Saat Tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT menemui Johanna di Hotel Sao Wisata, Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu, gurat kelelahan terlihat pada wajahnya karena baru menempuh perjalanan panjang Jakarta-Denpasar-Flores. Saat topik pembicaraan menyinggung kain tenun NTT, Johanna langsung bersemangat, seakan rasa lelah itu sirna.
Dia menuturkan lika-liku perjalanan mengoleksi kain tenun sejak 49 tahun lalu itu, keprihatinan akan masa depan kerajinan tenun ikat NTT, juga ide dan gagasan mengenai pentingnya pelestarian kerajinan dan produk tenun ikat.
”Tahun 1961 saya pertama kali berkunjung ke Maumere setelah menikah dengan almarhum (Frans Seda). Waktu itu, suami saya menjabat sebagai anggota DPR-GR/MPRS. Saat masa reses suami turun ke daerah pemilihan, saya mendapat kain tenun. Saya terheran-heran dengan gambarnya. Dulu, yang terkenal kan batik dan songket. Saya pikir, ini kain apa? Lalu saya mulai bertanya sana-sini soal tenun ikat,” Johanna mengenang.
Perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur, ini penasaran dengan kain tenun NTT, dan dia berupaya mencari informasi tambahan dari buku-buku. Dengan berjalannya waktu, rasa cinta dan bangga pada tenun ikat semakin tumbuh.
Sampai sekarang, ibu dua anak ini telah mengumpulkan sekitar 1.000 kain tenun ikat NTT, baik dari Pulau Timor, Sumba, maupun Flores. Kain koleksinya kini disimpan rapi dalam peti-peti yang memadati lantai dua kediamannya di Jalan Metro Kencana V, Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Johanna memutuskan fokus mengoleksi kain tenun ikat NTT karena waktu itu kerajinan batik dan tenun songket sudah lebih dikenal masyarakat.
”Kita harus bangga sebab Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mempunyai kain adat beraneka ragam, begitu pula variasi teknik pembuatannya. Di NTT, kerajinan tenun ikat umumnya dibuat dengan alat tenun gedok, terdiri dari benang lungsi dan pakan. Waktu benang pakan masuk, lalu ditarik ke arah perajin, ada bunyi dok, dok,” kata Johanna.
Johanna mengagumi kain tenun ikat NTT karena bukan sekadar untuk penutup tubuh, melainkan juga mengandung falsafah serta sarat akan nuansa sakral atau magis.
Johanna umumnya memperoleh kain tenun dari pemilik yang menjual secara pribadi kepadanya. Bagi masyarakat NTT, kain tenun pada dasarnya dibuat bukan untuk dijual, melainkan dipakai sendiri, dan yang lebih utama untuk keperluan adat. Kain tenun baru dijual sebagai alternatif terakhir apabila keluarga si pemilik mengalami tekanan ekonomi yang berat.
Hal itu dialami Johanna tahun 1990-an. Saat itu, ada seorang guru di Aimere, Kabupaten Ngada, Flores, yang hendak menjual kain tenun peninggalan leluhurnya. Kain tenun itu diperkirakan berusia lebih dari 100 tahun. Biasanya, semakin tua kain tenun, harganya makin tinggi. Apalagi jika dibuat dengan pewarna alami.
Johanna sempat meminta keponakannya untuk mengambil kain tersebut. Namun, sang keponakan malah bermimpi didatangi seorang laki-laki tua berjanggut sehingga ia tak berani mengambil kain itu. Setelah dilakukan upacara adat dengan memotong ayam, baru kain tersebut dapat diambil.
Fenomena magis juga ada pada salah satu kain tenun perempuan Sumba yang dimilikinya. Setiap hendak dibersihkan (dikebas), pada kain tenun itu selalu ada semacam pasir pantai yang melekat. Setelah ditelusuri, konon kain itu merupakan kain khusus yang digunakan untuk orang yang sudah meninggal.
”Keunikan lain, kain tenun ikat NTT mempunyai falsafah. Seperti di Jawa, anak yang pertama kali akan menginjakkan kaki ke tanah, ada jenis kain tersendiri untuk upacara adatnya,” ujar Johanna.
Salah satu mahar kawin di Kabupaten Flores Timur dan Lembata adalah kain tenun. Pada adat etnik Lio Ende, kain tenun diserahkan oleh keluarga mempelai perempuan kepada keluarga mempelai laki-laki sebagai balasan atas pemberian mahar kawin (belis).
Motif dan ragam hias kain tenun ikat juga dapat menunjukkan perubahan sejarah suatu daerah. Misalnya, di Sumba dulu dikenal motif alam atau binatang, seperti udang atau ular. Namun, sejak Belanda masuk Sumba, mulai dikenal kain motif crown (mahkota). Motif itu mengacu pada mata uang gulden Belanda yang bergambar mahkota diapit dua singa. Akhirnya di Sumba dikenal istilah mahang (singa) meski di wilayah itu tidak ada singa. Pada masa itu pula, pada kain tenun juga dibubuhi tenunan berupa bendera kecil berwarna merah-putih-biru.
Johanna juga mengingatkan pentingnya pelestarian kain tenun ikat NTT agar tidak punah. ”Meski suatu saat kain tenun ikat NTT hanya menjadi benda seni, perlu ada masyarakat yang menguasai teknik pembuatannya sehingga selalu ada produk tenun,” katanya.
Jangan sampai terjadi seperti di Manado, Sulawesi Utara. Kain tenun ikat di sana tak dibuat lagi karena tidak ada lagi yang bisa membuatnya. Ironisnya, kain tenun ikat Manado tersimpan di museum Belanda.
Johanna berpendapat, perajin tenun ikat NTT perlu diproteksi pemerintah daerah, terutama dari ekspansi industri kain di Jawa yang berproduksi dengan motif tenun ikat NTT. Kualitas produk Jawa lebih tipis, halus, dan harga lebih murah dibandingkan harga kain tenun ikat alami yang bisa mencapai lebih dari Rp 500.000 per lembar.
”Produk tenun hasil print dengan hand made harus jelas labelnya agar tidak menjatuhkan perajin tenun ikat,” kata perempuan yang pada periode 1957-1961 mengajar di SMA Katolik St Ursula Jakarta itu.
Johanna amat mendukung upaya pelestarian seperti yang dilakukan oleh Himpunan Wastra Prima. Himpunan pencinta kain adat yang didirikan tahun 1976 itu mengawali kegiatan dengan mengumpulkan 400 kain adat dari seluruh Indonesia, termasuk kain tenun ikat NTT, kemudian disimpan di Museum Tekstil Jakarta. Johanna sendiri menjabat sebagai ketua himpunan ini tahun 1980-1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar