Tenun ikat merupakan salah satu hasil kerajinan tangan masyarakat Waingapu di kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Membuat kain tenun ikat merupakan kebiasaan wanita Waingapu sejak ratusan tahun lalu. Hingga kini, mereka membuat kerajinan ini untuk dipakai sendiri ataupun dijual ke orang lain. Hendrik Pali, salah seorang warga Lambanapu, Waingapu menceritakan, masyarakat Waingapu pada awalnya menjadikan tenun ikat sebagai satu perlengkapan penting dalam acara adat istiadat, seperti pernikahan ataupun upacara penobatan raja. Namun setelah Indonesiamenjadi Negara Republik, tidak ada perbedaan, semua dapat mengenakan kain tenun dengan berbagai motif dan jenis. Bahkan kini, tenun ikat telah menjadi bahan untuk aneka kerajinan, seperti tas, selendang, serta baju.
"Jadi itu fungsinya itu, gunanya, kalau dulu itu untuk sosial budaya ya. Sosial budaya itu adat istiadat. Kalau kita melamar seorang pengantin putri, itu dari pihak laki-laki membawa kuda, dari pihak wanita itu menyiapkan kain. Dan ini juga fungsinya kalau misalnya kalau pergi pesta ya pakai, memang ada yang khusus kalau dulu. Ada yang dipakai khusus untuk raja-raja dan ada yang dipakai khusus untuk orang biasa. Kalau sekarang ya tidak lagi, setelah negara menjadi Negara Republik itu sudah bebas ya. Hak asasinya disamakan saja. Kalau sekarang ini memang sudah bisa dipakai untuk buat baju, sudah biasa pakai dengan bermacam-macam. Orang sudah jahitin tas, orang sudah jahit baju, orang sudah jahit longdress, sudah bisa saja dipakai begitu. Dan sudah ya dibisniskan juga."
Kerajinan tenun dari Waingapu ini dinamakan tenun ikat karena sebelum ditenun, benang diikat hingga menjadi beberapa ikatan kemudian diberi warna mengikuti pola yang telah ditentukan. Untuk menghasilkan sehelai kain tenun ikat khas Waingapu tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk proses pewarnaan benangnya saja membutuhkan proses yang bertahap dan butuh kesabaran. Pada musim penghujan, pengrajin tenun biasanya memulai kegiatan dengan mengikat benang, membentuk motif, serta menyiapkan bahan pewarna alami.
Biasanya, mereka membuat warna merah dari akar mengkudu yang dicampur dengan daun loba dan untuk warna hijau dibuat dari zat hijau daun. Mereka akan memulai proses pewarnaan benang ketika musim kemarau, karena setelah dicelup warna, benang yang telah diikat itu harus dijemur di bawah terik matahari. Untuk menghasilkan satu buah warna yang bagus, paling tidak diperlukan hingga empat kali proses pencelupan.
Itupun, hasil pewarnaan harus diolah kembali dan dijemur selama beberapa waktu. Setelah benang diberi warna, barulah ikatan benang itu dibuka dan benang yang akan ditenun diuraikan satu per satu. Wanita Waingapu kemudian menenun benang ini hingga menjadi selembar kain tenun menggunakan alat tenun tradisional yang terbuat dari kayu. Karena proses yang cukup panjang dan butuh waktu yang cukup lama itulah, tak heran jika Hendrik Pali, seorang warga Lambanapu, Waingapu mengatakan harga kain tenun ikat khas Waingapu relatif mahal bahkan hingga mencapai jutaan rupiah.
"Emang agak mahal ya, karena ini manual ya, dikerjakan manual. Sehari selembar benang, setahun selembar kain. Jadi akan agak mahal dia. Jadi harga itu memang dilihat dari kualitasnya. Ada harga 5 juta, 4 juta, 1 juta, ada yang 500 ribu. Kalau selendang ada yang 60 ribu, 260 ribu."
Pengrajin tenun ikat di Sumba Timur umumnya menghasilkan kain dengan motif hewan dan tumbuhan, seperti udang, penyu, buaya, serta pohon andung, salah satu jenis pohon yang dapat dijumpai di daerah Sumba Timur. Hendrik Pali, seorang warga Waingapu mengatakan motif tenun ikat di Sumba Timur memiliki ciri khas tersendiri dan bagi warga Waigapu, setiap motif itu memiliki arti. Untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap tentang itu, mari kita dengarkan penjelasan Hendrik Pali berikut ini.
"Motif udang ini ada simbol tersendiri. Simbol itu, orang dulu belum tau tulis dan ingin menyatakan bahwa hidup ini tidak dilenyapkan. Bahkan di balik kematian, ada kehidupan. Karena ada itu punya istilah adatnya, syairnya itu Dulu La Kuraluku Halukulamanumara, seperti udang itu menjelma di kali, di sungai dan seperti orang-orang dulu yang beragama asli dan juga mereka mengatakan setelah kematian ada kehidupan. Dia mau beritahu begitu, nilai religiusnya. Dulu ini kalau ini hanya dipakai oleh raja-raja, buaya dan penyu hanya dipakai oleh raja-raja, karena penyu dan buaya merupakan lambang keagungan dan kebesaran dari seorang raja"
Apa anda mulai tertarik dengan kain tenun ikat khas Waingapu?. Anda dapat menjadikan kerajinan ini sebagai salah satu cinderamata ketika berkunjung ke kota Waingapu, kabupaten Sumba Timur.