Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu menyatakan akan segera mendaftarkan tenun songket sebagai warisan budaya layaknya batik ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
"Memang ada keinginan untuk didaftarkan seperti halnya batik dan kami akan melakukannya," kata Mari di Palembang, Sumatera Selatan.
Menurut Mari, tidak mudah untuk mendaftarkan songket sebagai warisan budaya ke UNESCO karena memerlukan proses yang detail, termasuk dalam hal verifikasi dan pembuktian. Oleh karena itu, katanya, harus disiapkan data pendukung yang lengkap agar proses pembuktiannya tidak memerlukan waktu yang terlalu lama.
"Ini sebenarnya tugas kita bersama karena setelah misalnya diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia seperti batik, tugas kita tidak berhenti sampai di situ saja," katanya.
Ia menambahkan, tenun songket harus dilestarikan dalam berbagai cara sekaligus menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari alias living culture dan living tradition. Hal itu, kata Mari, kalau disadari bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan karena songket benar-benar harus dimasyarakatkan.
Pada dasarnya tradisi tenun songket telah diratifikasi Konvensi UNESCO pada 2003 dalam hal kualitas sumber daya manusia yang bergerak di dalamnya sekaligus pengetahuan tentang songket. Berlanjut pada Konvensi UNESCO 2005 diratifikasi pula tenun songket dalam hal pemanfaatan karyanya.
Salah satu perajin songket ternama asli Palembang, Zainal Arifin, yang juga pemilik brand Zainal Songket, pada kesempatan yang sama menyatakan diri siap membantu pemerintah memberikan bukti-bukti songket milik Indonesia asli agar diakui sebagai warisan budaya oleh UNESCO layaknya batik.
"Saya siap memberikan bukti-bukti yang diperlukan," kata pria yang keluarganya secara turun-temurun telah menekuni songket sejak 1974.
Selasa, 30 April 2013
Tenun Unggan Sijunjung yang Makin Bersinar
Dari berbagai pilihan kain tradisional Indonesia, tak hanya batik yang mampu menyihir para desainer untuk berlomba mengolahnya menjadi busana yang indah. Perancang Samuel Wattimena ternyata juga tertarik untuk mengolah kain tenun khas Sumatera Barat. "Kain yang digunakan adalah kain khas dari nagari sijunjung yang indah," ungkap Samuel, ketika ditemui sesaat setelah fashion show-nya, "Pagelaran tenun unggan Sumatera Barat Kabupaten Sijunjung" di KOI Cafe, Kemang, Jakarta Selatan,
Sumatera Barat merupakan sentra kain nusantara yang memiliki berbagai teknik dalam pembuatan tenun, bordir, sulam, tarik benang, dan songket. "Kekuatan inilah yang akhirnya dikembangkan untuk mempertahankan ciri khas dari suatu daerah, sekaligus meningkatkan perekonomian di daerahnya," ungkap Yuswir Arifin, Bupati Sijunjung, Sumatera Barat, dalam acara yang sama.
Fashion show ini bertujuan untuk mensosialisasikan jenis motif baru dari kain tenun unggan sijunjung, yaitu unggan seribu bukit. Unggan seribu bukit ini memiliki filosofi antara lain kekompakan dalam kerjasama, kegigihan dalam berusaha, keinginan untuk maju, dan sukses bersama. "Sebelum fashion show ini, kami terlebih dahulu melakukan pelatihan kepada penenun agar menghasilkan karya yang lebih baik lagi dan berstandar nasional," tambah Samuel.
Dalam acara ini Samuel ingin memperkenalkan kreasi busana dari tenun unggan yang ditujukan bagi kaum muda, sehingga koleksi busananya bernuansa muda. Ada sekitar 22 busana untuk perempuan dan laki-laki berwarna cerah yang ditampilkan Samuel dalam pagelaran ini. Lucunya, warna khas Sumatera Barat, merah, tak banyak ditampilkan. Hal ini sengaja dilakukan Samuel untuk menghilangkan kesan Minang yang terlalu lekat dengan warna terang, sehingga bisa lebih mudah digunakan dan dipadupadankan. "Ini juga merupakan sebuah simbol untuk pembauran budaya melalui warna," bebernya.
Seluruh koleksinya merupakan koleksi busana siap pakai yang terlihat sangat elegan dan unik dalam setiap siluet busananya. Motif-motif berbentuk bintang kecil yang ditenun dalam ukuran yang kecil dan tersebar pada seluruh bagian kain terlihat sangat unik dan indah. "Bahan yang digunakan antara lain, linen, katun, sampai sutera," tukas Samuel.
Perancang kelahiran Jakarta, 25 November 1960 ini juga bereksplorasi dalam memadukan berbagai kain tenun dengan kain lainnya, antara lain kain bordir Tasikmalaya, lurik Solo, sampai batik Solo.
Sammy banyak menunjukkan kreasi kain tenun yang fleksibel untuk digunakan dalam berbagai kesempatan, seperti acara formal, santai, sampai busana muslim. Dalam koleksi busana formal, busana Sammy lebih banyak didominasi oleh warna-warna yang sedikit lebih gelap seperti ungu, abu-abu, sampai fuchsia. Busana formalnya banyak menampilkan potongan blazer panjang dengan kerah modifikasi lebar dan tambahan kain lilit panjang yang menjuntai indah. Selain itu, busana formal juga tampil dalam potongan busana kerah shanghai berwarna coklat dengan rok A-line berwarna coklat mengkilat.
Sedangkan koleksi busana santai Sammy banyak dipenuhi dengan mini dress bermotif tanpa lengan, bolero berbentuk balon dengan kerah berbentuk V, dan aksen draperi yang penuh dan besar. Selain dipenuhi dengan koleksi gaun pendek dengan aksen draperi di bagian pundak dan leher, beberapa busana santai terlihat mengadaptasi siluet kebaya bali dengan tambahan ikatan kain warna senada yang lebih panjang dan berumbai.
Busana muslim juga dihadirkan dalam pagelaran ini. Busana gamis lengkap dengan aksen motif tenun unggan seribu bukit, serta blazer panjang yang dipadukan dengan celana panjang dan kerudung juga terlihat sangat serasi dalam balutan kain tenun ini.
Sammy mengaku sampai sekarang ia belum akan menjual koleksi busananya. Ia ingin mengadakan roadshow terlebih dulu ke sejumlah kota di Sumatera Barat untuk lebih mendekatkan potensi daerah dengan masyarakatnya secara langsung.
Sumatera Barat merupakan sentra kain nusantara yang memiliki berbagai teknik dalam pembuatan tenun, bordir, sulam, tarik benang, dan songket. "Kekuatan inilah yang akhirnya dikembangkan untuk mempertahankan ciri khas dari suatu daerah, sekaligus meningkatkan perekonomian di daerahnya," ungkap Yuswir Arifin, Bupati Sijunjung, Sumatera Barat, dalam acara yang sama.
Fashion show ini bertujuan untuk mensosialisasikan jenis motif baru dari kain tenun unggan sijunjung, yaitu unggan seribu bukit. Unggan seribu bukit ini memiliki filosofi antara lain kekompakan dalam kerjasama, kegigihan dalam berusaha, keinginan untuk maju, dan sukses bersama. "Sebelum fashion show ini, kami terlebih dahulu melakukan pelatihan kepada penenun agar menghasilkan karya yang lebih baik lagi dan berstandar nasional," tambah Samuel.
Dalam acara ini Samuel ingin memperkenalkan kreasi busana dari tenun unggan yang ditujukan bagi kaum muda, sehingga koleksi busananya bernuansa muda. Ada sekitar 22 busana untuk perempuan dan laki-laki berwarna cerah yang ditampilkan Samuel dalam pagelaran ini. Lucunya, warna khas Sumatera Barat, merah, tak banyak ditampilkan. Hal ini sengaja dilakukan Samuel untuk menghilangkan kesan Minang yang terlalu lekat dengan warna terang, sehingga bisa lebih mudah digunakan dan dipadupadankan. "Ini juga merupakan sebuah simbol untuk pembauran budaya melalui warna," bebernya.
Seluruh koleksinya merupakan koleksi busana siap pakai yang terlihat sangat elegan dan unik dalam setiap siluet busananya. Motif-motif berbentuk bintang kecil yang ditenun dalam ukuran yang kecil dan tersebar pada seluruh bagian kain terlihat sangat unik dan indah. "Bahan yang digunakan antara lain, linen, katun, sampai sutera," tukas Samuel.
Perancang kelahiran Jakarta, 25 November 1960 ini juga bereksplorasi dalam memadukan berbagai kain tenun dengan kain lainnya, antara lain kain bordir Tasikmalaya, lurik Solo, sampai batik Solo.
Sammy banyak menunjukkan kreasi kain tenun yang fleksibel untuk digunakan dalam berbagai kesempatan, seperti acara formal, santai, sampai busana muslim. Dalam koleksi busana formal, busana Sammy lebih banyak didominasi oleh warna-warna yang sedikit lebih gelap seperti ungu, abu-abu, sampai fuchsia. Busana formalnya banyak menampilkan potongan blazer panjang dengan kerah modifikasi lebar dan tambahan kain lilit panjang yang menjuntai indah. Selain itu, busana formal juga tampil dalam potongan busana kerah shanghai berwarna coklat dengan rok A-line berwarna coklat mengkilat.
Sedangkan koleksi busana santai Sammy banyak dipenuhi dengan mini dress bermotif tanpa lengan, bolero berbentuk balon dengan kerah berbentuk V, dan aksen draperi yang penuh dan besar. Selain dipenuhi dengan koleksi gaun pendek dengan aksen draperi di bagian pundak dan leher, beberapa busana santai terlihat mengadaptasi siluet kebaya bali dengan tambahan ikatan kain warna senada yang lebih panjang dan berumbai.
Busana muslim juga dihadirkan dalam pagelaran ini. Busana gamis lengkap dengan aksen motif tenun unggan seribu bukit, serta blazer panjang yang dipadukan dengan celana panjang dan kerudung juga terlihat sangat serasi dalam balutan kain tenun ini.
Sammy mengaku sampai sekarang ia belum akan menjual koleksi busananya. Ia ingin mengadakan roadshow terlebih dulu ke sejumlah kota di Sumatera Barat untuk lebih mendekatkan potensi daerah dengan masyarakatnya secara langsung.
29 Songket Palembang Jadi Warisan Budaya
Sebanyak 22 motif tenun songket Palembang di tetapkan sebagai warisan budaya rakyat Palembang, Sumatera Selatan. Sebanyak 49 motif tradisional lainnya tengah dalam proses.
Pengajuan pengakuan sebagai warisan budaya ini dilakukan untuk melindungi kekhasan seni dan budaya Palembang. Motif-motif tersebut memperoleh pengakuan sebagai warisan budaya rakyat (folklore ) Palembang dari Kementerian Hukum dan HAM.
Beberapa di antaranya adalah motif bungo intan, lepus pulir, paku berkait, limar berantai, dan nampan emas.
Kepala Bidang Pembinaan Industri Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Palembang, Rosidi Ali, mengatakan, pengajuan sebagai warisan budaya masyarakat tersebut dilakukan sejak tahun 2004.
Motif-motif tersebut merupakan hasil pengembangan masyarakat Palembang sejak ratusan tahun lalu.
"Totalnya ada 71 motif tenun songket yang telah kami ajukan untuk memperoleh pengakuan. Jumlahya masih mungkin bertambah lagi di masa mendatang," katanya di Palembang, Sumatera Selatan.
Menurut Rosidi, pengakuan secara hukum ini penting untuk menjaga kekhasan budaya Palembang dan melindungi melindungi industri kecil yang bergerak di bidang songket . Adanya pengakuan secara hukum salah satunya akan mencegah klaim dari pihak lain.
Saat ini, sebanyak 49 motif lain masih dalam proses pengakuan tersebut. Di antaranya motif bungo ayam, semanggi, jupri, maskot, dan dua warna bunga kayu apui.
Selain di Sumatera Selatan, tenun songket juga berkembang di hampir semua daerah di Sumatera, namun dengan motif yang berbeda-beda.
Industri kecil kerajinan tenun songket Palembang terus mengalami pertumbuhan . Menurut data Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Palembang, saat ini tercatat sekitar 150 pemilik usaha kerajinan tenun songket di Palembang.
Masing-masing pemilik usaha mempunyai perajin upahan rata-rata 5-10 orang. Perajin upahan ini umumnya ibu-ibu rumah tangga di sekitar pemilik usaha songket.
Budayawan dan pemerhati Songket Sumatera Selatan, Ali Hanafiah, mengatakan, pertumbuhan kerajinan songket didukung oleh masih tingginya minat masyarakat Sumatera Selatan terhadap kain songket.
Hal ini didorong pula dengan berkembangnya kain-kain songket dengan harga relatif murah sehingga terjangkau oleh masyarakat banyak. Di masa lalu, kata Ali, kain songket biasanya dihiasi dengan serat emas asli dan digunakan sebagai lambang status sosial bangsawan Kesultanan Palembang.
"Harga kain songket pun menjadi sangat mahal sehingga hanya bisa dimiliki kalangan berada. Tapi sekarang berbeda. Sudah ada pergeseran budaya, sehingga songket bisa juga dimiliki masyarakat umum," ucapnya.
Perajin dan desainer songket asal Palembang, Zainal Abidin, mengatakan, pengakuan terhadap motif-motif tenun songket Palembang tersebut akan memperkuat posisi pengrajin dan pengusaha songket dari klaim dari negara lain.
Tanpa ada perlindungan seperti ini, motif tenun songket Palembang dapat dibuat dan diklaim di negara-negara lain. "Bisa-bisa kita sendiri kalah denan mereka karena modal mereka biasanya besar," tuturnya.
Saat ini, jumlah perajin di Zainal Songket sekitar 150 orang. Selain di Palembang, Zainal juga telah membuka gerai di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia. Promosi tenun songket Palembang juga telah dilakukan di sejumlah negara seperti Malaysia, Paris, Jepang, negara-negara tetangga, dan negara-negara Timur Tengah.
Pengajuan pengakuan sebagai warisan budaya ini dilakukan untuk melindungi kekhasan seni dan budaya Palembang. Motif-motif tersebut memperoleh pengakuan sebagai warisan budaya rakyat (folklore ) Palembang dari Kementerian Hukum dan HAM.
Beberapa di antaranya adalah motif bungo intan, lepus pulir, paku berkait, limar berantai, dan nampan emas.
Kepala Bidang Pembinaan Industri Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Palembang, Rosidi Ali, mengatakan, pengajuan sebagai warisan budaya masyarakat tersebut dilakukan sejak tahun 2004.
Motif-motif tersebut merupakan hasil pengembangan masyarakat Palembang sejak ratusan tahun lalu.
"Totalnya ada 71 motif tenun songket yang telah kami ajukan untuk memperoleh pengakuan. Jumlahya masih mungkin bertambah lagi di masa mendatang," katanya di Palembang, Sumatera Selatan.
Menurut Rosidi, pengakuan secara hukum ini penting untuk menjaga kekhasan budaya Palembang dan melindungi melindungi industri kecil yang bergerak di bidang songket . Adanya pengakuan secara hukum salah satunya akan mencegah klaim dari pihak lain.
Saat ini, sebanyak 49 motif lain masih dalam proses pengakuan tersebut. Di antaranya motif bungo ayam, semanggi, jupri, maskot, dan dua warna bunga kayu apui.
Selain di Sumatera Selatan, tenun songket juga berkembang di hampir semua daerah di Sumatera, namun dengan motif yang berbeda-beda.
Industri kecil kerajinan tenun songket Palembang terus mengalami pertumbuhan . Menurut data Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Palembang, saat ini tercatat sekitar 150 pemilik usaha kerajinan tenun songket di Palembang.
Masing-masing pemilik usaha mempunyai perajin upahan rata-rata 5-10 orang. Perajin upahan ini umumnya ibu-ibu rumah tangga di sekitar pemilik usaha songket.
Budayawan dan pemerhati Songket Sumatera Selatan, Ali Hanafiah, mengatakan, pertumbuhan kerajinan songket didukung oleh masih tingginya minat masyarakat Sumatera Selatan terhadap kain songket.
Hal ini didorong pula dengan berkembangnya kain-kain songket dengan harga relatif murah sehingga terjangkau oleh masyarakat banyak. Di masa lalu, kata Ali, kain songket biasanya dihiasi dengan serat emas asli dan digunakan sebagai lambang status sosial bangsawan Kesultanan Palembang.
"Harga kain songket pun menjadi sangat mahal sehingga hanya bisa dimiliki kalangan berada. Tapi sekarang berbeda. Sudah ada pergeseran budaya, sehingga songket bisa juga dimiliki masyarakat umum," ucapnya.
Perajin dan desainer songket asal Palembang, Zainal Abidin, mengatakan, pengakuan terhadap motif-motif tenun songket Palembang tersebut akan memperkuat posisi pengrajin dan pengusaha songket dari klaim dari negara lain.
Tanpa ada perlindungan seperti ini, motif tenun songket Palembang dapat dibuat dan diklaim di negara-negara lain. "Bisa-bisa kita sendiri kalah denan mereka karena modal mereka biasanya besar," tuturnya.
Saat ini, jumlah perajin di Zainal Songket sekitar 150 orang. Selain di Palembang, Zainal juga telah membuka gerai di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia. Promosi tenun songket Palembang juga telah dilakukan di sejumlah negara seperti Malaysia, Paris, Jepang, negara-negara tetangga, dan negara-negara Timur Tengah.
Songket Diupayakan Sepopuler Batik
Kain songket asal Palembang saat ini sedang diupayakan agar dapat populer dan dikenal masyarakat di seluruh tanah air layaknya batik.
"Kami selalu mengharapkan songket dapat seperti batik yang dikenal oleh seluruh masyarakat di Indonesia," kata Pengurus Bidang Tenun Yayasan Az-Zahra, Farida Siregar, di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan, ada lebih dari 1.000 motif songket khas Palembang yang potensial untuk dikembangkan sebagai sumber inspirasi dalam dunia mode.
Farida mencontohkan beberapa motif songket khas Palembang di antaranya Bungo Tanjung, Nago Besaung, Bungo Melati, Nampan Perak, Pacar Cina, Tetes Mider, Tiga Negri, Jando Beraes, dan Bungu Pacik.
"Namun dari sisi harga kami akui songket memang masih sangat mahal karena proses pembuatannya rumit dan lama," katanya.
Sampai saat ini harga songket berkualitas masih berkisar Rp4 juta lebih, bahkan ada yang harganya mencapai Rp70 juta/lembar.
Hal itu karena kain songket belum diproduksi secara masal di samping juga harga bahan baku (benang) yang mahal. "Kami akan berupaya mencari bahan baku yang lebih murah agar songket dapat diproduksi secara masal sehingga harganya lebih terjangkau," katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar, dalam kesempatan yang sama mengatakan, upaya menasionalisasikan songket sejalan dengan program pemerintah.
"Pemerintah sedang mengembangkan gerakan nasional mengenakan baju tradisi misalnya tenun, batik, songket, dan jumputan," katanya.
Ia menambahkan, saat ini diperbolehkan dalam pertemuan resmi untuk mengenakan pakaian tradisional di samping mengenakan jas atau blazer.
Oleh karena itu, pihaknya siap mendukung sosialisasi songket dalam berbagai event di antaranya pameran budaya agar masyarakat semakin tergerak untuk mengenakan songket layaknya batik.
"Kami selalu mengharapkan songket dapat seperti batik yang dikenal oleh seluruh masyarakat di Indonesia," kata Pengurus Bidang Tenun Yayasan Az-Zahra, Farida Siregar, di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan, ada lebih dari 1.000 motif songket khas Palembang yang potensial untuk dikembangkan sebagai sumber inspirasi dalam dunia mode.
Farida mencontohkan beberapa motif songket khas Palembang di antaranya Bungo Tanjung, Nago Besaung, Bungo Melati, Nampan Perak, Pacar Cina, Tetes Mider, Tiga Negri, Jando Beraes, dan Bungu Pacik.
"Namun dari sisi harga kami akui songket memang masih sangat mahal karena proses pembuatannya rumit dan lama," katanya.
Sampai saat ini harga songket berkualitas masih berkisar Rp4 juta lebih, bahkan ada yang harganya mencapai Rp70 juta/lembar.
Hal itu karena kain songket belum diproduksi secara masal di samping juga harga bahan baku (benang) yang mahal. "Kami akan berupaya mencari bahan baku yang lebih murah agar songket dapat diproduksi secara masal sehingga harganya lebih terjangkau," katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar, dalam kesempatan yang sama mengatakan, upaya menasionalisasikan songket sejalan dengan program pemerintah.
"Pemerintah sedang mengembangkan gerakan nasional mengenakan baju tradisi misalnya tenun, batik, songket, dan jumputan," katanya.
Ia menambahkan, saat ini diperbolehkan dalam pertemuan resmi untuk mengenakan pakaian tradisional di samping mengenakan jas atau blazer.
Oleh karena itu, pihaknya siap mendukung sosialisasi songket dalam berbagai event di antaranya pameran budaya agar masyarakat semakin tergerak untuk mengenakan songket layaknya batik.
Mengenalkan Tenun Hingga ke Arab dan India
Apakah Anda sepakat bahwa kain Indonesia banyak yang indah dan menyimpan nilai-nilai bagus, namun belum banyak terekspos atau pun tergali? Jika ya, berarti Anda sepakat dengan niat yayasan Cita Tenun Indonesia memperkenalkan tenun Indonesia ke Arab dan India.
Cita Tenun Indonesia, merupakan wadah para pencinta tenun Indonesia untuk berbagi rasa kecintaan terhadap tenunan, baik dalam bentuk menjaga, mengembangkan, dan memasarkannya ke manca negara dan dalam negeri.
Pada bulan April lalu, Cita Tenun Indonesia berpartisipasi dalam kegiatan yang dilangsungkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Perusahaan Gas Negara (PGN) yang bertajuk "Indonesian Heritage: Remarkable Indonesia". Program malam kultur tersebut dilangsungkan di dua lokasi, yakni Dubai, Uni Emirat Arab dan Mumbai, India.
Keterlibatan Cita Tenun Indonesia pada acara tersebut, menurut Okke Hatta Rajasa, ketua Cita Tenun Indonesia, "Merupakan upaya kami untuk memperkenalkan, sekaligus memproteksi tenun Indonesia. Kan, supaya orang-orang tahu, bahwa barang tersebut adalah milik kita, harus diperkenalkan dulu."
Di acara tersebut, CTI mengajak dua perancang kenamaan Indonesia, Denny Wirawan dan Chossy Lattu untuk memamerkan hasil rancangan mereka yang menggunakan kain-kain tenunan Indonesia. Denny Wirawan diberikan mandat untuk mengulik tenun Sulawesi Tenggara daratan dan kepulauan Wakatomi dengan pewarnaan air garam. Sementara Chossy Latu, diberi tugas mengembangkan tenunan Sumatera Selatan.
Okke menjelaskan, bahwa hasil tenunan Indonesia mendapatkan respon yang luar biasa. "India juga memiliki kain yang dibuat dengan cara yang serupa dengan tenun Indonesia. Namun, di sana menggunakan benang yang di dalamnya terbuat dari bahan polyester kemudian ditutup dengan katun. Namun, sayangnya, karena itu, mudah menyusut dan rusak. Sementara, bahan benang yang kita gunakan semuanya terbuat dari katun, sehingga lebih kuat dan tak mudah rusak. Hal-hal semacam ini yang membuat tenunan kita lebih unggul."
"Sambutan dari India menyatakan, bahwa mereka tak menyangka ada tekstil lain yang menarik dari Indonesia selain batik. Di sana tidak ada penjualan, tapi kami mengejar awareness. Sambutannya pun sangat baik, dan banyak peliputan dari media-media di India untuk hal ini," terang Chossy.
Cita Tenun Indonesia, merupakan wadah para pencinta tenun Indonesia untuk berbagi rasa kecintaan terhadap tenunan, baik dalam bentuk menjaga, mengembangkan, dan memasarkannya ke manca negara dan dalam negeri.
Pada bulan April lalu, Cita Tenun Indonesia berpartisipasi dalam kegiatan yang dilangsungkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Perusahaan Gas Negara (PGN) yang bertajuk "Indonesian Heritage: Remarkable Indonesia". Program malam kultur tersebut dilangsungkan di dua lokasi, yakni Dubai, Uni Emirat Arab dan Mumbai, India.
Keterlibatan Cita Tenun Indonesia pada acara tersebut, menurut Okke Hatta Rajasa, ketua Cita Tenun Indonesia, "Merupakan upaya kami untuk memperkenalkan, sekaligus memproteksi tenun Indonesia. Kan, supaya orang-orang tahu, bahwa barang tersebut adalah milik kita, harus diperkenalkan dulu."
Di acara tersebut, CTI mengajak dua perancang kenamaan Indonesia, Denny Wirawan dan Chossy Lattu untuk memamerkan hasil rancangan mereka yang menggunakan kain-kain tenunan Indonesia. Denny Wirawan diberikan mandat untuk mengulik tenun Sulawesi Tenggara daratan dan kepulauan Wakatomi dengan pewarnaan air garam. Sementara Chossy Latu, diberi tugas mengembangkan tenunan Sumatera Selatan.
Okke menjelaskan, bahwa hasil tenunan Indonesia mendapatkan respon yang luar biasa. "India juga memiliki kain yang dibuat dengan cara yang serupa dengan tenun Indonesia. Namun, di sana menggunakan benang yang di dalamnya terbuat dari bahan polyester kemudian ditutup dengan katun. Namun, sayangnya, karena itu, mudah menyusut dan rusak. Sementara, bahan benang yang kita gunakan semuanya terbuat dari katun, sehingga lebih kuat dan tak mudah rusak. Hal-hal semacam ini yang membuat tenunan kita lebih unggul."
"Sambutan dari India menyatakan, bahwa mereka tak menyangka ada tekstil lain yang menarik dari Indonesia selain batik. Di sana tidak ada penjualan, tapi kami mengejar awareness. Sambutannya pun sangat baik, dan banyak peliputan dari media-media di India untuk hal ini," terang Chossy.
Table Fashion ala Ghea Panggabean
Indonesia memiliki ribuan kepulauan, banyak yang bisa digali kebudayaan pada masing-masing daerah. Saya sejak remaja, jatuh cinta pada kecantikan dan inspirasi gayahippie, yang banyak warna dan loose. Saya mendapatinya di kain khas Palembang," terang Ghea Panggabean saat peluncuran koleksi tableware Pelangi Palembang, di Alun-Alun Grand Indonesia Shopping Town, beberapa waktu lalu.
Peluncuran Tea Set Collection dan Table Setting for Breakfast, Lunch, dan Dinner ini merupakan salah satu momen yang ditunggu Ghea untuk menandai hal tersebut.
Saat acara fashion week yang digelar di akhir tahun lalu, Ghea sempat mengutarakan keinginannya untuk kembali mengangkat hal yang menjadi kegemarannya sejak lama dan yang pertama kali ia angkat ketika meyakini diri untuk menjadi desainer, yakni busana ala hippie dan berwarna ceria. Kini ia menuangkannya dalam perangkat makan dan minuman.
Lewat koleksi perangkat makan dan minum ini, Ghea bermaksud untuk melestarikan kebudayaan Indonesia melalui sesuatu yang berbeda. Ghea menuturkan, koleksinya ini membutuhkan waktu pengerjaan hingga 1 tahun.
"Biasanya, desainer perangkat makan hanya menawarkan desain generik, seperti buah-buahan, binatang, dan sebagainya. Tapi, kami ingin mengangkat desainer-desainer lokal. Saat ini kami bekerja sama dengan Ibu Ghea, dan karena ia memiliki nama besar, harapannya koleksi dan budaya Indonesia juga bisa ikut terangkat," terang James de Rave, direktur Kedaung Group yang memproduksi tableware ini di acara yang sama.
James juga menjelaskan, bahwa untuk menciptakan koleksi tableware ini, khususnya untuk perangkat high tea, diperlukan upaya yang cukup rumit. Karena dari tekstil tak bisa langsung diaplikasikan pada perangkat porselen, harus lewat proses tertentu agar bisa menciptakan perangkat yang cerah, menarik, tapi tidak beracun. Pasalnya, cat yang digunakan untuk membuat porselen tersebut memiliki corak dan motif mengandung lead dan cadmium yang tak baik untuk kesehatan. Tak hanya itu, "Ibu Ghea sangat presisi dengan warna. Ia ingin warna yang tepat. Warna yang paling sulit didapat adalah koleksi yang warna hijau. Karena warna hijau sulit untuk bisa digabung warna merah tua di pinggirannya. Tapi saat berhasil didapatkan, Ibu Ghea gembira sekali," cerita James.
Khusus untuk perangkat high tea, Ghea membuat tidak hanya 1 warna, tapi 5 warna dengan motif yang sama. Di dalam koleksi tersebut, terdapat warna marun, terakota, hijau, oranye, dan ungu. Koleksi tersebut sengaja dibuat seperti itu, inspirasinya datang dari kebiasaan ibu Ghea. Di masa kecil, Ghea sering memerhatikan kebiasaan ibunya yang mengoleksi perangkat minum teh. Koleksi perangkat minum teh yang dimiliki ibunya tidak selalu seragam, kadang berbeda bentuk dan berbeda warna. Sehingga saat disajikan kepada tamu, cangkirnya berbeda-beda. "Mungkin maksudnya supaya tidak tertukar," seloroh Ghea. Warna yang berbeda-beda tapi motif yang serupa akan makin marak ketika dihidangkan kepada tamu.
Selain perangkat minum teh, untuk koleksi Pelangi Palembang, Ghea juga mendesain teko, piring kue, piring makan, piring susun, mangkuk, dan lainnya. Tertarik? Segera kunjungi Alun-Alun atau gerai Kedaung, karena koleksi ini sangat terbatas. "Kami hanya membuat koleksi ini mulai dari 200-1000 pieces, sehingga menjadikan koleksi Pelangi Palembang collectible items" terang James. Untuk harga, koleksi untuk 4 cangkir dan tatakannya dipasarkan dengan harga Rp 495.000.
Peluncuran Tea Set Collection dan Table Setting for Breakfast, Lunch, dan Dinner ini merupakan salah satu momen yang ditunggu Ghea untuk menandai hal tersebut.
Saat acara fashion week yang digelar di akhir tahun lalu, Ghea sempat mengutarakan keinginannya untuk kembali mengangkat hal yang menjadi kegemarannya sejak lama dan yang pertama kali ia angkat ketika meyakini diri untuk menjadi desainer, yakni busana ala hippie dan berwarna ceria. Kini ia menuangkannya dalam perangkat makan dan minuman.
Lewat koleksi perangkat makan dan minum ini, Ghea bermaksud untuk melestarikan kebudayaan Indonesia melalui sesuatu yang berbeda. Ghea menuturkan, koleksinya ini membutuhkan waktu pengerjaan hingga 1 tahun.
"Biasanya, desainer perangkat makan hanya menawarkan desain generik, seperti buah-buahan, binatang, dan sebagainya. Tapi, kami ingin mengangkat desainer-desainer lokal. Saat ini kami bekerja sama dengan Ibu Ghea, dan karena ia memiliki nama besar, harapannya koleksi dan budaya Indonesia juga bisa ikut terangkat," terang James de Rave, direktur Kedaung Group yang memproduksi tableware ini di acara yang sama.
James juga menjelaskan, bahwa untuk menciptakan koleksi tableware ini, khususnya untuk perangkat high tea, diperlukan upaya yang cukup rumit. Karena dari tekstil tak bisa langsung diaplikasikan pada perangkat porselen, harus lewat proses tertentu agar bisa menciptakan perangkat yang cerah, menarik, tapi tidak beracun. Pasalnya, cat yang digunakan untuk membuat porselen tersebut memiliki corak dan motif mengandung lead dan cadmium yang tak baik untuk kesehatan. Tak hanya itu, "Ibu Ghea sangat presisi dengan warna. Ia ingin warna yang tepat. Warna yang paling sulit didapat adalah koleksi yang warna hijau. Karena warna hijau sulit untuk bisa digabung warna merah tua di pinggirannya. Tapi saat berhasil didapatkan, Ibu Ghea gembira sekali," cerita James.
Khusus untuk perangkat high tea, Ghea membuat tidak hanya 1 warna, tapi 5 warna dengan motif yang sama. Di dalam koleksi tersebut, terdapat warna marun, terakota, hijau, oranye, dan ungu. Koleksi tersebut sengaja dibuat seperti itu, inspirasinya datang dari kebiasaan ibu Ghea. Di masa kecil, Ghea sering memerhatikan kebiasaan ibunya yang mengoleksi perangkat minum teh. Koleksi perangkat minum teh yang dimiliki ibunya tidak selalu seragam, kadang berbeda bentuk dan berbeda warna. Sehingga saat disajikan kepada tamu, cangkirnya berbeda-beda. "Mungkin maksudnya supaya tidak tertukar," seloroh Ghea. Warna yang berbeda-beda tapi motif yang serupa akan makin marak ketika dihidangkan kepada tamu.
Selain perangkat minum teh, untuk koleksi Pelangi Palembang, Ghea juga mendesain teko, piring kue, piring makan, piring susun, mangkuk, dan lainnya. Tertarik? Segera kunjungi Alun-Alun atau gerai Kedaung, karena koleksi ini sangat terbatas. "Kami hanya membuat koleksi ini mulai dari 200-1000 pieces, sehingga menjadikan koleksi Pelangi Palembang collectible items" terang James. Untuk harga, koleksi untuk 4 cangkir dan tatakannya dipasarkan dengan harga Rp 495.000.
Baju Bodo dan Songket dengan "Modern Twist"
Hampir setiap manusia memiliki khayalannya sendiri. Hidup di negeri dongeng dengan segala keindahan dan kenikmatan hidup adalah salah satunya. Ada yang berusaha mewujudkan negeri dongeng dalam khayalannya ke dalam kehidupan nyata, ada pula yang mendiamkan negeri dongeng itu tetap bersarang di benak. Hengky Kawilarang adalah satu yang berusaha mewujudkan negeri dongengnya menjadi nyata.
Di Jakarta Fashion and Food Festival 2011, Hengky mewujudkan negeri dongeng dalam fashion show-nya yang bertema "My Fairy Tale". "Saya terinspirasi ketika berkunjung ke berbagai pelosok Indonesia, dan menemukan batik, songket, dan pecinan Indonesia yang beragam. Lalu saya mulai merancang songket dan batik. Melalui koleksi saya kali ini, saya ingin menunjukkan bagaimana mengenakan batik dengan modern style," ungkap Hengky dalampress conference di Harris Hotel Jakarta.
Untuk peragaan busana tunggalnya yang pertama ini, Hengky mempersembahkan 60 koleksi yang terbagi dalam tiga bagian: Oriental, The Indonesian Culture, dan Le Couture. Koleksi The Oriental yang mengeksplorasi kain etnik dengan warna-warna lembut yang modern didedikasikannya untuk pelanggan orientalnya. Koleksinya terinspirasi dari baju cheong-sam dan busana Eropa yang begitu mewah, dikombinasikan dengan kain batik pesisir dan tenun garut.
The Indonesian Culture terinspirasi dari kebaya kurung dan baju bodo. Koleksi ini menampilkan berbagai kain songket Palembang, songket Bali, dan sutera Makassar dengan permainan warna yang cerah. Le Couture terinspirasi dari gaun pengantin dan kebaya yang telah dirancang untuk pelanggannya. Koleksinya mengeksplorasi keindahan batik white on whitedan songket emas Palembang, kain tenun Garut, dan jumputan Palembang, dalam konsep busana pengantin internasional.
"Garis rancangan saya mengedepankan keindahan, romantisme, dan kemewahan. Keindahan diwujudkan dalam gaya yang penuh dengan kualitas tinggi. Romantisme digambarkan melalui warna-warna indah yang menciptakan detail unik dan feminin. Sentuhan kemewahan terwujud dengan aplikasi kristal, payet, bebatuan, dan logam," katanya.
Warna-warna yang dipilih tidak lagi pucat seperti ciri khas Hengky selama ini. Pada peragaan kali ini Hengky banyak bermain dengan warna-warna pastel dan warna-warna cerah hingga penggunaan warna shocking pink yang sangat berani. Warna-warna pastel yang lembut dipadukan dengan aksen berkilau pada dada dan pinggang banyak ditemukan pada koleksinya. Ada pula blazer dari kain songket warna pink, serta blazer panjang dari kain songket yang melengkapi dress pendek.
Beberapa gaun rancangannya menampilkan gradasi warna hijau, kuning, dan biru. Ada pula motif kain batik yang dimasukkan pada bagian dada dan bagian bawah gaun, sedangkan gaunnya sendiri berwarna pastel polos.
Untuk gaun pengantin, Hengky mencoba mengombinasikan busana pengantin dari China dengan Jawa, serta Sumatera dengan gaun internasional. Ia mencoba mengakomodasi kain etnik kontemporer pada koleksinya. Bentuk gaunnya didominasi oleh bagian bawah gaun yang mekar mulai ujung lutut dengan aksen batik atau bunga. Sedangkan bagian atas gaunnya ada yang berbentuk kemben maupun one shoulder.
Di Jakarta Fashion and Food Festival 2011, Hengky mewujudkan negeri dongeng dalam fashion show-nya yang bertema "My Fairy Tale". "Saya terinspirasi ketika berkunjung ke berbagai pelosok Indonesia, dan menemukan batik, songket, dan pecinan Indonesia yang beragam. Lalu saya mulai merancang songket dan batik. Melalui koleksi saya kali ini, saya ingin menunjukkan bagaimana mengenakan batik dengan modern style," ungkap Hengky dalampress conference di Harris Hotel Jakarta.
Untuk peragaan busana tunggalnya yang pertama ini, Hengky mempersembahkan 60 koleksi yang terbagi dalam tiga bagian: Oriental, The Indonesian Culture, dan Le Couture. Koleksi The Oriental yang mengeksplorasi kain etnik dengan warna-warna lembut yang modern didedikasikannya untuk pelanggan orientalnya. Koleksinya terinspirasi dari baju cheong-sam dan busana Eropa yang begitu mewah, dikombinasikan dengan kain batik pesisir dan tenun garut.
The Indonesian Culture terinspirasi dari kebaya kurung dan baju bodo. Koleksi ini menampilkan berbagai kain songket Palembang, songket Bali, dan sutera Makassar dengan permainan warna yang cerah. Le Couture terinspirasi dari gaun pengantin dan kebaya yang telah dirancang untuk pelanggannya. Koleksinya mengeksplorasi keindahan batik white on whitedan songket emas Palembang, kain tenun Garut, dan jumputan Palembang, dalam konsep busana pengantin internasional.
"Garis rancangan saya mengedepankan keindahan, romantisme, dan kemewahan. Keindahan diwujudkan dalam gaya yang penuh dengan kualitas tinggi. Romantisme digambarkan melalui warna-warna indah yang menciptakan detail unik dan feminin. Sentuhan kemewahan terwujud dengan aplikasi kristal, payet, bebatuan, dan logam," katanya.
Warna-warna yang dipilih tidak lagi pucat seperti ciri khas Hengky selama ini. Pada peragaan kali ini Hengky banyak bermain dengan warna-warna pastel dan warna-warna cerah hingga penggunaan warna shocking pink yang sangat berani. Warna-warna pastel yang lembut dipadukan dengan aksen berkilau pada dada dan pinggang banyak ditemukan pada koleksinya. Ada pula blazer dari kain songket warna pink, serta blazer panjang dari kain songket yang melengkapi dress pendek.
Beberapa gaun rancangannya menampilkan gradasi warna hijau, kuning, dan biru. Ada pula motif kain batik yang dimasukkan pada bagian dada dan bagian bawah gaun, sedangkan gaunnya sendiri berwarna pastel polos.
Untuk gaun pengantin, Hengky mencoba mengombinasikan busana pengantin dari China dengan Jawa, serta Sumatera dengan gaun internasional. Ia mencoba mengakomodasi kain etnik kontemporer pada koleksinya. Bentuk gaunnya didominasi oleh bagian bawah gaun yang mekar mulai ujung lutut dengan aksen batik atau bunga. Sedangkan bagian atas gaunnya ada yang berbentuk kemben maupun one shoulder.
Langganan:
Postingan (Atom)