Kreativitas para perancang busana ternyata identik dengan keberuntungan. Tidak saja keberuntungan secara finansial yang diraih perancang dan perajin, tetapi juga keberuntungan bagi tumbuhnya sebuah kebudayaan. Secara sosial-ekonomi, industri tenun songket merupakan salah satu tulang punggung ekonomi rakyat yang cukup penting. Industri kecil masih tetap bertahan sebagai kegiatan ekonomi rakyat kecil.
Riny Suwardy menciptakan satu kolaborasi rancak dan bagi selembar kain songket Minang menjadi perpaduan yang sejiwa dengan kebaya-kebayanya. Ia tertarik mengangkat songket Minang karena kagum dengan motif-motif yang unik dan bermakna filosofis. Apalagi secara kualitas, menurut penelitian pakar tenun songket dunia dari Swiss, Bernhard Bart, merupakan tenun songket terhalus dan unik di dunia.
”Setelah membandingkan dengan sejumlah songket daerah lain, ternyata songket Minang lebih halus, motifnya beragam dan punya makna filosofis. Punya makna tersirat dan makna tersurat, bahkan makna tersuruk (tersembunyi). Di dalamnya terdapat simbol-simbol ajaran adat Minangkabau,” kata Riny Suwardy.
Motif Bungo Antimun Dalam Songket Minang
Ia mencontohkan, motif bungo antimun . Simbol yang diambil dari tanaman mentimun (Cucumis sativus) bukan saja dari manfaat ataupun dari bentuk fisiknya, melainkan dari cara tumbuhnya yang menjalar atau merambat. Ketika menjalar, tanaman ini selalu menanamkan akar dari tiap ruasnya dan melekatkan akar tersebut pada kayu penopang.
Kata-kata adat mengungkapkan: Bak mantimun marantang tali (Ibarat mentimun merentang tali). Makna tersurat, yaitu mentimun bergerak merambat dengan perhitungan yang matang. Setahap demi setahap ia tanamkan akarnya pada tempat tumbuhnya, ruas demi ruas untuk terus bertumbuh.
Makna tersirat dari sifat ini, yaitu adanya perhitungan yang matang dalam melaksanakan rencana dan menyelesaikan masalah dengan langkah yang sistematis dan mengakar. Dalam kerangka berpikir teoretis demikian pula, gagasan yang diajukan haruslah mempunyai argumentasi yang jelas dengan dalil yang kuat.
”Motif bungo antimun menggambarkan ekspresi jiwa dan pikiran seseorang yang berkembang secara wajar dan bebas, tetapi tetap terikat pada nilai-nilai moral yang berlaku di dalam masyarakat. Bebas tetapi bertanggung jawab,” kata Riny.
Budayawan Edy Utama yang ditemui secara terpisah, awal Juli 2010 di Padang, mengatakan, songket Minang merupakan songket yang paling halus di dunia, serta memiliki motif-motif unik dan cerdas. Di dalam setiap motif mengandung nilai-nilai ajaran adat Minangkabau. Maknanya simbolik.
KebudayaanSongket Minangkabau Mulai Dihargai
Membuat songket membutuhkan ketelitian dan ketekunan. Bahkan, untuk menghasilkan songket yang halus dan berkualitas, kehati-hatian dan ketelitian diperlukan sekali. Jika selama ini warga malas bekerja membuat songket karena persoalan waktu dan kecilnya penghargaan, sejak beberapa tahun terakhir kondisinya berubah.
Di Studio Songket ErikaRianti, Bukittinggi, misalnya, ada tujuh orang yang terampil membuat songket. Sistem yang diterapkan, membuat ketujuh orang itu betah bekerja. ”Pekerja adalah mitra. Mereka harus dihargai secara wajar dan membuat mereka tetap betah,” kata Nanda Wirawan, pimpinan Studio Songket ErikaRianti.
Menurut Sukriyah (23), perempuan lajang yang bekerja di rumah songket, ia tertarik bekerja, selain mengagumi songket Minang, juga karena ia bisa sekaligus belajar banyak hal di Studio Songket. ”Karena songket yang dibuat bukan yang pasaran, tetapi yang sangat bernilai tinggi. Songket lama, berusia ratusan tahun yang dibuat kembali replikanya. Ini sesuatu yang langka dan membanggakan bisa mengerjakannya,” ujarnya.
Soal penghargaan, Sukriyah mengaku lebih baik. Karena selain dapat uang harian (uang makan dan gajian harian) Rp 20.000 per hari, juga ada uang lembur. ”Jika songket selesai dibuat, kami dapat lagi Rp 1 juta sampai Rp 1,8 juta per bulan, tergantung nilai jual songket yang kami buat,” katanya. Kalau ingin cepat selesai, bisa lembur dan juga dibayar.
Di Studio Songket juga ada dua remaja pria lulusan sekolah menengah kejuruan yang bekerja di situ. ”Bisa membuat songket, yang orang lain tak bisa, merupakan suatu kebanggaan. Sembari membuat songket, sekaligus juga belajar bagaimana membuat motif-motif songket lama. Soal penghargaan, dibayar secara profesional dan lumayan besar. Kisarannya Rp 1 juta sampai Rp 3 juta, di luar uang makan dan uang harian yang Rp 20.000 per hari,” kata Dodi (21).
Pendapatan per bulan dari membuat songket bagi Dodi sudah lumayan besar, bisa menutupi kebutuhan sehari-hari dan malah bisa menabung. ”Saya menyenangi pekerjaan ini walau mungkin amat jarang laki-laki yang bekerja membuat songket. Keterampilan yang menuntut keahlian pada dasarnya siapa saja bisa, baik laki-laki maupun wanita,” tambahnya.
Tradisi Menenun Songket Tumbuh Integral Dengan Kebudayaan Minangkabau
Ketua Umum Dewan Kerajinan Nasional Hj Mufidah Jusuf Kalla, yang juga memproduksi songket Minang dengan label ”Rumah Songket”, mengatakan, tradisi menenun songket dalam masyarakat Minangkabau tumbuh dan berkembang bersamaan dengan kebudayaan Minangkabau itu sendiri.
”Itu pula sebabnya fungsi dan kain songket dalam kehidupan masyarakat Minangkabau menjadi bagian yang integral dari kehidupan budayanya. Kain songket merupakan ekspresi budaya Minangkabau yang sekaligus juga menjadi kekuatan sosial ekonomi bagi masyarakat setempat,” katanya.
Sementara Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Sumatera Barat Ny Hj Vita Gamawan Fauzi mengatakan, di Sumbar terdapat sejumlah sentra tenunan songket. Ada sentra yang masih tetap berkembang saat ini dan ada pula yang tidak lagi memproduksi.
Vita menunjuk daerah yang pernah menjadi sentra tenunan songket, seperti Nagari Koto Gadang, Nagari Kubang, Nagari Sungayang, Nagari Pitalah, dan di antara yang masih tetap berkembang antara lain Nagari Pandai Sikek dan Nagari Silungkang.
”Namun, dalam dasawarsa belakangan ini, beberapa nagari di Sumatera Barat juga tumbuh sejumlah sentra industri tenun baru, seperti di Kota Padang, Payakumbuh, Solok, dan beberapa daerah lainnya,” ungkap Ny Hj Vita Gamawan Fauzi
Revitalisasi Songket Minangkabau Yang Merupakan Songket Terbaik Dunia
Peneliti songket asal Swiss, Bernhard Bart, menyebutkan, dari hasil penelitiannya selama 10 tahun di sejumlah negara dan kota-kota penghasil songket di Indonesia, songket Minang merupakan yang terhalus dan sangat kaya dengan motif-motif bermakna simbolik dan filosofis.
”Kalau kita cermati produk-produk budaya Minangkabau yang dihasilkan sekitar 100 tahun lalu, seperti hasil kerajinan songket, memang memperlihatkan Minangkabau memiliki kualitas yang patut dibanggakan. Minangkabau pernah mencapai suatu fase perkembangan yang mampu menciptakan karya budaya yang kualitasnya melewati zaman penciptaannya,” katanya.
Bernhard bekerja sama dengan Studio Songket Erika Rianti, Bukittinggi, sejak 4 tahun terakhir memproduksi songket terhalus dengan motif-motif yang umumnya tidak lagi diproduksi perajin songket lain di sentra-sentra songket di Sumatera Barat.
”Kain songket lama yang punah dan kini diproduksi kembali di dalamnya terdapat sejarah kebudayaan dan kehidupan masyarakat Minangkabau yang begitu menarik. Melalui motifnya yang begitu beragam, terdapat makna dan pesan-pesan adat Minangkabau, yang bersumber dari alam takambang jadi guru. Motif-motif tersebut tergambar dengan kuat, rapi, dan memperlihatkan tingkat kerumitan yang sulit dikerjakan oleh penenun masa kini,” ujar Nanda.
Di Padang, Nina Rianti Alda juga memproduksi kembali songket-songket lama Minangkabau bekerja sama dengan Bernhard. Membandingkan antara songket lama dan yang baru, menurut Nina, perbedaannya terletak pada orientasi di dalam tradisi pembuatan songket itu sendiri.
Menurut Nina, songket lama cenderung berorientasi pada kesadaran nilai dan ekspresi budaya Minangkabau karena di dalamnya ada simbol dari kebudayaan Minangkabau. Sementara pada songket baru, meskipun kesadaran terhadap nilai dan hubungannya dengan simbol serta identitas budaya Minangkabau itu masih ada, secara kualitas tidak lagi bisa dicapai seperti yang ada di dalam songket lama Minangkabau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar