Indonesia memiliki kekayaan kain tradisional. Sebut saja kain tenun ikat yang pesonanya bukan hanya berskala nasional tapi juga internasional. Warna dan corak dari helaian benang pakan dan benang lungsin itu menampilkan keragaman, tergantung daerah asal kain tenun ikat tersebut.
Pengamat kain tradisional, Judi Achjadi, mengatakan, tenun ikat Indonesia memiliki ciri khas yang patut dibanggakan. “Tenun Indonesia eksotis. Tidak hanya bisa digunakan sebagai busana tetapi bisa digunakan untuk pelapis interior atau peralatan rumah tangga,” ujar Judi Achjadi saat ditemui pada acara ‘Eksotika Tenun Indonesia’ di Gallery Springhill, Kemayoran, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Tenun ikat itu, kata Judi, hasil kerajinan tangan yang terbuat dari helaian benang pakan dan benang lungsin yang disusun dengan alat tenun bukan mesin. Kain-kain tradisional itu dipakai dalam berbagai kegiatan atau upacara keagamaan. Kain tenun juga dipakai untuk kebutuhan sehari-hari.
Menurut Judi, kain itu harus dilestarikan. Alasannya, kain sebagai kekayaan budaya bangsa itu bisa berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Saat ini, masyarakat sudah tak asing dengan tenun ikat. Motif yang hadir bukan melulu tradisional tapi juga dikembangkan sesuai selera masyarakat masa kini. Banyak daerah di Indonesia yang masyarakatnya memiliki budaya tenun ikat.
Namun, lembaran kain itu sulit berkembang di luar budaya pendukungnya. Pasalnya, masih ada yang menganggap harga kain tradisional itu terhitung mahal. Apalagi jika kain itu memakai benang emas. Selain itu, perawatan kain tradisional cenderung merepotkan karena harus dengan perlakukan tertentu. “Tenun sebaiknya tidak dicuci. Cukup diangin-anginkan saja. Jika dicuci, akan merusak lapisan emas pada benang,” ujar pakai kain tradisional Asmoro Damais.
Eksotika tenun Indonesia
Perancang busana kondang juga terpesona tenun ikat, seperti Oscar Lawalata dan Carmanita. Karya busana rancangan keduanya tampil pada acara ‘Eksotika Tenun Indonesia’ di Gallery Springhill, yang memadukan tenun ikat Indonesia.
Para peraganya ibu-ibu rumah tangga yang memamerkan busana dari tenun ikat Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera, dan Bali. Kain-kain rancangan keduanya diambil dari binaan Perkumpulan Pesona Kain Indonesia yang diketuai Ikke Nirwan Bakrie.
Di tangan Oscar dan Carmanita, busana-busana itu terlihat formal dan non-formal. Busananya dipadu dengan aksesori dan sepatu yang serasi sehingga ibu-ibu rumah tangga itu tampil bak peragawati profesional di atas catwalk.
Oscar Lawalata memadukan kebaya lengan panjang, kebaya lengan pendek, kebaya lengan tiga perempat, dan modifikasi baju bodo, dengan tenun ikat. Warna-warna kain terlihat trendi, seperti biru toska, merah menyala, merah marun, dan hitam-putih.
Sedangkan Carmanita menghadirkan kebaya modern bergaya tumpuk dengan rimpel yang dipadu dengan kain songket Sumatera Barat, songket Jambi, tenun Singaraja-Bali, tenun Sambas Kalimantan, dan ulos Sumatera Utara. Busana-busana itu terlihat sederhana dan ringan, sehingga yang memakainya nyaman. (
Tampilkan postingan dengan label nusa tenggara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label nusa tenggara. Tampilkan semua postingan
Selasa, 21 Mei 2013
Busana Tenun Memukau Ajang Fashiontastic 2013
Koleksi pakaian besutan desainer Stephanus Hamy membuka fashion show Fashiontastic 2013 di Pondok Indah Mal, Kebayoranlama, Jakarta Selatan, Minggu (5/5). Tak pelak, pengunjung mal tersebut terpukau.
Dengan tema Tenun, Hamy menampilkan deretan baju kasual yang menggunakan bahan dari beragam jenis tenun Nusatenggara Timut dan songket Bali. Koleksi tenun pada ajang itu makin mempertajam kepiawaian Hamy mengangkat kain tradisional menjadi busana cantik dan menawan.
Dalam acara yang mengusung tema EtnoNesia itu, Hamy menampilkan sekitar 32 stel rancangan khusus wanita. Mereka terdiri dari celana kulot, celana jodpur, celana panjang, jacket, dan rok overlap.
Hamy yang saat perhelatan itu, absen karena alasan kesehatan tetap menampilkan ciri khasnya, yakni busana berdetail lipit (pleats). Ia memadupadankan koleksinya yang dikombinasikan dengan lurik atau polosan.
Pada koleksi Stephanus Hamy yang terlihat didominasi warna tanah, namun diselipi juga warna cerah seperti merah, kuning dan hijau daun merupakan koleksi yang bisa digunakan untuk beragam kesempatan bagi fashionista Tanah Air.
Hamy yang merupakan salah satu desainer kebanggaan Indonesia lahir 7 Mei 1960 ini, memang bukan nama asing di telinga fashionista Tanah Air. Maklum, kiprahnya berkecimpung di industri fashion Indonesia selama lebih dari 20 tahun
Dengan tema Tenun, Hamy menampilkan deretan baju kasual yang menggunakan bahan dari beragam jenis tenun Nusatenggara Timut dan songket Bali. Koleksi tenun pada ajang itu makin mempertajam kepiawaian Hamy mengangkat kain tradisional menjadi busana cantik dan menawan.
Dalam acara yang mengusung tema EtnoNesia itu, Hamy menampilkan sekitar 32 stel rancangan khusus wanita. Mereka terdiri dari celana kulot, celana jodpur, celana panjang, jacket, dan rok overlap.
Hamy yang saat perhelatan itu, absen karena alasan kesehatan tetap menampilkan ciri khasnya, yakni busana berdetail lipit (pleats). Ia memadupadankan koleksinya yang dikombinasikan dengan lurik atau polosan.
Pada koleksi Stephanus Hamy yang terlihat didominasi warna tanah, namun diselipi juga warna cerah seperti merah, kuning dan hijau daun merupakan koleksi yang bisa digunakan untuk beragam kesempatan bagi fashionista Tanah Air.
Hamy yang merupakan salah satu desainer kebanggaan Indonesia lahir 7 Mei 1960 ini, memang bukan nama asing di telinga fashionista Tanah Air. Maklum, kiprahnya berkecimpung di industri fashion Indonesia selama lebih dari 20 tahun
Senin, 06 Mei 2013
Tenun NTT Bukan Tenunan Biasa
Kerajinan tenun Nusa Tenggara Timur merupakan aset budaya luar biasa. Selain beragam motifnya, proses pembuatannya pun tak sembarangan, yaitu melalui proses ritual (doa sakral). Kain tenun NTT bukan sekadar kain biasa, melainkan juga memiliki jiwa.
Ketika melewati kampung tua As Manulea di Kecamatan Sasita Mean, Kabupaten Belu, NTT, misalnya, tim Kompas bertemu dengan para perajin yang membuat kain tenun dari benang yang mereka pintal sendiri.
Pada era 1990-an, kegiatan memintal masih terlihat di mana-mana, terutama saat para wanita pergi-pulang dari pasar. Sambil berjalan kaki, dengan junjungan di kepala, mereka memintal benang dari kapas. Kini, kegiatan memintal benang seperti itu sudah langka ditemui di NTT karena tergusur benang industri.
Perempuan As Manulea itu, Lenci Abuk (38), tekun memintal benang dari abas (kapas lokal). Di samping dia, Natalia Kole (52), bersama seorang wanita sebaya dibantu seorang pria, membenahi seperangkat alat tenun kuno yang disebut bninsa.
Menurut Rosalina Lotu, seorang penenun, tais atau bĂȘte (selendang untuk pria) dari benang lokal harganya mahal, paling murah Rp 5 juta per lembar. ”Saya menanam kapas di pekarangan. Hasilnya sangat terbatas. Kalau menenun dengan benang dari kebun sendiri, harus menunggu bertahun-tahun hingga cukup untuk selembar kain,” katanya.
Di Ende, ada jenis kain tenun yang tidak bisa sembarangan dipakai. Kain itu hanya dibuat oleh kalangan tertentu, seperti keluarga tetua adat (mosalaki). Menurut Kepala Museum Tenun Ikat di Ende, Ali Abubakar Pae, pembuatan kain tenun ini umumnya dilakukan secara rahasia dan disertai ritual khusus.
”Umumnya masyarakat Ende di pesisir selatan memanjatkan doa khusus itu pada malam hari di dalam rumah,” kata Ali.
Ali mengibaratkan menenun seperti membuat keris di Jawa. Kekuatan supranatural dari roh-roh leluhur akan menjiwai kain tenun.
Ada ungkapan dalam bahasa Sikka, Ami nulung lobe. Naha utang wawa buku ubeng. Naha utang merah blanu, blekot (Kami tidak memakai sarung murahan, harus sarung dari dasar tempat simpan, harus sarung yang merah, mantap, dan bermutu).
Ungkapan itu mengandung pengertian, sarung yang dikenakan seorang perempuan menunjukkan kepribadian pemakainya. Sarung yang dipakai bukan sarung biasa. Ini menunjukkan pemakainya bukan sembarangan, melainkan orang berwibawa, bermutu, dan berkepribadian baik.
Selain prosesnya panjang dan rumit, motif tenun NTT unik dan beragam. Hampir semua daerah di NTT memiliki kerajinan tenun. Johanna Maria Pattinaja (73), istri almarhum Frans Seda, telah mengumpulkan sekitar 1.000 kain tenun ikat NTT, dari Pulau Timor, Sumba, sampai Flores.
Penelitian Romo Bosco Terwinju Pr (72) dari Keuskupan Agung Ende memperkuat hal itu. Untuk satu wilayah di Pulau Flores misalnya Sikka, ia mengoleksi sekitar 50 jenis kain tenun ikat. ”Motif kain tenun di NTT sangat banyak, berbeda-beda antarkabupaten,” katanya.
Hasil penelitian Romo Bosco di Pulau Flores, ada dua kategori tenun, jenis ikat tradisional dan sulam songket. Tenun ikat menyebar dari Flores bagian tengah, dari Kabupaten Ende hingga Kabupaten Flores Timur sampai Lembata. Adapun tenun sulam songket banyak dibuat dari Kabupaten Nagekeo sampai Kabupaten Manggarai Barat.
Warna kain tenun ikat dihasilkan dari pewarnaan kain, baik dengan bahan alam (mengkudu atau nila) maupun bahan kimia. Warna kain tenun sulam dihasilkan dari proses penyulaman benang beraneka warna.
Menurut Romo Bosco, motif kain tenun di Flores berdasarkan catatan sejarah merupakan turunan dari motif Patola, India, seperti gajah, bunga atau burung, yang kemudian berkembang dengan beragam variasi.
Tenun Kali Uda
Salah satu tenun NTT yang terkenal berasal dari Kali Uda di Pulau Sumba. Desa ini terletak 120 kilometer selatan Waingapu, Sumba Timur. Kualitas tenunan Kali Uda dianggap tertinggi karena lentur, tidak luntur, ringan, dan dapat dibuat menjadi pakaian.
Warna dasar tenun Kali Uda adalah merah, putih, dan hitam. Ragam motif biasanya ayam, burung, kuda, kerbau, sapi, serta mamuli (perhiasan berbentuk rahim perempuan).
Selain menjadi mahar kawin yang bernilai tinggi di kalangan warga Sumba, tenun ikat Kali Uda diminati turis asing. Bahkan di Denpasar, Bali, ada toko khusus yang menjual tenun Kali Uda. ”Meski harganya mahal, turis Jepang belanja sampai ratusan lembar,” kata Jery Nola (29), seorang pria perajin.
Harga selembar kain Kali Uda berukuran 1,7 meter x 2,3 meter Rp 800.000-Rp 25 juta per lembar, tergantung motif, tingkat kesulitan menenun, pewarna, dan kualitas benang.
Sayangnya, menurut Kepala Desa Kali Uda, Umbu Yiwa Hanggi, belum ada organisasi yang memayungi tenun ikat Kali Uda. Padahal, 90 persen warga Kali Uda adalah penenun.
Perkembangan tenun NTT menghadapi tantangan yang tidak ringan. Desakan ekonomi yang semakin berat memaksa penenun meninggalkannya.
Di Kali Uda, misalnya, sampai hari ini belum ada pemasaran yang masif atas hasil kerajinan masyarakat itu. Gagal panen dan kemarau panjang yang sering melanda pantai selatan Sumba Timur memperberat kondisi mereka. Kalau dulu, hasil panen bisa mengisi kekosongan pendapatan mereka; kini, pertanian tidak bisa lagi diandalkan.
”Tahun 2007 masyarakat pernah menyampaikan aspirasi melalui musyawarah rencana pembangunan desa agar dibangunkan sebuah pusat kerajinan tenun ikat di sini. Kemudian, hasil kerajinan masyarakat ditampung Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk dipasarkan ke luar Sumba. Tapi, belum ada tanggapan,” kata Umbu Yiwa.
Sejauh ini jajaran pegawai negeri sipil di NTT diwajibkan memakai baju tenun dua kali dalam seminggu, setiap Rabu dan Jumat. Kalangan penenun termasuk pemilik sentra kerajinan tenun daerah Ina Ndao, Dorce Lussi, di Kupang mengharapkan kebijakan wajib berpakaian tenun jadi empat kali seminggu. Dengan demikian, pasar tenun ikat NTT semakin terbuka
Selasa, 30 April 2013
Samuel Wattimena: Merancang Pattimura
Perancang Samuel Wattimena bakal sibuk di Surabaya. Ia menjadi konseptor acara Hari Pattimura yang digelar setiap 15 Mei.
”Saya harus buang ego jauh-jauh untuk mengonsep acara ini. Ada banyak orang dalam kegiatan ini, dengan beragam pandangan. Ini beda dengan merancang busana yang sebagian besar keinginan saya,” ujar Sammy, panggilan Samuel Wattimena.
Keterlibatan pria kelahiran Jakarta, 25 November 1960, ini membuat peringatan Hari Pattimura tak hanya diisi pawai obor seperti tahun-tahun sebelumnya. Dia menambahkan pemilihan Jujaro dan Mungare.
”Kalau di Jakarta, semacam Abang dan None. Juara terpilih menjadi duta budaya Maluku. Makanya, juaranya nanti mau saya bawa ke dunia hiburan, biar luas jangkauannya, biar makin mudah mengenalkan budaya Maluku,” katanya.
Ia tak membatasi kegiatan itu hanya untuk warga keturunan Maluku. Semua orang yang ingin belajar dan tahu budaya Maluku bisa mengikutinya. ”Semua akan diajari dulu budaya Maluku. Siapa yang paling menyerap pelajaran, bisa menjadi juara.”
Ini salah satu usaha untuk menjawab kekhawatiran budaya Maluku punah. ”Waktu chaos Ambon, saya khawatir kehilangan akar budaya. Bahaya bila kita kehilangan akar budaya di tengah globalisasi seperti sekarang,” ujarnya
”Saya harus buang ego jauh-jauh untuk mengonsep acara ini. Ada banyak orang dalam kegiatan ini, dengan beragam pandangan. Ini beda dengan merancang busana yang sebagian besar keinginan saya,” ujar Sammy, panggilan Samuel Wattimena.
Keterlibatan pria kelahiran Jakarta, 25 November 1960, ini membuat peringatan Hari Pattimura tak hanya diisi pawai obor seperti tahun-tahun sebelumnya. Dia menambahkan pemilihan Jujaro dan Mungare.
”Kalau di Jakarta, semacam Abang dan None. Juara terpilih menjadi duta budaya Maluku. Makanya, juaranya nanti mau saya bawa ke dunia hiburan, biar luas jangkauannya, biar makin mudah mengenalkan budaya Maluku,” katanya.
Ia tak membatasi kegiatan itu hanya untuk warga keturunan Maluku. Semua orang yang ingin belajar dan tahu budaya Maluku bisa mengikutinya. ”Semua akan diajari dulu budaya Maluku. Siapa yang paling menyerap pelajaran, bisa menjadi juara.”
Ini salah satu usaha untuk menjawab kekhawatiran budaya Maluku punah. ”Waktu chaos Ambon, saya khawatir kehilangan akar budaya. Bahaya bila kita kehilangan akar budaya di tengah globalisasi seperti sekarang,” ujarnya
Rabu, 24 April 2013
Tren Sarung Juga Bisa Mendunia
Tren Sarung Juga Bisa MenduniaMode memang terus berkembang, tak hanya jenis, bahan, dan motifnya, tetapi juga cara penggunaannya. Setelah teknik membatik diakui secara resmi oleh UNESCO, dan mulai kembali berjaya di tanah air, kini para perancang muda Indonesia juga ingin mempopulerkan sarung sebagai tren mode.
"Sarung Indonesia memang sangat istimewa, karena di sinilah hasil karya dan kreativitas perempuan dan anak Indonesia bisa terlihat," ungkap Taruna Kusmayadi, perancang dari APPMI, dalam Focus Grup Discussion "Road to Indonesia Fashion Week 2012" di Hotel Morrisey, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis.
Biasanya sarung hanya digunakan untuk sehari-hari, menghadiri beberapa acara tertentu, atau untuk hadiah. Namun amat disayangkan apabila keberagaman motif dan bahan sarung yang indah saat ini hanya digunakan untuk saat tertentu. Oleh karena itu, Indonesia Fashion Week 2012 (IFW) juga akan menampilkan berbagai koleksi sarung dari para desainer. Lebih dari itu, IFW diharapkan mampu dipertimbangkan sebagai salah satu arah tren mode di dunia internasional.
"Sarung sebenarnya sudah sangat merakyat di Indonesia, namun belum banyak orang yang berani pakai sarung untuk berbagai acara formal. Padahal sebenarnya sarung ini bisa dikreasikan menjadi berbagai macam model yang cantik. Ini adalah tantangan terbesar bagi para desainer dan produsen untuk berkreasi dengan sarung ini," tutur perancang Musa Widyatmodjo, yang juga hadir siang tadi.
Selain memperkenalkan berbagai kreasi sarung, ajang ini juga bertujuan untuk meningkatkan industri kecil kreatif di Indonesia. Adanya pagelaran besar semacam ini secara tak langsung bisa memajukan industri kecil menengah yang ada di Indonesia. Salah satu tujuan diadakannya Indonesia Fashion Week 2012 nanti juga untuk mengembalikan jati diri dan kejayaan sarung di tanah kelahirannya sendiri.
Kain Tradisional dalam Koleksi "Ready-to-Wear"
Citra kain tradisional kini makin terangkat di dunia fashion. Panggung mode di Jakarta Fashion & Food Festival (JFFF) menampilkan ragam koleksi busana ready-to-wear dengan sentuhan kain tradisional karya para perancang lokal. Kain tradisional dirancang dengan konsep modern, edgy, modis, sehingga menambah pesonanya.
Desainer ternama yang tergabung dalam Ikatan Perancang Muda Indonesa (IPMI) menampilkan konsep busana bergaya etnik dengan ragam pilihan kain tradisional. Sebut saja kain lurik Jawa, tenun ikat NTT, tenun sutera Makassar, tenun Badui, tenun Garut, kain Jambi, dan songket Bali, yang semuanya dirancang menjadi koleksi busana siap pakai.
Era Sukamto dengan tenun Badui dan Garut
Peragaan busana IPMI "Ethnic" pada Senin lalu menampilkan Era Sukamto dengan koleksi busana dari tenun bertema "Sonata". Era mengangkat tenun Badui dengan teknik gedogan dan tenun ATBM Garut, dengan motif geometris. Motif tenun yang kaya makna ditafsirkan Era dengan busana ringan, romantis, modern, lengkap dengan detail menarik yang menonjolkan feminitas perempuan. Penafsiran Era dalam busana koleksinya terinspirasi dari makna tenun Badui yang memiliki arti cinta universal, cinta empat arah, atau dimensi paralel antara Tuhan, leluhur, alam, dan sesama manusia.
Barli Asmara dengan tenun sutera Makassar
Anggota baru IPMI, Barli Asmara, untuk pertama kali hadir di JFFF kedelapan. Busana ready-to-wear rancangan Barli memesona dengan mengangkat kain tenun sutera Makassar atau dikenal sutera Bugis (Lippa Sabe). Koleksi busananya bertema "Ecletic" dengan warna kalem dan feminin, seperti pink dan ungu. Barli membuktikan, rancangannya memberikan kesan tradisional modern pada busana siap pakai dalam balutan tenun Makassar.
"Kain tradisional sebagai inspirasi jangan dianggap tidak bisa tampil modern, edgy," katanya saat konferensi pers menjelang peragaan busana di Hotel Harris Kelapa Gading, Jakarta, Selasa
Stephanus Hamy dengan tenun NTT
Hamy tampil dalam dua kali show dalam satu malam. Pertama, Hamy menampilkan koleksi second line miliknya, "Earthnic". Satu panggung dengan Barli, Hamy mengawali peragaan busana dengan mengeluarkan koleksi jaket wanita dari tenun Nusa Tenggara Timur. Motif tenun Sumba yang identik dengan gambar binatang, terlihat apik dirancang dalam model jaket oleh Hamy. Ragam motif tenun NTT hadir dalam desain berbeda dengan sentuhan jebolan Lomba Perancang Mode Femina 1983 ini. Kesan modern, feminin, kental terasa dalam koleksi "Earthnic".
"Setiap daerah punya tenun, dan pasar tenun tradisional semakin baik. Permintaan tenun juga tinggi, satu dua tahun terakhir tenun semakin booming. Namun, kemampuan sumber daya masih terbatas. Karena itu, saya menggunakan tenun ATBM, bukan gedog, tetapi juga tidak menggunakan tenun yang terbuat dari mesin. Tenun mesin menghilangkan nilai tradisi dari tenun itu sendiri. Setiap perajin tenun punya hasil yang berbeda meski motifnya serupa. Perajin mengerjakannya dengan penuh perasaan sehingga tenun memiliki nyawa," kata Hamy.
Lagi-lagi, tenun menjadi primadona, disukai pasar dan dicintai perancang yang menafsirkan ragam tenun Nusantara dalam koleksi busananya. Menurut Hamy, peminat tenun terus bertambah seiring dengan banyaknya kegiatan yang menjadikan tenun sebagai dress code. Kain tenun tak lagi hanya digunakan sebagai selendang. Kini, kain tenun semakin elok melekat di tubuh sebagai rok, jaket, atau blus wanita.
"Dulu jualan busana kain tenun itu susah. Saya sudah delapan tahun menggunakan tenun NTT. Namun, kini permintaan semakin banyak, bahkan kesulitan untuk memenuhi permintaan khusus untuk tenun gedog," aku Hamy, yang juga menggelar pertunjukan tunggal "Jambi to Bali" seusai menampilkan koleksi "Earthnic".
Selain tenun, Hamy juga menangkap keindahan kain tradisional Jambi dan kain songket Bali. Ia kemudian merancang busana berlabel Hamy Culture, dengan padu-padan jaket, celana panjang, rok paduan kain Jambi, dan songket Bali.
Musa Widyatmodjo dengan lurik Jawa
Lain lagi dengan desainer kenamaan Musa Widyatmodjo. Bersama mitranya, Yogi Soegyono, Musa merancang kain lurik Jawa dalam model busana siap pakai untuk perempuan modern yang tegas, cerdas, dan elegan. Ia menamakan koleksinya "The Luric(she)ll", mewakili citra perempuan yang memiliki tekad kuat, dengan mengaplikasikan lurik dalam busana smart-casual hingga cocktail.
"Kain lurik Jawa diolah menjadi bahan utama busana maupun sebagai aksen. Kain lurik sejalan dengan tren fashion tahun ini dengan elemen garis," kata Musa dalam konferensi pers di Hotel Haris Jakarta, Jumat
Eksplorasi Kain Tenun NTT di Tangan Musa
Kecintaan Musa Widyatmodjo pada budaya Indonesia membuat desainer ini selalu fokus pada eksplorasi kain-kain khas Indonesia. Setelah mengeluarkan koleksi The (Ine) Kelimutu beberapa bulan lalu, dalam ajang Jakarta Fashion and Food Festival kali ini ia mengeluarkan koleksi terbarunya, The Flobamora Indone(she)aku.
"Koleksi ini banyak bercerita tentang berbagai keindahan dan kekayaan motif kain tenun dari Nusa Tenggara Timur," ungkap Musa menjelang show-nya di Hotel Harris, Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (23/5/2012) lalu. Dalam koleksinya kali ini Musa banyak menggunakan kain-kain dari "Flobamora", yang tak lain singkatan dari pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur, yaitu Flores, Sumba, Timor, dan Alor.
Tak mudah mengolah kain tenun. Kesulitannya sangat terasa ketika proses pemotongan bahannya, karena jika salah potong maka pola garis di kain tenun ini akan menjadi tidak simetris atau tidak sejajar. "Setiap kain tenun punya motif dan warnanya sendiri-sendiri. Namun, Musa bisa mengombinasikan aneka motif dan warna tenun yang berbeda-beda ini dalam satu paduan busana yang serasi," puji Lusia Leburaya, Ketua Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) NTT.
Musa memadukan kain tenun dengan ketrampilan khas dari kawasan lain di Indonesia, seperti bordir bunga anggrek timbul dari Tasikmalaya, motif selendang sulam suji dari Koto Gadang, dan juga batu kaca (glass bead) dari Jombang.
"Namun, kain tenun yang digunakan untuk baju ini adalah kain tenun ikat, dan bukan kain tenun sotis. Ini dilakukan untuk menekan biaya produksi dan harga jualnya," ungkap desainer yang terkenal dengan karakter simplicity with handycraft detailing in.
Ia menggunakan beberapa jenis kain tenun dari NTT ini untuk menghasilkan 99 busana siap pakai yang bergaya simpel dan bisa dikenakan oleh semua perempuan dari beragam usia, warna kulit, dan bentuk tubuh. Ia banyak mengolah sarung, selendang, dan scarf menjadi busana dengan style dress, blus, rok, celana, lengkap dengan detailnya yang cantik.
Show The Flobamora Indone(she)aku terbagi dalam tiga bagian. Di bagian pertama, Stripe A Pose tampil sebagai koleksi Musa yang banyak menampilkan motif garis dengan kain tenun yang warnanya cenderung gelap namun kuat. Dengan motif garis, kain tenun yang dihadirkan dalam mini dress, bolero, dan kardigan, ini terlihat sangat tegas. Perpaduan kain tenun NTT dengan kain modern yang bergaris juga membuat kesan ringan dan nyaman saat mengenakan busananya.
Di sesi kedua, Musa menghadirkan tema Aesthetics, yang lebih kontemporer. Sedangkan di sesi ketiga, Musa menghadirkan koleksi yang bernuansa over the village. Desain yang digunakan menghadirkan kesan yang modern, berkat tambahan bordir bunga seperti pada pinggang, dada, atau bahu.
Melalui busana ini Musa ingin menunjukkan bahwa kain tradisional seperti tenun juga bisa bernuansa lebih modern. Blus bergaya formal, gaun dengan V-line yang agak lebar, serta sentuhan gaun backless, juga menambah pesona koleksi busana Musa yang didominasi warna-warna tenun ikat yang khas dan dalam.
Senin, 15 April 2013
Beginilah Tangan Petenun...
Kuku-kuku jari tangan perempuan asal Desa Dokar, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, itu masih berwarna biru pekat oleh cairan pewarna benang tenun ikat. ”Beginilah tangan penenun,” ujar Kristina Laer (54). Dari tangan itu lahir kain tenun nan indah.
Kuku-kuku jari Kristina menghitam karena ia baru saja merendam benang dalam larutan daun tarum dicampur kapur. Di Pasar Geliting, Desa Sikka, Kabupaten Sikka, Kristina sebenarnya berjualan pisang dan labu. Namun, seperti perempuan NTT pada umumnya, ia sehari-harinya menenun sarung untuk kebutuhan sendiri.
”Pasar dadakan” pada Sabtu siang itu menunjukkan kekayaan sarung Flores, mulai dari pemakainya sampai ragam motifnya. Pembeli dan pedagang memakai sarung tenun ikat yang apik. Ada yang disampirkan di bahu, diikatkan di pinggang, hingga menjadi tudung untuk menyembunyikan wajah pemakainya. Bahkan, ada sarung tenun ikat bermotif logo perusahaan otomotif.
”Kami masih menenun motif tradisional yang diwariskan nenek moyang, baik dengan pewarnaan tradisional yang pengerjaannya memakan waktu lama, maupun pewarnaan kimia yang praktis. Namun, semakin banyak pula penenun di Desa Sikka yang menggarap pesanan motif tertentu. Mau pesan sarung tenun ikat bertuliskan nama pemesan pun bisa,” ujar Alexa (40), penenun dari desa itu.
Desakan ekonomi memang membuat para penenun tidak bisa melepaskan diri dari permintaan pasar meski masih ada yang mempertahankan unsur tradisional. Penenun asal Desa Nita, Sebina Keron (68), misalnya, menyebut sejumlah motif tradisional yang masih banyak digarap penenun di Kabupaten Sikka, seperti korsang manowalu (burung dalam mitologi setempat), korsang nagalalang (tapak kaki naga), dan sesaweor (ekor ikan sesa), atau lawa jara (motif kuda dan penunggangnya).
”Di Desa Nita, kami masih mewarnai benang tenun ikat dengan pewarna alam. Campuran mangga dan kunyit untuk warna hijau, tumbukan daun nila untuk warna biru, tumbukan mengkudu untuk warna merah. Prosesnya memakan waktu bulanan dan tingkat kepekatan warna diperoleh dengan mencelup ulang benang hingga beberapa kali,” ujar Sebina.
Penenun di Kabupaten Ende pun masih mempertahankan sejumlah motif tradisional mereka seperti lawo nggaja (motif gajah yang diartikan sebagai kendaraan para dewa), lawo jara (motif kuda), lawo zombo/ rombo (motif pepohonan lambang kehidupan), dan lawo nepa mite di Nggela yang bermotifkan ular.
Di Kampung Nggela, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende, desakan ekonomi pula yang membuat banyak penenun meninggalkan penggunaan pewarna alami. Sarung berbahan pewarna kimia yang penggarapannya bisa dikebut hingga tiga-empat minggu laku dijual di pasaran dengan harga Rp 100.000-Rp 500.000 per lembar.
”Sarung dengan pewarnaan alami memang bisa dijual lebih mahal, yaitu Rp 1 juta-Rp 5 juta. Namun, penggarapannya, mulai dari membeli kapas, memintal benang, mengikatkan motif, mewarnai, lalu menenun, hingga menjadi sebuah sarung, memakan waktu satu-dua tahun,” kata Elizabeth Angong (65), salah satu penenun Desa Nggela.
Keengganan kaum muda
Entah sampai kapan tradisi menenun di Nggela, juga di desa penenun lainnya, akan bertahan. Gadis Nggela seperti Maria Paulina Lana (24), misalnya, mengaku tidak lagi mau belajar menenun ikat.
”Kami anak muda tidak lagi tahan berjam-jam menjejak bilah kayu penegang tenunan atau menarik tiap benang yang ditenun. Pekerjaan itu sungguh melelahkan,” ujar Maria. Maria yang juga enggan mengenakan sarung tenun ikat dalam kesehariannya.
”Umumnya, yang bisa membuat sarung adalah perempuan yang putus sekolah. Kalau yang masih sekolah aktif atau kuliah, mereka tak mau lagi atau tidak ada niat untuk membuat sarung,” kata Theresia Mbasi (60).
Menurut warga Nggela yang lain, Sekolastika Mari (46), angkatan muda di desa itu umumnya tidak mampu lagi membuat sarung alami karena teknik pembuatannya sulit. Generasi tua-lah yang tetap tekun membuat sarung dengan pewarna alam.
Meski demikian, kabar segar datang dari Desa Sikka. Para gadis kembali belajar memintal, mengikat motif, dan menenun. Kaum ibu pun kembali rela bersusah payah menggarap pewarnaan alami. Apalagi, tren dewasa ini, pembeli dari luar negeri banyak yang memburu produk sarung dengan pewarna alami karena mereka lebih menyukai produk natural.
Topi Rea Khas Manggarai Barat Dicari Wisatawan
Kerajinan tangan khas Manggarai Barat dibangkitkan kembali sejalan dengan pengembangan dan kemajuan pariwisata Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, sejak binatang Komodo masuk dalam tujuh keajaiban dunia baru yang diumumkan pada November 2011. Kain songket, selendang songket sejak dahulu sudah dikerjakan oleh warga masyarakat di tiga kabupaten (Manggarai Barat, Manggarai Timur dan Manggarai).
Selama promosi tidak gencar dilakukan di media massa, maka pariwisata Kabupaten Manggarai Barat terutama kerajinan tangan khas Manggarai Barat tenggelam sangat dalam bersama dengan pengaruh modern yang kuat kepada masyarakat. Kain songket dan selendang songket khas Manggarai Barat dipadukan dengan topi Rea sungguh sangat indah dan memiliki kewibawaan bagi masyarakat Manggarai Barat. Sejak 2009 tamu-tamu yang minum kopi khas Manggarai Barat di Bandara Komodo selalu mencari sesuatu yang khas dari Manggarai Barat selain kain songket dan kain selendang.
Melihat peluang yang terjadi pasar ini maka warga berinisiatif mengumpulkan bahan-bahan khas Manggarai Barat dan Flores sejak tujuh tahun yang lalu di bidang souvenir. Souvenir yang sangat diminati wisatawan domestik dan mancanegara yakni kain songket, selendang, patung komodo, rumah adat Manggarai dan topi.
Nah, Topi yang paling unik dan khas Manggarai Barat adalah "Topi Rea" yang sangat asli hasil dari anyaman dari pohon Rea itu sendiri. Pusat Industri Kerajinan Topi Rea yang kini diubah namannya menjadi Topi Komodo yakni di Kampung Nunang, Bambor, Kecamatan Sano Nggoang; Daleng, Kecamatan Lembor; Kampung Melo, Mamis, Kecamatan Mbeliling selalu dipesan oleh para tamu dari Kota Labuan Bajo serta pejabat yang berkunjung ke Kota Labuan Bajo. Demikian dijelaskan, Ibu Maria Goreti Rueng (40), pedagang souvenir khas Flores dan Manggarai Barat di Kios Bandara Udara Komodo.
Rueng asal Sita, Kabupaten Manggarai Timur menikah dengan orang Manggarai Barat ini menuturkan, setiap hari banyak tamu di Bandara Udara Komodo selalu mencari topi Rea khas Manggarai Barat untuk dipakai atau dihadiahkan kepada tamu atau keluarga mereka. Rueng menjelaskan, bahan souvenir yang paling laris di standnya di Bandara Udara Komodo adalah rumah adat Manggarai Raya dengan dijual seharga Rp 100.000-Rp 300.000 dan kain selendang seharga Rp 50.000, kain songket seharga Rp 300.000 dan topi Rea yang sangat diminati orang dijual seharga Rp 100.000.
Penghasilan dari menjual souvenir khas Flores dan Manggarai Barat, menurut Rueng, bervariasi dimana saat pengunjung sepi dirinya akan memperoleh penghasilan Rp 500.000 per hari. Namun pada musim wisatawan berkunjung saat liburan, Rueng memperoleh penghasilan berkisar Rp 2.000.000-Rp 3.000.000 per hari.
Rueng melanjutkan, dulu dirinya berjualan souvenir di depan Gardena di pinggir pantai Labuan Bajo, namun, hasilnya sangat kurang. Barang-barang souvenir Topi Rea diambilnya dari Pusat Industri Kerajinan di Kampung Nunang, Kecamatan Sano Nggoang.
Sementara Maria Bia (59), warga Kampung Melo, di Rumah Sanggar Budaya Compang Toe menjelaskan, di rumah Sanggar Budaya Compang Toe selain disuguhkan kopi asli Manggarai Barat juga dijual Topi REA khas Manggarai Barat kepada wisatawan asing dan domestik yang berkunjung di Kampung Melo. Menurut Bia, Topi Rea ini dijual kepada wisman dan wisdom karena mereka sangat suka keaslian dari topi itu yang terbuat dari bahan-bahan alamiah.
Koordinator Lapangan di Manggarai Barat dari Tim Jelajah Sepeda Bali-Komodo, Frans Sarong menjelaskan, Tim Jelajah Sepeda Bali-Komodo sebaiknya diperkenalkan kepada aneka kerajinan tangan seperti Topi Rea ini. "Kami mencari yang unik untuk diperkenalkan kepada Tim Jelajah Sepeda Bali-Komodo sehingga kami melakukan survei di Kampung Melo," jelasnya.
Sarong memaparkan, dirinya sudah menyampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat untuk mempromosikan kekhasan masyarakat Manggarai Barat kepada tim dan rombongan Jelajah Sepeda Bali-Komodo.
Bupati Manggarai Barat, Agustinus Ch. Dula merespons baik usulan yang disampaikan di Labuan Bajo. Bupati Dula langsung memerintahkan Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Manggarai Barat segera menyiapkan 20 topi Rea untuk dipakai oleh Tim Jelajah Sepeda Bali-Komodo saat tiba di Pelabuhan Feri Labuan Bajo.
Pasalnya, dari Pelabuhan Feri Labuan Bajo, tim Jelajah Sepeda Bali-Komodo sambil menggowes sepeda keliling Kota Labuan Bajo akan memakai topi rea, topi khas Manggarai Barat di kepala mereka.
Rabu, 27 Juli 2011
Pelestari Kain Tenun Ikat
Saat Tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT menemui Johanna di Hotel Sao Wisata, Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu, gurat kelelahan terlihat pada wajahnya karena baru menempuh perjalanan panjang Jakarta-Denpasar-Flores. Saat topik pembicaraan menyinggung kain tenun NTT, Johanna langsung bersemangat, seakan rasa lelah itu sirna.
Dia menuturkan lika-liku perjalanan mengoleksi kain tenun sejak 49 tahun lalu itu, keprihatinan akan masa depan kerajinan tenun ikat NTT, juga ide dan gagasan mengenai pentingnya pelestarian kerajinan dan produk tenun ikat.
”Tahun 1961 saya pertama kali berkunjung ke Maumere setelah menikah dengan almarhum (Frans Seda). Waktu itu, suami saya menjabat sebagai anggota DPR-GR/MPRS. Saat masa reses suami turun ke daerah pemilihan, saya mendapat kain tenun. Saya terheran-heran dengan gambarnya. Dulu, yang terkenal kan batik dan songket. Saya pikir, ini kain apa? Lalu saya mulai bertanya sana-sini soal tenun ikat,” Johanna mengenang.
Perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur, ini penasaran dengan kain tenun NTT, dan dia berupaya mencari informasi tambahan dari buku-buku. Dengan berjalannya waktu, rasa cinta dan bangga pada tenun ikat semakin tumbuh.
Sampai sekarang, ibu dua anak ini telah mengumpulkan sekitar 1.000 kain tenun ikat NTT, baik dari Pulau Timor, Sumba, maupun Flores. Kain koleksinya kini disimpan rapi dalam peti-peti yang memadati lantai dua kediamannya di Jalan Metro Kencana V, Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Johanna memutuskan fokus mengoleksi kain tenun ikat NTT karena waktu itu kerajinan batik dan tenun songket sudah lebih dikenal masyarakat.
”Kita harus bangga sebab Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mempunyai kain adat beraneka ragam, begitu pula variasi teknik pembuatannya. Di NTT, kerajinan tenun ikat umumnya dibuat dengan alat tenun gedok, terdiri dari benang lungsi dan pakan. Waktu benang pakan masuk, lalu ditarik ke arah perajin, ada bunyi dok, dok,” kata Johanna.
Johanna mengagumi kain tenun ikat NTT karena bukan sekadar untuk penutup tubuh, melainkan juga mengandung falsafah serta sarat akan nuansa sakral atau magis.
Johanna umumnya memperoleh kain tenun dari pemilik yang menjual secara pribadi kepadanya. Bagi masyarakat NTT, kain tenun pada dasarnya dibuat bukan untuk dijual, melainkan dipakai sendiri, dan yang lebih utama untuk keperluan adat. Kain tenun baru dijual sebagai alternatif terakhir apabila keluarga si pemilik mengalami tekanan ekonomi yang berat.
Hal itu dialami Johanna tahun 1990-an. Saat itu, ada seorang guru di Aimere, Kabupaten Ngada, Flores, yang hendak menjual kain tenun peninggalan leluhurnya. Kain tenun itu diperkirakan berusia lebih dari 100 tahun. Biasanya, semakin tua kain tenun, harganya makin tinggi. Apalagi jika dibuat dengan pewarna alami.
Johanna sempat meminta keponakannya untuk mengambil kain tersebut. Namun, sang keponakan malah bermimpi didatangi seorang laki-laki tua berjanggut sehingga ia tak berani mengambil kain itu. Setelah dilakukan upacara adat dengan memotong ayam, baru kain tersebut dapat diambil.
Fenomena magis juga ada pada salah satu kain tenun perempuan Sumba yang dimilikinya. Setiap hendak dibersihkan (dikebas), pada kain tenun itu selalu ada semacam pasir pantai yang melekat. Setelah ditelusuri, konon kain itu merupakan kain khusus yang digunakan untuk orang yang sudah meninggal.
”Keunikan lain, kain tenun ikat NTT mempunyai falsafah. Seperti di Jawa, anak yang pertama kali akan menginjakkan kaki ke tanah, ada jenis kain tersendiri untuk upacara adatnya,” ujar Johanna.
Salah satu mahar kawin di Kabupaten Flores Timur dan Lembata adalah kain tenun. Pada adat etnik Lio Ende, kain tenun diserahkan oleh keluarga mempelai perempuan kepada keluarga mempelai laki-laki sebagai balasan atas pemberian mahar kawin (belis).
Motif dan ragam hias kain tenun ikat juga dapat menunjukkan perubahan sejarah suatu daerah. Misalnya, di Sumba dulu dikenal motif alam atau binatang, seperti udang atau ular. Namun, sejak Belanda masuk Sumba, mulai dikenal kain motif crown (mahkota). Motif itu mengacu pada mata uang gulden Belanda yang bergambar mahkota diapit dua singa. Akhirnya di Sumba dikenal istilah mahang (singa) meski di wilayah itu tidak ada singa. Pada masa itu pula, pada kain tenun juga dibubuhi tenunan berupa bendera kecil berwarna merah-putih-biru.
Johanna juga mengingatkan pentingnya pelestarian kain tenun ikat NTT agar tidak punah. ”Meski suatu saat kain tenun ikat NTT hanya menjadi benda seni, perlu ada masyarakat yang menguasai teknik pembuatannya sehingga selalu ada produk tenun,” katanya.
Jangan sampai terjadi seperti di Manado, Sulawesi Utara. Kain tenun ikat di sana tak dibuat lagi karena tidak ada lagi yang bisa membuatnya. Ironisnya, kain tenun ikat Manado tersimpan di museum Belanda.
Johanna berpendapat, perajin tenun ikat NTT perlu diproteksi pemerintah daerah, terutama dari ekspansi industri kain di Jawa yang berproduksi dengan motif tenun ikat NTT. Kualitas produk Jawa lebih tipis, halus, dan harga lebih murah dibandingkan harga kain tenun ikat alami yang bisa mencapai lebih dari Rp 500.000 per lembar.
”Produk tenun hasil print dengan hand made harus jelas labelnya agar tidak menjatuhkan perajin tenun ikat,” kata perempuan yang pada periode 1957-1961 mengajar di SMA Katolik St Ursula Jakarta itu.
Johanna amat mendukung upaya pelestarian seperti yang dilakukan oleh Himpunan Wastra Prima. Himpunan pencinta kain adat yang didirikan tahun 1976 itu mengawali kegiatan dengan mengumpulkan 400 kain adat dari seluruh Indonesia, termasuk kain tenun ikat NTT, kemudian disimpan di Museum Tekstil Jakarta. Johanna sendiri menjabat sebagai ketua himpunan ini tahun 1980-1993.
Langganan:
Postingan (Atom)