ini adalah kain tenun ikat, dan bukan kain tenun sotis. Ini dilakukan untuk menekan biaya produksi dan harga jualnya," ungkap desainer yang terkenal dengan karakter simplicity with handycraft detailing in.

Ia menggunakan beberapa jenis kain tenun dari NTT ini untuk menghasilkan 99 busana siap pakai yang bergaya simpel dan bisa dikenakan oleh semua perempuan dari beragam usia, warna kulit, dan bentuk tubuh. Ia banyak mengolah sarung, selendang, dan scarf menjadi busana dengan style dress, blus, rok, celana, lengkap dengan detailnya yang cantik.

Show The Flobamora Indone(she)aku terbagi dalam tiga bagian. Di bagian pertama, Stripe A Pose tampil sebagai koleksi Musa yang banyak menampilkan motif garis dengan kain tenun yang warnanya cenderung gelap namun kuat. Dengan motif garis, kain tenun yang dihadirkan dalam mini dress, bolero, dan kardigan, ini terlihat sangat tegas. Perpaduan kain tenun NTT dengan kain modern yang bergaris juga membuat kesan ringan dan nyaman saat mengenakan busananya.

Di sesi kedua, Musa menghadirkan tema Aesthetics, yang lebih kontemporer. Sedangkan di sesi ketiga, Musa menghadirkan koleksi yang bernuansa over the village. Desain yang digunakan menghadirkan kesan yang modern, berkat tambahan bordir bunga seperti pada pinggang, dada, atau bahu.

Melalui busana ini Musa ingin menunjukkan bahwa kain tradisional seperti tenun juga bisa bernuansa lebih modern. Blus bergaya formal, gaun dengan V-line yang agak lebar, serta sentuhan gaun backless, juga menambah pesona koleksi busana Musa yang didominasi warna-warna tenun ikat yang khas dan dalam.

Senin, 15 April 2013

Beginilah Tangan Petenun...


Kuku-kuku jari tangan perempuan asal Desa Dokar, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, itu masih berwarna biru pekat oleh cairan pewarna benang tenun ikat. ”Beginilah tangan penenun,” ujar Kristina Laer (54). Dari tangan itu lahir kain tenun nan indah.

Kuku-kuku jari Kristina menghitam karena ia baru saja merendam benang dalam larutan daun tarum dicampur kapur. Di Pasar Geliting, Desa Sikka, Kabupaten Sikka, Kristina sebenarnya berjualan pisang dan labu. Namun, seperti perempuan NTT pada umumnya, ia sehari-harinya menenun sarung untuk kebutuhan sendiri.

”Pasar dadakan” pada Sabtu siang itu menunjukkan kekayaan sarung Flores, mulai dari pemakainya sampai ragam motifnya. Pembeli dan pedagang memakai sarung tenun ikat yang apik. Ada yang disampirkan di bahu, diikatkan di pinggang, hingga menjadi tudung untuk menyembunyikan wajah pemakainya. Bahkan, ada sarung tenun ikat bermotif logo perusahaan otomotif.

”Kami masih menenun motif tradisional yang diwariskan nenek moyang, baik dengan pewarnaan tradisional yang pengerjaannya memakan waktu lama, maupun pewarnaan kimia yang praktis. Namun, semakin banyak pula penenun di Desa Sikka yang menggarap pesanan motif tertentu. Mau pesan sarung tenun ikat bertuliskan nama pemesan pun bisa,” ujar Alexa (40), penenun dari desa itu.

Desakan ekonomi memang membuat para penenun tidak bisa melepaskan diri dari permintaan pasar meski masih ada yang mempertahankan unsur tradisional. Penenun asal Desa Nita, Sebina Keron (68), misalnya, menyebut sejumlah motif tradisional yang masih banyak digarap penenun di Kabupaten Sikka, seperti korsang manowalu (burung dalam mitologi setempat), korsang nagalalang (tapak kaki naga), dan sesaweor (ekor ikan sesa), atau lawa jara (motif kuda dan penunggangnya).

”Di Desa Nita, kami masih mewarnai benang tenun ikat dengan pewarna alam. Campuran mangga dan kunyit untuk warna hijau, tumbukan daun nila untuk warna biru, tumbukan mengkudu untuk warna merah. Prosesnya memakan waktu bulanan dan tingkat kepekatan warna diperoleh dengan mencelup ulang benang hingga beberapa kali,” ujar Sebina.

Penenun di Kabupaten Ende pun masih mempertahankan sejumlah motif tradisional mereka seperti lawo nggaja (motif gajah yang diartikan sebagai kendaraan para dewa), lawo jara (motif kuda), lawo zombo/ rombo (motif pepohonan lambang kehidupan), dan lawo nepa mite di Nggela yang bermotifkan ular.

Di Kampung Nggela, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende, desakan ekonomi pula yang membuat banyak penenun meninggalkan penggunaan pewarna alami. Sarung berbahan pewarna kimia yang penggarapannya bisa dikebut hingga tiga-empat minggu laku dijual di pasaran dengan harga Rp 100.000-Rp 500.000 per lembar.

”Sarung dengan pewarnaan alami memang bisa dijual lebih mahal, yaitu Rp 1 juta-Rp 5 juta. Namun, penggarapannya, mulai dari membeli kapas, memintal benang, mengikatkan motif, mewarnai, lalu menenun, hingga menjadi sebuah sarung, memakan waktu satu-dua tahun,” kata Elizabeth Angong (65), salah satu penenun Desa Nggela.

Keengganan kaum muda

Entah sampai kapan tradisi menenun di Nggela, juga di desa penenun lainnya, akan bertahan. Gadis Nggela seperti Maria Paulina Lana (24), misalnya, mengaku tidak lagi mau belajar menenun ikat.

”Kami anak muda tidak lagi tahan berjam-jam menjejak bilah kayu penegang tenunan atau menarik tiap benang yang ditenun. Pekerjaan itu sungguh melelahkan,” ujar Maria. Maria yang juga enggan mengenakan sarung tenun ikat dalam kesehariannya.

”Umumnya, yang bisa membuat sarung adalah perempuan yang putus sekolah. Kalau yang masih sekolah aktif atau kuliah, mereka tak mau lagi atau tidak ada niat untuk membuat sarung,” kata Theresia Mbasi (60).

Menurut warga Nggela yang lain, Sekolastika Mari (46), angkatan muda di desa itu umumnya tidak mampu lagi membuat sarung alami karena teknik pembuatannya sulit. Generasi tua-lah yang tetap tekun membuat sarung dengan pewarna alam.

Meski demikian, kabar segar datang dari Desa Sikka. Para gadis kembali belajar memintal, mengikat motif, dan menenun. Kaum ibu pun kembali rela bersusah payah menggarap pewarnaan alami. Apalagi, tren dewasa ini, pembeli dari luar negeri banyak yang memburu produk sarung dengan pewarna alami karena mereka lebih menyukai produk natural.

Geliat Kreasi Baru Tenun Bali


Kain tenun bukan hanya buah keterampilan turun-temurun bagi masyarakat Bali, melainkan juga bentuk identitas kultural dan artefak ritual. Di luar lingkup tradisi masyarakat daerah tujuan wisata itu, kain tenun Bali pun tidak sebatas cendera mata, tetapi terus berkembang sebagai komoditas berbasis budaya.

Desa Sidemen di Kabupaten Karangasem dikenal sebagai salah satu sentra produksi kain tenun di Bali. Menenun kain menjadi aktivitas sehari-hari di hampir semua rumah di desa khas Bali ini.

Kehijauan alami mendominasi pemandangan di Sidemen. Keindahan sawah berundak membuat pelancong tidak terganggu dengan kecuraman tebing yang membatasi jalan-jalan sempit menuju Sidemen, sekitar dua jam perjalanan dari Denpasar.

Di Sidemen, Swastika merupakan salah satu toko dan usaha tenun yang menonjol. Usaha ini dimiliki oleh I Gusti Ayu Oka (50). Tempat usaha ini berupa bangunan tiga lantai yang kokoh, dengan suguhan pemandangan alam memukau yang leluasa dinikmati dari balkon lantai atas.

”Semua orang di desa ini bisa menenun, belajar dari orang tua kami dulu,” ujar Oka. Namun, pada masa lalu sejumlah warga hanya menenun untuk keperluan keluarga sendiri berupacara. Sebagian lagi menenun untuk memenuhi permintaan warga Bali di bagian lain pulau indah ini, juga untuk keperluan upacara.

Dalam penggolongan paling sederhana, terdapat dua jenis kain tenun di Bali. Kain tenun ikat, biasa disebut endek, dipakai sehari-hari. Sementara kain tenun songket digunakan untuk beragam upacara penting dalam siklus kehidupan masyarakat Bali, antara lain upacara potong gigi, perkawinan, hari raya, dan kremasi.

Di Swastika, endek bisa dibeli dengan harga dari Rp 200.000 hingga Rp 1 juta per lembar. Sementara songket produksi Oka dijual dari Rp 1 juta hingga Rp 15 juta per lembar. Waktu pengerjaan setiap helai kain ini juga bervariasi, dari beberapa pekan hingga empat bulanan.

Oka mengatakan, meski sejak kanak-kanak akrab dengan tenunan, ia baru mulai menggeluti usaha ini sejak 1990. ”Sebelumnya saya jualan makanan jajan. Saya usung di atas kepala keliling desa setiap hari,” ujarnya.

Oka mulai dengan mengerjakan sendiri seluruh proses membuat kain tenun. Kini ia mengupah sekitar 50 perajin di desanya. Sebagian besar pembuatan kain tenun itu dikerjakan di masing-masing rumah perajin.

Di rumah para perajin ini, anggota keluarga yang lain juga dapat membantu. Putu Wijaya (11), siswa kelas V SD di Sidemen, misalnya, sudah menguasai teknik ikat. Teknik ini adalah bagian penting dari produksi kain tenun Bali.

Proses menghasilkan sehelai kain tenun ikat akan dimulai dengan memintal benang. Kemudian benang dibentangkan di alat perentang, dan helaiannya diikat dengan tali rafia sesuai pola ragam hias dan warna yang diinginkan.

Setelah pengikatan berpola tersebut, benang dicelup atau diwarnai. Benang yang sudah diwarnai kemudian di-gintir atau dipilah, lalu baru ditenun menjadi kain.

Pada tenun songket, kain ditenun dengan menyisipkan benang perak, emas, tembaga, atau benang warna di atas lungsin yang mendasari. Penempatan tambahan benang ini membentuk corak yang diinginkan dan adakalanya dipadu pula dengan teknik ikat.

Kreasi baru
Bagi kalangan yang ingin menggunakan kain tenun sebagai produk fashion, bukan demi kepentingan upacara, persoalan klasik menyangkut kain ini adalah ketebalan dan kekakuannya. Akibatnya, pada waktu lalu, kain songket tidak mudah digunakan dalam beragam model busana.

Merespons persoalan itu, Cita Tenun Indonesia (CTI) bekerja sama dengan Garuda Indonesia membentuk tim pembinaan perajin tenun di beberapa daerah, termasuk di Bali. Dalam tim ini, antara lain terdapat desainer tekstil, Ratna Panggabean, dan desainer fashion, Priyo Oktaviano.

”Dulu penenun memakai benang rangkap dua. Kain jadi tebal dan kaku. Sekarang kita perkenalkan tenunan dengan benang satu. Pengerjaannya makan waktu dua kali lipat lebih lama. Harga juga jauh lebih mahal, tetapi hasilnya, kain yang halus dan lembut,” ujar Ratna.

Kreasi baru juga diterapkan dalam pengaturan motif, ragam hias ikat dan songket, serta pewarnaan.

”Untuk upacara ritual, corak menjadi sakral kalau sudah diberkati, itu tidak diganggu. Namun, pada dasarnya orang Bali sangat terbuka dengan corak-corak baru yang diambil dari alam di sekitarnya, misal corak bunga dan daun,” ujar Priyo.

Warna dasar tenun bali umumnya warna cerah. Oleh karena itu, dikembangkan pula kreasi warna baru yang lebih natural, warna pastel, dengan bahan pewarnaan alam.

Oka dan para perajin lain yang dibina CTI di Sidemen, antara lain Ni Nyoman Suryasih dan I Wayan Suartana, merasakan bahwa kreasi baru tersebut memperluas pasar kain tenun produksi mereka. ”Selama saya buat tenun, penjualan pada 2010 lalu yang paling melonjak,” ujar Suryasih.

Ridwan Edi, pengelola program tanggung jawab sosial perusahaan Garuda Indonesia yang bekerja sama dengan CTI, menjelaskan, pelatihan dilakukan antara lain dengan memberi ”PR” bagi para perajin untuk membuat kain dengan metode baru pewarnaan, motif, atau teknik penenunan. Bila dikerjakan dengan baik, hasilnya dibeli oleh tim dengan harga tinggi. Sebaliknya, tidak akan dibeli jika tak sesuai pesanan dengan kreasi baru itu.

Setelah teknik dan corak kreasi baru dikuasai, mitra binaan mendapat pinjaman modal untuk mengembangkan usaha. Mitra ini digandeng pula untuk berpameran, bahkan hingga ke luar negeri.

Berpameran tidak hanya dapat mempromosikan karya para perajin, tetapi juga menyadarkan bahwa kreasi adalah proses yang tidak boleh berhenti.

Harmonisasi Selembar Songket


Setelah menunggu sekitar dua tahun, awal tahun ini Nanda Wirawan bisa bernapas lega. Dua karya pengembangan kain songket Minangkabau yang digarapnya memperoleh penghargaan kerajinan unggulan dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

Pertama adalah songket dengan gabungan motif bernama Saluak Laka dan Saik Ajik Babungo yang dibuat seniman Iswandi dan almarhum Alda Wimar. Motif ini pengembangan dari motif ukir di rumah gadang. Karya lainnya adalah songket kuno Kotogadang bermotif Sajamba Makan yang merupakan hasil revitalisasi dari songket kuno Nagari Kotogadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Songket itu dibuat di Studio Songket ErikaRianti di Jorong Panca, Nagari Batu Taba, Kecamatan Ampek Angkek, Agam. Nanda adalah direktur studio songket itu. Penghargaan dua tahunan untuk program Asia Tenggara di Malaysia itu berarti besar bagi Nanda. Kedua karya itu diberi penghargaan atas sejumlah indikator yang melekat, yaitu istimewa, otentik, inovatif, dan dapat dipasarkan.

Lebih penting

Namun, sebetulnya ada yang lebih penting selain penghargaan itu, yaitu filosofi orang Minangkabau dalam selembar kain. Soal toleransi pada masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Juga soal harmonisasi tentang beberapa unsur dalam kehidupan.

Hal itu terdapat dalam hasil karya pengembangan motif ukiran rumah gadang bernama Saluak Laka dan Saik Ajik Babungo. ”Motif Saluak Laka memiliki filosofi toleransi adat dan agama, perpaduan sistem matrilineal dan patrilineal. Saik Ajik Babungo berarti potongan yang sama besar atau keadilan,” ujar Nanda.

Iswandi, yang membuat motif Saluak Laka untuk kain songket, menuturkan, secara visual motif itu terlihat sebagai perpaduan garis lurus dan lengkung. ”Garis lurus yang cenderung kaku menggambarkan sifat agama, sedangkan lengkung menggambarkan sifat adat. Ini adalah motif yang menggambarkan perpaduan agama dan adat. Inilah yang dimaksud dengan adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (adat bersendi hukum agama, hukum agama bersendi Al Quran),” kata Iswandi yang juga suami Nanda.

Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah adalah konsensus antara pemimpin agama dan pemuka adat untuk memadukan ajaran Islam dan adat Minangkabau. Ada sejumlah versi tentang waktu terjadinya perjanjian itu. Akan tetapi, pegangan dalam menjalankan kehidupan bagi orang Minang itu kini masih didengungkan.

Nanda menambahkan, motif itu juga menggambarkan aturan agama yang sangat jelas dan aturan adat yang dinamis tidak pernah bertentangan. Sekalipun secara adat seorang anak di Minangkabau mewarisi garis ibu (matrilineal), tetapi ia tetap disaluak’kan (diikat) dengan keluarga ayah.

Hal itu mewujud dalam perkawinan ”anak pisang” atau anak dari anak laki-laki yang mesti mengutamakan persetujuan keluarga ayah (bako). Nanda menambahkan, jika ada anggota keluarga bako yang tutup usia, ”anak pisang” yang pertama kali mesti memberikan kain kafan.

Dalam buku Revitalisasi Songket Lama Minangkabau, Bernhard Bart dan kawan-kawan (2006), motif Saluak Laka berarti jalinan kuat lidi atau rotan yang menyatu erat sehingga mampu menyangga periuk. Laka adalah alas periuk. Saluak berati kait atau jalinan. Motif ini berarti jalinan kekerabatan yang kuat guna menjalankan tanggung jawab besar. Pada saat bersamaan tidak ada individu yang menonjolkan diri atau merasa paling berjasa. Ini ditunjukkan dengan tidak terlihatnya ujung ataupun pangkal dalam anyaman atau jalinan laka. Seluruhnya tersembunyi di bawah.

Adapun Saik Ajik Babungo, kata Iswandi, berarti potongan wajik yang sama besar. ”Wajik dalam tata cara penghidangan penganan adalah yang utama dan terletak di tengah-tengah sebagai ’bunga hidangan’ di antara lainnya,” paparnya.

Motif Sajamba Makan menggambarkan kebersamaan dalam masyarakat Minangkabau. ”Motif ini menunjukkan segala sesuatu menyangkut kehidupan kaum mesti diputuskan secara musyawarah untuk mufakat,” kata Nanda.

Mereka yang terlibat dalam forum musyawarah itu adalah orang-orang dengan kemampuan manguik sahabih sauang, baretong sampai sudah. ”Artinya, segala sesuatu ditelaah mendalam dengan prinsip keselarasan dan keseimbangan sehingga hasilnya membawa kebaikan kini dan di kemudian hari,” ujarnya.

Proses panjang

Nyaris seperti toleransi dan harmonisasi yang prosesnya di masyarakat relatif panjang, demikian pula dengan pembuatan kedua songket itu. Terutama untuk transformasi motif ukiran rumah gadang yang secara teknis tak pernah dilakukan sebelumnya di atas kain songket.

Pembuatan motif mulai dilakukan pada 2010 oleh Alda Wimar, yang dilanjutkan pada 2011 oleh Iswandi. Proses penenunan dilakukan April hingga Mei 2012. Revitalisasi songket kuno Kotogadang dimulai dengan pembuatan motif sejak 2006. Penenunan dikerjakan sejak September hingga Oktober 2011. Butuh lima kali penenunan yang gagal sebelum berhasil pada percobaan keenam untuk pembuatan kembali songket kuno Kotogadang itu. Pasalnya, ujar Nanda, revitalisasi sulit, sesuai tuntutan yang mesti sama persis dengan kaidah aslinya.

”Tingkat kesulitan tinggi karena ditenun dengan ukuran setengah lubang sisir tenun. Ini adalah kain paling halus yang pernah ditenun di Studio Songket ErikaRianti,” tutur Nanda.

Proses pada songket lain yang mentransformasikan motif ukiran rumah gadang dalam songket memiliki tantangan lain. Tak mudah memindahkan motif relung dan lingkaran dari ukiran kayu ke atas kain songket, yang disebut Nanda hampir mustahil.

”Ini membutuhkan garis motif yang banyak. Kain songket biasanya bermotif geometris, hampir tidak mungkin bermotif lingkaran,” kata Nanda. Apalagi, songket yang dibuatnya bukan berupa penyederhanaan bentuk, melainkan menenun sesuai dengan motifnya.

Warna menggunakan bahan alami, antara lain secang untuk warna merah dan ungu serta kulit kayu untuk warna coklat kemerahan. Songket itu sempat dipamerkan di Uni Emirat Arab.

Jumat, 20 Juli 2012

MEMBUAT MOTIF KAIN DENGAN TEKNIK JUMPUTAN

Jumputan adalah salah satu cara pemberian motif di atas kain yang dilakukan dengan cara mengisi kain, melipat kain dan mengikat kain dengan cara tertentu , kemudian mencelup pada larutan zat warna sehingga akan terjadi reaksi antara serat tekstil dan zat warnanya.

Jumputan merupakan salah satu cara pembuatan motif pada kain dengan cara mengikat kain kemudian dilakukan pencelupan atau dyeing. Kain dengan motif jumputan ini banyak ditemukan di daerah Surakarta dan D.I. Yogyakarta. Proses pembuatan kain ini tidaklah sesulit yang dibayangkan hanya dengan mengikat kain dan melakukan pencelupan pada zat warna maka akan tercipta kain bermotif jumputan yang bisa dibuat selendang, angkin, dan pada masa sekarang banyak dibuat pakaian seperti daster, kaos oblong, kebaya dan baju pesta yang mewah. Anda penasaran dengan pembelajaran ini? Ikuti terus materi ini selanjutnya karena semua hal tentang jumputan akan ditemukan di sini.

Jumputan dalam bahasa Jepang disebut (shibori,1,2,3) ditemukan sekitar 3000 tahun sebelum Masehi. Jumputan dapat dilakukan dengan cara mengisi kain, mengikat dan melipat kain dengan cara tertentu, kemudian mencelup dalam larutan zat warna yang akan membentuk ikatan reaksi antara serat tekstil dan zat warnanya, sehingga terciptalah suatu motif pada kain tersebut. Perbedaan cara mengisi, melipat, dan mengikat kain akan menghasilkan warna dan motif yang berbeda. Dengan cara ini dapat tercipta ribuan motif.

Rabu, 20 Juni 2012

KEINDAHAN TENUN IKAT DARI "COPA DE FLORES"

Copa de Flores yang berarti Tanjung Bunga merupakan sebutan yang diberikan oleh bangsa Portugis untuk Flores lima abad lalu. Saat kali pertama mereka tiba disana dan terpesona oleh kecantikan pulau tersebut.
Flores dihuni berbagai kelompok etnis dimana masing-masing menempati wilayah tertentu lengkap dengan aturan-aturan adat, kemasyarakatan dan budaya yang berbeda dan mengikat utuh masyarakatnya. Salah satunya adalah Sikka dari etnis mukang.
Sikka di Flores selain sebagai nama etnis juga nama kabupaten dengan Maumere sebagai ibukota. Salah satu yang terkenal dari kekayaan budaya pembuatan tenun ikat yang dipakai dalam setiap upacara adat maupun kehidupan sehari-hari.
Salah satu komunitas yang aktif terus melestarikan dan mengembangkan tenun ikat sekaligus budaya dan kesenian adat Sikka adalah Sanggar Bliran sina bertempat di desa Watublapi 20 kilometer dari Maumere.
Berdiri 1998 di oleh alm. Romanus Rewo, ayahnda dari Daniel David yang kini meneruskan perjuangan sang ayah. Komunitas ini terus menggali dan memberikan kesadaran melestarikan adapt dan budaya Sikka. Untuk pengembangan tenun ikat selalu konsisten dan terus menerus menggali penggunaan motif-motif tradisional, selain kreasi baru dan penggunaan bahan pewarna alami untuk seluruh proses pewarnaan. Untuk lebih memberdayakan anggotanya yang 56 orang itu, salah satu upaya komunitas ini adalah membentuk koperasi (2006) dan memperkenalkan ke berbagai forum nasional maupun internasional. Baik upaya mandiri maupun undangan dari berbagai pihak. Selain itu mereka mendapat bantuan manajemen dari Swisscontact Wisata.
Para perempuan penenun di Watublapi perlahan-lahan beralih dan memilih mengerjakan tenun ikat dengan warna organik yang bahan-bahannya berasal dari tumbuhan local sama seperti yang dilakukan oleh leluhur mereka.
Komitmen tersebut dijalankan bersama dimotivasi oleh beberapa hal, yakni pelestarian warisan budaya bangsa (tenun ikat tradisional dapat dijumpai dari Sabang sampai Merauke), berwawasan lingkungan (mengurangi limbah dari bahan pewarna kimia dan melakukan penanaman kembali tanaman pewarna organic), kesehatan ibu dan anak (pewarna organic aman untuk kesehatan), kesetaraan gender (membantu kaum ibu memiliki penghasilan sendiri) dan mengangkat ekonomi kerakyatan (menambah pendapatan perkapita keluarga).
"Mata pencaharian masyarakat setempat adalah bertani, selama pengamatan selama 3 tahun terjadi peningkatan income setelah mereka juga membuat tenun ikat dalam kelompok kami." Jelas Danial David.
Dalam pameran ini kali mengusung rombongan 18 anggota dari Sikka dan 300 lebar tenun ikat dan sekaligus perangkatnya, seperti alat pintal kapas menjadi benang dan alat tenun.

Sabtu, 11 Februari 2012

Tenun Ikat Lamaholot yang Bernilai Adat


Tenun ikat punya nilai tinggi bagi perempuan di desa Lamaau, kecamatan Ile Ape Timur, Lembata, Nusa Tenggara Timur. Kegiatan menenun rutin dilakukan turun-temurun. Biasanya perempuan Lembata menenun saat musim kemarau. Pasalnya, proses pembuatan kain tenun memerlukan pengeringan alami dari sinar matahari agar hasil akhirnya lebih maksimal.

Kain tenun ikat di desa Lamaau punya nilai adat dan tradisi. Kain adat Lamaholot, begitu masyarakat lokal menyebutnya. Kain adat Lamaholot memiliki warna khas merah marun. Motif gambar pada kain tenun ikat ini menyerupai bentuk belah ketupat.

"Untuk membuat satu buah kain tenun ikat dari awal, dari membuat benang hingga kain utuh, butuh waktu maksimal 15 tahun. Kain adat dibuat dari akar mengkudu, sehingga warna aslinya pun berasal dari akar mengkudu. Akar direndam dua hari, lalu dijemur. Karenanya saat musim hujan proses pembuatan benang tenun tidak bisa dilakukan sebab warna tidak menempel, tidak bertahan lama," jelas Halima Perada (48), perajin tenun.

Pembuatan kain tenun adat Lamaholot dari akar mengkudu membutuhkan waktu belasan tahun. Kegiatan menenun benang dari akar mengkudu sudah termasuk di dalamnya, dan biasanya membutuhkan waktu satu bulan.

Lain lagi untuk proses pembuatan tenun dari benang toko. Perajin biasanya membeli benang dari toko untuk membuat selendang. Proses menenun benang toko untuk membuat satu selendang hanya butuh waktu satu minggu saja. "Biasanya selendang tenun kami jual di pasar Lewoleba," lanjut Halima.

Perbedaan cara pembuatan kain tenun ikat di Lamaau, Lembata, inilah yang membedakan nilai sebuah kain tenun. Ibu yang membuat kain tenun adat Lamaholot biasanya akan menyimpan kain buatannya untuk anak perempuan. Pasalnya, tradisi adat pernikahan di Lamaau mengharuskan calon mempelai perempuan untuk memberikan kain kepada calon mempelai laki-laki. Kain adat juga tak dijual bebas. Biasanya, kata Halima, kain tenun dijual di desa (untuk kalangan tersendiri) karena memiliki nilai bagi masyarakat setempat. Ketika kain dijual di luar desa, nilai adatnya sudah tak ada, tambah Halima.

"Saat akan menikah, laki-laki memberikan satu gading gajah sebagai mas kawin. Sedangkan pihak perempuan memberikan laki-laki kain adat Lamalohot," jelas Halima.
Nilai budaya tradisi inilah yang juga membuat kain adat Lamaholot bernilai dan dibanderol dengan harga tinggi. Kain tenun ikat, adat Lamaholot, bernilai Rp 15 juta. Sedangkan untuk tenun ikat model selendang, perajin di Lamaau biasanya menjualnya seharga sekitar Rp 50.000 - Rp 100.000.

Jumat, 18 November 2011

Jenis Tapis Lampung Menurut Asal dan Pemakaiannya

Jenis Tapis Lampung Menurut Asalnya

Beberapa kain tapis yang umum digunakan masyarakat Lampung Pepadun dan Lampung Saibatin adalah :

Tapis Lampung dari Pesisir :

Tapis Inuh Tapis Cucuk Andak Tapis Semaka Tapis Kuning Tapis Cukkil Tapis Jinggu

Tapis lampung dari Pubian Telu Suku :

Tapis Jung Sarat Tapis Balak Tapis Laut Linau Tapis Raja Medal Tapis Pucuk Rebung Tapis Cucuk Handak Tapis Tuho Tapis Sasap Tapis Lawok Silung Tapis Lawok Handak

Tapis Lampung dari Sungkai Way Kanan :

Tapis Jung Sarat Tapis Balak Tapis Pucuk Rebung Tapis Halom/Gabo Tapis Kaca Tapis Kuning Tapis Lawok Halom Tapis Tuha Tapis Raja Medal Tapis Lawok Silung

Tapis Lampung dari Tulang Bawang Mego Pak:

Tapis Dewosano Tapis Limar Sekebar Tapis Ratu Tulang Bawang Tapis Bintang Perak Tapis Limar Tunggal Tapis Sasab Tapis Kilap Turki Tapis Jung Sarat Tapis Kaco Mato di Lem Tapis Kibang Tapis Cukkil Tapis Cucuk Sutero

Tapis Lampung dari Abung Siwo Mego :

Tapis Rajo Tunggal Tapis Lawet Andak Tapis Lawet Silung Tapis Lawet Linau Tapis Jung Sarat Tapis Raja Medal Tapis Nyelem di Laut Timbul di Gunung Tapis Cucuk Andak Tapis Balak Tapis Pucuk Rebung Tapis Cucuk Semako Tapis Tuho Tapis Cucuk Agheng Tapis Gajah Mekhem Tapis Sasap Tapis Kuning Tapis Kaco Tapis Serdadu Baris


Jenis Tapis Lampung Menurut Pemakainnya :

Tapis Jung Sarat

Dipakai oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat. Dapat juga dipakai oleh kelompok isteri kerabat yang lebih tua yang menghadiri upacara mengambil gelar, pengantin serta muli cangget (gadis penari) pada upacara adat.

Tapis Raja Tunggal

Dipakai oleh isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara perkawinan adat, pengambilan gelar pangeran dan sutan.

Di daerah Abung Lampung Utara dipakai oleh gadis-gadis dalam menghadiri upacara adat.

Tapis Raja Medal

Dipakai oleh kelompok isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara adat seperti : mengawinkan anak, pengambilan gelar pangeran dan sutan.

Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini digunakan oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat.

Tapis Laut Andak

Dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada acara adat cangget. Dipakai juga oleh Anak Benulung (isteri adik) sebagai pengiring pada upacara pengambilan gelar sutan serta dipakai juga oleh menantu perempuan pada acara pengambilan gelar sutan.

Tapis Balak

Dipakai oleh kelompok adik perempuan dan kelompok isteri anak seorang yang sedang mengambil gelar pangeran pada upacara pengambilan gelar atau pada upacara mengawinkan anak. Tapis ini dapat juga dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada upacara adat.

Tapis Silung

Dipakai oleh kelompok orang tua yang tergolong kerabat dekat pada upacara adat seperti mengawinkan anak, pengambilan gelar, khitanan dan lain-lain. Dapat juga dipakai pada saat pengarakan pengantin.

Tapis Laut Linau

Dipakai oleh kerabat isteri yang tergolong kerabat jauh dalam menghadiri upacara adat. Dipakai juga oleh para gadis pengiring pengantin pada upacara turun mandi pengantin dan mengambil gelar pangeran serta dikenakan pula oleh gadis penari (muli cangget).

Tapis Pucuk Rebung

Tapis ini dipakai oleh kelompok ibu-ibu/para isteri untuk menghadiri upacara adat.

Di daerah Menggala tapis ini disebut juga tapis balak, dipakai oleh wanita pada saat menghadiri upacara adat.

Tapis Cucuk Andak

Dipakai oleh kelompok isteri keluarga penyimbang (kepala adat/suku) yang sudah bergelar sutan dalam menghadiri upacara perkawinan, pengambilan gelar adat.

Di daerah Lampung Utara tapis ini dipakai oleh pengantin wanita dalam upacara perkawinan adat.

Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini dipakai oleh ibu-ibu pengiring pengantin pada upacara adat perkawinan.

Tapis Limar Sekebar

Tapis ini dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat serta dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin dalam upacara adat.

Tapis Cucuk Pinggir

Dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat dan dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin pada upacara perkawinan adat.

Tapis Tuho

Tapis ini dipakai oleh seorang isteri yang suaminya sedang mengambil gelar sutan. Dipakai juga oleh kelompok orang tua (mepahao) yang sedang mengambil gelar sutan serta dipakai pula oleh isteri sutan dalam menghadiri upacara pengambilan gelar kerabatnya yang dekat.

Tapis Agheng/Areng

Dipakai oleh kelompok isteri yang sudah mendapat gelar sutan (suaminya) pada upacara pengarakan naik pepadun/pengambilan gelar dan dipakai pula oleh pengantin sebagai pakaian sehari-hari.

Tapis Inuh

Kain tapis ini umumnya dipakai pada saat menghadiri upacara-upacara adat. Tapis ini berasal dari daerah Krui, Lampung Barat.

Tapis Dewosano

Di daerah Menggala dan Kota Bumi, kain tapis ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat menghadiri upacara adat.

Tapis Kaca

Tapis ini dipakai oleh wanita-wanita dalam menghadiri upacara adat. Bisa juga dipakai oleh wanita pengiring pengantin pada upacara adat. Tapis ini di daerah Pardasuka Lampung Selatan dipakai oleh laki-laki pada saat upacara adat.

Tapis Bintang

Tapis Bintang ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat upacara adat.

Tapis Bidak Cukkil

Model kain Tapis ini dipakai oleh laki-laki pada saat menghadiri upacara-upacara adat.

Tapis Bintang Perak

Tapis ini dapat dipakai pada upacara-upacara adat dan berasal dari daerah Menggala, Lampung Utara.

Sabtu, 23 Juli 2011

Motif Songket Palembang

Teknik dan jenis serta kualitas kain yang ditenun mempunyai istilah tersendiri, yaitu dikenal sebagai songket limar dan lepus.

Yang dimaksud dengan lepus adalah kain songket yang kainnya sepenuhnya adalah cukitan (sulaman) benang emas. Benang emasnya dengan kualitas tinggi didatangkan dari China. Kadangkala benang emas ini diambil dari kain songket yang sudah sangat tua (ratusan tahun) karena kainnya menjadi rapuh, benang emas disulam kembali kekain yang baru. Kualitas jenis songket lepus merupakan kualitas yang tertinggi dan termahal harganya.

Limar adalah kain sonket yang menurut sejarawan dan budayawan inggris R.O Windstedt yang menekuni kehidupan di nusantara pada zaman kolonial, yaitu: its colours are rich blend of reds ,yellows ,and greens .the shape of the pattern. If closely inspected, bearing a distinct resemblance to the “lime “ (limau) from which it has acquired its name.


Pendapat lain percaya bahwa nama limar timbul karena banyak nya bulatan 2 kecil dan percikan yang membentuk sebuah motif yang menyerupai tetesan air jeruk yang diperas. Menurut Mubin Sheppard: that kain limar is often in correctly spelt limau, with which it has no connexion. Sedangkan di Palembang limar itu lebih diartikan sebagai suatu teknik, is known as a process of dyeing threads.

Tumpal atau kepala kain, merupakan bagian pada kain yang berada di tengah bentangan kain, bagian kain yang lain disebut badan kain. Sedangkan pada selendang, tumpal berada dibentang kan kanan dan kiri badan kain .Tumpal biasa nya berukuran ¼ bagian dari bentangan kain songket. Motif sulaman pada tumpal adalah pucuk rebung.

Rumpak ( bumpak ) adalah kain songket untuk pria, motif pada kain tersebut tidak penuh seperti pada songket untuk wanita ,kepala kain atau tumpal pada rumpak disaat pemakaiannya berada di belakang badan ( pinggul ke bawah sampai dibawah dengkul: kalau sipemakai telah kawin). Kebalikannya dengan wanita, dimana tumpal berada didepan yaitu dari pinggul sampai mata kaki .rumpak jika di pakai oleh pemuda (belum kawin), maka kain tersebut menggantung sampai di atas lututnya.

Tanjak adalah kain songket persegi empat yang dibuat khusus untuk menutup kepala laki-laki sepasang dengan kain rumpak. Biasanya kain ini dibuat sepasang dengan kain rumpak, yaitu warna dan motifnya adalah sama satu sama lain. Pada awalnya tanjak dibuat dari kain batik, bukan dari songket.

Motif kain songket amat beragam, apalagi pada saat ini dimana kreasi-kreasi baru para pengrajin sangat imaginatif. Akan tetapi motif utama songket adalah:
• Bunga intan
• Tretes minder
• Janda beraes
• Bunga cina
• Bunga paciek

Sumber lain mengatakan bahwa Motif hias songket biasanya berbentuk geometris atau hasil stilisasi dari flora dan fauna, yang masing-masing mempunyai arti perlambangan yang baik. Misalnya bunga cengkeh, bunga tanjung, bunga melati dan bunga mawar yang wangi yang melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki dan segala kebaikan

Motif benang emas yang rapat dan mendominasi permukaan kain disebut songket LEPUS, sedangkan yang motif emasnya tersebar disebut songket TABUR. Pada tepi kain biasa dibuat motif tumpal, segitiga atau segi tiga terputus, yang disebut motif pucuk rebung. Tunas rebung yang tumbuh menjadi batang bambu yang kuat dan lentur, tidak tumbang diterpa angin ini melambangkan harapan yang baik.

Kain tiga negeri. Kain ini dari tiga bagian warna yaitu biru, hijau dan merah. Di bagian tepi motif tumpal berwarna merah, di tengahnya kain limar bermotif bunga tabung. Di bagian paling tengah berwarna hijau bermotif bunga bintang berantai.

Kekayaan alam Palembang sangat mempengaruhi terciptanya ragam hias dengan pola-pola yang mengagumkan. Sekali pun ragam hiasnya tercipta dari alat yang sederhana, namun tenunannya merupakan karya seni yang amat tinggi nilainya. Jadi, songket bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa penenunnya. Motif-motif ragam songket Palembang pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yaitu: motif tumbuh-tumbuhan (terutama bentuk stilisasi bunga-bungaan), motif geometris dan motif campuran antara tumbuh-tumbuhan dan geometris.

Motif-motif tersebut dari dahulu hingga sekarang diwariskan secara turun-temurun, sehingga polanya tidak berubah, karena cara memola motif itu sendiri hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, dan tidak setiap penenun dapat membuat motif sendiri. Orang yang menenun tinggal melaksanakan pola yang telah ditentukan. Jadi, kerajinan menenun merupakan suatu pekerjaan yang sifatnya kolektif. Sebagai catatan, para penenun di Palembang seluruhnya dilakukan oleh kaum perempuan baik tua maupun muda. Keahlian menenun tersebut pada umumnya diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi lainnya.

Beberapa nama ragam hias atau motif tenun songket Palembang antara lain adalah: lepus piham, lepus polos, lepus puler lurus, lepus puler ombak-ombak, lepus bintang, lepus naga besaung, lepus bungo jatuh, lepus berantai, lepus lemas kandang, tetes meder, bungo cino, bungo melati, bungo inten, bungo pacik, bungo suku hijau, bungo bertabur, bungo mawar, biji pare, jando berhias, limas berantai, dasar limai, pucuk rebung, tigo negeri dan emas jantung. Untuk lebih jelasnya, lihat contoh-contoh di bawah ini.

Selain sebagai sesuatu yang berfungsi memperindah tenunan (songket), ragam hias juga mempunyai makna. Salah satu contohnya adalah bentuk ragam hias yang tekenal yaitu “naga besaung” (naga bertarung). Dalam hal ini naga dianggap sebagai binatang yang melambangkan kemakmuran dan kejayaan. Orang yang memakai tenun songket motif nago besaung tentulah mengharapkan akan mendapatkan kemakmuran dan kejayaan dalam hidupnya. Motif ini diambil dari salah satu unsur kebudayaan Cina yang menganggap naga sebagai suatu hewan mitologi yang dapat mendatangkan kemakmuran dan kajayaan.

Sebagai catatan, pada zaman dahulu kerajaan Sriwijaya banyak didatangi orang-orang asing dari Cina, India dan lain sebagainya untuk berdagang. Contoh yang lain adalah motif pucuk rebung dan bunga-bungaan (cengkeh, tanjung, melati, dan mawar). Rebung dianggap sebagai tumbuhan yang sejak kecil dapat digunakan untuk bahan sayuran. Ketika telah tumbuh besar dan menjadi bambu pun masih tetap berguna, yaitu sebagai bahan bangunan dan lain sebagainya. Orang yang memakai motif ini tentulah diharapkan akan berguna pula bagi masyarakatnya (seperti bambu yang sangat berguna bagi manusia). Sedangkan, bunga-bungaan melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki dan kebaikan.

Kamis, 21 Juli 2011

Tenun Songket Palembang (Sumatera Selatan)

1. Asal Usul
Palembang adalah ibukota provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Di daerah ini ada sebuah kerajinan tenun yang biasa disebut “Tenun/siwet Songket Palembang”. Songket adalah kain tenun yang dibuat dengan teknik menambah benang pakan sebagai hiasan dengan menyisipkan benang perak, emas atau benang warna di atas benang lungsin. Kata “songket” itu sendiri berasal dari kata “tusuk” dan“cukit” yang diakronimkan menjadi “sukit”, kemudian berubah menjadi “sungki”, dan akhirnya menjadi “songket”.

Konon, tenunan dari daerah Palembang sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Teknologi pembuatannya sebenarnya bukan murni berasal dari daerah tersebut, melainkan dari China, India dan Arab. Adanya perdagangan antara bangsa-bangsa tersebut dengan Kerajaan Sriwijaya menyebabkan terjadinya akulturasi, yaitu saling menyerap unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan lainnya. Dan, salah satu unsur kebudayaan dari bangsa-bangsa asing yang telah diserap oleh masyarakat Palembang adalah teknologi pembuatan kain tenun yang hingga kini masih dilakukan oleh sebagian masyarakatnya.

Kain tenun songket Palembang banyak dipakai oleh kaum perempuan dalam upacara adat perkawinan, baik oleh mempelai perempuan, penari perempuan maupun tamu undangan perempuan yang menghadirinya. Selain itu, songket juga dipakai dalam acara-acara resmi penyambutan tamu (pejabat) dari luar maupun dari Palembang sendiri. Pemakaian songket yang hanya terbatas pada peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan tertentu tersebut disebabkan karena songket merupakan jenis pakaian yang tinggi nilainya, sangat dihargai oleh masyarakat Palembang.

Pada zaman dahulu (Kerajaan Sriwijaya) kain tenun songket Palembang tidak hanya diperdagangkan di daerah sekitarnya (di Pulau Sumatera saja), melainkan juga ke luar negeri, seperti: Tiongkok, Siam, India dan Arab. Namun, pada saat penjajahan Belanda dan Jepang, tenun songket tersebut mengalami kemunduran. Bahkan, saat terjadinya Revolusi fisik (1945--1950) kerajinan tenun songket di Palembang sempat terhenti karena tidak adanya bahan baku. Namun, di permulaan tahun 1960-an tenun songket Palembang mengalami kemajuan yang pesat karena pemerintah menyediakan dan mendatangkan bahan baku serta membantu pemasarannya.

Pengerjaan kain tenun di Palembang umumnya dikerjakan secara “sambilan” oleh gadis-gadis remaja yang menjelang berumah tangga dan ibu-ibu yang sudah lanjut usia sambil menunggu waktu menunaikan ibadah sholat. Pada umumnya pembuatan songket dikerjakan oleh kaum perempuan.

Dewasa ini pengrajin tenun songket Palembang tidak hanya memproduksi satu jenis songket tertentu, seperti sarung dan atau kain. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, sudah merambah ke produk jenis lain, seperti: gambar dinding, taplak meja, permadani bergambar, baju wanita, sprey,baju kursi, bantal permadani, selendang, serber, kain lap dapur, sapu tangan, bahan kemeja, dantussor (bahan tenun diagonal).

2. Peralatan dan Bahan
Peralatan tenun songket Palembang pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua, yakni peralatan pokok dan tambahan. Keduanya terbuat dari kayu dan bambu. Peralatan pokok adalah seperangkat alat tenun itu sendiri yang oleh mereka disebut sebagai “dayan”. Seperangkat alat yang berukuran 2 x 1,5 meter ini terdiri atas gulungan/boom (suatu alat yang digunakan untuk menggulung benang dasar tenunan), penyincing (suatu alat yang digunakan untuk merentang dan memperoleh benang tenunan),beliro (suatu alat yang digunakan untuk membuat motif songket), cahcah (suatu alat yang digunakan untuk memasukkan benang lain ke benang dasar), dan gun (suatu alat untuk mengangkat benang). Sedangkan, peralatan tambahan untuk mengatur posisi benang ketika sedang ditenun adalah peleting, gala, belero ragam, dan teropong palet. Peralatan tambahan tersebut diletakkan di sebelah kanan si penenun, agar mudah dicapai dengan tangan.

Bahan dasar kain tenun songket adalah benang tenun yang disebut lusi atau lungsin. Benang lungsinterbuat dari kapas, kulit kayu, serat pisang, serat nenas, dan daun palem. Sedangkan, hiasannya terdiri dari benang sutera dan benang emas2. Benang sutera berasal dari Taiwan dan China, sedangkan benang emas berasal dari India, Jepang, Thailand, Jerman dan Perancis.  Selain benang, ada pula barang yang harus diimpor dari Jerman dan Inggris yaitu bahan pewarna benang.

Cara membuat benang lungsin dilakukan dengan menggunakan pemberat yang diputar dengan jari tangan. Pemberat tersebut berbentuk seperti gasing dan terbuat dari kayu atau terakota. Cara lain yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia bagian Barat (Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok) adalah dengan menggunakan antih (alat yang terdiri dari sebuah roda lebar yang bisa diputar berikut pengaitnya untuk memutar roda tersebut). Sedangkan, untuk memperoleh warna tertentu3, benang yang akan diwarnai itu direndam dalam sabun selama kurang lebih 14 menit. 


Maksudnya adalah agar benang tersebut hilang zat minyaknya. Setelah itu, baru dicelup dengan warna yang diinginkan, lalu dijemur. Selanjutnya, setelah kering, benang tersebut dikelos (digulung). Setelah itu, penganian, yaitu menyiapkan jumlah helai benang yang akan ditenun sesuai dengan jenis dan atau bentuk songket yang akan dibuat. Namun, dewasa ini hanya sebagian yang masih melakukannya. Sebagian lainnya langsung membeli benang-warna yang telah diproduksi oleh suatu pabrik di Indonesia atau yang diimpor dari India, Cina, Jepang atau Thailand.

3. Teknik Pembuatan Tenun Songket
Pembuatan tenun songket Palembang pada dasarnya dilakukan dalam dua tahap, yaitu: tahap menenun kain dasar dengan konstruksi tenunan rata atau polos dan tahap menenun bagian ragam hias yang merupakan bagian tambahan dari benang pakan.  Masyarakat Amerika dan Eropa menyebut cara menenun seperti ini sebagai “inlay weaving system”.

a. Tahap Menenun Kain Dasar

Dalam tahap ini yang ingin dihasilkan adalah hasil tenunan yang rata dan polos. Untuk itu, langkah pertama yang dilakukan adalah benang yang sudah dikani, salah satu ujungnya direntangkan di atas meja. Sedangkan, ujung lainnya dimasukkan kedalam lubang suri (sisir). Pengisian benang ini diatur sedemikian rupa sehingga sekitar 25 buah lubang suri, setiap lubangnya dapat memuat 4 helai benang. Hal ini dimaksudkan untuk membuat pinggiran kain. Sedangkan, lubang-lubang yang lain, setiap lubangnya diisi dengan 2 helai benang.

Setelah benang dimasukkan ke dalam suri dan disusun sedemikian rupa (rata), maka barulah benang digulung dengan boom yang terbuat dari kayu. Pekerjaan ini dinamakan menyajin atau mensayinbenang.  Setelah itu, pemasangan dua buah gun atau alat pengangkat benang yang tempatnya dekat dengan sisir. Sesuai dengan apa yang dilakukan, pekerjaan ini disebut sebagai “pemasangan gunpenyenyit”. Selanjutnya, dengan posisi duduk, penenun mulai menggerakkan dayan dengan menginjaksalah satu pedal untuk memisahkan benang sedemikian rupa, sehingga benang yang digulung dapat dimasukkan dengan mudah, baik dari arah kiri ke kanan (melewati seluruh bidang dayan) maupun dari kanan ke kiri (secara bergantian). Benang yang posisinya melintang itu ketika dirapatkan dengandayan yang ber-suri akan membentuk kain dasar.

b. Tahap Pembuatan Ragam Hias
Setelah kain dasar terwujud, maka tahap berikutnya (tahap yang kedua) adalah pembuatan ragam hias. Dalam tahap ini kain dasar yang masih polos itu dihiasi dengan benang emas atau sutera dengan teknik pakan tambahan atau suplementary weft. Caranya agak rumit karena untuk memasukkannya ke dalam kain dasar harus melalui perhitungan yang teliti. Dalam hal ini bagian-bagian kain dipasangi gun kembang agar benang emas atau sutera dapat dimasukkan, sehingga terbentuk sebuah motif. Konon, pekerjaan ini memakan waktu yang cukup lama karena benang emas atau sutera itu harus dihitung satu-persatu dari pinggir kanan kain hingga pinggir kiri menurut hitungan tertentu, sesuai dengan contoh motif yang akan dibuat. Selanjutnya, benang tersebut dirapatkan satu demi satu, sehingga membentuk ragam hias yang diinginkan.

Lama dan tidaknya pembuatan suatu tenun songket, selain bergantung pada jenis tenunan yang dibuat dan ukurannya, juga kehalusan dan kerumitan motif songketnya. Semakin halus dan rumit motif songketnya, akan semakin lama pengerjaannya. Pembuatan sarung dan atau kain misalnya, bisa memerlukan waktu kurang lebih dua hingga enam bulan. Bahkan, seringkali lebih dari enam bulan karena setiap harinya seorang pengrajin rata-rata hanya dapat menyelesaikan kain sepanjang 5--10 sentimeter.

4. Motif Ragam Hias Tenun Songket Palembang
Kekayaan alam Palembang sangat mempengaruhi terciptanya ragam hias dengan pola-pola yang mengagumkan. Sekali pun ragam hiasnya tercipta dari alat yang sederhana, namun tenunannya merupakan karya seni yang amat tinggi nilainya. Jadi, songket bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa penenunnya. Motif-motif ragam songket Palembang pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yaitu: motif tumbuh-tumbuhan (terutama bentuk stilisasi bunga-bungaan), motif geometris dan motif campuran antara tumbuh-tumbuhan dan geometris.

Motif-motif tersebut dari dahulu hingga sekarang diwariskan secara turun-temurun, sehingga polanya tidak berubah, karena cara memola motif itu sendiri hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, dan tidak setiap penenun dapat membuat motif sendiri. Orang yang menenun tinggal melaksanakan pola yang telah ditentukan. Jadi, kerajinan menenun merupakan suatu pekerjaan yang sifatnya kolektif. Sebagai catatan, para penenun di Palembang seluruhnya dilakukan oleh kaum perempuan baik tua maupun muda. Keahlian menenun tersebut pada umumnya diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi lainnya.

Beberapa nama ragam hias atau motif tenun songket Palembang antara lain adalah: lepus piham,lepus poloslepus puler luruslepus puler ombak-ombaklepus bintanglepus naga besaunglepus bungo jatuhlepus berantailepus lemas kandangtetes mederbungo cinobungo melatibungo intenbungo pacikbungo suku hijaubungo bertaburbungo mawarbiji parejando berhiaslimas berantaidasar limai,pucuk rebungtigo negeri dan emas jantung


Selain sebagai sesuatu yang berfungsi memperindah tenunan (songket), ragam hias juga mempunyai makna. Salah satu contohnya adalah bentuk ragam hias yang tekenal yaitu “naga besaung” (naga bertarung). Dalam hal ini naga dianggap sebagai binatang yang melambangkan kemakmuran dan kejayaan. Orang yang memakai tenun songket motif nago besaung tentulah mengharapkan akan mendapatkan kemakmuran dan kejayaan dalam hidupnya. Motif ini diambil dari salah satu unsur kebudayaan Cina yang menganggap naga sebagai suatu hewan mitologi yang dapat mendatangkan kemakmuran dan kajayaan. Sebagai catatan, pada zaman dahulu kerajaan Sriwijaya banyak didatangi orang-orang asing dari Cina, India dan lain sebagainya untuk berdagang. Contoh yang lain adalah motif pucuk rebung dan bunga-bungaan (cengkeh, tanjung, melati, dan mawar).




Rebung dianggap sebagai tumbuhan yang sejak kecil dapat digunakan untuk bahan sayuran. Ketika telah tumbuh besar dan menjadi bambu pun masih tetap berguna, yaitu sebagai bahan bangunan dan lain sebagainya. Orang yang memakai motif ini tentulah diharapkan akan berguna pula bagi masyarakatnya (seperti bambu yang sangat berguna bagi manusia). Sedangkan, bunga-bungaan melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki dan kebaikan.

5. Nilai Budaya
Tenun Songket Palembang, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: kesakralan, keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.

Nilai kesakralan tercermin dari pemakaiannya yang umumnya hanya mengenakannya pada peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan upacara, seperti perkawinan, upacara menjemput tamu dan lain sebagainya. Nilai keindahan tercermin dari motif ragam hiasnya yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah tenun songket yang indah dan sarat makna.