Tampilkan postingan dengan label flores. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label flores. Tampilkan semua postingan
Senin, 06 Mei 2013
The Mary Hunt Kahlenberg Collection, Five Centuries of Indonesian Textiles
Sudah banyak buku ditulis mengenai tekstil Indonesia, tetapi kain Nusantara seperti sihir yang mendorong banyak orang terus menggali dan menuliskan tentangnya. Begitu juga dengan Mary Hunt Kahlenberg.
Dia memilih judul The Mary Hunt Kahlenberg Collection, Five Centuries of Indonesian Textiles (2010), karena di antara kain asli Nusantara koleksinya, terdapat tenun dari abad ke-15. Umumnya kurator dan kolektor kain skeptis terhadap kemampuan kain Nusantara bertahan ratusan tahun, karena dibuat lokal dan dikenakan sehari-hari, kain dapat diganti setiap saat begitu lapuk.
”Banyak orang meragukan kain asli Indonesia dapat bertahan dalam waktu panjang, mengingat udara yang panas dan lembap, serta cara penyimpanannya,” papar Kahlenberg di Museum Tekstil Jakarta, Desember lalu.
Kahlenberg yang tinggal di Santa Fe, AS, datang ke Jakarta bersama suaminya, Robert T Coffland, untuk diskusi buku yang diadakan antara lain oleh Museum Tekstil dan Perhimpunan Wastreprema. Ia merasa tertantang membuktikan usia kain Nusantara dengan lebih akurat. Selain memakai metode sejarah-seni, yaitu membandingkan corak atau tenunan dengan monumen arsitektur dan lukisan manuskrip sezaman, juga dengan uji karbon C-14.
Tahun 2003, ia mengirim contoh benang tenun dari tiga kain koleksinya, masing-masing dari Poso, Sulawesi Tengah; Komering di Sumatera Selatan; dan Timor di NTT, untuk uji karbon di Swiss.
Hasilnya, kain Komering berasal dari tahun 1403-1501 dengan kemungkinan 98,5 persen. Benang lungsi terbuat dari sutra dan benang pakannya katun bercorak ikat pakan cukup rumit. Kain ini juga memakai benang emas di tepinya. Sedangkan kain dari Poso diduga berasal dari tahun 1419-1627 dengan peluang 95 persen, sementara kain dari Timor diperkirakan berasal dari tahun 1419-1520.
”Uji tersebut membuktikan kain Indonesia dapat bertahan melalui waktu karena dijaga sebagai benda berharga milik keluarga. Kualitas kain-kain tersebut masih bagus. Tradisi menjaga kain sebagai benda berharga harus dipertahankan,” paparnya.
Cinta
Pertanyaan yang sering ditujukan kepada Kahlenberg, mengapa mencintai kain, terutama kain Indonesia? Ia bercerita, tumbuh besar dalam keluarga yang mengoleksi aneka pita dan perca kain yang dianyam para perempuan di keluarga besarnya. Hal itu memesona Kahlenberg, apalagi kemudian neneknya memberi pita-pita koleksinya untuk dia.
Tentang kain Indonesia, ia mengaku alasannya tak rasional. Dia jatuh cinta begitu saja saat pertama kali melihat foto kain Indonesia yang dikirim ahli dan penjual kain asal Belanda, Laurens Langewis. Pertengahan tahun 1960-an itu, Kahlenberg adalah kurator Museum Tekstil, Washington, AS. Foto-foto tersebut mendorongnya membaca lebih dalam buku tulisan Langewis dan Frits A Wagner, Decorative Art in Indonesian Textiles (1964). Dia paling tertarik pada tapis Lampung yang belakangan dia tahu bercorak cumi-cumi.
”Saya terpukau kerumitan corak dan kualitas pembuatannya. Juga kain Indonesia lain, seperti teknik rintang warna pada batik dan berbagai teknik tenun. Itu titik balik penting dalam hidup saya. Sayangnya, tak satu pun dari kain yang ditawarkan itu dibeli museum,” kenangnya.
Rasa penasaran Kahlenberg terobati ketika tahun 1969 pindah ke Los Angeles County Museum of Arts (LACMA) dan menjadi kepala bagian kostum dan kain. Dalam posisi itu, dia terbang pertama kali ke Kalimantan pada 1973. Tahun 1977, dia menyelenggarakan pameran ”Textile Traditions of Indonesia” di LACMA dan menjadi pameran besar pertama di AS khusus tentang kain Indonesia.
Selama 35 tahun sesudahnya, ia menjelajahi pulau-pulau Indonesia. Posisi suami pertamanya sebagai diplomat memberinya kesempatan belajar tekstil di Eropa dan mengunjungi museum untuk mempelajari kain Indonesia, sampai sempat terkunci sendirian. ”Saya tak ingin menyebut nama museumnya,” katanya diiringi tawa.
Di Indonesia, Kahlenberg membangun hubungan dengan orang-orang yang dia temui di desa dan kota, serta membentuk pengetahuan tentang lapis-lapis rumit pemahaman masyarakat Indonesia mengenai kehidupan religius dan sejarahnya yang berkaitan dengan fungsi kain dalam kehidupan.
”Bertemu dengan orang-orang yang membuat dan memakai kain itu sangat menarik, cara menenun dan menangani kain, juga detail kehidupan lainnya,” katanya.
Dia menemukan kesamaan dengan pengalamannya masa kecil, yaitu tradisi pembuatan dan perawatan kain diturunkan dari ibu kepada anak perempuan.
Ia berharap masyarakat dapat menjaga kualitas kain Indonesia karena berhubungan erat dengan tradisi yang dihidupi masyarakat sendiri. Terutama kini, ketika kain diperdagangkan dan kualitas ditentukan pembeli. ”Tentu, kain harus berkembang mengikuti perubahan waktu. Tetapi, sebagai pembeli, kita harus berusaha membeli kain yang bagus,” tandasnya.
Mengenalkan Indonesia
Meskipun kini tak terlalu kerap ke Indonesia, dia mengaku terus meriset kain. Bukunya, setebal 398 halaman termasuk indeks, bercerita tentang masyarakat pembuat kain-kain tersebut. Koleksinya lebih berdasar kualitas istimewa kain daripada kumpulan kain karena komunitas pembuatnya.
Melalui koleksi 350 lebih kain dan penjelasan yang ditulis beberapa ahli kain, antara lain Ruth Barnes dan Rens Heringa, pembaca diajak mengenal cara masyarakat Nusantara memandang dunia dalam dan dunia luar, yang bahkan bagi banyak pembaca Indonesia sekali pun merupakan pengetahuan baru.
Sebagai sarjana sejarah seni, Kahlenberg mendekati kain Indonesia melalui kacamata antropologi, seperti umum dilakukan para ahli kain, serta pendekatan seni dan sejarah. ”Menulis dari sisi seni lebih sulit karena menyampaikan apa yang kita rasakan, bagaimana pengaruh emosionalnya ketika kita melihat (kain),” ungkapnya.
Tantangan lain, meyakinkan masyarakat dunia, terutama di Barat, kain Indonesia adalah karya seni, bukan sekadar kriya. Oleh karena itu, dia berusaha membuat buku ini indah. ”Untuk membuat orang membaca dan melihat, lalu berpikir, oh (kain-kain) ini indah,” ungkap Mary Hunt Kahlenberg.
Tenun NTT Bukan Tenunan Biasa
Kerajinan tenun Nusa Tenggara Timur merupakan aset budaya luar biasa. Selain beragam motifnya, proses pembuatannya pun tak sembarangan, yaitu melalui proses ritual (doa sakral). Kain tenun NTT bukan sekadar kain biasa, melainkan juga memiliki jiwa.
Ketika melewati kampung tua As Manulea di Kecamatan Sasita Mean, Kabupaten Belu, NTT, misalnya, tim Kompas bertemu dengan para perajin yang membuat kain tenun dari benang yang mereka pintal sendiri.
Pada era 1990-an, kegiatan memintal masih terlihat di mana-mana, terutama saat para wanita pergi-pulang dari pasar. Sambil berjalan kaki, dengan junjungan di kepala, mereka memintal benang dari kapas. Kini, kegiatan memintal benang seperti itu sudah langka ditemui di NTT karena tergusur benang industri.
Perempuan As Manulea itu, Lenci Abuk (38), tekun memintal benang dari abas (kapas lokal). Di samping dia, Natalia Kole (52), bersama seorang wanita sebaya dibantu seorang pria, membenahi seperangkat alat tenun kuno yang disebut bninsa.
Menurut Rosalina Lotu, seorang penenun, tais atau bĂȘte (selendang untuk pria) dari benang lokal harganya mahal, paling murah Rp 5 juta per lembar. ”Saya menanam kapas di pekarangan. Hasilnya sangat terbatas. Kalau menenun dengan benang dari kebun sendiri, harus menunggu bertahun-tahun hingga cukup untuk selembar kain,” katanya.
Di Ende, ada jenis kain tenun yang tidak bisa sembarangan dipakai. Kain itu hanya dibuat oleh kalangan tertentu, seperti keluarga tetua adat (mosalaki). Menurut Kepala Museum Tenun Ikat di Ende, Ali Abubakar Pae, pembuatan kain tenun ini umumnya dilakukan secara rahasia dan disertai ritual khusus.
”Umumnya masyarakat Ende di pesisir selatan memanjatkan doa khusus itu pada malam hari di dalam rumah,” kata Ali.
Ali mengibaratkan menenun seperti membuat keris di Jawa. Kekuatan supranatural dari roh-roh leluhur akan menjiwai kain tenun.
Ada ungkapan dalam bahasa Sikka, Ami nulung lobe. Naha utang wawa buku ubeng. Naha utang merah blanu, blekot (Kami tidak memakai sarung murahan, harus sarung dari dasar tempat simpan, harus sarung yang merah, mantap, dan bermutu).
Ungkapan itu mengandung pengertian, sarung yang dikenakan seorang perempuan menunjukkan kepribadian pemakainya. Sarung yang dipakai bukan sarung biasa. Ini menunjukkan pemakainya bukan sembarangan, melainkan orang berwibawa, bermutu, dan berkepribadian baik.
Selain prosesnya panjang dan rumit, motif tenun NTT unik dan beragam. Hampir semua daerah di NTT memiliki kerajinan tenun. Johanna Maria Pattinaja (73), istri almarhum Frans Seda, telah mengumpulkan sekitar 1.000 kain tenun ikat NTT, dari Pulau Timor, Sumba, sampai Flores.
Penelitian Romo Bosco Terwinju Pr (72) dari Keuskupan Agung Ende memperkuat hal itu. Untuk satu wilayah di Pulau Flores misalnya Sikka, ia mengoleksi sekitar 50 jenis kain tenun ikat. ”Motif kain tenun di NTT sangat banyak, berbeda-beda antarkabupaten,” katanya.
Hasil penelitian Romo Bosco di Pulau Flores, ada dua kategori tenun, jenis ikat tradisional dan sulam songket. Tenun ikat menyebar dari Flores bagian tengah, dari Kabupaten Ende hingga Kabupaten Flores Timur sampai Lembata. Adapun tenun sulam songket banyak dibuat dari Kabupaten Nagekeo sampai Kabupaten Manggarai Barat.
Warna kain tenun ikat dihasilkan dari pewarnaan kain, baik dengan bahan alam (mengkudu atau nila) maupun bahan kimia. Warna kain tenun sulam dihasilkan dari proses penyulaman benang beraneka warna.
Menurut Romo Bosco, motif kain tenun di Flores berdasarkan catatan sejarah merupakan turunan dari motif Patola, India, seperti gajah, bunga atau burung, yang kemudian berkembang dengan beragam variasi.
Tenun Kali Uda
Salah satu tenun NTT yang terkenal berasal dari Kali Uda di Pulau Sumba. Desa ini terletak 120 kilometer selatan Waingapu, Sumba Timur. Kualitas tenunan Kali Uda dianggap tertinggi karena lentur, tidak luntur, ringan, dan dapat dibuat menjadi pakaian.
Warna dasar tenun Kali Uda adalah merah, putih, dan hitam. Ragam motif biasanya ayam, burung, kuda, kerbau, sapi, serta mamuli (perhiasan berbentuk rahim perempuan).
Selain menjadi mahar kawin yang bernilai tinggi di kalangan warga Sumba, tenun ikat Kali Uda diminati turis asing. Bahkan di Denpasar, Bali, ada toko khusus yang menjual tenun Kali Uda. ”Meski harganya mahal, turis Jepang belanja sampai ratusan lembar,” kata Jery Nola (29), seorang pria perajin.
Harga selembar kain Kali Uda berukuran 1,7 meter x 2,3 meter Rp 800.000-Rp 25 juta per lembar, tergantung motif, tingkat kesulitan menenun, pewarna, dan kualitas benang.
Sayangnya, menurut Kepala Desa Kali Uda, Umbu Yiwa Hanggi, belum ada organisasi yang memayungi tenun ikat Kali Uda. Padahal, 90 persen warga Kali Uda adalah penenun.
Perkembangan tenun NTT menghadapi tantangan yang tidak ringan. Desakan ekonomi yang semakin berat memaksa penenun meninggalkannya.
Di Kali Uda, misalnya, sampai hari ini belum ada pemasaran yang masif atas hasil kerajinan masyarakat itu. Gagal panen dan kemarau panjang yang sering melanda pantai selatan Sumba Timur memperberat kondisi mereka. Kalau dulu, hasil panen bisa mengisi kekosongan pendapatan mereka; kini, pertanian tidak bisa lagi diandalkan.
”Tahun 2007 masyarakat pernah menyampaikan aspirasi melalui musyawarah rencana pembangunan desa agar dibangunkan sebuah pusat kerajinan tenun ikat di sini. Kemudian, hasil kerajinan masyarakat ditampung Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk dipasarkan ke luar Sumba. Tapi, belum ada tanggapan,” kata Umbu Yiwa.
Sejauh ini jajaran pegawai negeri sipil di NTT diwajibkan memakai baju tenun dua kali dalam seminggu, setiap Rabu dan Jumat. Kalangan penenun termasuk pemilik sentra kerajinan tenun daerah Ina Ndao, Dorce Lussi, di Kupang mengharapkan kebijakan wajib berpakaian tenun jadi empat kali seminggu. Dengan demikian, pasar tenun ikat NTT semakin terbuka
Selasa, 30 April 2013
Table Fashion ala Ghea Panggabean
Indonesia memiliki ribuan kepulauan, banyak yang bisa digali kebudayaan pada masing-masing daerah. Saya sejak remaja, jatuh cinta pada kecantikan dan inspirasi gayahippie, yang banyak warna dan loose. Saya mendapatinya di kain khas Palembang," terang Ghea Panggabean saat peluncuran koleksi tableware Pelangi Palembang, di Alun-Alun Grand Indonesia Shopping Town, beberapa waktu lalu.
Peluncuran Tea Set Collection dan Table Setting for Breakfast, Lunch, dan Dinner ini merupakan salah satu momen yang ditunggu Ghea untuk menandai hal tersebut.
Saat acara fashion week yang digelar di akhir tahun lalu, Ghea sempat mengutarakan keinginannya untuk kembali mengangkat hal yang menjadi kegemarannya sejak lama dan yang pertama kali ia angkat ketika meyakini diri untuk menjadi desainer, yakni busana ala hippie dan berwarna ceria. Kini ia menuangkannya dalam perangkat makan dan minuman.
Lewat koleksi perangkat makan dan minum ini, Ghea bermaksud untuk melestarikan kebudayaan Indonesia melalui sesuatu yang berbeda. Ghea menuturkan, koleksinya ini membutuhkan waktu pengerjaan hingga 1 tahun.
"Biasanya, desainer perangkat makan hanya menawarkan desain generik, seperti buah-buahan, binatang, dan sebagainya. Tapi, kami ingin mengangkat desainer-desainer lokal. Saat ini kami bekerja sama dengan Ibu Ghea, dan karena ia memiliki nama besar, harapannya koleksi dan budaya Indonesia juga bisa ikut terangkat," terang James de Rave, direktur Kedaung Group yang memproduksi tableware ini di acara yang sama.
James juga menjelaskan, bahwa untuk menciptakan koleksi tableware ini, khususnya untuk perangkat high tea, diperlukan upaya yang cukup rumit. Karena dari tekstil tak bisa langsung diaplikasikan pada perangkat porselen, harus lewat proses tertentu agar bisa menciptakan perangkat yang cerah, menarik, tapi tidak beracun. Pasalnya, cat yang digunakan untuk membuat porselen tersebut memiliki corak dan motif mengandung lead dan cadmium yang tak baik untuk kesehatan. Tak hanya itu, "Ibu Ghea sangat presisi dengan warna. Ia ingin warna yang tepat. Warna yang paling sulit didapat adalah koleksi yang warna hijau. Karena warna hijau sulit untuk bisa digabung warna merah tua di pinggirannya. Tapi saat berhasil didapatkan, Ibu Ghea gembira sekali," cerita James.
Khusus untuk perangkat high tea, Ghea membuat tidak hanya 1 warna, tapi 5 warna dengan motif yang sama. Di dalam koleksi tersebut, terdapat warna marun, terakota, hijau, oranye, dan ungu. Koleksi tersebut sengaja dibuat seperti itu, inspirasinya datang dari kebiasaan ibu Ghea. Di masa kecil, Ghea sering memerhatikan kebiasaan ibunya yang mengoleksi perangkat minum teh. Koleksi perangkat minum teh yang dimiliki ibunya tidak selalu seragam, kadang berbeda bentuk dan berbeda warna. Sehingga saat disajikan kepada tamu, cangkirnya berbeda-beda. "Mungkin maksudnya supaya tidak tertukar," seloroh Ghea. Warna yang berbeda-beda tapi motif yang serupa akan makin marak ketika dihidangkan kepada tamu.
Selain perangkat minum teh, untuk koleksi Pelangi Palembang, Ghea juga mendesain teko, piring kue, piring makan, piring susun, mangkuk, dan lainnya. Tertarik? Segera kunjungi Alun-Alun atau gerai Kedaung, karena koleksi ini sangat terbatas. "Kami hanya membuat koleksi ini mulai dari 200-1000 pieces, sehingga menjadikan koleksi Pelangi Palembang collectible items" terang James. Untuk harga, koleksi untuk 4 cangkir dan tatakannya dipasarkan dengan harga Rp 495.000.
Peluncuran Tea Set Collection dan Table Setting for Breakfast, Lunch, dan Dinner ini merupakan salah satu momen yang ditunggu Ghea untuk menandai hal tersebut.
Saat acara fashion week yang digelar di akhir tahun lalu, Ghea sempat mengutarakan keinginannya untuk kembali mengangkat hal yang menjadi kegemarannya sejak lama dan yang pertama kali ia angkat ketika meyakini diri untuk menjadi desainer, yakni busana ala hippie dan berwarna ceria. Kini ia menuangkannya dalam perangkat makan dan minuman.
Lewat koleksi perangkat makan dan minum ini, Ghea bermaksud untuk melestarikan kebudayaan Indonesia melalui sesuatu yang berbeda. Ghea menuturkan, koleksinya ini membutuhkan waktu pengerjaan hingga 1 tahun.
"Biasanya, desainer perangkat makan hanya menawarkan desain generik, seperti buah-buahan, binatang, dan sebagainya. Tapi, kami ingin mengangkat desainer-desainer lokal. Saat ini kami bekerja sama dengan Ibu Ghea, dan karena ia memiliki nama besar, harapannya koleksi dan budaya Indonesia juga bisa ikut terangkat," terang James de Rave, direktur Kedaung Group yang memproduksi tableware ini di acara yang sama.
James juga menjelaskan, bahwa untuk menciptakan koleksi tableware ini, khususnya untuk perangkat high tea, diperlukan upaya yang cukup rumit. Karena dari tekstil tak bisa langsung diaplikasikan pada perangkat porselen, harus lewat proses tertentu agar bisa menciptakan perangkat yang cerah, menarik, tapi tidak beracun. Pasalnya, cat yang digunakan untuk membuat porselen tersebut memiliki corak dan motif mengandung lead dan cadmium yang tak baik untuk kesehatan. Tak hanya itu, "Ibu Ghea sangat presisi dengan warna. Ia ingin warna yang tepat. Warna yang paling sulit didapat adalah koleksi yang warna hijau. Karena warna hijau sulit untuk bisa digabung warna merah tua di pinggirannya. Tapi saat berhasil didapatkan, Ibu Ghea gembira sekali," cerita James.
Khusus untuk perangkat high tea, Ghea membuat tidak hanya 1 warna, tapi 5 warna dengan motif yang sama. Di dalam koleksi tersebut, terdapat warna marun, terakota, hijau, oranye, dan ungu. Koleksi tersebut sengaja dibuat seperti itu, inspirasinya datang dari kebiasaan ibu Ghea. Di masa kecil, Ghea sering memerhatikan kebiasaan ibunya yang mengoleksi perangkat minum teh. Koleksi perangkat minum teh yang dimiliki ibunya tidak selalu seragam, kadang berbeda bentuk dan berbeda warna. Sehingga saat disajikan kepada tamu, cangkirnya berbeda-beda. "Mungkin maksudnya supaya tidak tertukar," seloroh Ghea. Warna yang berbeda-beda tapi motif yang serupa akan makin marak ketika dihidangkan kepada tamu.
Selain perangkat minum teh, untuk koleksi Pelangi Palembang, Ghea juga mendesain teko, piring kue, piring makan, piring susun, mangkuk, dan lainnya. Tertarik? Segera kunjungi Alun-Alun atau gerai Kedaung, karena koleksi ini sangat terbatas. "Kami hanya membuat koleksi ini mulai dari 200-1000 pieces, sehingga menjadikan koleksi Pelangi Palembang collectible items" terang James. Untuk harga, koleksi untuk 4 cangkir dan tatakannya dipasarkan dengan harga Rp 495.000.
Rabu, 20 Juni 2012
KEINDAHAN TENUN IKAT DARI "COPA DE FLORES"
Copa de Flores yang berarti Tanjung Bunga merupakan sebutan yang diberikan oleh bangsa Portugis untuk Flores lima abad lalu. Saat kali pertama mereka tiba disana dan terpesona oleh kecantikan pulau tersebut.
Flores dihuni berbagai kelompok etnis dimana masing-masing menempati wilayah tertentu lengkap dengan aturan-aturan adat, kemasyarakatan dan budaya yang berbeda dan mengikat utuh masyarakatnya. Salah satunya adalah Sikka dari etnis mukang.
Sikka di Flores selain sebagai nama etnis juga nama kabupaten dengan Maumere sebagai ibukota. Salah satu yang terkenal dari kekayaan budaya pembuatan tenun ikat yang dipakai dalam setiap upacara adat maupun kehidupan sehari-hari.
Salah satu komunitas yang aktif terus melestarikan dan mengembangkan tenun ikat sekaligus budaya dan kesenian adat Sikka adalah Sanggar Bliran sina bertempat di desa Watublapi 20 kilometer dari Maumere.
Berdiri 1998 di oleh alm. Romanus Rewo, ayahnda dari Daniel David yang kini meneruskan perjuangan sang ayah. Komunitas ini terus menggali dan memberikan kesadaran melestarikan adapt dan budaya Sikka. Untuk pengembangan tenun ikat selalu konsisten dan terus menerus menggali penggunaan motif-motif tradisional, selain kreasi baru dan penggunaan bahan pewarna alami untuk seluruh proses pewarnaan. Untuk lebih memberdayakan anggotanya yang 56 orang itu, salah satu upaya komunitas ini adalah membentuk koperasi (2006) dan memperkenalkan ke berbagai forum nasional maupun internasional. Baik upaya mandiri maupun undangan dari berbagai pihak. Selain itu mereka mendapat bantuan manajemen dari Swisscontact Wisata.
Para perempuan penenun di Watublapi perlahan-lahan beralih dan memilih mengerjakan tenun ikat dengan warna organik yang bahan-bahannya berasal dari tumbuhan local sama seperti yang dilakukan oleh leluhur mereka.
Komitmen tersebut dijalankan bersama dimotivasi oleh beberapa hal, yakni pelestarian warisan budaya bangsa (tenun ikat tradisional dapat dijumpai dari Sabang sampai Merauke), berwawasan lingkungan (mengurangi limbah dari bahan pewarna kimia dan melakukan penanaman kembali tanaman pewarna organic), kesehatan ibu dan anak (pewarna organic aman untuk kesehatan), kesetaraan gender (membantu kaum ibu memiliki penghasilan sendiri) dan mengangkat ekonomi kerakyatan (menambah pendapatan perkapita keluarga).
"Mata pencaharian masyarakat setempat adalah bertani, selama pengamatan selama 3 tahun terjadi peningkatan income setelah mereka juga membuat tenun ikat dalam kelompok kami." Jelas Danial David.
Dalam pameran ini kali mengusung rombongan 18 anggota dari Sikka dan 300 lebar tenun ikat dan sekaligus perangkatnya, seperti alat pintal kapas menjadi benang dan alat tenun.
Langganan:
Postingan (Atom)