Tampilkan postingan dengan label sasirangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sasirangan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 Mei 2013

Desainer IPMI 'Sulap' Kain Songket Hingga Sarung Jadi Busana Modern

Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) meramaikan Jakarta Fashion & Food Festival (JFFF) 2013, di Grand Ballroom Harris Hotel, Kelapa Gading, Jakarta, Senin(13/05/2013). 10 desainer IPMI, di antaranya Tri Handoko, Era Soekamto, Liliana Lim, Denny Wirawan, dan Didi Budiarjo menampilkan koleksi bergaya edgy dan modern dengan berbagai kain khas Indonesia.

Pagelaran busana bertema 'Kain Negeri' ini dibuka oleh Liliana Lim. Ia memamerkan tiga koleksi busana dengan kain ikat dari Bali. Konsep draperi yang dihias dengan batu alam dan payet menghiasi koleksi desainer yang memulai debut karirnya pada 1994 itu.

Sementara Tri Handoko, ia menampilkan koleksi busana yang menggunakan sarung dan dipadu-padankan dengan jeans. Berbeda pula dengan desainer Era Soekamto. Perancang mode wanita itu menggunakan kain berasan (manggar) dari Bojonegoro untuk ketiga koleksinya dengan konsep draperi bergaya edgy dan lady look.

Koleksi dari Denny Wirawan juga tak kalah menarik. Ia menampilkan tiga busana yang menggunakan songket Palembang. Kain songket yang didominasi warna tanah itu disulap menjadi jaket, serta busana pesta yang terlihat glamor.

Sedangkan Didi Budiarjo, ia menggunakan kain lunggi (songket) Sambas untuk ragam busananya. Ketiga koleksinya itu didesain dengan motif bunga tunjung (bunga teratai) berwarna perak.

Rabu, 24 April 2013

Eksplorasi Kain Tenun NTT di Tangan Musa


Kecintaan Musa Widyatmodjo pada budaya Indonesia membuat desainer ini selalu fokus pada eksplorasi kain-kain khas Indonesia. Setelah mengeluarkan koleksi The (Ine) Kelimutu beberapa bulan lalu, dalam ajang Jakarta Fashion and Food Festival kali ini ia mengeluarkan koleksi terbarunya, The Flobamora Indone(she)aku.

"Koleksi ini banyak bercerita tentang berbagai keindahan dan kekayaan motif kain tenun dari Nusa Tenggara Timur," ungkap Musa menjelang show-nya di Hotel Harris, Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (23/5/2012) lalu. Dalam koleksinya kali ini Musa banyak menggunakan kain-kain dari "Flobamora", yang tak lain singkatan dari pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur, yaitu Flores, Sumba, Timor, dan Alor.

Tak mudah mengolah kain tenun. Kesulitannya sangat terasa ketika proses pemotongan bahannya, karena jika salah potong maka pola garis di kain tenun ini akan menjadi tidak simetris atau tidak sejajar. "Setiap kain tenun punya motif dan warnanya sendiri-sendiri. Namun, Musa bisa mengombinasikan aneka motif dan warna tenun yang berbeda-beda ini dalam satu paduan busana yang serasi," puji Lusia Leburaya, Ketua Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) NTT.

Musa memadukan kain tenun dengan ketrampilan khas dari kawasan lain di Indonesia, seperti bordir bunga anggrek timbul dari Tasikmalaya, motif selendang sulam suji dari Koto Gadang, dan juga batu kaca (glass bead) dari Jombang.

"Namun, kain tenun yang digunakan untuk baju ini adalah kain tenun ikat, dan bukan kain tenun sotis. Ini dilakukan untuk menekan biaya produksi dan harga jualnya," ungkap desainer yang terkenal dengan karakter simplicity with handycraft detailing in.

Ia menggunakan beberapa jenis kain tenun dari NTT ini untuk menghasilkan 99 busana siap pakai yang bergaya simpel dan bisa dikenakan oleh semua perempuan dari beragam usia, warna kulit, dan bentuk tubuh. Ia banyak mengolah sarung, selendang, dan scarf menjadi busana dengan style dress, blus, rok, celana, lengkap dengan detailnya yang cantik.

Show The Flobamora Indone(she)aku terbagi dalam tiga bagian. Di bagian pertama, Stripe A Pose tampil sebagai koleksi Musa yang banyak menampilkan motif garis dengan kain tenun yang warnanya cenderung gelap namun kuat. Dengan motif garis, kain tenun yang dihadirkan dalam mini dress, bolero, dan kardigan, ini terlihat sangat tegas. Perpaduan kain tenun NTT dengan kain modern yang bergaris juga membuat kesan ringan dan nyaman saat mengenakan busananya.

Di sesi kedua, Musa menghadirkan tema Aesthetics, yang lebih kontemporer. Sedangkan di sesi ketiga, Musa menghadirkan koleksi yang bernuansa over the village. Desain yang digunakan menghadirkan kesan yang modern, berkat tambahan bordir bunga seperti pada pinggang, dada, atau bahu.

Melalui busana ini Musa ingin menunjukkan bahwa kain tradisional seperti tenun juga bisa bernuansa lebih modern. Blus bergaya formal, gaun dengan V-line yang agak lebar, serta sentuhan gaun backless, juga menambah pesona koleksi busana Musa yang didominasi warna-warna tenun ikat yang khas dan dalam.

Selasa, 23 April 2013

Tenun Indonesia Sejajar dengan Adibusana Dunia


Selama ini, jika bicara adi busana dunia maka nama-nama Channel, Giorgio Armani, hingga karya perancang sekelas Karl Lagerfeld, memenuhi ingatan. Memang karya-karya perancang dan rumah busana itu menyita emosi karena keindahannya.
Pernahkah membayangkan karya anak bangsa dinyatakan sebagai adi busana alias houte coutoure? Jika tidak pernah, Chossy Latu, perancang busana yang pernah bergabung dengan Iwan Tirta, membuktikan hal itu dengan material tenun tradisional.
Mengapa tenun? "Karena Indonesia memiliki banyak sekali sentra produksi tenun. Motif, teknik penenunan, jenis bahan, dan nilai di dalam kain tenun sangat kaya di negara kita. Saya merasa hal ini pantas dibawa ke panggung dunia," kata Chossy Latu, dalam jumpa persnya, di Jakarta, Jumat lalu.
Mengusung kain tenun dalam balutan adi busana sehari-hari ke panggung kelas dunia jelas bukan hal mudah. Banyak sekali standar yang harus dipenuhi, mulai dari tata panggung, tata cahaya, koreografi, model peraga, penyusunan bangku, daftar hadirin, hingga... cemilan dan buku tamunya.
Jadilah demikian, karya-karya Chossy Latu dikemas sedemikian rupa dan tampil di MuseumQuartier, Wina, Austria, pada Rabu bulan lalu (16/5). Peragaan busana ini diberi tajuk Cultural Evening Tenun - The Heritage of Indonesia. Dalam bahasa Inggris, tenun dinamai handwoven cloth.
MuseumQuartier bukan tempat biasa, karena hanya perancang-perancang istimewa dunia yang bisa memeragakan karya-karyanya di sana. Harus sangat istimewa barulah perancang itu bisa hadir di panggung di sana.
Dukungan semua pihak diberikan kepada Chossy Latu dan rekan-rekannya, yaitu peragawati sekaligus model senior Dhanny Dahlan dan Pingkan Ullmer. Tidak kurang Duta Besar Indonesia di Wina, I Gusti Agung Wesaka Puja, bekerja keras memberi sentuhan-sentuhan dan cita rasa kelas dunia pada panggung di ruang bernuansa modern-klasik dengan plafon membusur itu.
Juga teman-temannya dari Yayasan Cita Tenun Indonesia dan Kementerian Perindustrian serta para sponsor.
Sukses besar diraih tim pergelaran itu. "Sampai-sampai tamu yang hadir datang ke hotel tempat kami menginap, ingin membeli. Kami membawa 40 pakaian yang bisa dipadu-padan dan memang sengaja dirancang sedemikian rupa dengan pesan bahwa tenun ini bisa dipakai untuk busana sehari-hari," kata Chossy Latu.
Itu sekelumit cerita agak surut menjelang hari peragaan yang juga diberi latar tari Gending Sriwijaya, Ronggeng Blantek dari Jakarta, tari Panji Semirang, dan tari Gandrung. Kali itulah para hadirin yang semuanya kalangan elit Wina melihat dari dekat kekayaan produk budaya Indonesia yang kemudian bisa menjadi sumber inspirasi mereka.
Cukupkah sampai di situ saja, sampai membuat mereka terpesona akan kekayaan warisan budaya Indonesia? "Kami memiliki cita-cita melestarikan kain tenun ini sehingga bisa sejajar dengan busana atau tekstil mancanegara yang lebih dulu dikenal," katanya.
"Masalahnya, penenun banyak yang belum sejahtera maka cara pendahuluan kami mendorong adalah mengenalkan kain tenun ini pada kelas masyarakat atas di Eropa itu," kata Chossy Latu.
Dia ingin buktikan, kain tenun bisa dipakai dalam keseharian. Saat memberi keterangan kepada pers, dia memakai kain tenun endek khas Bali kelabu dengan jenis tekstil yang "lebih santai". Tanpa mengurangi kekhususan kain tenun, rancangan baju lengan panjang endek-nya kali itu berhasil mengajak hadirin ingin memiliki dan memakainya.
Penenun di Tanah Air, menurut dia, memiliki beberapa keterbatasan pokok, mulai dari keterbatasan bahan baku benang, taktik dan cara pemasaran, kekayaan menggali ide motif, hingga musim aktivitas mereka sehari-hari.
Percayakah bahwa "musim mengawinkan" anak bisa menghambat kontinuitas produksi tenun? "Bisa, karena mereka pasti ikut mengurusi perkawinan-perkawinan itu. Makanya, dalam membina mereka, kami harus juga memerhatikann itu," katanya.
Intinya, kain tenun harus dibuat lebih fleksibel dengan komposisi modern sehingga elemen-elemennya bisa dimanfaatkan untuk memperkaya busana masyarakat banyak. Jika banyak yang memerlukan maka proses produksi bisa dimulai dan berujung pada peningkatan pendapatan perajin tenun.
"Saya pernah diprotes pelestari kain tenun tradisional, kok kain itu dipotong-potong?," kata Chossy Latu. Hal itu dia jawab dengan karya-karya yang lebih membumi. Hasilnya memang dahsyat dan dengan cita-rasa tinggi, bisa hadir di panggung dunia dalam standar yang seharusnya.
Songket palembang tanpa prada emas, tenun garut, songket sambas, sutra makassar, endek bali, bergantian tampil di panggung "cat walk" itu. Lampu-lampu memberi impresi dan fantasi sejati di antara lenggak-lenggok kaki peragawati.
Musik mengalun, paduan antara komposisi Chopin dan gamelan Bali... Tepuk tangan membahana hingga hadirin harus berdiri agar bisa memuaskan penghargaan mereka kepada Chhossy Latu. Akhirnya, dunia lebih memaknai dan memberi tempat tersendiri tentang kain tenun Indonesia

Rabu, 04 Januari 2012

Tenun Sasirangan

Suku Banjar di Kalimantan Selatan memiliki kain khas yang dikenal dengan nama “Sasirangan”
Kain ini umumnya digunakan sebagai kain adat yang biasa digunakan pada acara-acara adat suku Banjar. Kata sasirangan berasal dari kata menyirang yang berarti menjelujur, karena dikerjakan dengan cara menjelujur kemudian diikat dengan tali raffia dan selanjutnya dicelup, hingga kini sasirangan masih dibuat secara manual.


Menurut sejarahnya, Sasirangan merupakan kain sakral warisan abad XII saat Lambung Mangkurat menjadi patih Negara Dipa. Awalnya sasirangan dikenal sebagai kain untuk “batatamba” atau penyembuhan orang sakit yang harus dipesan khusus terlebih dahulu (pamintaan) sehingga pembutan kain sasirangan seringkali mengikuti kehendak pemesannya. Oleh karena itu, Urang Banjar seringkali menyebut sasirangan kain pamintan yang artinya permintaan. Selain untuk kesembuhan orang yang tertimpa penyakit, kain ini juga merupakan kain sakral, yang biasa dipakai pada upacara-upacara adat.


Seperti halnya kain batik, sasirangan juga mempunyai berbagai macam motif bahkan beberapa diantaranya telah diakui pemerintah melalui Dirjen HAKI Departemen Hukum dan HAM. Motif-motif tersebut antara lain Hiris Pudak (irisan daun pudak), Bayam Raja (daun bayam), kulit karikit(jamur kecil), Ombak Sinapur Karang (ombak menerjang batu karang), bintang bahambur (bintang bertaburan di langit), sarigading, kulit kayu, naga balimbur (ular naga), jajumputan (jumputan), turun dayang (garis-garis), kambang tampuk manggis (bunga buah manggis), daun jaruju (daun tanaman jaruju), kangkung kaombakan(daun kangkung), sisik tanggiling, kambang tanjung (bunga tanjung) dan masih banyak lagi motif-motif lainnya. Sekarang bahkan banyak motif-motif baru yang bermunculan yang membuat kain sasirangan semakin variatif. Bedanya, kain sasirangan tidak dapat diproduksi secara massal seperti kain batik.

Harga kain sasirangan ditentukan oleh jenis kain dan motif kain semakin sulit motif maka semakin mahal juga harganya. Beberapa jenis kain yang biasa digunakan antara lain, santung, katun, sutera, yuyur, dan satin. Untuk kain sutera pun terbagi dalam dua jenis yaitu sutera grand (sutera kelas II) dan sutera super (sutera kelas satu).

Jika sedang melancong ke Banjarmasin jangan lupa untuk berbelanja kain Sasirangan ini. Ada beberapa toko sasirangan yang bisa dikunjungi untuk bisa memperoleh sasirangan yang cantik, coba saja mampir mampir ke Sahabat Sasirangan yang punya beberapa cabang antara lain di Jl. A. Yani, Duta Mall, Banjarbaru dan Kalimantan. Ada satu tips bila berbelanja di Sahabat Sasirangan, jangan terkecoh dengan label harga yang ditempel di kain, karena biasanya kita bisa mendapatkan diskon dari label harga. Tidak jauh dari Sahabat Sasirangan Jl. A. Yani, kita bisa mampir ke Citra Sasirangan yang letaknya jadi satu dengan Citra Pasaraya, disini kita bisa mendapatkan sasirangan cantik dengan harga pas. Ada satu lagi toko sasirangan yang menarik dikunjungi yaitu “Irma Sasirangan” di seberang masjid, toko yang satu ini sudah terkenal seantero banjarmasin karena sering mengikuti pameran ke berbagai daerah bahkan sampai keluar negeri, soal kualitas juga tidak diragukan lagi, berbagai macam variasi sasirangan dapat diperoleh di toko ini antara lain selendang, jilbab, mukena dan lain-lain. Kalo berbelanja ke toko ini jangan lupa minta diskon, karena biasanya penjual akan memberi kita diskon 10%. Lumayan kan… apalagi kalo beli banyak…..

Ada beberapa tips untuk merawat sasirangan, yang pasti pisahkan sasirangan saat kita mencuci untuk pertama kalinya agar kain yang lain tidak kelunturan karena terkadang sasirangan bisa luntur. Jangan jemur sasirangan di bawah sinar matahari langsung agar warnanya tetap awet. Karena kain sasirangan dibuat dengan teknik jelujur, untuk membuat motif biasanya digunakan pensil atau bolpoin, nah untuk menghilangkan bekasnya bisa digunakan jeruk nipis, tapi sebaiknya dicoba pada bagian-bagian yang tidak terlihat lebih dulu, karena ada jenis-jenis kain sensitif.