Selasa, 23 April 2013

Chossy Latu Sejajarkan Tenun dengan Adibusana Dunia


Selama ini, jika bicara adibusana dunia maka nama-nama Channel, Giorgio Armani, hingga karya perancang sekelas Karl Lagerfeld, memenuhi ingatan. Memang karya-karya perancang dan rumah busana itu menyita emosi karena keindahannya.

Namun, pernahkah anda membayangkan karya anak bangsa dinyatakan sebagai adibusana alias houte coutoure? Jika tidak pernah, Chossy Latu, perancang busana yang pernah bergabung dengan Iwan Tirta, membuktikan hal itu dengan material tenun tradisional.

Mengapa tenun? "Karena Indonesia memiliki banyak sekali sentra produksi tenun. Motif, teknik penenunan, jenis bahan, dan nilai di dalam kain tenun sangat kaya di negara kita. Saya merasa hal ini pantas dibawa ke panggung dunia," kata Chossy Latu, dalam jumpa persnya, di Jakarta, Jumat lalu.

Mengusung kain tenun dalam balutan adibusana sehari-hari ke panggung kelas dunia, jelas bukan hal mudah. Banyak sekali standar yang harus dipenuhi, mulai dari tata panggung, tata cahaya, koreografi, model peraga, penyusunan bangku, daftar hadirin, hingga... cemilan dan buku tamunya.

Jadilah demikian, karya-karya Chossy Latu dikemas sedemikian rupa dan tampil di MuseumQuartier, Wina, Austria, pada Rabu bulan lalu (16/5). Peragaan busana ini diberi tajuk "Cultural Evening Tenun - The Heritage of Indonesia". Dalam bahasa Inggris, tenun dinamai handwoven cloth.

Dukungan semua pihak diberikan kepada Chossy Latu dan rekan-rekannya, yaitu peragawati sekaligus model senior Dhanny Dahlan dan Pingkan Ullmer. Tidak kurang Duta Besar Indonesia di Wina, I Gusti Agung Wesaka Puja, bekerja keras memberi sentuhan-sentuhan dan cita rasa kelas dunia pada panggung di ruang bernuansa modern-klasik dengan plafon membusur itu.

Bantuan serupa juga datang dari teman-temannya di Yayasan Cita Tenun Indonesia, Kementerian Perindustrian, serta para sponsor.

Sukses besar diraih tim pergelaran itu. "Sampai-sampai tamu yang hadir datang ke hotel tempat kami menginap, ingin membeli. Kami membawa 40 pakaian yang bisa dipadu-padan dan memang sengaja dirancang sedemikian rupa dengan pesan bahwa tenun ini bisa dipakai untuk busana sehari-hari," kata Chossy Latu.

Itu sekelumit cerita agak surut menjelang hari peragaan yang juga diberi latar tari Gending Sriwijaya, Ronggeng Blantek dari Jakarta, tari Panji Semirang, dan tari Gandrung. Kali itulah para hadirin yang semuanya kalangan elite Wina melihat dari dekat kekayaan produk budaya Indonesia yang kemudian bisa menjadi sumber inspirasi mereka.

Cukupkah sampai di situ saja, sampai membuat mereka terpesona akan kekayaan warisan budaya Indonesia? "Kami memiliki cita-cita melestarikan kain tenun ini sehingga bisa sejajar dengan busana atau tekstil mancanegara yang lebih dulu dikenal. Masalahnya, penenun banyak yang belum sejahtera maka cara pendahuluan kami mendorong adalah mengenalkan kain tenun ini pada kelas masyarakat atas di Eropa itu," kata Chossy Latu.

Dia ingin membuktikan bahwa kain tenun bisa dipakai dalam keseharian. Saat memberi keterangan kepada pers, dia memakai kain tenun endek khas Bali kelabu dengan jenis tekstil yang "lebih santai". Tanpa mengurangi kekhususan kain tenun, rancangan baju lengan panjang endek-nya kali itu berhasil mengajak hadirin ingin memiliki dan memakainya.

Namun, penenun di Tanah Air, menurut dia, memiliki beberapa keterbatasan pokok, mulai dari keterbatasan bahan baku benang, taktik dan cara pemasaran, kekayaan menggali ide motif, hingga musim aktivitas mereka sehari-hari.

Percayakah bahwa "musim mengawinkan" anak bisa menghambat kontinuitas produksi tenun? "Bisa, karena mereka pasti ikut mengurusi perkawinan-perkawinan itu. Makanya, dalam membina mereka, kami harus juga memerhatikann itu," katanya.

Intinya, kain tenun harus dibuat lebih fleksibel dengan komposisi modern sehingga elemen-elemennya bisa dimanfaatkan untuk memperkaya busana masyarakat banyak. Jika banyak yang memerlukan maka proses produksi bisa dimulai dan berujung pada peningkatan pendapatan perajin tenun.

"Saya pernah diprotes pelestari kain tenun tradisional, kok kain itu dipotong-potong?," kata Chossy Latu.

Hal itu dia jawab dengan karya-karya yang bermanfaat bagi masyarakat umum. Hasilnya memang dahsyat dan dengan cita-rasa tinggi, bisa hadir di panggung dunia dalam standar yang seharusnya.

Songket palembang tanpa prada emas, tenun garut, songket sambas, sutra makassar, endek bali, bergantian tampil di panggung "cat walk" itu. Lampu-lampu memberi impresi dan fantasi sejati di antara lenggak-lenggok kaki peragawati.

Musik mengalun, paduan antara komposisi Chopin dan gamelan Bali... Tepuk tangan membahana hingga hadirin harus berdiri agar bisa memuaskan penghargaan mereka kepada Chhossy Latu. Akhirnya, dunia lebih memaknai dan memberi tempat tersendiri tentang kain tenun Indonesia...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar