Senin, 15 April 2013

Harmonisasi Selembar Songket


Setelah menunggu sekitar dua tahun, awal tahun ini Nanda Wirawan bisa bernapas lega. Dua karya pengembangan kain songket Minangkabau yang digarapnya memperoleh penghargaan kerajinan unggulan dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

Pertama adalah songket dengan gabungan motif bernama Saluak Laka dan Saik Ajik Babungo yang dibuat seniman Iswandi dan almarhum Alda Wimar. Motif ini pengembangan dari motif ukir di rumah gadang. Karya lainnya adalah songket kuno Kotogadang bermotif Sajamba Makan yang merupakan hasil revitalisasi dari songket kuno Nagari Kotogadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Songket itu dibuat di Studio Songket ErikaRianti di Jorong Panca, Nagari Batu Taba, Kecamatan Ampek Angkek, Agam. Nanda adalah direktur studio songket itu. Penghargaan dua tahunan untuk program Asia Tenggara di Malaysia itu berarti besar bagi Nanda. Kedua karya itu diberi penghargaan atas sejumlah indikator yang melekat, yaitu istimewa, otentik, inovatif, dan dapat dipasarkan.

Lebih penting

Namun, sebetulnya ada yang lebih penting selain penghargaan itu, yaitu filosofi orang Minangkabau dalam selembar kain. Soal toleransi pada masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Juga soal harmonisasi tentang beberapa unsur dalam kehidupan.

Hal itu terdapat dalam hasil karya pengembangan motif ukiran rumah gadang bernama Saluak Laka dan Saik Ajik Babungo. ”Motif Saluak Laka memiliki filosofi toleransi adat dan agama, perpaduan sistem matrilineal dan patrilineal. Saik Ajik Babungo berarti potongan yang sama besar atau keadilan,” ujar Nanda.

Iswandi, yang membuat motif Saluak Laka untuk kain songket, menuturkan, secara visual motif itu terlihat sebagai perpaduan garis lurus dan lengkung. ”Garis lurus yang cenderung kaku menggambarkan sifat agama, sedangkan lengkung menggambarkan sifat adat. Ini adalah motif yang menggambarkan perpaduan agama dan adat. Inilah yang dimaksud dengan adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (adat bersendi hukum agama, hukum agama bersendi Al Quran),” kata Iswandi yang juga suami Nanda.

Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah adalah konsensus antara pemimpin agama dan pemuka adat untuk memadukan ajaran Islam dan adat Minangkabau. Ada sejumlah versi tentang waktu terjadinya perjanjian itu. Akan tetapi, pegangan dalam menjalankan kehidupan bagi orang Minang itu kini masih didengungkan.

Nanda menambahkan, motif itu juga menggambarkan aturan agama yang sangat jelas dan aturan adat yang dinamis tidak pernah bertentangan. Sekalipun secara adat seorang anak di Minangkabau mewarisi garis ibu (matrilineal), tetapi ia tetap disaluak’kan (diikat) dengan keluarga ayah.

Hal itu mewujud dalam perkawinan ”anak pisang” atau anak dari anak laki-laki yang mesti mengutamakan persetujuan keluarga ayah (bako). Nanda menambahkan, jika ada anggota keluarga bako yang tutup usia, ”anak pisang” yang pertama kali mesti memberikan kain kafan.

Dalam buku Revitalisasi Songket Lama Minangkabau, Bernhard Bart dan kawan-kawan (2006), motif Saluak Laka berarti jalinan kuat lidi atau rotan yang menyatu erat sehingga mampu menyangga periuk. Laka adalah alas periuk. Saluak berati kait atau jalinan. Motif ini berarti jalinan kekerabatan yang kuat guna menjalankan tanggung jawab besar. Pada saat bersamaan tidak ada individu yang menonjolkan diri atau merasa paling berjasa. Ini ditunjukkan dengan tidak terlihatnya ujung ataupun pangkal dalam anyaman atau jalinan laka. Seluruhnya tersembunyi di bawah.

Adapun Saik Ajik Babungo, kata Iswandi, berarti potongan wajik yang sama besar. ”Wajik dalam tata cara penghidangan penganan adalah yang utama dan terletak di tengah-tengah sebagai ’bunga hidangan’ di antara lainnya,” paparnya.

Motif Sajamba Makan menggambarkan kebersamaan dalam masyarakat Minangkabau. ”Motif ini menunjukkan segala sesuatu menyangkut kehidupan kaum mesti diputuskan secara musyawarah untuk mufakat,” kata Nanda.

Mereka yang terlibat dalam forum musyawarah itu adalah orang-orang dengan kemampuan manguik sahabih sauang, baretong sampai sudah. ”Artinya, segala sesuatu ditelaah mendalam dengan prinsip keselarasan dan keseimbangan sehingga hasilnya membawa kebaikan kini dan di kemudian hari,” ujarnya.

Proses panjang

Nyaris seperti toleransi dan harmonisasi yang prosesnya di masyarakat relatif panjang, demikian pula dengan pembuatan kedua songket itu. Terutama untuk transformasi motif ukiran rumah gadang yang secara teknis tak pernah dilakukan sebelumnya di atas kain songket.

Pembuatan motif mulai dilakukan pada 2010 oleh Alda Wimar, yang dilanjutkan pada 2011 oleh Iswandi. Proses penenunan dilakukan April hingga Mei 2012. Revitalisasi songket kuno Kotogadang dimulai dengan pembuatan motif sejak 2006. Penenunan dikerjakan sejak September hingga Oktober 2011. Butuh lima kali penenunan yang gagal sebelum berhasil pada percobaan keenam untuk pembuatan kembali songket kuno Kotogadang itu. Pasalnya, ujar Nanda, revitalisasi sulit, sesuai tuntutan yang mesti sama persis dengan kaidah aslinya.

”Tingkat kesulitan tinggi karena ditenun dengan ukuran setengah lubang sisir tenun. Ini adalah kain paling halus yang pernah ditenun di Studio Songket ErikaRianti,” tutur Nanda.

Proses pada songket lain yang mentransformasikan motif ukiran rumah gadang dalam songket memiliki tantangan lain. Tak mudah memindahkan motif relung dan lingkaran dari ukiran kayu ke atas kain songket, yang disebut Nanda hampir mustahil.

”Ini membutuhkan garis motif yang banyak. Kain songket biasanya bermotif geometris, hampir tidak mungkin bermotif lingkaran,” kata Nanda. Apalagi, songket yang dibuatnya bukan berupa penyederhanaan bentuk, melainkan menenun sesuai dengan motifnya.

Warna menggunakan bahan alami, antara lain secang untuk warna merah dan ungu serta kulit kayu untuk warna coklat kemerahan. Songket itu sempat dipamerkan di Uni Emirat Arab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar