Kain songket asal Palembang saat ini sedang diupayakan agar dapat populer dan dikenal masyarakat di seluruh tanah air layaknya batik.
"Kami selalu mengharapkan songket dapat seperti batik yang dikenal oleh seluruh masyarakat di Indonesia," kata Pengurus Bidang Tenun Yayasan Az-Zahra, Farida Siregar, di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan, ada lebih dari 1.000 motif songket khas Palembang yang potensial untuk dikembangkan sebagai sumber inspirasi dalam dunia mode.
Farida mencontohkan beberapa motif songket khas Palembang di antaranya Bungo Tanjung, Nago Besaung, Bungo Melati, Nampan Perak, Pacar Cina, Tetes Mider, Tiga Negri, Jando Beraes, dan Bungu Pacik.
"Namun dari sisi harga kami akui songket memang masih sangat mahal karena proses pembuatannya rumit dan lama," katanya.
Sampai saat ini harga songket berkualitas masih berkisar Rp4 juta lebih, bahkan ada yang harganya mencapai Rp70 juta/lembar.
Hal itu karena kain songket belum diproduksi secara masal di samping juga harga bahan baku (benang) yang mahal. "Kami akan berupaya mencari bahan baku yang lebih murah agar songket dapat diproduksi secara masal sehingga harganya lebih terjangkau," katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar, dalam kesempatan yang sama mengatakan, upaya menasionalisasikan songket sejalan dengan program pemerintah.
"Pemerintah sedang mengembangkan gerakan nasional mengenakan baju tradisi misalnya tenun, batik, songket, dan jumputan," katanya.
Ia menambahkan, saat ini diperbolehkan dalam pertemuan resmi untuk mengenakan pakaian tradisional di samping mengenakan jas atau blazer.
Oleh karena itu, pihaknya siap mendukung sosialisasi songket dalam berbagai event di antaranya pameran budaya agar masyarakat semakin tergerak untuk mengenakan songket layaknya batik.
Selasa, 30 April 2013
Mengenalkan Tenun Hingga ke Arab dan India
Apakah Anda sepakat bahwa kain Indonesia banyak yang indah dan menyimpan nilai-nilai bagus, namun belum banyak terekspos atau pun tergali? Jika ya, berarti Anda sepakat dengan niat yayasan Cita Tenun Indonesia memperkenalkan tenun Indonesia ke Arab dan India.
Cita Tenun Indonesia, merupakan wadah para pencinta tenun Indonesia untuk berbagi rasa kecintaan terhadap tenunan, baik dalam bentuk menjaga, mengembangkan, dan memasarkannya ke manca negara dan dalam negeri.
Pada bulan April lalu, Cita Tenun Indonesia berpartisipasi dalam kegiatan yang dilangsungkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Perusahaan Gas Negara (PGN) yang bertajuk "Indonesian Heritage: Remarkable Indonesia". Program malam kultur tersebut dilangsungkan di dua lokasi, yakni Dubai, Uni Emirat Arab dan Mumbai, India.
Keterlibatan Cita Tenun Indonesia pada acara tersebut, menurut Okke Hatta Rajasa, ketua Cita Tenun Indonesia, "Merupakan upaya kami untuk memperkenalkan, sekaligus memproteksi tenun Indonesia. Kan, supaya orang-orang tahu, bahwa barang tersebut adalah milik kita, harus diperkenalkan dulu."
Di acara tersebut, CTI mengajak dua perancang kenamaan Indonesia, Denny Wirawan dan Chossy Lattu untuk memamerkan hasil rancangan mereka yang menggunakan kain-kain tenunan Indonesia. Denny Wirawan diberikan mandat untuk mengulik tenun Sulawesi Tenggara daratan dan kepulauan Wakatomi dengan pewarnaan air garam. Sementara Chossy Latu, diberi tugas mengembangkan tenunan Sumatera Selatan.
Okke menjelaskan, bahwa hasil tenunan Indonesia mendapatkan respon yang luar biasa. "India juga memiliki kain yang dibuat dengan cara yang serupa dengan tenun Indonesia. Namun, di sana menggunakan benang yang di dalamnya terbuat dari bahan polyester kemudian ditutup dengan katun. Namun, sayangnya, karena itu, mudah menyusut dan rusak. Sementara, bahan benang yang kita gunakan semuanya terbuat dari katun, sehingga lebih kuat dan tak mudah rusak. Hal-hal semacam ini yang membuat tenunan kita lebih unggul."
"Sambutan dari India menyatakan, bahwa mereka tak menyangka ada tekstil lain yang menarik dari Indonesia selain batik. Di sana tidak ada penjualan, tapi kami mengejar awareness. Sambutannya pun sangat baik, dan banyak peliputan dari media-media di India untuk hal ini," terang Chossy.
Cita Tenun Indonesia, merupakan wadah para pencinta tenun Indonesia untuk berbagi rasa kecintaan terhadap tenunan, baik dalam bentuk menjaga, mengembangkan, dan memasarkannya ke manca negara dan dalam negeri.
Pada bulan April lalu, Cita Tenun Indonesia berpartisipasi dalam kegiatan yang dilangsungkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Perusahaan Gas Negara (PGN) yang bertajuk "Indonesian Heritage: Remarkable Indonesia". Program malam kultur tersebut dilangsungkan di dua lokasi, yakni Dubai, Uni Emirat Arab dan Mumbai, India.
Keterlibatan Cita Tenun Indonesia pada acara tersebut, menurut Okke Hatta Rajasa, ketua Cita Tenun Indonesia, "Merupakan upaya kami untuk memperkenalkan, sekaligus memproteksi tenun Indonesia. Kan, supaya orang-orang tahu, bahwa barang tersebut adalah milik kita, harus diperkenalkan dulu."
Di acara tersebut, CTI mengajak dua perancang kenamaan Indonesia, Denny Wirawan dan Chossy Lattu untuk memamerkan hasil rancangan mereka yang menggunakan kain-kain tenunan Indonesia. Denny Wirawan diberikan mandat untuk mengulik tenun Sulawesi Tenggara daratan dan kepulauan Wakatomi dengan pewarnaan air garam. Sementara Chossy Latu, diberi tugas mengembangkan tenunan Sumatera Selatan.
Okke menjelaskan, bahwa hasil tenunan Indonesia mendapatkan respon yang luar biasa. "India juga memiliki kain yang dibuat dengan cara yang serupa dengan tenun Indonesia. Namun, di sana menggunakan benang yang di dalamnya terbuat dari bahan polyester kemudian ditutup dengan katun. Namun, sayangnya, karena itu, mudah menyusut dan rusak. Sementara, bahan benang yang kita gunakan semuanya terbuat dari katun, sehingga lebih kuat dan tak mudah rusak. Hal-hal semacam ini yang membuat tenunan kita lebih unggul."
"Sambutan dari India menyatakan, bahwa mereka tak menyangka ada tekstil lain yang menarik dari Indonesia selain batik. Di sana tidak ada penjualan, tapi kami mengejar awareness. Sambutannya pun sangat baik, dan banyak peliputan dari media-media di India untuk hal ini," terang Chossy.
Table Fashion ala Ghea Panggabean
Indonesia memiliki ribuan kepulauan, banyak yang bisa digali kebudayaan pada masing-masing daerah. Saya sejak remaja, jatuh cinta pada kecantikan dan inspirasi gayahippie, yang banyak warna dan loose. Saya mendapatinya di kain khas Palembang," terang Ghea Panggabean saat peluncuran koleksi tableware Pelangi Palembang, di Alun-Alun Grand Indonesia Shopping Town, beberapa waktu lalu.
Peluncuran Tea Set Collection dan Table Setting for Breakfast, Lunch, dan Dinner ini merupakan salah satu momen yang ditunggu Ghea untuk menandai hal tersebut.
Saat acara fashion week yang digelar di akhir tahun lalu, Ghea sempat mengutarakan keinginannya untuk kembali mengangkat hal yang menjadi kegemarannya sejak lama dan yang pertama kali ia angkat ketika meyakini diri untuk menjadi desainer, yakni busana ala hippie dan berwarna ceria. Kini ia menuangkannya dalam perangkat makan dan minuman.
Lewat koleksi perangkat makan dan minum ini, Ghea bermaksud untuk melestarikan kebudayaan Indonesia melalui sesuatu yang berbeda. Ghea menuturkan, koleksinya ini membutuhkan waktu pengerjaan hingga 1 tahun.
"Biasanya, desainer perangkat makan hanya menawarkan desain generik, seperti buah-buahan, binatang, dan sebagainya. Tapi, kami ingin mengangkat desainer-desainer lokal. Saat ini kami bekerja sama dengan Ibu Ghea, dan karena ia memiliki nama besar, harapannya koleksi dan budaya Indonesia juga bisa ikut terangkat," terang James de Rave, direktur Kedaung Group yang memproduksi tableware ini di acara yang sama.
James juga menjelaskan, bahwa untuk menciptakan koleksi tableware ini, khususnya untuk perangkat high tea, diperlukan upaya yang cukup rumit. Karena dari tekstil tak bisa langsung diaplikasikan pada perangkat porselen, harus lewat proses tertentu agar bisa menciptakan perangkat yang cerah, menarik, tapi tidak beracun. Pasalnya, cat yang digunakan untuk membuat porselen tersebut memiliki corak dan motif mengandung lead dan cadmium yang tak baik untuk kesehatan. Tak hanya itu, "Ibu Ghea sangat presisi dengan warna. Ia ingin warna yang tepat. Warna yang paling sulit didapat adalah koleksi yang warna hijau. Karena warna hijau sulit untuk bisa digabung warna merah tua di pinggirannya. Tapi saat berhasil didapatkan, Ibu Ghea gembira sekali," cerita James.
Khusus untuk perangkat high tea, Ghea membuat tidak hanya 1 warna, tapi 5 warna dengan motif yang sama. Di dalam koleksi tersebut, terdapat warna marun, terakota, hijau, oranye, dan ungu. Koleksi tersebut sengaja dibuat seperti itu, inspirasinya datang dari kebiasaan ibu Ghea. Di masa kecil, Ghea sering memerhatikan kebiasaan ibunya yang mengoleksi perangkat minum teh. Koleksi perangkat minum teh yang dimiliki ibunya tidak selalu seragam, kadang berbeda bentuk dan berbeda warna. Sehingga saat disajikan kepada tamu, cangkirnya berbeda-beda. "Mungkin maksudnya supaya tidak tertukar," seloroh Ghea. Warna yang berbeda-beda tapi motif yang serupa akan makin marak ketika dihidangkan kepada tamu.
Selain perangkat minum teh, untuk koleksi Pelangi Palembang, Ghea juga mendesain teko, piring kue, piring makan, piring susun, mangkuk, dan lainnya. Tertarik? Segera kunjungi Alun-Alun atau gerai Kedaung, karena koleksi ini sangat terbatas. "Kami hanya membuat koleksi ini mulai dari 200-1000 pieces, sehingga menjadikan koleksi Pelangi Palembang collectible items" terang James. Untuk harga, koleksi untuk 4 cangkir dan tatakannya dipasarkan dengan harga Rp 495.000.
Peluncuran Tea Set Collection dan Table Setting for Breakfast, Lunch, dan Dinner ini merupakan salah satu momen yang ditunggu Ghea untuk menandai hal tersebut.
Saat acara fashion week yang digelar di akhir tahun lalu, Ghea sempat mengutarakan keinginannya untuk kembali mengangkat hal yang menjadi kegemarannya sejak lama dan yang pertama kali ia angkat ketika meyakini diri untuk menjadi desainer, yakni busana ala hippie dan berwarna ceria. Kini ia menuangkannya dalam perangkat makan dan minuman.
Lewat koleksi perangkat makan dan minum ini, Ghea bermaksud untuk melestarikan kebudayaan Indonesia melalui sesuatu yang berbeda. Ghea menuturkan, koleksinya ini membutuhkan waktu pengerjaan hingga 1 tahun.
"Biasanya, desainer perangkat makan hanya menawarkan desain generik, seperti buah-buahan, binatang, dan sebagainya. Tapi, kami ingin mengangkat desainer-desainer lokal. Saat ini kami bekerja sama dengan Ibu Ghea, dan karena ia memiliki nama besar, harapannya koleksi dan budaya Indonesia juga bisa ikut terangkat," terang James de Rave, direktur Kedaung Group yang memproduksi tableware ini di acara yang sama.
James juga menjelaskan, bahwa untuk menciptakan koleksi tableware ini, khususnya untuk perangkat high tea, diperlukan upaya yang cukup rumit. Karena dari tekstil tak bisa langsung diaplikasikan pada perangkat porselen, harus lewat proses tertentu agar bisa menciptakan perangkat yang cerah, menarik, tapi tidak beracun. Pasalnya, cat yang digunakan untuk membuat porselen tersebut memiliki corak dan motif mengandung lead dan cadmium yang tak baik untuk kesehatan. Tak hanya itu, "Ibu Ghea sangat presisi dengan warna. Ia ingin warna yang tepat. Warna yang paling sulit didapat adalah koleksi yang warna hijau. Karena warna hijau sulit untuk bisa digabung warna merah tua di pinggirannya. Tapi saat berhasil didapatkan, Ibu Ghea gembira sekali," cerita James.
Khusus untuk perangkat high tea, Ghea membuat tidak hanya 1 warna, tapi 5 warna dengan motif yang sama. Di dalam koleksi tersebut, terdapat warna marun, terakota, hijau, oranye, dan ungu. Koleksi tersebut sengaja dibuat seperti itu, inspirasinya datang dari kebiasaan ibu Ghea. Di masa kecil, Ghea sering memerhatikan kebiasaan ibunya yang mengoleksi perangkat minum teh. Koleksi perangkat minum teh yang dimiliki ibunya tidak selalu seragam, kadang berbeda bentuk dan berbeda warna. Sehingga saat disajikan kepada tamu, cangkirnya berbeda-beda. "Mungkin maksudnya supaya tidak tertukar," seloroh Ghea. Warna yang berbeda-beda tapi motif yang serupa akan makin marak ketika dihidangkan kepada tamu.
Selain perangkat minum teh, untuk koleksi Pelangi Palembang, Ghea juga mendesain teko, piring kue, piring makan, piring susun, mangkuk, dan lainnya. Tertarik? Segera kunjungi Alun-Alun atau gerai Kedaung, karena koleksi ini sangat terbatas. "Kami hanya membuat koleksi ini mulai dari 200-1000 pieces, sehingga menjadikan koleksi Pelangi Palembang collectible items" terang James. Untuk harga, koleksi untuk 4 cangkir dan tatakannya dipasarkan dengan harga Rp 495.000.
Baju Bodo dan Songket dengan "Modern Twist"
Hampir setiap manusia memiliki khayalannya sendiri. Hidup di negeri dongeng dengan segala keindahan dan kenikmatan hidup adalah salah satunya. Ada yang berusaha mewujudkan negeri dongeng dalam khayalannya ke dalam kehidupan nyata, ada pula yang mendiamkan negeri dongeng itu tetap bersarang di benak. Hengky Kawilarang adalah satu yang berusaha mewujudkan negeri dongengnya menjadi nyata.
Di Jakarta Fashion and Food Festival 2011, Hengky mewujudkan negeri dongeng dalam fashion show-nya yang bertema "My Fairy Tale". "Saya terinspirasi ketika berkunjung ke berbagai pelosok Indonesia, dan menemukan batik, songket, dan pecinan Indonesia yang beragam. Lalu saya mulai merancang songket dan batik. Melalui koleksi saya kali ini, saya ingin menunjukkan bagaimana mengenakan batik dengan modern style," ungkap Hengky dalampress conference di Harris Hotel Jakarta.
Untuk peragaan busana tunggalnya yang pertama ini, Hengky mempersembahkan 60 koleksi yang terbagi dalam tiga bagian: Oriental, The Indonesian Culture, dan Le Couture. Koleksi The Oriental yang mengeksplorasi kain etnik dengan warna-warna lembut yang modern didedikasikannya untuk pelanggan orientalnya. Koleksinya terinspirasi dari baju cheong-sam dan busana Eropa yang begitu mewah, dikombinasikan dengan kain batik pesisir dan tenun garut.
The Indonesian Culture terinspirasi dari kebaya kurung dan baju bodo. Koleksi ini menampilkan berbagai kain songket Palembang, songket Bali, dan sutera Makassar dengan permainan warna yang cerah. Le Couture terinspirasi dari gaun pengantin dan kebaya yang telah dirancang untuk pelanggannya. Koleksinya mengeksplorasi keindahan batik white on whitedan songket emas Palembang, kain tenun Garut, dan jumputan Palembang, dalam konsep busana pengantin internasional.
"Garis rancangan saya mengedepankan keindahan, romantisme, dan kemewahan. Keindahan diwujudkan dalam gaya yang penuh dengan kualitas tinggi. Romantisme digambarkan melalui warna-warna indah yang menciptakan detail unik dan feminin. Sentuhan kemewahan terwujud dengan aplikasi kristal, payet, bebatuan, dan logam," katanya.
Warna-warna yang dipilih tidak lagi pucat seperti ciri khas Hengky selama ini. Pada peragaan kali ini Hengky banyak bermain dengan warna-warna pastel dan warna-warna cerah hingga penggunaan warna shocking pink yang sangat berani. Warna-warna pastel yang lembut dipadukan dengan aksen berkilau pada dada dan pinggang banyak ditemukan pada koleksinya. Ada pula blazer dari kain songket warna pink, serta blazer panjang dari kain songket yang melengkapi dress pendek.
Beberapa gaun rancangannya menampilkan gradasi warna hijau, kuning, dan biru. Ada pula motif kain batik yang dimasukkan pada bagian dada dan bagian bawah gaun, sedangkan gaunnya sendiri berwarna pastel polos.
Untuk gaun pengantin, Hengky mencoba mengombinasikan busana pengantin dari China dengan Jawa, serta Sumatera dengan gaun internasional. Ia mencoba mengakomodasi kain etnik kontemporer pada koleksinya. Bentuk gaunnya didominasi oleh bagian bawah gaun yang mekar mulai ujung lutut dengan aksen batik atau bunga. Sedangkan bagian atas gaunnya ada yang berbentuk kemben maupun one shoulder.
Di Jakarta Fashion and Food Festival 2011, Hengky mewujudkan negeri dongeng dalam fashion show-nya yang bertema "My Fairy Tale". "Saya terinspirasi ketika berkunjung ke berbagai pelosok Indonesia, dan menemukan batik, songket, dan pecinan Indonesia yang beragam. Lalu saya mulai merancang songket dan batik. Melalui koleksi saya kali ini, saya ingin menunjukkan bagaimana mengenakan batik dengan modern style," ungkap Hengky dalampress conference di Harris Hotel Jakarta.
Untuk peragaan busana tunggalnya yang pertama ini, Hengky mempersembahkan 60 koleksi yang terbagi dalam tiga bagian: Oriental, The Indonesian Culture, dan Le Couture. Koleksi The Oriental yang mengeksplorasi kain etnik dengan warna-warna lembut yang modern didedikasikannya untuk pelanggan orientalnya. Koleksinya terinspirasi dari baju cheong-sam dan busana Eropa yang begitu mewah, dikombinasikan dengan kain batik pesisir dan tenun garut.
The Indonesian Culture terinspirasi dari kebaya kurung dan baju bodo. Koleksi ini menampilkan berbagai kain songket Palembang, songket Bali, dan sutera Makassar dengan permainan warna yang cerah. Le Couture terinspirasi dari gaun pengantin dan kebaya yang telah dirancang untuk pelanggannya. Koleksinya mengeksplorasi keindahan batik white on whitedan songket emas Palembang, kain tenun Garut, dan jumputan Palembang, dalam konsep busana pengantin internasional.
"Garis rancangan saya mengedepankan keindahan, romantisme, dan kemewahan. Keindahan diwujudkan dalam gaya yang penuh dengan kualitas tinggi. Romantisme digambarkan melalui warna-warna indah yang menciptakan detail unik dan feminin. Sentuhan kemewahan terwujud dengan aplikasi kristal, payet, bebatuan, dan logam," katanya.
Warna-warna yang dipilih tidak lagi pucat seperti ciri khas Hengky selama ini. Pada peragaan kali ini Hengky banyak bermain dengan warna-warna pastel dan warna-warna cerah hingga penggunaan warna shocking pink yang sangat berani. Warna-warna pastel yang lembut dipadukan dengan aksen berkilau pada dada dan pinggang banyak ditemukan pada koleksinya. Ada pula blazer dari kain songket warna pink, serta blazer panjang dari kain songket yang melengkapi dress pendek.
Beberapa gaun rancangannya menampilkan gradasi warna hijau, kuning, dan biru. Ada pula motif kain batik yang dimasukkan pada bagian dada dan bagian bawah gaun, sedangkan gaunnya sendiri berwarna pastel polos.
Untuk gaun pengantin, Hengky mencoba mengombinasikan busana pengantin dari China dengan Jawa, serta Sumatera dengan gaun internasional. Ia mencoba mengakomodasi kain etnik kontemporer pada koleksinya. Bentuk gaunnya didominasi oleh bagian bawah gaun yang mekar mulai ujung lutut dengan aksen batik atau bunga. Sedangkan bagian atas gaunnya ada yang berbentuk kemben maupun one shoulder.
Kain Tenun Silungkang
Tenun atau menenun adalah proses pembuatan kain dengan anyaman benang pakan antara benang lungsi dengan menggunakan alat tenun yang terbuat dari kayu, tongkat, bambu dan logam. Dari proses ini akan diproduksi menenun kain dan songket. Songket merupakan salah satu produk tenunan Minangkabau yang terkenal oleh masyarakat dan memiliki kualitas tinggi, bukan hanya karena keindahan kilau benang emas dalam berbagai motif yang unik tetapi juga karena fungsi sosial sebagai alat kelengkapan kostum tradisional. Songket berasal dari sungkit atau leverage yang cara untuk menambah benang pakan dan benang emas dalam berbagai pembuatan menghiasi dilakukan dengan menyulam benang lungsi. Bahan yang digunakan untuk tenun benang dari kapas, serat, sutra dan benang Macau (benang emas dan perak). Thread yang umumnya digunakan adalah impor luar negeri seperti India, Cina dan Eropa. Hiasan atau motif songket disebut Cukie, beberapa menggunakan Macau benang (benang emas dan perak), sutera dan katun berwarna. Sebuah keunikan songket Minangkabau yang lama ada adalah kombinasi dari dua atau tiga jenis benang dalam motif tunggal.
Salah satu yang terkenal penenun songket lokal di Minangkabau adalah Silungkang desa. Silungkang desa terletak di tepi jalan raya Sumatera sekitar 95 km dari selatan-timur Kota Padang. Desa ini juga terkenal dengan seni seperti kerajinan anyaman rotan, tongkat, bambu, sapu dan menenun. Songket dan sarung tangan tenunan Silungkang sudah terkenal di Sumatera Barat. Songket Silungkang juga dibuat secara tradisional, dengan alat tenun yang mirip dengan alat tenun di Pandai sikek tapi sedikit memiliki ukuran lebih besar dari alat tenun di Pandai sikek. Tenun tradisi di daerah ini umumnya dilakukan oleh perempuan dalam rumah mereka.
Tenun di Silungkang telah umum jenis Batabua, songket yang dihiasi tidak memenuhi bidang kain, dan dengan beberapa dasar songket sangat polos dan beberapa kotak. Motif tenunan Silungkang berasal dari lingkungan alami seperti rabuang pucuak, bunga, motif burung, sirangkak, Balah katupek dan lain-lain. Bentuknya cukup sederhana jika dibandingkan dengan songket Pandai sikek dan tidak begitu rumit dalam proses tersebut sehingga dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat.
Dalam pengembangan tenun Silungkang saat ini ada juga kombinasi antara teknik tenun ikat dengan teknik songket dengan berbagai motif songket. Bahan yang digunakan hari ini kecuali kapas, ada juga telah dihias dengan benang sutra, benang Makau dan benang kapas berwarna. The Resultsof tenun Silungkang, kecuali pakaian yang dibuat ada juga kebutuhan untuk dekorasi dan aksesori lainnya. Sekarang, songket Silungkang memiliki kualitas yang cukup baik bahan, teknik manufaktur, motif dekoratif dan pemasaran, bahkan telah diproduksi juga mesin tenun dengan berbagai motif dan harga yang relatif murah. Silungkang juga dikenal sebagai pemasok lokal tenunan benang berwarna untuk kebutuhan penenun di Sumatra Barat.
Salah satu yang terkenal penenun songket lokal di Minangkabau adalah Silungkang desa. Silungkang desa terletak di tepi jalan raya Sumatera sekitar 95 km dari selatan-timur Kota Padang. Desa ini juga terkenal dengan seni seperti kerajinan anyaman rotan, tongkat, bambu, sapu dan menenun. Songket dan sarung tangan tenunan Silungkang sudah terkenal di Sumatera Barat. Songket Silungkang juga dibuat secara tradisional, dengan alat tenun yang mirip dengan alat tenun di Pandai sikek tapi sedikit memiliki ukuran lebih besar dari alat tenun di Pandai sikek. Tenun tradisi di daerah ini umumnya dilakukan oleh perempuan dalam rumah mereka.
Tenun di Silungkang telah umum jenis Batabua, songket yang dihiasi tidak memenuhi bidang kain, dan dengan beberapa dasar songket sangat polos dan beberapa kotak. Motif tenunan Silungkang berasal dari lingkungan alami seperti rabuang pucuak, bunga, motif burung, sirangkak, Balah katupek dan lain-lain. Bentuknya cukup sederhana jika dibandingkan dengan songket Pandai sikek dan tidak begitu rumit dalam proses tersebut sehingga dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat.
Dalam pengembangan tenun Silungkang saat ini ada juga kombinasi antara teknik tenun ikat dengan teknik songket dengan berbagai motif songket. Bahan yang digunakan hari ini kecuali kapas, ada juga telah dihias dengan benang sutra, benang Makau dan benang kapas berwarna. The Resultsof tenun Silungkang, kecuali pakaian yang dibuat ada juga kebutuhan untuk dekorasi dan aksesori lainnya. Sekarang, songket Silungkang memiliki kualitas yang cukup baik bahan, teknik manufaktur, motif dekoratif dan pemasaran, bahkan telah diproduksi juga mesin tenun dengan berbagai motif dan harga yang relatif murah. Silungkang juga dikenal sebagai pemasok lokal tenunan benang berwarna untuk kebutuhan penenun di Sumatra Barat.
Tenun Pandai Sikek Warisan Budaya Minangkabau
Kain tenun tidak hanya terkenal di Kalimantan ataupun Jawa, namun juga di Sumatera. salah satu kain tenun songket yang terkenal di sumatera adalah kain tenun pandai sikek yang bisa ditemui di minangkabau.
Tenun di daerah Minangkabau disebut tenun Pandai Sikek atau lebih familiar lagi disebut dengan tenun songket. Orang Pandai Sikek sendiri sebenarnya tidak menyebutnya songket, melainkan hanya tenun, sebab yang dimaksud adalah benang katun dan benang mas yang ditenun dengan tangan, diatas alat yang bernama panta sehingga menjadi kain, kain balapak atau kain bacatua yang dipakai pai baralek, yaitu pada pesta perkawinan.
Kain tenun Pandai Sikek secara umum terbagi menjadi dua jenis, yaitu Balapak dan Bacatua. Kain Balapak ditenun dengan melewatkan benang mas di seluruh bidang kain, sedangkan Kain Bacatua sebagian besar terdiri dari tenunan lungsin dengan pakan, dan di bagian-bagian tertentu diberi hiasan benang mas.
Tidak ada sejarah yang pasti kapan tenunan songket mulai dikembangkan di Minangkabau khususnya di Nagari Pandai Sikek. Akan tetapi keahlian dalam menenun merupakan warisan nenek moyang kita bangsa Austronesia atau lebih populer disebut dengan bangsa Malayo-Polynesia, Ketika terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari daratan Asia ke arah selatan dan timur beberapa ribu tahun yang lalu, bersamaan dengan segala kepandaian yang esensial untuk kehidupan, seperti kepandaian becocok tanam, kepandaian membuat dan menggunakan alat-alat pertanian, pertukangan dan senjata.
Motif-motif kain tenun Pandai Sikek selalu diambil dari contoh kain-kain tua yang masih tersimpan dengan baik dan sering dipakai sebagai pakaian pada upacara-upacara adat dan untuk fungsi lain dalam lingkup upacara adat, misalnya sebagai “tando,” dan dipajang juga pada waktu batagak rumah.
Motif-motif tenun Pandai Sikek diyakini sebagai motif asli pada kain-kain tenunan perempuan-perempuan Pandai Sikek pada zaman lampau, yang namanya sebagian masih diingat oleh beberapa orang tua yang hidup sekarang. Diantara mereka adalah: Sari Bentan, Namun, Salamah di Baruah; Nuriah, Ipah, Pasah, Nyiah dan Jalisah di Tanjung.
Ada kira-kira sepuluh orang master tenun di Pandai Sikek pada zaman atau generasi nama-nama diatas, kira-kira seratus tahun yang lalu. Ada juga beberapa wanita Pandai Sikek zaman dahulu yang dikenal dengan nama julukan yang berhubungan dengan peralatan tenun. Misalnya, dikenal Inyiak Makau di Tanjuang, Inyiak Suri di Koto Tinggi, Inyiak Banang, dan Inyiak Karok.
Kain tenun pandai sikek ini begitu terkenal disebabkan oleh peran para turis asing (manca negara) yang selalu membeli hasil kerajinan songket Pandai sikek sebagai cendramata untuk dibawa pulang ke negara mereka masing-masing. Hal ini berlangsung terus menerus, sehingga Songket Pandai sikek kian hari kian di kenal masyarakat Internasional.
Tenun di daerah Minangkabau disebut tenun Pandai Sikek atau lebih familiar lagi disebut dengan tenun songket. Orang Pandai Sikek sendiri sebenarnya tidak menyebutnya songket, melainkan hanya tenun, sebab yang dimaksud adalah benang katun dan benang mas yang ditenun dengan tangan, diatas alat yang bernama panta sehingga menjadi kain, kain balapak atau kain bacatua yang dipakai pai baralek, yaitu pada pesta perkawinan.
Kain tenun Pandai Sikek secara umum terbagi menjadi dua jenis, yaitu Balapak dan Bacatua. Kain Balapak ditenun dengan melewatkan benang mas di seluruh bidang kain, sedangkan Kain Bacatua sebagian besar terdiri dari tenunan lungsin dengan pakan, dan di bagian-bagian tertentu diberi hiasan benang mas.
Tidak ada sejarah yang pasti kapan tenunan songket mulai dikembangkan di Minangkabau khususnya di Nagari Pandai Sikek. Akan tetapi keahlian dalam menenun merupakan warisan nenek moyang kita bangsa Austronesia atau lebih populer disebut dengan bangsa Malayo-Polynesia, Ketika terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari daratan Asia ke arah selatan dan timur beberapa ribu tahun yang lalu, bersamaan dengan segala kepandaian yang esensial untuk kehidupan, seperti kepandaian becocok tanam, kepandaian membuat dan menggunakan alat-alat pertanian, pertukangan dan senjata.
Motif-motif kain tenun Pandai Sikek selalu diambil dari contoh kain-kain tua yang masih tersimpan dengan baik dan sering dipakai sebagai pakaian pada upacara-upacara adat dan untuk fungsi lain dalam lingkup upacara adat, misalnya sebagai “tando,” dan dipajang juga pada waktu batagak rumah.
Motif-motif tenun Pandai Sikek diyakini sebagai motif asli pada kain-kain tenunan perempuan-perempuan Pandai Sikek pada zaman lampau, yang namanya sebagian masih diingat oleh beberapa orang tua yang hidup sekarang. Diantara mereka adalah: Sari Bentan, Namun, Salamah di Baruah; Nuriah, Ipah, Pasah, Nyiah dan Jalisah di Tanjung.
Ada kira-kira sepuluh orang master tenun di Pandai Sikek pada zaman atau generasi nama-nama diatas, kira-kira seratus tahun yang lalu. Ada juga beberapa wanita Pandai Sikek zaman dahulu yang dikenal dengan nama julukan yang berhubungan dengan peralatan tenun. Misalnya, dikenal Inyiak Makau di Tanjuang, Inyiak Suri di Koto Tinggi, Inyiak Banang, dan Inyiak Karok.
Kain tenun pandai sikek ini begitu terkenal disebabkan oleh peran para turis asing (manca negara) yang selalu membeli hasil kerajinan songket Pandai sikek sebagai cendramata untuk dibawa pulang ke negara mereka masing-masing. Hal ini berlangsung terus menerus, sehingga Songket Pandai sikek kian hari kian di kenal masyarakat Internasional.
15 Wisatawan AS Pelajari Tenun Minangkabau
Sebanyak 15 wisatawan asal Amerika Serikat mempelajari sejarah dan teknik pembuatan kain batik tanah liat, satu hasil kerajinan tenun tradisional di Minangkabau (Sumatera Barat).
Wisatawan itu, mempelajarinya di galeri batik tanah liat tradisional Minangkabau di Kota Padang, Kamis (28/8), kata Direktur Biro Perjalanan Wisata "Sumatra and Beyond", Ridwan Tulus
Ia menyebutkan, Ke-15 wisatawan AS itu mempelajari tenun tradisional Minangkabau dalam satu paket wisata "10 days from west to north textile tour Sumatra" digelar "Sumatra and Beyond"di Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Menurut dia, dipilihnya galeri batik tanah liat dalam kunjungan itu, karena hasil tenun tradisional tersebut saat ini sudah sangat langka di dunia, sehingga sangat menarik sebagai objek wisata dan penelitian.
Pada kunjungan itu, para wisatawan akan mengetahui sejarah batik tanah liat dan bagaimana teknik pembuatannya secara tradisional, tambahnya.
Selain mengunjungi batik tanah liat, para wisatawan juga akan melihat dan mempelajari teknik pembuatan kain songket tradisional Canduang, di Kabupaten Agam.
"Kain songket Candung juga, satu hasil tenun terbaik, bahkan seorang peneliti songket asal Swiss, Ben Hard pernah menyebutkan songket tersebut salah satu yang terbaik di dunia," katanya.
Para wisatawan juga akan mengunjungi Museum Adhityawarman Padang dan Pusat Dokumentasi Adat Minangkabau di Padang Panjang, untuk melihat koleksi tekstil adat tradisional Minangkabau, tambah Ridwan Tulus.
Ia mengatakan, bagi "Sumatra and Beyond" kunjungan tersebut membuka peluang menjadikan Sumbar sebagai daerah tujuan wisata dan penelitian kain tenung tradisional dunia
Wisatawan itu, mempelajarinya di galeri batik tanah liat tradisional Minangkabau di Kota Padang, Kamis (28/8), kata Direktur Biro Perjalanan Wisata "Sumatra and Beyond", Ridwan Tulus
Ia menyebutkan, Ke-15 wisatawan AS itu mempelajari tenun tradisional Minangkabau dalam satu paket wisata "10 days from west to north textile tour Sumatra" digelar "Sumatra and Beyond"di Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Menurut dia, dipilihnya galeri batik tanah liat dalam kunjungan itu, karena hasil tenun tradisional tersebut saat ini sudah sangat langka di dunia, sehingga sangat menarik sebagai objek wisata dan penelitian.
Pada kunjungan itu, para wisatawan akan mengetahui sejarah batik tanah liat dan bagaimana teknik pembuatannya secara tradisional, tambahnya.
Selain mengunjungi batik tanah liat, para wisatawan juga akan melihat dan mempelajari teknik pembuatan kain songket tradisional Canduang, di Kabupaten Agam.
"Kain songket Candung juga, satu hasil tenun terbaik, bahkan seorang peneliti songket asal Swiss, Ben Hard pernah menyebutkan songket tersebut salah satu yang terbaik di dunia," katanya.
Para wisatawan juga akan mengunjungi Museum Adhityawarman Padang dan Pusat Dokumentasi Adat Minangkabau di Padang Panjang, untuk melihat koleksi tekstil adat tradisional Minangkabau, tambah Ridwan Tulus.
Ia mengatakan, bagi "Sumatra and Beyond" kunjungan tersebut membuka peluang menjadikan Sumbar sebagai daerah tujuan wisata dan penelitian kain tenung tradisional dunia
Langganan:
Postingan (Atom)