Dewasa ini identitas bangsa kita mulai tergerus oleh kepentingan industri. Hal tersebut tampak dari mulai sulitnya menemukan para perajin di daerah-daerah yang masih mengenal karya aslinya.
"Ada mata rantai yang lepas, tatkala masing-masing daerah melakukan modifikasi produk dengan kiblat Jakarta. Mereka selalu berusaha mengerjakan yang laku di daerah lain," kata Samuel Wattimena, perancang nasional, dalam serasehan peluang kerjasama dengan dunia usaha, khususnya fashion dan aksesoris etnik komunitas adat terpencil di Jakarta, Senin (12/10).
Untuk itu, ia mengaku sudah mulai membatasi diri memodifikasi produk lokal. Menurut dia, tiap daerah menunjukkan dulu kekhasan produknya ke masyarakat luas, supaya satu daerah dengan daerah lain saling mengenal kekayaannya. "Selain itu, kita mesti mendata supaya kita tahu kekuatan kita di mana," ujar Samuel.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa produk asli dan tiruan dari masyarakat lokal tidak boleh dipertentangkan. Keduanya saling mengada untuk saling melengkapi. "Kita tetap membutuhkan batik genuine, tapi juga perlu batik cap atau print," ungkap Samuel memberi contoh.
Produk yang asli, ucapnya, berhubungan dengan jati diri dan identitas suatu daerah dan tentunya bangsa kita. Sedangkan produk turunan atau tiruannya dibutuhkan untuk industri dan sosialisasi. "Batik boleh dicap untuk industri dan sosialisasi. Karena tidak semua orang bisa membeli yang tulis atau geniune," tutur Samuel.
Produk asli ini, tambah Samuel menjadi perhatian dari Departemen Sosial (Depsos). Departemen ini tidak berkonsentrasi pada pendapatan ekonomi, tapi untuk menjaga keasliaan dari komunitas yang bersangkutan. "Sedangkan Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian menginginkan perputaran yang cepat. Mereka orintasinya income," papar Samuel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar