Indonesia memiliki kekayaan kain tradisional. Sebut saja kain tenun ikat yang pesonanya bukan hanya berskala nasional tapi juga internasional. Warna dan corak dari helaian benang pakan dan benang lungsin itu menampilkan keragaman, tergantung daerah asal kain tenun ikat tersebut.
Pengamat kain tradisional, Judi Achjadi, mengatakan, tenun ikat Indonesia memiliki ciri khas yang patut dibanggakan. “Tenun Indonesia eksotis. Tidak hanya bisa digunakan sebagai busana tetapi bisa digunakan untuk pelapis interior atau peralatan rumah tangga,” ujar Judi Achjadi saat ditemui pada acara ‘Eksotika Tenun Indonesia’ di Gallery Springhill, Kemayoran, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Tenun ikat itu, kata Judi, hasil kerajinan tangan yang terbuat dari helaian benang pakan dan benang lungsin yang disusun dengan alat tenun bukan mesin. Kain-kain tradisional itu dipakai dalam berbagai kegiatan atau upacara keagamaan. Kain tenun juga dipakai untuk kebutuhan sehari-hari.
Menurut Judi, kain itu harus dilestarikan. Alasannya, kain sebagai kekayaan budaya bangsa itu bisa berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Saat ini, masyarakat sudah tak asing dengan tenun ikat. Motif yang hadir bukan melulu tradisional tapi juga dikembangkan sesuai selera masyarakat masa kini. Banyak daerah di Indonesia yang masyarakatnya memiliki budaya tenun ikat.
Namun, lembaran kain itu sulit berkembang di luar budaya pendukungnya. Pasalnya, masih ada yang menganggap harga kain tradisional itu terhitung mahal. Apalagi jika kain itu memakai benang emas. Selain itu, perawatan kain tradisional cenderung merepotkan karena harus dengan perlakukan tertentu. “Tenun sebaiknya tidak dicuci. Cukup diangin-anginkan saja. Jika dicuci, akan merusak lapisan emas pada benang,” ujar pakai kain tradisional Asmoro Damais.
Eksotika tenun Indonesia
Perancang busana kondang juga terpesona tenun ikat, seperti Oscar Lawalata dan Carmanita. Karya busana rancangan keduanya tampil pada acara ‘Eksotika Tenun Indonesia’ di Gallery Springhill, yang memadukan tenun ikat Indonesia.
Para peraganya ibu-ibu rumah tangga yang memamerkan busana dari tenun ikat Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera, dan Bali. Kain-kain rancangan keduanya diambil dari binaan Perkumpulan Pesona Kain Indonesia yang diketuai Ikke Nirwan Bakrie.
Di tangan Oscar dan Carmanita, busana-busana itu terlihat formal dan non-formal. Busananya dipadu dengan aksesori dan sepatu yang serasi sehingga ibu-ibu rumah tangga itu tampil bak peragawati profesional di atas catwalk.
Oscar Lawalata memadukan kebaya lengan panjang, kebaya lengan pendek, kebaya lengan tiga perempat, dan modifikasi baju bodo, dengan tenun ikat. Warna-warna kain terlihat trendi, seperti biru toska, merah menyala, merah marun, dan hitam-putih.
Sedangkan Carmanita menghadirkan kebaya modern bergaya tumpuk dengan rimpel yang dipadu dengan kain songket Sumatera Barat, songket Jambi, tenun Singaraja-Bali, tenun Sambas Kalimantan, dan ulos Sumatera Utara. Busana-busana itu terlihat sederhana dan ringan, sehingga yang memakainya nyaman. (
Tampilkan postingan dengan label NTT. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label NTT. Tampilkan semua postingan
Selasa, 21 Mei 2013
Busana Tenun Memukau Ajang Fashiontastic 2013
Koleksi pakaian besutan desainer Stephanus Hamy membuka fashion show Fashiontastic 2013 di Pondok Indah Mal, Kebayoranlama, Jakarta Selatan, Minggu (5/5). Tak pelak, pengunjung mal tersebut terpukau.
Dengan tema Tenun, Hamy menampilkan deretan baju kasual yang menggunakan bahan dari beragam jenis tenun Nusatenggara Timut dan songket Bali. Koleksi tenun pada ajang itu makin mempertajam kepiawaian Hamy mengangkat kain tradisional menjadi busana cantik dan menawan.
Dalam acara yang mengusung tema EtnoNesia itu, Hamy menampilkan sekitar 32 stel rancangan khusus wanita. Mereka terdiri dari celana kulot, celana jodpur, celana panjang, jacket, dan rok overlap.
Hamy yang saat perhelatan itu, absen karena alasan kesehatan tetap menampilkan ciri khasnya, yakni busana berdetail lipit (pleats). Ia memadupadankan koleksinya yang dikombinasikan dengan lurik atau polosan.
Pada koleksi Stephanus Hamy yang terlihat didominasi warna tanah, namun diselipi juga warna cerah seperti merah, kuning dan hijau daun merupakan koleksi yang bisa digunakan untuk beragam kesempatan bagi fashionista Tanah Air.
Hamy yang merupakan salah satu desainer kebanggaan Indonesia lahir 7 Mei 1960 ini, memang bukan nama asing di telinga fashionista Tanah Air. Maklum, kiprahnya berkecimpung di industri fashion Indonesia selama lebih dari 20 tahun
Dengan tema Tenun, Hamy menampilkan deretan baju kasual yang menggunakan bahan dari beragam jenis tenun Nusatenggara Timut dan songket Bali. Koleksi tenun pada ajang itu makin mempertajam kepiawaian Hamy mengangkat kain tradisional menjadi busana cantik dan menawan.
Dalam acara yang mengusung tema EtnoNesia itu, Hamy menampilkan sekitar 32 stel rancangan khusus wanita. Mereka terdiri dari celana kulot, celana jodpur, celana panjang, jacket, dan rok overlap.
Hamy yang saat perhelatan itu, absen karena alasan kesehatan tetap menampilkan ciri khasnya, yakni busana berdetail lipit (pleats). Ia memadupadankan koleksinya yang dikombinasikan dengan lurik atau polosan.
Pada koleksi Stephanus Hamy yang terlihat didominasi warna tanah, namun diselipi juga warna cerah seperti merah, kuning dan hijau daun merupakan koleksi yang bisa digunakan untuk beragam kesempatan bagi fashionista Tanah Air.
Hamy yang merupakan salah satu desainer kebanggaan Indonesia lahir 7 Mei 1960 ini, memang bukan nama asing di telinga fashionista Tanah Air. Maklum, kiprahnya berkecimpung di industri fashion Indonesia selama lebih dari 20 tahun
Senin, 06 Mei 2013
Tenun NTT Bukan Tenunan Biasa
Kerajinan tenun Nusa Tenggara Timur merupakan aset budaya luar biasa. Selain beragam motifnya, proses pembuatannya pun tak sembarangan, yaitu melalui proses ritual (doa sakral). Kain tenun NTT bukan sekadar kain biasa, melainkan juga memiliki jiwa.
Ketika melewati kampung tua As Manulea di Kecamatan Sasita Mean, Kabupaten Belu, NTT, misalnya, tim Kompas bertemu dengan para perajin yang membuat kain tenun dari benang yang mereka pintal sendiri.
Pada era 1990-an, kegiatan memintal masih terlihat di mana-mana, terutama saat para wanita pergi-pulang dari pasar. Sambil berjalan kaki, dengan junjungan di kepala, mereka memintal benang dari kapas. Kini, kegiatan memintal benang seperti itu sudah langka ditemui di NTT karena tergusur benang industri.
Perempuan As Manulea itu, Lenci Abuk (38), tekun memintal benang dari abas (kapas lokal). Di samping dia, Natalia Kole (52), bersama seorang wanita sebaya dibantu seorang pria, membenahi seperangkat alat tenun kuno yang disebut bninsa.
Menurut Rosalina Lotu, seorang penenun, tais atau bĂȘte (selendang untuk pria) dari benang lokal harganya mahal, paling murah Rp 5 juta per lembar. ”Saya menanam kapas di pekarangan. Hasilnya sangat terbatas. Kalau menenun dengan benang dari kebun sendiri, harus menunggu bertahun-tahun hingga cukup untuk selembar kain,” katanya.
Di Ende, ada jenis kain tenun yang tidak bisa sembarangan dipakai. Kain itu hanya dibuat oleh kalangan tertentu, seperti keluarga tetua adat (mosalaki). Menurut Kepala Museum Tenun Ikat di Ende, Ali Abubakar Pae, pembuatan kain tenun ini umumnya dilakukan secara rahasia dan disertai ritual khusus.
”Umumnya masyarakat Ende di pesisir selatan memanjatkan doa khusus itu pada malam hari di dalam rumah,” kata Ali.
Ali mengibaratkan menenun seperti membuat keris di Jawa. Kekuatan supranatural dari roh-roh leluhur akan menjiwai kain tenun.
Ada ungkapan dalam bahasa Sikka, Ami nulung lobe. Naha utang wawa buku ubeng. Naha utang merah blanu, blekot (Kami tidak memakai sarung murahan, harus sarung dari dasar tempat simpan, harus sarung yang merah, mantap, dan bermutu).
Ungkapan itu mengandung pengertian, sarung yang dikenakan seorang perempuan menunjukkan kepribadian pemakainya. Sarung yang dipakai bukan sarung biasa. Ini menunjukkan pemakainya bukan sembarangan, melainkan orang berwibawa, bermutu, dan berkepribadian baik.
Selain prosesnya panjang dan rumit, motif tenun NTT unik dan beragam. Hampir semua daerah di NTT memiliki kerajinan tenun. Johanna Maria Pattinaja (73), istri almarhum Frans Seda, telah mengumpulkan sekitar 1.000 kain tenun ikat NTT, dari Pulau Timor, Sumba, sampai Flores.
Penelitian Romo Bosco Terwinju Pr (72) dari Keuskupan Agung Ende memperkuat hal itu. Untuk satu wilayah di Pulau Flores misalnya Sikka, ia mengoleksi sekitar 50 jenis kain tenun ikat. ”Motif kain tenun di NTT sangat banyak, berbeda-beda antarkabupaten,” katanya.
Hasil penelitian Romo Bosco di Pulau Flores, ada dua kategori tenun, jenis ikat tradisional dan sulam songket. Tenun ikat menyebar dari Flores bagian tengah, dari Kabupaten Ende hingga Kabupaten Flores Timur sampai Lembata. Adapun tenun sulam songket banyak dibuat dari Kabupaten Nagekeo sampai Kabupaten Manggarai Barat.
Warna kain tenun ikat dihasilkan dari pewarnaan kain, baik dengan bahan alam (mengkudu atau nila) maupun bahan kimia. Warna kain tenun sulam dihasilkan dari proses penyulaman benang beraneka warna.
Menurut Romo Bosco, motif kain tenun di Flores berdasarkan catatan sejarah merupakan turunan dari motif Patola, India, seperti gajah, bunga atau burung, yang kemudian berkembang dengan beragam variasi.
Tenun Kali Uda
Salah satu tenun NTT yang terkenal berasal dari Kali Uda di Pulau Sumba. Desa ini terletak 120 kilometer selatan Waingapu, Sumba Timur. Kualitas tenunan Kali Uda dianggap tertinggi karena lentur, tidak luntur, ringan, dan dapat dibuat menjadi pakaian.
Warna dasar tenun Kali Uda adalah merah, putih, dan hitam. Ragam motif biasanya ayam, burung, kuda, kerbau, sapi, serta mamuli (perhiasan berbentuk rahim perempuan).
Selain menjadi mahar kawin yang bernilai tinggi di kalangan warga Sumba, tenun ikat Kali Uda diminati turis asing. Bahkan di Denpasar, Bali, ada toko khusus yang menjual tenun Kali Uda. ”Meski harganya mahal, turis Jepang belanja sampai ratusan lembar,” kata Jery Nola (29), seorang pria perajin.
Harga selembar kain Kali Uda berukuran 1,7 meter x 2,3 meter Rp 800.000-Rp 25 juta per lembar, tergantung motif, tingkat kesulitan menenun, pewarna, dan kualitas benang.
Sayangnya, menurut Kepala Desa Kali Uda, Umbu Yiwa Hanggi, belum ada organisasi yang memayungi tenun ikat Kali Uda. Padahal, 90 persen warga Kali Uda adalah penenun.
Perkembangan tenun NTT menghadapi tantangan yang tidak ringan. Desakan ekonomi yang semakin berat memaksa penenun meninggalkannya.
Di Kali Uda, misalnya, sampai hari ini belum ada pemasaran yang masif atas hasil kerajinan masyarakat itu. Gagal panen dan kemarau panjang yang sering melanda pantai selatan Sumba Timur memperberat kondisi mereka. Kalau dulu, hasil panen bisa mengisi kekosongan pendapatan mereka; kini, pertanian tidak bisa lagi diandalkan.
”Tahun 2007 masyarakat pernah menyampaikan aspirasi melalui musyawarah rencana pembangunan desa agar dibangunkan sebuah pusat kerajinan tenun ikat di sini. Kemudian, hasil kerajinan masyarakat ditampung Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk dipasarkan ke luar Sumba. Tapi, belum ada tanggapan,” kata Umbu Yiwa.
Sejauh ini jajaran pegawai negeri sipil di NTT diwajibkan memakai baju tenun dua kali dalam seminggu, setiap Rabu dan Jumat. Kalangan penenun termasuk pemilik sentra kerajinan tenun daerah Ina Ndao, Dorce Lussi, di Kupang mengharapkan kebijakan wajib berpakaian tenun jadi empat kali seminggu. Dengan demikian, pasar tenun ikat NTT semakin terbuka
Rabu, 24 April 2013
Kain Tenun Pegringsingan Diburu Wisatawan
Kain tenun tradisional Desa Tenganan Pegringsingan, Kabupaten Karangasem, Bali, cukup terkenal hingga ke mancanegara. Wisatawan yang datang ke Karangasem, selalu menyempatkan diri mencari tenun tradisional khas Bali tersebut.
Seorang penenun, Ni Komang Sukmawati, menuturkan sejak remaja dirinya sudah biasa melakoni pekerjaan tersebut. Menurut perempuan asli Desa Tenganan Pegringsingan ini biasa menenun sepulang sekolah sejak duduk di bangku SMP. Namun waktu itu ia mengaku, belum fokus untuk menenun, hanya sekadar membantu usaha orang tuanya.
Di samping itu, menurut ibu dua anak ini, remaja Tenganan harus mampu menenun, karena saat upacara memasuki usia remaja, ada prosesi menenun yang harus didemontrasikan ke warga desa.
Tak banyak warga Tenganan yang melanjutkan studinya ke luar Karangasem. Namun, Sukmawati tertarik hijrah ke Kota Denpasar. Ia memilih jurusan Sastra Inggris di Universitas Warmadewa.
Namun, studinya terputus hanya sampai semester enam. Sukmawati keburu menikah dengan seorang laki-laki yang juga asli Desa Tenganan Pegringsingan.
Sejak itu, dia tidak punya ambisi apa-apa. Sebagai warga inti Desa Tenganan, Sukmawati tidak boleh terlalu banyak fokus berkarier. Hanya usaha menenun yang akhirnya menghidupi keluarganya.
"Tiyang (saya) tidak boleh terlalu terikat, karena sebagai warga inti saat upacara adat, kami harusngayah (kerja sosial). Waktunya juga sampai larut sehingga kami harus benar-benar fokus," katanya.
Selama satu bulan, ada waktu-waktu tertentu upacara adat di Desa Tenganan. Walaupun beban tanggung jawab begitu berat dilimpahkan ke warga asli, menurut Sukmawati, desa juga memberi kontribusi besar kepada warganya. Tiap bulan, ada pembagian beras dan uang kepada warga inti.
"Pembagian ini hanya diberikan kepada warga inti. Sedangkan yang menikah ke luar dan tinggal di luar Tenganan, tidak mendapatkan hak yang sama," katanya sembari membentangkan benang di atas alat tenun tersebut.
Ia mengatakan, kain pengringsingan yang dibuatnya, terbagi menjadi "single ikat dan double ikat". Untuk busana laki-laki membutuhkan "saput" dengan lebar 24 centimeter (cm) sebanyak dua lembar.
Sedangkan, busana perempuan memerlukan kain selembar 40 cm. Untuk selendang atau disebut single ikat lebarnya 20 cm. Sukmawati biasanya menyelesaikan satu kain sekitar dua pekan, jika ia tak sibuk ngayah untuk adat. "Saya banyak ngayah bulan ini, mungkin kain ini bisa selesai satu bulan ke depan," ucap Sukmawati sembari menunjukkan kain yang ditenunnya itu.
Ia menjelaskan, mulai dari pewarnaan sampai menjadi benang yang siap dipakai untuk menenun, memerlukan waktu dua tahun, dengan corak warna hitam, merah, cokelat.
Sejak pemerintah gencar mempromosikan Desa Tenganan, baik lewat media, banyak tamu lokal maupun asing ramai datang ke Tenganan. Apalagi pada bulan Agustus dan Desember, banyak tamu asing yang datang.
Namun, menurut Sukmawati, tiap hari ada saja tamu lokal yang datang ke Desa Tenganan. Untuk satu kain, ia menjual seharga Rp 200.000 hingga Rp 300.000. Uniknya, di Desa Tenganan, rumah penduduk langsung menjadi tempat pajangan kain Pegringsingan. Saat masuk, pengunjung langsung dapat melihat kain digantung di pintu masuk.
Peluang ekspor
Peluang ekspor kain tenun tradisional Indonesia, salah satunya tenun Pengringsingan untuk pangsa pasar ke negara Jepang sangat terbuka, karena masyarakatnya suka dengan motif etnik dan alami. "Masyarakat Jepang pada umumnya menyukai motif-motif etnik dan alami untuk busana, menataan ruang atau pun kamar tidur mereka," kata Pakar Tenun Tradisional Indonesia, Tria Basuki.
Ia mengatakan, tenun tradisional yang di ekspor itu adalah produk tenun dengan menggunakan ATBM (alat tenun bukan mesin). Artinya pengerjaannya tetap dikerjakan oleh perajin secara konvensional. "Saat ini yang sudah laku di pasar ekspor khususnya Jepang dan Eropa adalah produksi tenun tradisional dari Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Bali," kata wanita kelahiran Semarang, Jawa Tengah itu.
Kain Tradisional dalam Koleksi "Ready-to-Wear"
Citra kain tradisional kini makin terangkat di dunia fashion. Panggung mode di Jakarta Fashion & Food Festival (JFFF) menampilkan ragam koleksi busana ready-to-wear dengan sentuhan kain tradisional karya para perancang lokal. Kain tradisional dirancang dengan konsep modern, edgy, modis, sehingga menambah pesonanya.
Desainer ternama yang tergabung dalam Ikatan Perancang Muda Indonesa (IPMI) menampilkan konsep busana bergaya etnik dengan ragam pilihan kain tradisional. Sebut saja kain lurik Jawa, tenun ikat NTT, tenun sutera Makassar, tenun Badui, tenun Garut, kain Jambi, dan songket Bali, yang semuanya dirancang menjadi koleksi busana siap pakai.
Era Sukamto dengan tenun Badui dan Garut
Peragaan busana IPMI "Ethnic" pada Senin lalu menampilkan Era Sukamto dengan koleksi busana dari tenun bertema "Sonata". Era mengangkat tenun Badui dengan teknik gedogan dan tenun ATBM Garut, dengan motif geometris. Motif tenun yang kaya makna ditafsirkan Era dengan busana ringan, romantis, modern, lengkap dengan detail menarik yang menonjolkan feminitas perempuan. Penafsiran Era dalam busana koleksinya terinspirasi dari makna tenun Badui yang memiliki arti cinta universal, cinta empat arah, atau dimensi paralel antara Tuhan, leluhur, alam, dan sesama manusia.
Barli Asmara dengan tenun sutera Makassar
Anggota baru IPMI, Barli Asmara, untuk pertama kali hadir di JFFF kedelapan. Busana ready-to-wear rancangan Barli memesona dengan mengangkat kain tenun sutera Makassar atau dikenal sutera Bugis (Lippa Sabe). Koleksi busananya bertema "Ecletic" dengan warna kalem dan feminin, seperti pink dan ungu. Barli membuktikan, rancangannya memberikan kesan tradisional modern pada busana siap pakai dalam balutan tenun Makassar.
"Kain tradisional sebagai inspirasi jangan dianggap tidak bisa tampil modern, edgy," katanya saat konferensi pers menjelang peragaan busana di Hotel Harris Kelapa Gading, Jakarta, Selasa
Stephanus Hamy dengan tenun NTT
Hamy tampil dalam dua kali show dalam satu malam. Pertama, Hamy menampilkan koleksi second line miliknya, "Earthnic". Satu panggung dengan Barli, Hamy mengawali peragaan busana dengan mengeluarkan koleksi jaket wanita dari tenun Nusa Tenggara Timur. Motif tenun Sumba yang identik dengan gambar binatang, terlihat apik dirancang dalam model jaket oleh Hamy. Ragam motif tenun NTT hadir dalam desain berbeda dengan sentuhan jebolan Lomba Perancang Mode Femina 1983 ini. Kesan modern, feminin, kental terasa dalam koleksi "Earthnic".
"Setiap daerah punya tenun, dan pasar tenun tradisional semakin baik. Permintaan tenun juga tinggi, satu dua tahun terakhir tenun semakin booming. Namun, kemampuan sumber daya masih terbatas. Karena itu, saya menggunakan tenun ATBM, bukan gedog, tetapi juga tidak menggunakan tenun yang terbuat dari mesin. Tenun mesin menghilangkan nilai tradisi dari tenun itu sendiri. Setiap perajin tenun punya hasil yang berbeda meski motifnya serupa. Perajin mengerjakannya dengan penuh perasaan sehingga tenun memiliki nyawa," kata Hamy.
Lagi-lagi, tenun menjadi primadona, disukai pasar dan dicintai perancang yang menafsirkan ragam tenun Nusantara dalam koleksi busananya. Menurut Hamy, peminat tenun terus bertambah seiring dengan banyaknya kegiatan yang menjadikan tenun sebagai dress code. Kain tenun tak lagi hanya digunakan sebagai selendang. Kini, kain tenun semakin elok melekat di tubuh sebagai rok, jaket, atau blus wanita.
"Dulu jualan busana kain tenun itu susah. Saya sudah delapan tahun menggunakan tenun NTT. Namun, kini permintaan semakin banyak, bahkan kesulitan untuk memenuhi permintaan khusus untuk tenun gedog," aku Hamy, yang juga menggelar pertunjukan tunggal "Jambi to Bali" seusai menampilkan koleksi "Earthnic".
Selain tenun, Hamy juga menangkap keindahan kain tradisional Jambi dan kain songket Bali. Ia kemudian merancang busana berlabel Hamy Culture, dengan padu-padan jaket, celana panjang, rok paduan kain Jambi, dan songket Bali.
Musa Widyatmodjo dengan lurik Jawa
Lain lagi dengan desainer kenamaan Musa Widyatmodjo. Bersama mitranya, Yogi Soegyono, Musa merancang kain lurik Jawa dalam model busana siap pakai untuk perempuan modern yang tegas, cerdas, dan elegan. Ia menamakan koleksinya "The Luric(she)ll", mewakili citra perempuan yang memiliki tekad kuat, dengan mengaplikasikan lurik dalam busana smart-casual hingga cocktail.
"Kain lurik Jawa diolah menjadi bahan utama busana maupun sebagai aksen. Kain lurik sejalan dengan tren fashion tahun ini dengan elemen garis," kata Musa dalam konferensi pers di Hotel Haris Jakarta, Jumat
Senin, 15 April 2013
Beginilah Tangan Petenun...
Kuku-kuku jari tangan perempuan asal Desa Dokar, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, itu masih berwarna biru pekat oleh cairan pewarna benang tenun ikat. ”Beginilah tangan penenun,” ujar Kristina Laer (54). Dari tangan itu lahir kain tenun nan indah.
Kuku-kuku jari Kristina menghitam karena ia baru saja merendam benang dalam larutan daun tarum dicampur kapur. Di Pasar Geliting, Desa Sikka, Kabupaten Sikka, Kristina sebenarnya berjualan pisang dan labu. Namun, seperti perempuan NTT pada umumnya, ia sehari-harinya menenun sarung untuk kebutuhan sendiri.
”Pasar dadakan” pada Sabtu siang itu menunjukkan kekayaan sarung Flores, mulai dari pemakainya sampai ragam motifnya. Pembeli dan pedagang memakai sarung tenun ikat yang apik. Ada yang disampirkan di bahu, diikatkan di pinggang, hingga menjadi tudung untuk menyembunyikan wajah pemakainya. Bahkan, ada sarung tenun ikat bermotif logo perusahaan otomotif.
”Kami masih menenun motif tradisional yang diwariskan nenek moyang, baik dengan pewarnaan tradisional yang pengerjaannya memakan waktu lama, maupun pewarnaan kimia yang praktis. Namun, semakin banyak pula penenun di Desa Sikka yang menggarap pesanan motif tertentu. Mau pesan sarung tenun ikat bertuliskan nama pemesan pun bisa,” ujar Alexa (40), penenun dari desa itu.
Desakan ekonomi memang membuat para penenun tidak bisa melepaskan diri dari permintaan pasar meski masih ada yang mempertahankan unsur tradisional. Penenun asal Desa Nita, Sebina Keron (68), misalnya, menyebut sejumlah motif tradisional yang masih banyak digarap penenun di Kabupaten Sikka, seperti korsang manowalu (burung dalam mitologi setempat), korsang nagalalang (tapak kaki naga), dan sesaweor (ekor ikan sesa), atau lawa jara (motif kuda dan penunggangnya).
”Di Desa Nita, kami masih mewarnai benang tenun ikat dengan pewarna alam. Campuran mangga dan kunyit untuk warna hijau, tumbukan daun nila untuk warna biru, tumbukan mengkudu untuk warna merah. Prosesnya memakan waktu bulanan dan tingkat kepekatan warna diperoleh dengan mencelup ulang benang hingga beberapa kali,” ujar Sebina.
Penenun di Kabupaten Ende pun masih mempertahankan sejumlah motif tradisional mereka seperti lawo nggaja (motif gajah yang diartikan sebagai kendaraan para dewa), lawo jara (motif kuda), lawo zombo/ rombo (motif pepohonan lambang kehidupan), dan lawo nepa mite di Nggela yang bermotifkan ular.
Di Kampung Nggela, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende, desakan ekonomi pula yang membuat banyak penenun meninggalkan penggunaan pewarna alami. Sarung berbahan pewarna kimia yang penggarapannya bisa dikebut hingga tiga-empat minggu laku dijual di pasaran dengan harga Rp 100.000-Rp 500.000 per lembar.
”Sarung dengan pewarnaan alami memang bisa dijual lebih mahal, yaitu Rp 1 juta-Rp 5 juta. Namun, penggarapannya, mulai dari membeli kapas, memintal benang, mengikatkan motif, mewarnai, lalu menenun, hingga menjadi sebuah sarung, memakan waktu satu-dua tahun,” kata Elizabeth Angong (65), salah satu penenun Desa Nggela.
Keengganan kaum muda
Entah sampai kapan tradisi menenun di Nggela, juga di desa penenun lainnya, akan bertahan. Gadis Nggela seperti Maria Paulina Lana (24), misalnya, mengaku tidak lagi mau belajar menenun ikat.
”Kami anak muda tidak lagi tahan berjam-jam menjejak bilah kayu penegang tenunan atau menarik tiap benang yang ditenun. Pekerjaan itu sungguh melelahkan,” ujar Maria. Maria yang juga enggan mengenakan sarung tenun ikat dalam kesehariannya.
”Umumnya, yang bisa membuat sarung adalah perempuan yang putus sekolah. Kalau yang masih sekolah aktif atau kuliah, mereka tak mau lagi atau tidak ada niat untuk membuat sarung,” kata Theresia Mbasi (60).
Menurut warga Nggela yang lain, Sekolastika Mari (46), angkatan muda di desa itu umumnya tidak mampu lagi membuat sarung alami karena teknik pembuatannya sulit. Generasi tua-lah yang tetap tekun membuat sarung dengan pewarna alam.
Meski demikian, kabar segar datang dari Desa Sikka. Para gadis kembali belajar memintal, mengikat motif, dan menenun. Kaum ibu pun kembali rela bersusah payah menggarap pewarnaan alami. Apalagi, tren dewasa ini, pembeli dari luar negeri banyak yang memburu produk sarung dengan pewarna alami karena mereka lebih menyukai produk natural.
Topi Rea Khas Manggarai Barat Dicari Wisatawan
Kerajinan tangan khas Manggarai Barat dibangkitkan kembali sejalan dengan pengembangan dan kemajuan pariwisata Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, sejak binatang Komodo masuk dalam tujuh keajaiban dunia baru yang diumumkan pada November 2011. Kain songket, selendang songket sejak dahulu sudah dikerjakan oleh warga masyarakat di tiga kabupaten (Manggarai Barat, Manggarai Timur dan Manggarai).
Selama promosi tidak gencar dilakukan di media massa, maka pariwisata Kabupaten Manggarai Barat terutama kerajinan tangan khas Manggarai Barat tenggelam sangat dalam bersama dengan pengaruh modern yang kuat kepada masyarakat. Kain songket dan selendang songket khas Manggarai Barat dipadukan dengan topi Rea sungguh sangat indah dan memiliki kewibawaan bagi masyarakat Manggarai Barat. Sejak 2009 tamu-tamu yang minum kopi khas Manggarai Barat di Bandara Komodo selalu mencari sesuatu yang khas dari Manggarai Barat selain kain songket dan kain selendang.
Melihat peluang yang terjadi pasar ini maka warga berinisiatif mengumpulkan bahan-bahan khas Manggarai Barat dan Flores sejak tujuh tahun yang lalu di bidang souvenir. Souvenir yang sangat diminati wisatawan domestik dan mancanegara yakni kain songket, selendang, patung komodo, rumah adat Manggarai dan topi.
Nah, Topi yang paling unik dan khas Manggarai Barat adalah "Topi Rea" yang sangat asli hasil dari anyaman dari pohon Rea itu sendiri. Pusat Industri Kerajinan Topi Rea yang kini diubah namannya menjadi Topi Komodo yakni di Kampung Nunang, Bambor, Kecamatan Sano Nggoang; Daleng, Kecamatan Lembor; Kampung Melo, Mamis, Kecamatan Mbeliling selalu dipesan oleh para tamu dari Kota Labuan Bajo serta pejabat yang berkunjung ke Kota Labuan Bajo. Demikian dijelaskan, Ibu Maria Goreti Rueng (40), pedagang souvenir khas Flores dan Manggarai Barat di Kios Bandara Udara Komodo.
Rueng asal Sita, Kabupaten Manggarai Timur menikah dengan orang Manggarai Barat ini menuturkan, setiap hari banyak tamu di Bandara Udara Komodo selalu mencari topi Rea khas Manggarai Barat untuk dipakai atau dihadiahkan kepada tamu atau keluarga mereka. Rueng menjelaskan, bahan souvenir yang paling laris di standnya di Bandara Udara Komodo adalah rumah adat Manggarai Raya dengan dijual seharga Rp 100.000-Rp 300.000 dan kain selendang seharga Rp 50.000, kain songket seharga Rp 300.000 dan topi Rea yang sangat diminati orang dijual seharga Rp 100.000.
Penghasilan dari menjual souvenir khas Flores dan Manggarai Barat, menurut Rueng, bervariasi dimana saat pengunjung sepi dirinya akan memperoleh penghasilan Rp 500.000 per hari. Namun pada musim wisatawan berkunjung saat liburan, Rueng memperoleh penghasilan berkisar Rp 2.000.000-Rp 3.000.000 per hari.
Rueng melanjutkan, dulu dirinya berjualan souvenir di depan Gardena di pinggir pantai Labuan Bajo, namun, hasilnya sangat kurang. Barang-barang souvenir Topi Rea diambilnya dari Pusat Industri Kerajinan di Kampung Nunang, Kecamatan Sano Nggoang.
Sementara Maria Bia (59), warga Kampung Melo, di Rumah Sanggar Budaya Compang Toe menjelaskan, di rumah Sanggar Budaya Compang Toe selain disuguhkan kopi asli Manggarai Barat juga dijual Topi REA khas Manggarai Barat kepada wisatawan asing dan domestik yang berkunjung di Kampung Melo. Menurut Bia, Topi Rea ini dijual kepada wisman dan wisdom karena mereka sangat suka keaslian dari topi itu yang terbuat dari bahan-bahan alamiah.
Koordinator Lapangan di Manggarai Barat dari Tim Jelajah Sepeda Bali-Komodo, Frans Sarong menjelaskan, Tim Jelajah Sepeda Bali-Komodo sebaiknya diperkenalkan kepada aneka kerajinan tangan seperti Topi Rea ini. "Kami mencari yang unik untuk diperkenalkan kepada Tim Jelajah Sepeda Bali-Komodo sehingga kami melakukan survei di Kampung Melo," jelasnya.
Sarong memaparkan, dirinya sudah menyampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat untuk mempromosikan kekhasan masyarakat Manggarai Barat kepada tim dan rombongan Jelajah Sepeda Bali-Komodo.
Bupati Manggarai Barat, Agustinus Ch. Dula merespons baik usulan yang disampaikan di Labuan Bajo. Bupati Dula langsung memerintahkan Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Manggarai Barat segera menyiapkan 20 topi Rea untuk dipakai oleh Tim Jelajah Sepeda Bali-Komodo saat tiba di Pelabuhan Feri Labuan Bajo.
Pasalnya, dari Pelabuhan Feri Labuan Bajo, tim Jelajah Sepeda Bali-Komodo sambil menggowes sepeda keliling Kota Labuan Bajo akan memakai topi rea, topi khas Manggarai Barat di kepala mereka.
Indonesia Tak Cuma Punya Batik dan Songket
Indonesia punya banyak kain indah. Seandainya kita mau melihat, budaya kita sangat kaya dan banyak yang bisa digali. Hal itulah yang menggerakkan, Stephanus Hamy, perancang lulusan Paris American Academy di Perancis untuk menciptakan busana-busana bernuansa kekinian dari bahan-bahan kain yang dibuat secara tradisional (disebut juga wastra dari bahasa Sansekerta) Indonesia.
Hamy, yang memiliki beberapa lini busana, seperti Stephanus Hamy, Stephanus Hamy Studio, Hamy Touch, dan Hamy Culture ini muncul beberapa kali dalam peragaan busana Jakarta Fashion Week (JFW) 2010/2011. Kali pertama, tanggal 8 November 2010, ia muncul bersama beberapa desainer yang turut terlibat dalam pengembangan tenun di Cita Tenun Indonesia (CTI). Dalam kesempatan tersebut ia menampilkan koleksi Swarna Dwipa yang merupakan busana-busana wanita bergaya elegan untuk busana kerja dan santai dari berbagai campuran bahan tenunan.
Kali kedua, Hamy memeragakan koleksinya secara tunggal di panggung JFW pada hari Kamis (11/11/2010). Ia membawakan koleksinya yang bertajuk Cerita Tenun dari Timur. Saat akan memulai pagelaran, Hamy bertutur bahwa ia sudah berkutat dengan tenun dari Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak 8 tahun lalu. Lewat rancangannya, ia ingin memperkenalkan bahwa tak semua tenun NTT itu tebal dan kaku yang sulit dikenakan. Masih banyak kain NTT yang bisa dijadikan busana menarik, modern, stylish, dan fashionable.
Dalam rancangan ini, Hamy bertutur, "Dalam koleksi ini terlihat ada banyak cara untuk mengolah kain tradisional. Bahkan bisa dipakai untuk para perampuan yang memerlukan busana smart casual. Maka, Anda akan bisa melihat busana blazer, jaket, dan rok semi formal yang terbuat dari wastra tenun NTT. Di sana memiliki kain yang bagus, lho, tetapi jarang diperkenalkan. Indonesia tak cuma punya kain batik dan songket. Saya membawa kain NTT ini ke Eropa, Amerika Serikat, Kanada, dan Jepang. Ketertarikannya sangat tinggi dan pemesanannya juga banyak."
Di hari yang sama, Hamy hadir kembali bersama rekan-rekannya dari Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) dengan membawa koleksi bertajuk Gendongan. Di sini ia ingin membuktikan bahwa wastra Indonesia punya keunikan yang masih bisa digali. "Saya ingin membuktikan bahwa kain tradisional Indonesia itu sangat banyak. Saya membawa kain gendongan, kain yang biasa dipakai untuk menggendong sesuatu, yang merupakan kain dari Jawa Tengah, meski kaku dan keras, tetapi bisa mengakomodir mode global. Kain kaku dan keras semacam rami yang saya peragakan tadi tidak diolah, dan kain-kain ini bisa digunakan untuk menciptakan busana struktural yang sedang tren," jelasnya.
Tahun ini, Hamy telah menerbitkan tiga buku yakni, Chic Mengolah Wastra Indonesia seri Tenun NTT, Wastra Bali, dan Batik Jawa Barat dan berencana akan mengeluarkan lagi tahun depan untuk wastra dari daerah-daerah lain di nusantara.
"Kain-kain tradisional Indonesia banyak yang bisa mengakomodir gaya mode yang bergejolak di Indonesia," jelas Hamy. Namun, sayangnya, menurut Hamy, masih ada kendala terhadap konsistensi pengerjaan, baik itu kualitas dan kuantitas, khususnya perajin dari daerah-daerah timur Indonesia, meski di Jawa pun banyak yang juga seperti itu. Ia berharap ke depannya pihak-pihak kepemerintahan dan yang terkait bisa melihat peluang ini dan memeluk para perajin supaya mereka tidak terlupakan dan bisa dibina bersama agar memajukan ekonomi dan budaya Indonesia di mata dunia.
Sabtu, 08 Desember 2012
Tenun Ikat Khas Waingapu Sumba Timur, NTT
Tenun ikat merupakan salah satu hasil kerajinan tangan masyarakat Waingapu di kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Membuat kain tenun ikat merupakan kebiasaan wanita Waingapu sejak ratusan tahun lalu. Hingga kini, mereka membuat kerajinan ini untuk dipakai sendiri ataupun dijual ke orang lain. Hendrik Pali, salah seorang warga Lambanapu, Waingapu menceritakan, masyarakat Waingapu pada awalnya menjadikan tenun ikat sebagai satu perlengkapan penting dalam acara adat istiadat, seperti pernikahan ataupun upacara penobatan raja. Namun setelah Indonesiamenjadi Negara Republik, tidak ada perbedaan, semua dapat mengenakan kain tenun dengan berbagai motif dan jenis. Bahkan kini, tenun ikat telah menjadi bahan untuk aneka kerajinan, seperti tas, selendang, serta baju.
"Jadi itu fungsinya itu, gunanya, kalau dulu itu untuk sosial budaya ya. Sosial budaya itu adat istiadat. Kalau kita melamar seorang pengantin putri, itu dari pihak laki-laki membawa kuda, dari pihak wanita itu menyiapkan kain. Dan ini juga fungsinya kalau misalnya kalau pergi pesta ya pakai, memang ada yang khusus kalau dulu. Ada yang dipakai khusus untuk raja-raja dan ada yang dipakai khusus untuk orang biasa. Kalau sekarang ya tidak lagi, setelah negara menjadi Negara Republik itu sudah bebas ya. Hak asasinya disamakan saja. Kalau sekarang ini memang sudah bisa dipakai untuk buat baju, sudah biasa pakai dengan bermacam-macam. Orang sudah jahitin tas, orang sudah jahit baju, orang sudah jahit longdress, sudah bisa saja dipakai begitu. Dan sudah ya dibisniskan juga."
Kerajinan tenun dari Waingapu ini dinamakan tenun ikat karena sebelum ditenun, benang diikat hingga menjadi beberapa ikatan kemudian diberi warna mengikuti pola yang telah ditentukan. Untuk menghasilkan sehelai kain tenun ikat khas Waingapu tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk proses pewarnaan benangnya saja membutuhkan proses yang bertahap dan butuh kesabaran. Pada musim penghujan, pengrajin tenun biasanya memulai kegiatan dengan mengikat benang, membentuk motif, serta menyiapkan bahan pewarna alami.
Biasanya, mereka membuat warna merah dari akar mengkudu yang dicampur dengan daun loba dan untuk warna hijau dibuat dari zat hijau daun. Mereka akan memulai proses pewarnaan benang ketika musim kemarau, karena setelah dicelup warna, benang yang telah diikat itu harus dijemur di bawah terik matahari. Untuk menghasilkan satu buah warna yang bagus, paling tidak diperlukan hingga empat kali proses pencelupan.
Itupun, hasil pewarnaan harus diolah kembali dan dijemur selama beberapa waktu. Setelah benang diberi warna, barulah ikatan benang itu dibuka dan benang yang akan ditenun diuraikan satu per satu. Wanita Waingapu kemudian menenun benang ini hingga menjadi selembar kain tenun menggunakan alat tenun tradisional yang terbuat dari kayu. Karena proses yang cukup panjang dan butuh waktu yang cukup lama itulah, tak heran jika Hendrik Pali, seorang warga Lambanapu, Waingapu mengatakan harga kain tenun ikat khas Waingapu relatif mahal bahkan hingga mencapai jutaan rupiah.
"Emang agak mahal ya, karena ini manual ya, dikerjakan manual. Sehari selembar benang, setahun selembar kain. Jadi akan agak mahal dia. Jadi harga itu memang dilihat dari kualitasnya. Ada harga 5 juta, 4 juta, 1 juta, ada yang 500 ribu. Kalau selendang ada yang 60 ribu, 260 ribu."
Pengrajin tenun ikat di Sumba Timur umumnya menghasilkan kain dengan motif hewan dan tumbuhan, seperti udang, penyu, buaya, serta pohon andung, salah satu jenis pohon yang dapat dijumpai di daerah Sumba Timur. Hendrik Pali, seorang warga Waingapu mengatakan motif tenun ikat di Sumba Timur memiliki ciri khas tersendiri dan bagi warga Waigapu, setiap motif itu memiliki arti. Untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap tentang itu, mari kita dengarkan penjelasan Hendrik Pali berikut ini.
"Motif udang ini ada simbol tersendiri. Simbol itu, orang dulu belum tau tulis dan ingin menyatakan bahwa hidup ini tidak dilenyapkan. Bahkan di balik kematian, ada kehidupan. Karena ada itu punya istilah adatnya, syairnya itu Dulu La Kuraluku Halukulamanumara, seperti udang itu menjelma di kali, di sungai dan seperti orang-orang dulu yang beragama asli dan juga mereka mengatakan setelah kematian ada kehidupan. Dia mau beritahu begitu, nilai religiusnya. Dulu ini kalau ini hanya dipakai oleh raja-raja, buaya dan penyu hanya dipakai oleh raja-raja, karena penyu dan buaya merupakan lambang keagungan dan kebesaran dari seorang raja"
Apa anda mulai tertarik dengan kain tenun ikat khas Waingapu?. Anda dapat menjadikan kerajinan ini sebagai salah satu cinderamata ketika berkunjung ke kota Waingapu, kabupaten Sumba Timur.
Sabtu, 21 April 2012
Tenun Ikat Timor Sarat Tradisi Bernilai Ekonomi
Menenun menjadi kegiatan keseharian bagi masyarakat Timor, Nusa Tenggara Timur. Kain tenun ikat bernilai ekonomi tinggi dan menjadi sumber mata pencaharian utama. Satu lembar kain tenun ikat tak hanya bermakna tradisi, namun juga menggambarkan keuletan perajin dalam memproduksinya berbulan-bulan. Kain tenun ikat dari Timor bahkan bisa mencetak sarjana. Inilah pengalaman Cornelis Talom (68) bersama anak dan istrinya dalam melestarikan kain tenun ikat dengan cara sederhana.
Cornelis, tak kenal lelah menawarkan kain tenun ikat buatan istrinya di halaman hotel di Kupang, NTT. Meski hari makin larut, bapak tujuh anak ini masih bertahan berjualan, berharap tamu hotel tertarik membeli kain tenun berwarna cerah, khas motif amanatun dari Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Tak jauh dari tempat Cornelis berjualan, deretan toko suvenir memajang ragam motif kain tenun NTT. Bapak tua ini percaya diri bersaing dengan toko yang menjual berbagai model aplikasi tenun. Sebagai bentuk penghargaan atas usaha perajin tenun, pemilik toko juga tak melarangnya berjualan di depan pertokoan. Rupanya, Cornelis seringkali mengikuti tamu hotel menuju toko tersebut. Ia berharap, pengunjung toko sudi membeli kain yang ditenun keluarganya.
"Saya membawa lima lembar kain dan lima lembar selendang tenun khas TTS untuk dijual 1-2 minggu di Kupang. Saya sudah satu minggu di Kupang, kalau sudah laku, saya kembali ke kampung. Kain tenun ini yang membuat istri dan anak," tutur Cornelis yang berasal dari desa Sahan, kecamatan Nungkolo, kabupaten TTS, NTT.
Cornelis berjualan kain tenun sejak puluhan tahun silam dan memilih cara sederhana menjual produk kerajinan tangannya. Meski sederhana, pria buta huruf ini pantang menyerah menjajakan kain tenun dari desa. Kegigihan inilah yang membuat anak-anaknya bisa bersekolah hingga perguruan tinggi, dan beberapa di antaranya berprofesi sebagai guru. Saat berjualan tenun di Kupang, Cornelis menumpang di rumah salah satu anaknya. "Enam anak saya sudah menikah dan tinggal di Kupang," jelas pria yang tak bisa berbahasa Indonesia ini.
Pengunjung toko atau tamu hotel yang ditawari kain tenun oleh Cornelis, memang membutuhkan orang lokal untuk menerjemahkan bahasanya. Cornelis memang pantang menyerah. Tanpa terlihat ingin dikasihani, ia gigih menawarkan kain tenun dari kampungnya. Ia yakin, akan ada orang lain yang membantunya bertransaksi. Benar saja, malam itu, Cornelis berhasil menjual satu selendang tenun dari TTS kepada pengunjung toko, senilai Rp 75.000.
Sementara, kain tenun model selimut senilai Rp 600.000 belum berhasil terjual. Kakek sembilan cucu ini berharap keberuntungan akan kembali menghampirinya esok hari. Setelah mendapatkan pembeli malam itu, Cornelis beranjak pulang menuju kediaman anaknya. Ia percaya diri, selendang tenun yang diproduksi selama lima hari, dan kain tenun selimut yang dibuat selama delapan bulan, akan memikat hati pengunjung toko atau tamu hotel, esok atau lusa.
Baginya membuat kain tenun di kampung, lalu menjualnya di kota, menjadi pekerjaan menguntungkan. Karena itulah, salah satu anak laki-laki Cornelis melakukan hal serupa. Membuat dan menjual kain tenun dengan cara sederhana seperti bapaknya.
Cornelis, tak kenal lelah menawarkan kain tenun ikat buatan istrinya di halaman hotel di Kupang, NTT. Meski hari makin larut, bapak tujuh anak ini masih bertahan berjualan, berharap tamu hotel tertarik membeli kain tenun berwarna cerah, khas motif amanatun dari Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Tak jauh dari tempat Cornelis berjualan, deretan toko suvenir memajang ragam motif kain tenun NTT. Bapak tua ini percaya diri bersaing dengan toko yang menjual berbagai model aplikasi tenun. Sebagai bentuk penghargaan atas usaha perajin tenun, pemilik toko juga tak melarangnya berjualan di depan pertokoan. Rupanya, Cornelis seringkali mengikuti tamu hotel menuju toko tersebut. Ia berharap, pengunjung toko sudi membeli kain yang ditenun keluarganya.
"Saya membawa lima lembar kain dan lima lembar selendang tenun khas TTS untuk dijual 1-2 minggu di Kupang. Saya sudah satu minggu di Kupang, kalau sudah laku, saya kembali ke kampung. Kain tenun ini yang membuat istri dan anak," tutur Cornelis yang berasal dari desa Sahan, kecamatan Nungkolo, kabupaten TTS, NTT.
Cornelis berjualan kain tenun sejak puluhan tahun silam dan memilih cara sederhana menjual produk kerajinan tangannya. Meski sederhana, pria buta huruf ini pantang menyerah menjajakan kain tenun dari desa. Kegigihan inilah yang membuat anak-anaknya bisa bersekolah hingga perguruan tinggi, dan beberapa di antaranya berprofesi sebagai guru. Saat berjualan tenun di Kupang, Cornelis menumpang di rumah salah satu anaknya. "Enam anak saya sudah menikah dan tinggal di Kupang," jelas pria yang tak bisa berbahasa Indonesia ini.
Pengunjung toko atau tamu hotel yang ditawari kain tenun oleh Cornelis, memang membutuhkan orang lokal untuk menerjemahkan bahasanya. Cornelis memang pantang menyerah. Tanpa terlihat ingin dikasihani, ia gigih menawarkan kain tenun dari kampungnya. Ia yakin, akan ada orang lain yang membantunya bertransaksi. Benar saja, malam itu, Cornelis berhasil menjual satu selendang tenun dari TTS kepada pengunjung toko, senilai Rp 75.000.
Sementara, kain tenun model selimut senilai Rp 600.000 belum berhasil terjual. Kakek sembilan cucu ini berharap keberuntungan akan kembali menghampirinya esok hari. Setelah mendapatkan pembeli malam itu, Cornelis beranjak pulang menuju kediaman anaknya. Ia percaya diri, selendang tenun yang diproduksi selama lima hari, dan kain tenun selimut yang dibuat selama delapan bulan, akan memikat hati pengunjung toko atau tamu hotel, esok atau lusa.
Baginya membuat kain tenun di kampung, lalu menjualnya di kota, menjadi pekerjaan menguntungkan. Karena itulah, salah satu anak laki-laki Cornelis melakukan hal serupa. Membuat dan menjual kain tenun dengan cara sederhana seperti bapaknya.
Langganan:
Postingan (Atom)