Senin, 15 April 2013

Harmonisasi Selembar Songket


Setelah menunggu sekitar dua tahun, awal tahun ini Nanda Wirawan bisa bernapas lega. Dua karya pengembangan kain songket Minangkabau yang digarapnya memperoleh penghargaan kerajinan unggulan dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

Pertama adalah songket dengan gabungan motif bernama Saluak Laka dan Saik Ajik Babungo yang dibuat seniman Iswandi dan almarhum Alda Wimar. Motif ini pengembangan dari motif ukir di rumah gadang. Karya lainnya adalah songket kuno Kotogadang bermotif Sajamba Makan yang merupakan hasil revitalisasi dari songket kuno Nagari Kotogadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Songket itu dibuat di Studio Songket ErikaRianti di Jorong Panca, Nagari Batu Taba, Kecamatan Ampek Angkek, Agam. Nanda adalah direktur studio songket itu. Penghargaan dua tahunan untuk program Asia Tenggara di Malaysia itu berarti besar bagi Nanda. Kedua karya itu diberi penghargaan atas sejumlah indikator yang melekat, yaitu istimewa, otentik, inovatif, dan dapat dipasarkan.

Lebih penting

Namun, sebetulnya ada yang lebih penting selain penghargaan itu, yaitu filosofi orang Minangkabau dalam selembar kain. Soal toleransi pada masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Juga soal harmonisasi tentang beberapa unsur dalam kehidupan.

Hal itu terdapat dalam hasil karya pengembangan motif ukiran rumah gadang bernama Saluak Laka dan Saik Ajik Babungo. ”Motif Saluak Laka memiliki filosofi toleransi adat dan agama, perpaduan sistem matrilineal dan patrilineal. Saik Ajik Babungo berarti potongan yang sama besar atau keadilan,” ujar Nanda.

Iswandi, yang membuat motif Saluak Laka untuk kain songket, menuturkan, secara visual motif itu terlihat sebagai perpaduan garis lurus dan lengkung. ”Garis lurus yang cenderung kaku menggambarkan sifat agama, sedangkan lengkung menggambarkan sifat adat. Ini adalah motif yang menggambarkan perpaduan agama dan adat. Inilah yang dimaksud dengan adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (adat bersendi hukum agama, hukum agama bersendi Al Quran),” kata Iswandi yang juga suami Nanda.

Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah adalah konsensus antara pemimpin agama dan pemuka adat untuk memadukan ajaran Islam dan adat Minangkabau. Ada sejumlah versi tentang waktu terjadinya perjanjian itu. Akan tetapi, pegangan dalam menjalankan kehidupan bagi orang Minang itu kini masih didengungkan.

Nanda menambahkan, motif itu juga menggambarkan aturan agama yang sangat jelas dan aturan adat yang dinamis tidak pernah bertentangan. Sekalipun secara adat seorang anak di Minangkabau mewarisi garis ibu (matrilineal), tetapi ia tetap disaluak’kan (diikat) dengan keluarga ayah.

Hal itu mewujud dalam perkawinan ”anak pisang” atau anak dari anak laki-laki yang mesti mengutamakan persetujuan keluarga ayah (bako). Nanda menambahkan, jika ada anggota keluarga bako yang tutup usia, ”anak pisang” yang pertama kali mesti memberikan kain kafan.

Dalam buku Revitalisasi Songket Lama Minangkabau, Bernhard Bart dan kawan-kawan (2006), motif Saluak Laka berarti jalinan kuat lidi atau rotan yang menyatu erat sehingga mampu menyangga periuk. Laka adalah alas periuk. Saluak berati kait atau jalinan. Motif ini berarti jalinan kekerabatan yang kuat guna menjalankan tanggung jawab besar. Pada saat bersamaan tidak ada individu yang menonjolkan diri atau merasa paling berjasa. Ini ditunjukkan dengan tidak terlihatnya ujung ataupun pangkal dalam anyaman atau jalinan laka. Seluruhnya tersembunyi di bawah.

Adapun Saik Ajik Babungo, kata Iswandi, berarti potongan wajik yang sama besar. ”Wajik dalam tata cara penghidangan penganan adalah yang utama dan terletak di tengah-tengah sebagai ’bunga hidangan’ di antara lainnya,” paparnya.

Motif Sajamba Makan menggambarkan kebersamaan dalam masyarakat Minangkabau. ”Motif ini menunjukkan segala sesuatu menyangkut kehidupan kaum mesti diputuskan secara musyawarah untuk mufakat,” kata Nanda.

Mereka yang terlibat dalam forum musyawarah itu adalah orang-orang dengan kemampuan manguik sahabih sauang, baretong sampai sudah. ”Artinya, segala sesuatu ditelaah mendalam dengan prinsip keselarasan dan keseimbangan sehingga hasilnya membawa kebaikan kini dan di kemudian hari,” ujarnya.

Proses panjang

Nyaris seperti toleransi dan harmonisasi yang prosesnya di masyarakat relatif panjang, demikian pula dengan pembuatan kedua songket itu. Terutama untuk transformasi motif ukiran rumah gadang yang secara teknis tak pernah dilakukan sebelumnya di atas kain songket.

Pembuatan motif mulai dilakukan pada 2010 oleh Alda Wimar, yang dilanjutkan pada 2011 oleh Iswandi. Proses penenunan dilakukan April hingga Mei 2012. Revitalisasi songket kuno Kotogadang dimulai dengan pembuatan motif sejak 2006. Penenunan dikerjakan sejak September hingga Oktober 2011. Butuh lima kali penenunan yang gagal sebelum berhasil pada percobaan keenam untuk pembuatan kembali songket kuno Kotogadang itu. Pasalnya, ujar Nanda, revitalisasi sulit, sesuai tuntutan yang mesti sama persis dengan kaidah aslinya.

”Tingkat kesulitan tinggi karena ditenun dengan ukuran setengah lubang sisir tenun. Ini adalah kain paling halus yang pernah ditenun di Studio Songket ErikaRianti,” tutur Nanda.

Proses pada songket lain yang mentransformasikan motif ukiran rumah gadang dalam songket memiliki tantangan lain. Tak mudah memindahkan motif relung dan lingkaran dari ukiran kayu ke atas kain songket, yang disebut Nanda hampir mustahil.

”Ini membutuhkan garis motif yang banyak. Kain songket biasanya bermotif geometris, hampir tidak mungkin bermotif lingkaran,” kata Nanda. Apalagi, songket yang dibuatnya bukan berupa penyederhanaan bentuk, melainkan menenun sesuai dengan motifnya.

Warna menggunakan bahan alami, antara lain secang untuk warna merah dan ungu serta kulit kayu untuk warna coklat kemerahan. Songket itu sempat dipamerkan di Uni Emirat Arab.

Sumsel Akan Gelar Festival Songket


Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan akan menggelar festival songket di Palembang pada 2013 untuk mempromosikan tenun tradisional dari seluruh Indonesia.

Pergelaran tersebut pertama kali dilaksanakan dan diharapkan berjalan sukses, kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel Toni Panggarbesi di Palembang, Selasa.

Menurut dia, pagelaran itu juga untuk mempromosikan hasil usaha tenun tradisional Sumsel berbahan dasar benang sutra dan benang emas.

Sementara peserta yang akan diundang dalam festival itu, menurut dia, adalah daerah penghasil songket di seluruh Indonesia.

Bahkan, peserta luar negeri juga akan diundang supaya lebih meriah karena festival tersebut juga untuk mempromosikan kerajinan songket masing-masing daerah sehingga produk tersebut semakin dicintai.

Namun, yang lebih utama kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara ke Sumatra selatan.

"Jadi kegiatan tersebut untuk mempromosikan seni dan budaya Sumsel termasuk daerah peserta," kata dia.

Selain itu melalui kegiatan tersebut minat masyarakat akan tenun songket akan meningkat, tambah dia

Indonesia Tak Cuma Punya Batik dan Songket


Indonesia punya banyak kain indah. Seandainya kita mau melihat, budaya kita sangat kaya dan banyak yang bisa digali. Hal itulah yang menggerakkan, Stephanus Hamy, perancang lulusan Paris American Academy di Perancis untuk menciptakan busana-busana bernuansa kekinian dari bahan-bahan kain yang dibuat secara tradisional (disebut juga wastra dari bahasa Sansekerta) Indonesia.

Hamy, yang memiliki beberapa lini busana, seperti Stephanus Hamy, Stephanus Hamy Studio, Hamy Touch, dan Hamy Culture ini muncul beberapa kali dalam peragaan busana Jakarta Fashion Week (JFW) 2010/2011. Kali pertama, tanggal 8 November 2010, ia muncul bersama beberapa desainer yang turut terlibat dalam pengembangan tenun di Cita Tenun Indonesia (CTI). Dalam kesempatan tersebut ia menampilkan koleksi Swarna Dwipa yang merupakan busana-busana wanita bergaya elegan untuk busana kerja dan santai dari berbagai campuran bahan tenunan.

Kali kedua, Hamy memeragakan koleksinya secara tunggal di panggung JFW pada hari Kamis (11/11/2010). Ia membawakan koleksinya yang bertajuk Cerita Tenun dari Timur. Saat akan memulai pagelaran, Hamy bertutur bahwa ia sudah berkutat dengan tenun dari Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak 8 tahun lalu. Lewat rancangannya, ia ingin memperkenalkan bahwa tak semua tenun NTT itu tebal dan kaku yang sulit dikenakan. Masih banyak kain NTT yang bisa dijadikan busana menarik, modern, stylish, dan fashionable.

Dalam rancangan ini, Hamy bertutur, "Dalam koleksi ini terlihat ada banyak cara untuk mengolah kain tradisional. Bahkan bisa dipakai untuk para perampuan yang memerlukan busana smart casual. Maka, Anda akan bisa melihat busana blazer, jaket, dan rok semi formal yang terbuat dari wastra tenun NTT. Di sana memiliki kain yang bagus, lho, tetapi jarang diperkenalkan. Indonesia tak cuma punya kain batik dan songket. Saya membawa kain NTT ini ke Eropa, Amerika Serikat, Kanada, dan Jepang. Ketertarikannya sangat tinggi dan pemesanannya juga banyak."

Di hari yang sama, Hamy hadir kembali bersama rekan-rekannya dari Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) dengan membawa koleksi bertajuk Gendongan. Di sini ia ingin membuktikan bahwa wastra Indonesia punya keunikan yang masih bisa digali. "Saya ingin membuktikan bahwa kain tradisional Indonesia itu sangat banyak. Saya membawa kain gendongan, kain yang biasa dipakai untuk menggendong sesuatu, yang merupakan kain dari Jawa Tengah, meski kaku dan keras, tetapi bisa mengakomodir mode global. Kain kaku dan keras semacam rami yang saya peragakan tadi tidak diolah, dan kain-kain ini bisa digunakan untuk menciptakan busana struktural yang sedang tren," jelasnya.

Tahun ini, Hamy telah menerbitkan tiga buku yakni, Chic Mengolah Wastra Indonesia seri Tenun NTT, Wastra Bali, dan Batik Jawa Barat dan berencana akan mengeluarkan lagi tahun depan untuk wastra dari daerah-daerah lain di nusantara.

"Kain-kain tradisional Indonesia banyak yang bisa mengakomodir gaya mode yang bergejolak di Indonesia," jelas Hamy. Namun, sayangnya, menurut Hamy, masih ada kendala terhadap konsistensi pengerjaan, baik itu kualitas dan kuantitas, khususnya perajin dari daerah-daerah timur Indonesia, meski di Jawa pun banyak yang juga seperti itu. Ia berharap ke depannya pihak-pihak kepemerintahan dan yang terkait bisa melihat peluang ini dan memeluk para perajin supaya mereka tidak terlupakan dan bisa dibina bersama agar memajukan ekonomi dan budaya Indonesia di mata dunia.

Ulos Bisa Sejajar dengan Songket


Kendati ulos Batak belum banyak diperkenalkan dalam dunia fashion, perancang busana dari Jakarta, Merdi Sihombing (42), akan membuat terobosan baru dengan membangun "perkampungan ulos" di Pangururan, Sumatera Utara.      "Sejak dulu, nenek moyang suku Batak sudah lama mengenal kain tenun ikat sejenis sutra yang disebut Sintara. Kualitasnya tidak jauh berbeda dengan songket Palembang yang ada sekarang ini," ujar Merdi

Desain yang dia kembangkan merupakan hasil penggalian ornamen Batak lama yang unik. Merdi mengatakan, hingga kini ia tetap mencari motif baru. Namun, cirinya tidak diubah. "Hanya, benangnya menggunakan pewarna alami. Dengan demikian, lebih ramah lingkungan," akunya.    

Umumnya setiap acara pesta, kaum ibu di kota besar lebih senang memakai songket Palembang. Padahal, menurut dia, harganya jauh lebih mahal sehingga hanya mampu dibeli oleh kalangan tertentu saja. "Songket Batak bisa menjadi alternatif untuk alasan ekonomis," tambahnya.    

Saat ini, kata Merdi, harga ulos di pasaran dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Kalau sudah dimodifikasi menjadi songket, harganya bisa menjadi beberapa kali lipat. Dengan nilai jual semakin tinggi, hal tersebut akan meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan perajin di daerah.    

Merdi pun mengisahkan bahwa ia telah banyak melakukan penjelajahan ke berbagai daerah dan mengumpulkan referensi. Eksistensi tenunan khas Batak ini akan ia pertahankan. Perwujudan pengembangan yang dilakukan jelas untuk menyejajarkan ulos dengan songket Palembang.    

Kadis Pariwisata Samosir Melani Butarbutar menambahkan, Pemkab Samosir sangat mendukung kegiatan positif seperti yang dilakukan Merdi. "Terobosan tersebut tentu akan mengundang daya tarik wisata. Perkembangan secara umum tentunya membantu ekonomi perajin," tuturnya.    

Menurut Naibaho, Kabag Humas Pemkab Samosir, berbagai bantuan menunjang industri ulos telah diberikan melalui Dinas Koperindag. Dalam lima tahun terakhir, pihaknya telah melakukan berbagai kegiatan dan pelatihan.

Sabtu, 08 Desember 2012

Tenun Ikat Khas Waingapu Sumba Timur, NTT


Tenun ikat merupakan salah satu hasil kerajinan tangan masyarakat Waingapu di kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.  Membuat kain tenun ikat merupakan kebiasaan wanita Waingapu sejak ratusan tahun lalu. Hingga kini, mereka membuat kerajinan ini untuk dipakai sendiri ataupun dijual ke orang lain. Hendrik Pali, salah seorang warga Lambanapu, Waingapu menceritakan, masyarakat Waingapu pada awalnya menjadikan tenun ikat sebagai satu perlengkapan penting dalam acara adat istiadat, seperti pernikahan ataupun upacara penobatan raja. Namun setelah Indonesiamenjadi Negara Republik, tidak ada perbedaan, semua dapat mengenakan kain tenun dengan berbagai motif dan jenis. Bahkan kini, tenun ikat telah menjadi bahan untuk aneka kerajinan, seperti tas, selendang, serta baju.


"Jadi itu fungsinya itu, gunanya, kalau dulu itu untuk sosial budaya ya. Sosial budaya itu adat istiadat. Kalau kita melamar seorang pengantin putri, itu dari pihak laki-laki membawa kuda, dari pihak wanita itu menyiapkan kain. Dan ini juga fungsinya kalau misalnya kalau pergi pesta ya pakai, memang ada yang khusus kalau dulu. Ada yang dipakai khusus untuk raja-raja dan ada yang dipakai khusus untuk orang biasa. Kalau sekarang ya tidak lagi, setelah negara menjadi Negara Republik itu sudah bebas ya. Hak asasinya disamakan saja. Kalau sekarang ini memang sudah bisa dipakai untuk buat baju, sudah biasa pakai dengan bermacam-macam. Orang sudah jahitin tas, orang sudah jahit baju, orang sudah jahit longdress, sudah bisa saja dipakai begitu. Dan sudah ya dibisniskan juga."



Kerajinan tenun dari Waingapu ini dinamakan tenun ikat karena sebelum ditenun, benang diikat hingga menjadi beberapa ikatan kemudian diberi warna mengikuti pola yang telah ditentukan.  Untuk menghasilkan sehelai kain tenun ikat khas Waingapu tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk proses pewarnaan benangnya saja membutuhkan proses yang bertahap dan butuh kesabaran. Pada musim penghujan, pengrajin tenun biasanya memulai kegiatan dengan mengikat benang, membentuk motif, serta menyiapkan bahan pewarna alami.


Biasanya, mereka membuat warna merah dari akar mengkudu yang dicampur dengan daun loba dan untuk warna hijau dibuat dari zat hijau daun.  Mereka akan memulai proses pewarnaan benang ketika musim kemarau, karena setelah dicelup warna, benang yang telah diikat itu harus dijemur di bawah terik matahari. Untuk menghasilkan satu buah warna yang bagus, paling tidak diperlukan hingga empat kali proses pencelupan.


Itupun, hasil pewarnaan harus diolah kembali dan dijemur selama beberapa waktu. Setelah benang diberi warna, barulah ikatan benang itu dibuka dan benang yang akan ditenun diuraikan satu per satu. Wanita Waingapu kemudian menenun benang ini hingga menjadi selembar kain tenun menggunakan alat tenun tradisional yang terbuat dari kayu. Karena proses yang cukup panjang dan butuh waktu yang cukup lama itulah, tak heran jika Hendrik Pali, seorang warga Lambanapu, Waingapu mengatakan harga kain tenun ikat khas Waingapu relatif mahal bahkan hingga mencapai jutaan rupiah.


"Emang agak mahal ya, karena ini manual ya, dikerjakan manual. Sehari selembar benang, setahun selembar kain. Jadi akan agak mahal dia. Jadi harga itu memang dilihat dari kualitasnya. Ada harga 5 juta, 4 juta, 1 juta, ada yang 500 ribu. Kalau selendang ada yang 60 ribu, 260 ribu."



Pengrajin tenun ikat di Sumba Timur umumnya menghasilkan kain dengan motif hewan dan tumbuhan, seperti udang, penyu, buaya, serta pohon andung, salah satu jenis pohon yang dapat dijumpai di daerah Sumba Timur. Hendrik Pali, seorang warga Waingapu mengatakan motif tenun ikat di Sumba Timur memiliki ciri khas tersendiri dan bagi warga Waigapu, setiap motif itu memiliki arti.  Untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap tentang itu, mari kita dengarkan penjelasan Hendrik Pali berikut ini.


"Motif udang ini ada simbol tersendiri. Simbol itu, orang dulu belum tau tulis dan ingin menyatakan bahwa hidup ini tidak dilenyapkan. Bahkan di balik kematian, ada kehidupan. Karena ada itu punya istilah adatnya, syairnya itu Dulu La Kuraluku Halukulamanumara, seperti udang itu menjelma di kali, di sungai dan seperti orang-orang dulu yang beragama asli dan juga mereka mengatakan setelah kematian ada kehidupan. Dia mau beritahu begitu, nilai religiusnya. Dulu ini kalau ini hanya dipakai oleh raja-raja, buaya dan penyu hanya dipakai oleh raja-raja, karena penyu dan buaya merupakan lambang keagungan dan kebesaran dari seorang raja"



Apa anda mulai tertarik dengan kain tenun ikat khas Waingapu?.  Anda dapat menjadikan kerajinan ini sebagai salah satu cinderamata ketika berkunjung ke kota Waingapu, kabupaten Sumba Timur.

Minggu, 23 September 2012

Tenun Ikat Sintang Lebih Dekoratif

Komisaris Group Femina, Pia Alisjahbana mengatakan, tenun ikat Sintang lebih dekoratif dan dalam bentuk aslinya dengan nilai budaya yang tinggi lebih cocok dipajang untuk hiasan dinding bernilai tinggi.”Saya lihat tenun ikat ini sudah cukup bagus, apalagi dibalik hasil tenunan ada cerita yag menyertainya,” katanya, kemarin.Ia menilai kulitas kain untuk tenun ikat Sintang sudah cukup baik, tinggal mengemas dan mempromosikan terus mennerus kerajinan ini agar bernilai tinggi. “Saya sebenarnya sudah sangat familiar dengan tenun ikat Sintang, sudah beberapa kali saya berkunjung ke Sintang dan melihat langsung kerajinan ini,” kata wanita sukses yang masih kerabat dekat sastrawan angkatan lama Sutan Takdir Aslisjahbana ini .

Ia menilai kemampuan untuk mempromosikan kerajinan khas Sintang ini tentunya akan memberikan nilai tambah lebih baik terhadap hasil kerajinan maupun peningkatan kesejahteraan perajin.“Kalau batik sudah oke. Artinya, secara nasional dan internasional sudah diakui, tinggal bagaimana kita memoles kerajinan tenun ikat ini agar lebih baik dan dikenal luas,” ucapnya.Direktur Yayasan Kobus, Pastor Jacques Maessen mengatakan, ada 1300 penenun yang sudah dibina melalui Koperasi Jasa Menenun Mandiri. “Begitu tahu tenun ikat, saya lihat saya kalau tidak diteruskan,” ucapnya.Ia mengatakan, dahulu, kerajinan tenun ikat ini seperti ditinggalkan padahal kerajinan ini adalah warisan dari nenek moyang yang tidak boleh hilang. “Dan sekarang tenun ikat Sintang ini sudah jadi salah satu kebanggan dunia karena sudah mulai dikenal luas,” ucapnya.

Pia meminta para penenun agar tetap menjaga dan meningkatkan kualitas tenunan dan melakukan proses regenerasi agar kerajinan tenun ikat Sintang tetap lestari.“Kalau bisa para penenun yang sudah tua tidak menjadikan kain hasil kreasinya hanya sebatas pusaka, selain disimpan, sampaikan juga ke anak cucu bahwa ada cerita dibalik kain tenun ini agar mereka nanti tetap ingat dan mengetahui nilai-nilai budaya yang dimiliki nenek moyangnya,” ujarnya. 

Senin, 20 Agustus 2012

Hasil Tenun dengan Alat Gedongan / ATBM


  1. Tenun sederhana.
    Tenun yang dihasilkan dari benang pakan masuk keluar kedalam benang lungsi dengan ritme yang sama, sehingga menghasilkan tenun polos tanpa corak atau dengan corak garis-garis, kotak-kotak sesuai dengan warna dan jenis benang yang dipakai, sehingga menghasilkan tenunan yang disebut tenun lurik (garis-garis) atau tenun poleng (kotak-kotak). Tenun ini banyak dijumpai di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Sulawesi Tenggara.
  2. Tenun ikat lungsi
    Tenun ikat lungsi adalah produk tenun dengan desain yang terjadi dari kumpulan benang lungsi yang dibentangkan pada alat perentang diikat dengan tali rafia berbagai warna yang disesuaikan dengan ragam hias dan warna yang diinginkan, kemudian dicelup. Setelah mengering pada bagian yang ditandai oleh warna rafia tertentu dibuka ikatannya dan dicolet dengan warna yang diinginkan, dilakukan seterusnya pada ikatan warna rafia yang lain dicolet dengan warna-warna yang diinginkan. Setelah kering, kemudian ditata pada alat tenun dan ditenun dengan benang pakan warna tertentu sesuai dengan warna yang diinginkan secara keseluruhan.

    Hasil tenun ikat lungsi banyak dijumpai dari daerah NTB, NTT, Maluku, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat , Sulawesi Utara, Papua Barat
  3. Tenun ikat pakan
    Tenun ikat pakan proses pembuatannya sama dengan tenun ikat lungsi, tetapi yang diikat adalah kumpulan benang pakan sesuai dengan ragam hias dan warna yang diinginkan, kemudian ditenun pada bentangan benang lungsi yang sudah tertata pada alat tenun dengan warna yang yang diinginkan secara keseluruhan.

    Hasil tenun ikat pakan banyak dijumpai dari daerah Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah.
  4. Tenun ikat ganda (ikat lungsi dan pakan)
    Kedua teknik tersebut diatas digabungkan dalam proses penenunannya, sehingga corak akan terbentuk dari persilangan benang lungsi dan benang pakan yang bertumpuk pada titik pertemuan corak yang dikehendaki.

    Hasil tenun ikat ganda dapat dijumpai dari Bali (Tenganan),Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
  5. Tenun songket
    Tenun songket adalah tenun dengan teknik menambah benang pakan sebagai hiasan, yaitu dengan menyisipkan benang perak, emas, tembaga atau benang warna diatas benang lungsi. Penempatannya tergantung dari corak yang diinginkan, ada kalanya penuh dengan berbagai ragam hias, atau beberapa bagian kain saja dan kadangkala dipadu dengan teknik ikat.

    Tenun songket banyak terdapat di daerah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Maluku Utara.