Minggu, 16 Juni 2013

Kebaya Kartini Bernuansa Melayu



Layaknya jenis mode lain yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan, kebaya juga terus mendapatkan modifikasi dari para perancang di tanah air. Kebaya yang biasanya dikenakan dengan kain panjang atau sarung, kini dapat dipadupadankan dengan busana dari barat, seperti jins atau rok.


Raswan, pemilik House of Kebaya & Raswan Tapis, memodifikasi kebaya Kartini khas Jawa dengan kain tenun Bidak Galah Napuh yang asli Lampung. Lewat garis rancangannya, Raswan ingin mengatakan bahwa kebaya bukan hanya bisa tampil tradisional, namun bisa juga tampil secara modern.

Kebaya pada dasarnya mempunyai ciri khas sama, yakni seksi dan eksotik. Desain kebaya pun bisa dipadukan dengan inspirasi budaya lain. Salah satu hasilnya adalah rancangan kebaya Kartini yang memiliki lipatan di bagian dada. Panjang kebaya juga menutupi panggul.

Ciri khas lainnya adalah lipatan kerah yang membentuk garis vertikal, sehingga membuat pemakainya terkesan lebih tinggi dan ramping. Pada rancangan kebayanya, ia memberikan sentuhan Jepang dengan lengan superlebar ala kimono Jepang.

Raswan memberikan permainan warna hijau, kuning, cokelat, dan merah. Sebagai bawahannya, dapat dipadukan dengan kain khas Lampung tenun tapis motif Cucuk Semaka atau bahan tenun motif kaca.

Kebaya modifikasi disebut modifikasi karena terdapat permainan detail dari struktur kebaya itu sendiri. Dalam sketsa rancangan di bawah ini, Ferry Sunarto menciptakan rancangan teknik built in bustier. Bustier jenis ini dapat disesuaikan dengan anatomi tubuh pemakainya karena teknik pemasangan barline yang membentuk tubuh secara proporsional. Perpaduan kebaya dengan nuansa gaya busana bangsa lain terlihat pada detail bagian depan yang berlipit dan bergaris empire line serta lengan berbentuk lonceng. Modifikasi juga dilakukan pada bukaan rendah di bawah leher dan penggunaan tali-temali sebagai ciri-ciri korset yang berkarakter kuat.

Selain batik dan rok, kebaya bisa saja dipadu dengan celana palazzo untuk menghadiri pesta istimewa. Kebaya dengan lengan tiga perempat atau yang panjangnya hanya setengah pergelangan paha bisa saja dipadu dengan celana capri.

Untuk aksesori, bisa dipermanis dengan pemakaian bros dan anting-anting. Agar tak terkesan ramai, Raswan menyarankan memilih salah satu antara kalung, anting, atau gelang. (dna/c2/dna)

Bidak Galah Napuh Sudah Dikonservasi

Kain tenun Bidak Galah Napuh merupakan tenun warisan budaya Lampung yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Sejak 2010, kain tenun ini telah dikonservasi, mulai dari gaya maupun proses pembuatannya.

Bidak Galah Napuh ini menjadi barang langka. Proses pembuatannya berbeda dengan tenun-tenun lain. Untuk membuatnya, sisir yang digunakan dipesan dari Jepang. Di Lampung, bahkan di Indonesia, tidak ada sisir tenun yang sesuai.

Perancang busana Lampung Raswan menguraikan, tenun ini bercirikan ikat cukil dan sungkit yang motifnya spesifik. Setelah ratusan tahun, kini House of Kebaya & Raswan Tapis mencoba membuat ulang tenun ini dengan teknik yang sama.

’’Kain tenun ini langka. Proses pembuatannya sulit. Ada bagian yang diikat dan cukil di bagian lain. Itulah yang menjadi ciri khas tenun Bidak Galah Napuh,” ujar Raswan 

Suatu hal yang membanggakan, tenun ini sudah diseminarkan pada Maret 2012 di Museum Tekstil, Jakarta, sebagai salah satu khasanah budaya yang berasal dari Lampung. Dalam seminar itu, Raswan juga menyerahkan karyanya yang menggunakan kain tenun Bidak Galah Napuh.

’’Di mana tapis itu diberi nama Tapis Radin Sinang Senipat yang terinspirasi dari cerita Warahan Radin Jambat Hangkirat, yaitu cerita sastra tutur dari Waykanan,” paparnya.

Tapis itu diserahkan langsung kepada Kepala Museum Tekstil Drs. Indra Riawan, M.Hum. oleh Raswan. Di Bandarlampung, pembuatan tenun ini juga sebagai salah satu binaan Dekranasda yang diketuai Hj. Eva Dwiana Herman H.N.

Menurut dia, tenun Bidak Galah Napuh akan terus dimodifikasi, namun tidak menghilangkan kreasi pada bahan dan sulaman tapisnya. Seperti tapis Cucuk Andak dan Cucuk Semaka. ’’Kami akan mengikuti tren, bukan sebagai kebutuhan adat. Akan tetap lebih pada pakaian modern yang bisa dipakai siapa saja,” ungkap Raswan.

Mengenakan Kain Tenun

sebagian perempuan masih menganggap bahwa kain tenun hanya pantas dikenakan pada acara-acara yang besar. Hal inilah yang justru membuat industri tenun kurang berkembang dan populer.

Dampaknya, kain tenun terancam hilang karena daya beli masyarakat yang rendah. Seharusnya perempuan tidak segan memadupadankan busana kain tenun menjadi tampilan modern yang anggun dan elegan tanpa menghilangkan unsur etnik dan kuno.

Pengurus Cita Tenun Indonesia Dhanny Dahlan berbagi tips dalam bergaya dengan tenun yang pilihannya sangat banyak dan cantik:

· Kombinasikan dengan Warna Polos

Motif tenun yang kompleks kerap membuat pemakainya takut dibilang ’’ramai’’. Cara menyiasatinya, pakailah celana atau rok polos yang berfungsi sebagai penyeimbangnya. Kombinasi jins pun bagus dan baik untuk acara santai.

· Tabrak Motif Warna Senada

Namun, bila dirasa tidak terlalu nyaman, pakailah motif dengan warna yang masih senada antara atasan dan bawahannya.

· Formal dan Kasual

Ada tenun yang bernuansa berat dan lebih cocok dikenakan untuk pesta, seperti songket Palembang yang banyak menggunakan warna emas. Namun, sarung Blongsong malah sangat cocok untuk santai. Jangan takut untuk menukar-nukar gaya tadi, sesuaikan saja dengan kebutuhan!

· Tidak Perlu Dipotong

Proses pengerjaan tenun membutuhkan waktu yang cukup lama, membuat kain tenun kerap dikenakan apa adanya sebagai helaian kain. Perasaan sayang untuk memotongnya dan menjahit kembali menjadi salah satu alasan mengapa tenun modelnya hanya itu-itu.

Untuk mengakalinya, Anda tidak perlu memotong. Cukup dengan memberi kupnat untuk menjadikan rok atau cape. Melepas kupnat tidak akan merusak siluet dan bisa disesuaikan kembali sesuai bentuk tubuh.

· Aplikasi Daerah yang Berbeda

Hal menarik dari tenun adalah asal motif yang beraneka ragam. Jadi bebaskanlah diri Anda untuk bereksplorasi. Pakai motif tenun Lampung sebagai atasan dan tenun Badui sebagai bawahan atau motif Palembang sebagai luaran dan motif Makassar sebagai dalaman, kombinasi ini akan membuat Anda terlihat semakin cantik. 

Tapis Kian Dinamis


KAIN batik sudah ditetapkan sebagai warisan bangsa Indonesia. Demikian juga puluhan motif kain songket Palembang sudah mendapatkan hak paten. Bagaimana dengan kain tapis yang merupakan karya seni kebudayaan asli Lampung?


Belakangan, sejumlah desainer terus mengembangkan kreasi kain tapis. Bukan hanya ingin dilirik secara nasional, tapi juga agar kain tapis dapat go international sehingga menjadi salah satu khasanah kebudayaan Indonesia yang tidak dapat dipandang sebelah mata.

Salah satu desainer yang cukup intens melestarikan kain tapis adalah Raswan. Pemilik House of Kebaya & Raswan Tapis ini selalu memodifikasi tapis agar dapat terus dikenakan para generasi muda yang kini semakin dinamis.

Upaya Raswan yang diiringi dengan menggelar pameran dan fashion show terus membuahkan hasil. Bahkan apresiasi datang dari Ketua Umum Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) Herawati Boediono pada Gebyar Tapis di Bandarlampung belum lama ini.

Menurut Herawati ketika itu, tapis mengalami perkembangan pesat dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Istri Wakil Presiden Boediono ini pun mengungkapkan kekagumannya terhadap tapis karya Raswan. Di mana kini tapis tidak hanya dapat dipakai pada acara resmi. Namun, dapat dipadupadankan dengan pakaian kasual dan modern.

’’Sekarang banyak tapis berbahan ringan dan modelnya disesuaikan dengan zaman,” ungkap Raswan

Sementara pada waktu Gebyar Tapis lalu, Raswan menampilkan dua puluh karyanya. Sebagai cenderamata, Raswan memberikan tapis motif bintang perak kepada Herawati. Bahan pada tapis itu tidak hanya terdiri atas unsur benang emas, melainkan campuran benang sutera merah biru dan cokelat yang dikemas dalam sarung serta selendang. 

Kain Tapis dari Masa ke Masa
Disebutkan bahwa orang Lampung telah menenun kain brokat yang disebut nampan (tampan) dan kain pelepai sejak abad ke-2 Masehi. Motif kain ini ialah kait dan kunci (key and rhomboid shape); pohon hayat; dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal.

Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan, dan bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.

Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh tradisi Neolitikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.

Masuknya agama Islam di Lampung ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis. Walaupun unsur baru itu telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan.

Adanya komunikasi dan lalu lintas antar-kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan zaman bahari sudah mulai berkembang sejak zaman kerajaan Hindu Indonesia serta mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam antara 1500–1700.

Bermula dari latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi seniman pencipta jelas memengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-ide pada kehidupan sehari-hari yang berlangsung di sekitar lingkungan seniman di mana ia tinggal. Penggunaan transportasi pelayaran waktu itu dan alam lingkungan laut telah memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal.

Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan.

Pameran Khazanah Kain Tradisional Nusantara

Pamerkan Kain Serat Kayu, Stan Kalimantan Tengah Jadi Favorit

Dalam rangka Festival Krakatau XXII, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung menggelar Pameran Khazanah Kain Nasional Nusantara. Dalam kegiatan yang akan berlangsung hingga 30 Oktober ini, dipamerkan puluhan jenis kain koleksi 31 museum seluruh Indonesia ditambah milik para kolektor asal Medan, Jakarta, dan Bandung.

PULUHAN tenda menghiasi halaman parkir Museum Lampung kemarin. Di depannya berdiri megah sebuah panggung. Sementara deretan kursi berbalut kain putih telah berjajar rapi. Beberapa pria terlihat sibuk merapikan tempat-tempat itu.

Kesibukan makin terasa kala memasuki halaman aula museum yang berada di Jalan Z.A. Pagar Alam, Rajabasa, ini. Ratusan siswi berseragam SMP tengah menekuni kain sulam yang berada di tangan mereka. Para siswi SMP itu tengah mengikuti lomba sulam tapis yang memang menjadi salah satu muatan lokal di kota ini.

Namun, perhatian  lebih tersedot pada aktivitas di dalam aula museum. Di sana, ratusan pengunjung tengah tekun memperhatikan deretan kain dengan beragam corak dan jenis.

Puluhan kain itu terpajang rapi. Kain-kain tersebut sengaja disusun sesuai jenis, bentuk, dan asalnya. Beragam bentuk kain, mulai yang berukuran panjang hingga persegi, dapat ditemui di sini. Bermacam motif juga bisa dilihat. Seperti motif sulur, bunga, dan binatang.

Guna memudahkan pengunjung, setiap kain diberi semacam penjelasan yang berisi nama, asal, dan proses pembuatannya.

Dari puluhan stan, ada salah satu yang paling ramai dikunjungi, baik oleh pengunjung umum maupun para pelajar. Stan itu milik Museum Kalimantan Tengah (Kalteng). Di sana mayoritas kain yang dipamerkan berbahan dasar tumbuhan, berupa rumput atau kulit kayu. Antusiasme pengunjung sempat membuat pemandu stan kewalahan. Terutama ketika menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan para pelajar yang datang.

Dari penjelasan pemandu stan, salah satu unggulan mereka adalah pakaian adat laki-laki dari suku Dayak yang terbuat dari kayu nyamu. Nyamu adalah nama daerah jenis pohon hutan yang mengandung serat bagus untuk kain bahan pakaian. Biasanya setelah pohon ditebang, kemudian dipotong-potong dan kulit luarnya dilepas dan dipukuli hingga tinggal serat halusnya. Serat inilah yang akan dijadikan kain.

’’Biasanya direndam lebih dahulu dan dijemur di bawah terik matahari. Kemudian dipukul-pukul sampai terlihat licin. Semakin besar pohonnya, akan semakin bagus kulitnya,” ungkap Kepala Museum Kalteng Berthi Letlora, S.H.

Ia menyebutkan, selain kayu nyamu, kain tradisional suku Dayak ini juga dapat dibuat dari salusi, banturung, puru, dan karet mahumbung. ’’Untuk menghasilkan sehelai kain, dibutuhkan waktu cukup lama. Bisa sekitar satu minggu. Pengerjaannya pun tidak bisa sembarangan, harus menggunakan perasaan,” ujar pria berkulit hitam ini.

Meski terbuat dari serat kayu, jenis kain ini terasa sangat lembut dan nyaman saat dikenakan. Untuk membuatnya terlihat lebih indah, pakaian serat kayu itu biasanya ditambahkan dengan motek warna-warni.

Diketahui, Pameran Khazanah Kain Tenun Nusantara sengaja digelar sebagai bentuk apresiasi kain tenun tradisional Indonesia menuju pasar global sekaligus rangkaian kegiatan Festival Krakatau XXII. ’’Dari sana. kita mencoba mengenalkan kain tradisonal Lampung dalam kancah yang lebih besar,” ujar Kepala Bidang Pariwisata Disbudpar Lampung Yusuf Rusman, M.M. di sela kegiatan.

Menurutnya, pameran ini menyajikan beragam produk buatan Indonesia. Di antaranya kain kulit kayu dari Sulawesi Tengah, tenunan serat palem dari Papua, selimut ikat dari Sulawesi Barat, batik dari Jawa, songket benang emas dari Sumatera Selatan, hingga inovasi-inovasi kontemporer yang berkisar dari akhir abad ke-19 hingga saat ini.

Selain wisatawan domestik, kegiatan itu juga menarik minat turis mancanegara. Salah satunya turis asal Eropa, Barbara Jonsen. Ia mengaku sengaja mengunjungi pameran ini untuk melihat langsung keunikan dan keanekaragamn kain Indonesia. ’’Saya suka sekali dengan kain,” katanya dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar.

Perempuan yang mengaku sejak kecil telah tinggal di Jakarta ini menilai pameran seperti itu perlu terus diadakan dan dikembangkan. Sehingga masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, dapat lebih mencintai dan mengetahui kekayaan budaya bangsa Indonesia.

Houndstooth, Pola Klasik yang Modern

MOTIF houndstood tak pernah lekang dimakan zaman. Kesan klasik dari pola seperti gerigi anjing pemburu, kadang terlihat seperti motif zigzag, dalam warna hitam dan putih ini tetap menunjukkan modernitas pemakainya. Motif tekstil berpatron segiempat dengan sudut yang tidak beraturan ini kali pertama muncul sebagai tenunan untuk pembungkus keranjang di abad ke-19.

Pemilik Imun’s Butik Plaza Lotus Maimun Apriliani mengatakan, seiring perkembangannya, motif ini banyak dilirik perancang busana untuk pakaian musim dingin dengan bahan wol. ’’Dan ke arah yang lebih modern, houndstooth di Indonesia banyak diganti dengan bahan spandek atau sifon sehingga nyaman dipakai di segala suasana,” katanya.

’’Kini banyak pakaian yang kembali hadir dengan motif houndstooth dengan material tipis. Tidak hanya mantel, tetapi juga kemeja, dress, rompi, rok, legging, dan lainnya. Bahkan motif ini dipakai sebagai aksesori seperti dasi, jilbab, tas, dan sepatu,” kata mahasiswa IBI Darmajaya Lampung ini.

Imun –sapaan akrab Maimun– menambahkan, memakai pakaian atau aksesori bermotif houndstooth akan terlihat lebih menawan dengan paduan kain polos. Tidak melulu harus serasi dengan atasan atau bawahan. Kecuali untuk setelan jas, kemeja dengan motif houndstooth cukup serasi dipadukan dengan blazer berwarna gelap seperti abu-abu atau blue marine.

’’Motif houndstooth sudah rame, kalau dipadukan dengan kotak-kotak lagi akan terlihat aneh,” ujar perempuan berjilbab ini.

Tidak hanya motif yang bervariasi, houndstooth juga memiliki banyak pilihan warna. Diantaranya hitam, abu-abu, pink, merah, dan lainnya. Bagi yang berjilbab, akan tetap terlihat anggun dengan motif houndstooth dengan sedikit menambahkan sentuhan aksesoris sebagai pemanis pada bagian yang menjadi pusat perhatian. Diantaranya seperti gelang atau jam tangan.

Padukan motif tersebut dengan jilbab polos dan alas kaki bertumit yang akan menambah kesan elegan saat mengenakannya. ’’Kalau memakai jenis dress sebaiknya tambahkan belt untuk menyiasati bagian perut,” kata dia.

Selain itu, jika menggunakan motif ini, sebaiknya pakai aksesori berwarna gold untuk menghilangkan kesan pucat pada si pemakai. Ketika menggunakan warna silver, maka akan terlihat pucat. (

Selasa, 21 Mei 2013

Bersahaja Tetapi Mewah

Indonesia Fashion Week 2013 kembali merayakan kekayaan kain Indonesia. Inspirasi bisa mewujud dalam aneka gaya mulai dari potongan gaun sederhana nan elegan hingga tampilan ceria dalam warna menawan.

Indonesia Fashion Week (IFW) 2013 digelar untuk kedua kalinya di Jakarta Convention Center, Jakarta, 14-17 Februari 2013. Ajang yang diprakarsai Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia bekerja sama dengan Radyatama ini membagi empat hari penyelenggaraan dengan tema masing-masing: busana pesta (cocktail), busana muslim, busana pria dan urban, serta busana dengan potongan kasual.

Pada tema busana pesta, tampil karya para perancang Auguste Soesastro, Denny Wirawan, Ivan Gunawan, Jeanny Ang, Rudy Chandra, Sofie, serta desainer Malaysia, Melinda Looi, dalam beragam cita rasa dan kekhasan gaya.

Auguste Soesastro, perancang yang meluncurkan merek Kraton di New York, Amerika Serikat, pada 2008, menunjukkan bahwa perempuan bisa cantik di mana saja—termasuk dalam pesta—dengan gaya sederhana, intelek, dan elegan. Koleksi yang ditampilkan di IFW kali ini masih kuat menampilkan ciri garis rancangan Auguste yang sederhana, polos tanpa aplikasi, tetapi menuntut kerumitan potongan dan presisi yang tinggi.

Auguste mencontohkan, pada sebuah jaket fuchsia, ia membuat dua kupnat di bahu dan satu kampuh (jahitan yang menyatukan bagian baju) mulai dari bawah lengan hingga kantong di depan. Untuk merangkai bagian-bagian itu menjadi jaket yang terkesan sederhana, pekerja tingkat terampil masih butuh waktu 60 jam.

Pada koleksi musim gugur dan musim dingin 2013-2014 ini, Auguste juga menampilkan kain tenun dari Ayotupas, Timor barat. Kain tenun dari serat organik dengan pewarna alam ini digunakan secara utuh sebagai syal. Ada pula yang dijahit menjadi atasan. Auguste menegaskan, tenun bukan kain yang mudah dijahit karena ketegangan yang tidak sama serta motif yang tampak simetris padahal sebenarnya tak begitu.

Batik monokromatik juga digunakan Auguste untuk bagian atas sebuah gaun berikut setelan selendangnya. Ia meyakini batik sebagai sebuah teknik yang mesti dilestarikan, tetapi motifnya perlu direlasikan dengan seni kontemporer masa kini. Keyakinan itulah yang dituangkan Auguste dalam desainnya.

Sabana megah

Sementara itu, Denny Wirawan mengusung songket Palembang yang tampil berbeda karena dibuat seluruhnya dengan pewarna alam. Songket menjadi komponan utama koleksi busana siap pakai berlabel Balijava pada IFW 2013 ini. Balijava adalah label Denny yang khusus mengolah kain warisan budaya Indonesia.

Denny menyuguhkan konsep padu padan yang kuat pada koleksinya. Beragam jaket, blazer, dan bolero dipadukan dengan blus dan bawahan rok pensil atau celana agak ketat yang lurus ramping. Palet warna tanah—krem, coklat keemasan, khaki, dan abu-abu—yang ia pilih pada koleksi ini, kata Denny, terinspirasi keindahan padang sabana. Hamparan ilalang mengering dan semak belukar liar mempunyai keindahan tersendiri.

Dari imajinasi itu, Denny menuangkannya dalam rancangan busana yang sebagian bersiluet sederhana. Sebagian lagi—pada segmen gaun pesta dan gaun pengantin—Denny menunjukkan bahwa songket berwarna tanah juga bisa terkesan mewah. Untuk gaun malam, penggunaan detail seperti frill, aplikasi bordir, dan bebatuan, dipilih yang berwarna senada sehingga lebih bersahaja.

Organza dan serat nanas ikut mempercantik koleksi busana pesta Balijava ini. Adapun untuk gaun pengantin Denny memadukan songket sutra dengan tulle.

IFW 2013 menjadi kesempatan pertama bagi Ivan Gunawan menampilkan koleksi berbahan kain warisan budaya Indonesia. Meski telah meluncurkan label Ivan Gunawan sejak 2004, Ivan mengakui, sebagian kalangan lebih mengenal sosoknya sebagai selebritas ketimbang garis rancangannya. Ia juga dianggap identik dengan warna-warna terang dan kesan bling-bling.


Kali ini Ivan menggunakan kain tenun Mandar, Sulawesi Barat, dengan tetap mempertahankan gaya ceria. Kepraktisan dan kenyamanan gaun menjadi faktor yang lebih diperhatikan. Motif tenun Mandar yang didominasi kotak-kotak—dalam keseharian lebih banyak dipakai sebagai sarung—diolah Ivan menjadi gaun ringan untuk acara semiformal, juga disulap lebih anggun untuk pesta atau acara lebih formal.

Tenun, misalnya, dibuat menjadi rok pendek berpotongan melebar di bagian bawah yang dipadu dengan brokat sebagai lapisan luar atasan yang ketat. Tenun juga ditampilkan dalam atasan model kemben dengan draperi berpadu dengan rok span semitransparan.

Sebanyak 208 desainer dan 503 merek beragam produk mode berpartisipasi dalam IFW 2013. Pada ajang ini digelar pula pameran dagang, kompetisi, dan seminar, selain pergelaran busana. IFW 2013 mengutamakan produk dengan konten lokal yang berstandar global.

Upaya menjembatani kerja sama para pelaku industri mode pada IFW 2013 didukung pula oleh empat kementerian, yakni Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, serta Asosiasi Pengusaha Indonesia.

Melihat Koleksi Tekstil di Tanahabang

ADALAH Justinus Vinck, tuan tanah Belanda, yang menguasai tanah luas di Weltevreden -kawasan yang antara lain meliputi Lapangan Banteng, Gambir, dan Senen– di tahun 1730-an dan membuat jalur yang menghubungkan Pasar Senen dan Tanahabang –kini bernama Jalan Prapatan dan Kebon Sirih. Ia jugalah yang menciptakan Pasar Senen (Vinck Passer) dan Tanahabang.

Sebenarnya, sejak abad 17 nama Tanahabang sudah mulai terdengar, yaitu saat tentara Mataram mengepung Batavia. Di dataran berbukit bertanah merah dan berawa itulah pangkalan tentara Mataram. Kawasan ini di masa itu juga masih menjadi kebun teh, melati, kacang, sirih, jahe. Pasar Tanahabang yang kemudian dibangun pada 30 Agustus 1735 merupakan pasar tradisional, tak berbeda jauh dengan Pasar di Tanahabang.

Pasar Tanahabang kemudian berkembang menjadi sentra tekstil terbesar di Asia Tenggara.

Namun kali ini bukan soal Pasar Senen atau Pasar Tanahabang yang jadi titik sentral. Dari Pasar Tanahabang ini, agak bergerak sedikit ke arah deretan rel keretapi di mana terdapat sebuah ”kampung”, di dalam kampung besar Jakarta, bernama Bongkaran. Dari sini tengoklah ke seberang. Di sana ada sederet pedagang kaki lima yang memenuhi hampir setengah badan jalan.

Di belakang rimbunan pedagang kaki lima ini akan mencuat sebuah bangunan. Banyak yang tahu bahwa bangunan itu tak lain adalah bangunan Museum Tekstil tapi sebagian besar warga Jakarta dan sekitarnya tak tahu menahu tentang keberadaan bangunan itu. Yang lebih parah, sebenarnya, adalah yang tahu keberadaan dan kondisi gedung itu tapi pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu.

Dari catatan Warta Kota, museum yang tersembunyi di antara keriuhan pedagang tadi berdiri di atas lahan seluas 9.800 m2. Bangunan itu semula milik seorang warga Prancis yang kemudian beberapa kali berpindah tangan. Tahun 1942 bangunan dengan halaman luas itu dibeli Dr Karel Christian Cruq dari tangan seorang konsul Turki. Di masa revolusi, rumah itu dijadikan markas Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Pada 1947 rumah itu dibeli seorang pengusaha bernama Lie Soin Phin yang kemudian dikontrakkan ke Departemen Sosial (Depsos). Tahun 1952 Depsos membeli bangunan itu dan bulan Oktober 1975 menyerahkannya ke Pemda DKI untuk dijadikan museum. Itulah awal keberadaan Museum Tekstil.

Lantas apa saja yang bisa dilihat di museum ini, selain alat tenun nonmesin yang dibuat tahun 1927 dan gedogan (alat tenun tradisional), serta beragam koleksi kain batik, ikat, kain tradisional, lukisan tangan, dan prada? Antaralain ada Bendera Kraton asal Cirebon buatan tahun 1776 yang merupakan panji kebesaran Kesultanan Cirebon; Kain Adat asal Bali dari abad ke -19. Kain ini disebut juga Geringsing Wayang Kebo, merupakan kain tenun yang pembuatannya paling rumit karena menggunakan teknik ikat ganda. Teknik ini adalah teknik langka yang hanya ada di sedikit negara.

Sri Susuhunan Pakubuwono XII menyumbangkan kain motif batik bernama Tumurun Srinarendra (kelahiran raja). Dibuat oleh almarhum Hardjonegoro untuk dikenakan sendiri pada perayaan ulangtahun Sunan Solo. Selain itu ada pula koleksi baju perang Irian Jaya berbahan rotan dan serat alam. Teknik pembuatan dianyam. Baju ini digunakan sebagai busana suku di Papua untuk melindungi dada dari serangan benda tajam.

Tentu tak hanya apa yang bisa disebutkan di sini, dari balik padatnya pedagang, riuhnya kendaraan khususnya angkot, dari buruknya kondisi lingkungan museum, tersembunyi kisah lain perihal sejarah pertekstilan negeri ini.

Perajin Baduy Butuh Suntikan Modal Usaha

Perajin khas kerajinan tradisional Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, membutuhkan suntikan permodalan untuk mengembangkan usahanya.

"Kami berharap pemerintah maupun perbankan menyalurkan bantuan penguatan modal guna meningkatkan produksi," kata Dainah, Kepala Pemerintahan Adat Baduy yang juga Kepala Desa Kanekes, Kamis (14/2).

Menurut Dainah, selama ini perkembangan kerajinan Baduy dinilai berjalan di tempat karena terbentur permodalan juga pemasaran. Perajin saat ini sangat membutuhkan suntikan modal untuk mengembangkan usahanya. "Jika mereka mendapat suntikan modal dipastikan usahanya berkembang," katanya seperti dikutip Antara.

Dainah mengatakan, produk kerajinan Baduy di antaranya kain tenun, golok, tas koja, cindera mata, gula aren, pakaian, selendang, dan samping bisa bersaing di pasar domestik dan mancanegara.

Menurut Dainah, saat ini para perajin Baduy mengeluh karena turunnya omzet penjualan akibat keterbatasan modal tersebut. Perajin hanya mampu memasarkan produknya di kawasan Baduy dan tidak dipasok ke luar daerah. Pihaknya berharap produk-produk kerajinan Baduy bisa ditampung oleh perusahaan.

Dainah menilai produk kerajinan Baduy memiliki nilai jual di pasaran karena bahan bakunya terbuat dari alam, seperti tas koja terbuat dari akar pepohonan yang ada di hutan kawasan Baduy. Harga produk Baduy, seperti kain tenun dijual dengan harga Rp 65.000, baju (Rp 70.000), selendang (Rp 250.000), tas koja (Rp 25.000), dan pernak-pernik dari harga Rp 15.000 hingga Rp 25.000