Tampilkan postingan dengan label sumatera selatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sumatera selatan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 April 2013

Tenun Songket Akan Didaftarkan ke UNESCO

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu menyatakan akan segera mendaftarkan tenun songket sebagai warisan budaya layaknya batik ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

"Memang ada keinginan untuk didaftarkan seperti halnya batik dan kami akan melakukannya," kata Mari di Palembang, Sumatera Selatan.

Menurut Mari, tidak mudah untuk mendaftarkan songket sebagai warisan budaya ke UNESCO karena memerlukan proses yang detail, termasuk dalam hal verifikasi dan pembuktian. Oleh karena itu, katanya, harus disiapkan data pendukung yang lengkap agar proses pembuktiannya tidak memerlukan waktu yang terlalu lama.

"Ini sebenarnya tugas kita bersama karena setelah misalnya diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia seperti batik, tugas kita tidak berhenti sampai di situ saja," katanya.


Ia menambahkan, tenun songket harus dilestarikan dalam berbagai cara sekaligus menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari alias living culture dan living tradition. Hal itu, kata Mari, kalau disadari bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan karena songket benar-benar harus dimasyarakatkan.

Pada dasarnya tradisi tenun songket telah diratifikasi Konvensi UNESCO pada 2003 dalam hal kualitas sumber daya manusia yang bergerak di dalamnya sekaligus pengetahuan tentang songket. Berlanjut pada Konvensi UNESCO 2005 diratifikasi pula tenun songket dalam hal pemanfaatan karyanya.

Salah satu perajin songket ternama asli Palembang, Zainal Arifin, yang juga pemilik brand Zainal Songket, pada kesempatan yang sama menyatakan diri siap membantu pemerintah memberikan bukti-bukti songket milik Indonesia asli agar diakui sebagai warisan budaya oleh UNESCO layaknya batik.

"Saya siap memberikan bukti-bukti yang diperlukan," kata pria yang keluarganya secara turun-temurun telah menekuni songket sejak 1974.

29 Songket Palembang Jadi Warisan Budaya

Sebanyak 22 motif tenun songket Palembang di tetapkan sebagai warisan budaya rakyat Palembang, Sumatera Selatan. Sebanyak 49 motif tradisional lainnya tengah dalam proses.

Pengajuan pengakuan sebagai warisan budaya ini dilakukan untuk melindungi kekhasan seni dan budaya Palembang. Motif-motif tersebut memperoleh pengakuan sebagai warisan budaya rakyat (folklore ) Palembang dari Kementerian Hukum dan HAM.

Beberapa di antaranya adalah motif bungo intan, lepus pulir, paku berkait, limar berantai, dan nampan emas.

Kepala Bidang Pembinaan Industri Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Palembang, Rosidi Ali, mengatakan, pengajuan sebagai warisan budaya masyarakat tersebut dilakukan sejak tahun 2004.

Motif-motif tersebut merupakan hasil pengembangan masyarakat Palembang sejak ratusan tahun lalu.

"Totalnya ada 71 motif tenun songket yang telah kami ajukan untuk memperoleh pengakuan. Jumlahya masih mungkin bertambah lagi di masa mendatang," katanya di Palembang, Sumatera Selatan.

Menurut Rosidi, pengakuan secara hukum ini penting untuk menjaga kekhasan budaya Palembang dan melindungi melindungi industri kecil yang bergerak di bidang songket . Adanya pengakuan secara hukum salah satunya akan mencegah klaim dari pihak lain.

Saat ini, sebanyak 49 motif lain masih dalam proses pengakuan tersebut. Di antaranya motif bungo ayam, semanggi, jupri, maskot, dan dua warna bunga kayu apui.

Selain di Sumatera Selatan, tenun songket juga berkembang di hampir semua daerah di Sumatera, namun dengan motif yang berbeda-beda.

Industri kecil kerajinan tenun songket Palembang terus mengalami pertumbuhan . Menurut data Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Palembang, saat ini tercatat sekitar 150 pemilik usaha kerajinan tenun songket di Palembang.

Masing-masing pemilik usaha mempunyai perajin upahan rata-rata 5-10 orang. Perajin upahan ini umumnya ibu-ibu rumah tangga di sekitar pemilik usaha songket.

Budayawan dan pemerhati Songket Sumatera Selatan, Ali Hanafiah, mengatakan, pertumbuhan kerajinan songket didukung oleh masih tingginya minat masyarakat Sumatera Selatan terhadap kain songket.

Hal ini didorong pula dengan berkembangnya kain-kain songket dengan harga relatif murah sehingga terjangkau oleh masyarakat banyak. Di masa lalu, kata Ali, kain songket biasanya dihiasi dengan serat emas asli dan digunakan sebagai lambang status sosial bangsawan Kesultanan Palembang.

"Harga kain songket pun menjadi sangat mahal sehingga hanya bisa dimiliki kalangan berada. Tapi sekarang berbeda. Sudah ada pergeseran budaya, sehingga songket bisa juga dimiliki masyarakat umum," ucapnya.

Perajin dan desainer songket asal Palembang, Zainal Abidin, mengatakan, pengakuan terhadap motif-motif tenun songket Palembang tersebut akan memperkuat posisi pengrajin dan pengusaha songket dari klaim dari negara lain.

Tanpa ada perlindungan seperti ini, motif tenun songket Palembang dapat dibuat dan diklaim di negara-negara lain. "Bisa-bisa kita sendiri kalah denan mereka karena modal mereka biasanya besar," tuturnya.

Saat ini, jumlah perajin di Zainal Songket sekitar 150 orang. Selain di Palembang, Zainal juga telah membuka gerai di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia. Promosi tenun songket Palembang juga telah dilakukan di sejumlah negara seperti Malaysia, Paris, Jepang, negara-negara tetangga, dan negara-negara Timur Tengah.

Songket Diupayakan Sepopuler Batik

Kain songket asal Palembang saat ini sedang diupayakan agar dapat populer dan dikenal masyarakat di seluruh tanah air layaknya batik.

"Kami selalu mengharapkan songket dapat seperti batik yang dikenal oleh seluruh masyarakat di Indonesia," kata Pengurus Bidang Tenun Yayasan Az-Zahra, Farida Siregar, di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan, ada lebih dari 1.000 motif songket khas Palembang yang potensial untuk dikembangkan sebagai sumber inspirasi dalam dunia mode.

Farida mencontohkan beberapa motif songket khas Palembang di antaranya Bungo Tanjung, Nago Besaung, Bungo Melati, Nampan Perak, Pacar Cina, Tetes Mider, Tiga Negri, Jando Beraes, dan Bungu Pacik.

"Namun dari sisi harga kami akui songket memang masih sangat mahal karena proses pembuatannya rumit dan lama," katanya.

Sampai saat ini harga songket berkualitas masih berkisar Rp4 juta lebih, bahkan ada yang harganya mencapai Rp70 juta/lembar.

Hal itu karena kain songket belum diproduksi secara masal di samping juga harga bahan baku (benang) yang mahal. "Kami akan berupaya mencari bahan baku yang lebih murah agar songket dapat diproduksi secara masal sehingga harganya lebih terjangkau," katanya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar, dalam kesempatan yang sama mengatakan, upaya menasionalisasikan songket sejalan dengan program pemerintah.

"Pemerintah sedang mengembangkan gerakan nasional mengenakan baju tradisi misalnya tenun, batik, songket, dan jumputan," katanya.

Ia menambahkan, saat ini diperbolehkan dalam pertemuan resmi untuk mengenakan pakaian tradisional di samping mengenakan jas atau blazer.

Oleh karena itu, pihaknya siap mendukung sosialisasi songket dalam berbagai event di antaranya pameran budaya agar masyarakat semakin tergerak untuk mengenakan songket layaknya batik.

Identitas Lokal Mulai Tergerus Industri

Dewasa ini identitas bangsa kita mulai tergerus oleh kepentingan industri. Hal tersebut tampak dari mulai sulitnya menemukan para perajin di daerah-daerah yang masih mengenal karya aslinya.

"Ada mata rantai yang lepas, tatkala masing-masing daerah melakukan modifikasi produk dengan kiblat Jakarta. Mereka selalu berusaha mengerjakan yang laku di daerah lain," kata Samuel Wattimena, perancang nasional, dalam serasehan peluang kerjasama dengan dunia usaha, khususnya fashion dan aksesoris etnik komunitas adat terpencil di Jakarta, Senin (12/10).

Untuk itu, ia mengaku sudah mulai membatasi diri memodifikasi produk lokal. Menurut dia, tiap daerah menunjukkan dulu kekhasan produknya ke masyarakat luas, supaya satu daerah dengan daerah lain saling mengenal kekayaannya. "Selain itu, kita mesti mendata supaya kita tahu kekuatan kita di mana," ujar Samuel.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa produk asli dan tiruan dari masyarakat lokal tidak boleh dipertentangkan. Keduanya saling mengada untuk saling melengkapi. "Kita tetap membutuhkan batik genuine, tapi juga perlu batik cap atau print," ungkap Samuel memberi contoh.

Produk yang asli, ucapnya, berhubungan dengan jati diri dan identitas suatu daerah dan tentunya bangsa kita. Sedangkan produk turunan atau tiruannya dibutuhkan untuk industri dan sosialisasi. "Batik boleh dicap untuk industri dan sosialisasi. Karena tidak semua orang bisa membeli yang tulis atau geniune," tutur Samuel.

Produk asli ini, tambah Samuel menjadi perhatian dari Departemen Sosial (Depsos). Departemen ini tidak berkonsentrasi pada pendapatan ekonomi, tapi untuk menjaga keasliaan dari komunitas yang bersangkutan. "Sedangkan Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian menginginkan perputaran yang cepat. Mereka orintasinya income," papar Samuel.