Ulos merupakan kain tenun yang berasal dari Sumatera Utara. Sama halnya dengan kain songket, kain ini pun sarat makna. Sayangnya hingga saat ini Ulos batak hanya populer digunakan pada masayrakat Batak saja. Padahal kain ulos ini dapat dikreasikan dan dipandankan dengan aksesoris dan busana modern maupun tradisional.
Ulos dibedakan bedasarkan fungsinya. Ulos parompa sadun, biasa dipakai untuk menggendong anak, Ulos abid godang biasanya dipakai untuk selimut. Namun Merdi Sihombing mengembangkan kedua jenis ulos ini menjadi busana yang dapat dipakai pada acara-acara spesial dengan menambahkan manik-manik dan kristal.
Merdi bekerja sama dengan pengrajin Ulos di Sumetara Utara untuk menjadikan ulos sebagai kain yang dapat digunakan berbagai kalangan yang tak terbatas pada masyarakat Batak saja. Kini ulos muncul lebih menawan dan modern. Namun filosofi ulos dan kekahasanya tetap dijaga.
Rabu, 25 Januari 2012
Rabu, 04 Januari 2012
Tenun Sasirangan
Suku Banjar di Kalimantan Selatan memiliki kain khas yang dikenal dengan nama “Sasirangan”
Kain ini umumnya digunakan sebagai kain adat yang biasa digunakan pada acara-acara adat suku Banjar. Kata sasirangan berasal dari kata menyirang yang berarti menjelujur, karena dikerjakan dengan cara menjelujur kemudian diikat dengan tali raffia dan selanjutnya dicelup, hingga kini sasirangan masih dibuat secara manual.
Menurut sejarahnya, Sasirangan merupakan kain sakral warisan abad XII saat Lambung Mangkurat menjadi patih Negara Dipa. Awalnya sasirangan dikenal sebagai kain untuk “batatamba” atau penyembuhan orang sakit yang harus dipesan khusus terlebih dahulu (pamintaan) sehingga pembutan kain sasirangan seringkali mengikuti kehendak pemesannya. Oleh karena itu, Urang Banjar seringkali menyebut sasirangan kain pamintan yang artinya permintaan. Selain untuk kesembuhan orang yang tertimpa penyakit, kain ini juga merupakan kain sakral, yang biasa dipakai pada upacara-upacara adat.
Seperti halnya kain batik, sasirangan juga mempunyai berbagai macam motif bahkan beberapa diantaranya telah diakui pemerintah melalui Dirjen HAKI Departemen Hukum dan HAM. Motif-motif tersebut antara lain Hiris Pudak (irisan daun pudak), Bayam Raja (daun bayam), kulit karikit(jamur kecil), Ombak Sinapur Karang (ombak menerjang batu karang), bintang bahambur (bintang bertaburan di langit), sarigading, kulit kayu, naga balimbur (ular naga), jajumputan (jumputan), turun dayang (garis-garis), kambang tampuk manggis (bunga buah manggis), daun jaruju (daun tanaman jaruju), kangkung kaombakan(daun kangkung), sisik tanggiling, kambang tanjung (bunga tanjung) dan masih banyak lagi motif-motif lainnya. Sekarang bahkan banyak motif-motif baru yang bermunculan yang membuat kain sasirangan semakin variatif. Bedanya, kain sasirangan tidak dapat diproduksi secara massal seperti kain batik.
Harga kain sasirangan ditentukan oleh jenis kain dan motif kain semakin sulit motif maka semakin mahal juga harganya. Beberapa jenis kain yang biasa digunakan antara lain, santung, katun, sutera, yuyur, dan satin. Untuk kain sutera pun terbagi dalam dua jenis yaitu sutera grand (sutera kelas II) dan sutera super (sutera kelas satu).
Jika sedang melancong ke Banjarmasin jangan lupa untuk berbelanja kain Sasirangan ini. Ada beberapa toko sasirangan yang bisa dikunjungi untuk bisa memperoleh sasirangan yang cantik, coba saja mampir mampir ke Sahabat Sasirangan yang punya beberapa cabang antara lain di Jl. A. Yani, Duta Mall, Banjarbaru dan Kalimantan. Ada satu tips bila berbelanja di Sahabat Sasirangan, jangan terkecoh dengan label harga yang ditempel di kain, karena biasanya kita bisa mendapatkan diskon dari label harga. Tidak jauh dari Sahabat Sasirangan Jl. A. Yani, kita bisa mampir ke Citra Sasirangan yang letaknya jadi satu dengan Citra Pasaraya, disini kita bisa mendapatkan sasirangan cantik dengan harga pas. Ada satu lagi toko sasirangan yang menarik dikunjungi yaitu “Irma Sasirangan” di seberang masjid, toko yang satu ini sudah terkenal seantero banjarmasin karena sering mengikuti pameran ke berbagai daerah bahkan sampai keluar negeri, soal kualitas juga tidak diragukan lagi, berbagai macam variasi sasirangan dapat diperoleh di toko ini antara lain selendang, jilbab, mukena dan lain-lain. Kalo berbelanja ke toko ini jangan lupa minta diskon, karena biasanya penjual akan memberi kita diskon 10%. Lumayan kan… apalagi kalo beli banyak…..
Ada beberapa tips untuk merawat sasirangan, yang pasti pisahkan sasirangan saat kita mencuci untuk pertama kalinya agar kain yang lain tidak kelunturan karena terkadang sasirangan bisa luntur. Jangan jemur sasirangan di bawah sinar matahari langsung agar warnanya tetap awet. Karena kain sasirangan dibuat dengan teknik jelujur, untuk membuat motif biasanya digunakan pensil atau bolpoin, nah untuk menghilangkan bekasnya bisa digunakan jeruk nipis, tapi sebaiknya dicoba pada bagian-bagian yang tidak terlihat lebih dulu, karena ada jenis-jenis kain sensitif.
Kain ini umumnya digunakan sebagai kain adat yang biasa digunakan pada acara-acara adat suku Banjar. Kata sasirangan berasal dari kata menyirang yang berarti menjelujur, karena dikerjakan dengan cara menjelujur kemudian diikat dengan tali raffia dan selanjutnya dicelup, hingga kini sasirangan masih dibuat secara manual.
Menurut sejarahnya, Sasirangan merupakan kain sakral warisan abad XII saat Lambung Mangkurat menjadi patih Negara Dipa. Awalnya sasirangan dikenal sebagai kain untuk “batatamba” atau penyembuhan orang sakit yang harus dipesan khusus terlebih dahulu (pamintaan) sehingga pembutan kain sasirangan seringkali mengikuti kehendak pemesannya. Oleh karena itu, Urang Banjar seringkali menyebut sasirangan kain pamintan yang artinya permintaan. Selain untuk kesembuhan orang yang tertimpa penyakit, kain ini juga merupakan kain sakral, yang biasa dipakai pada upacara-upacara adat.
Seperti halnya kain batik, sasirangan juga mempunyai berbagai macam motif bahkan beberapa diantaranya telah diakui pemerintah melalui Dirjen HAKI Departemen Hukum dan HAM. Motif-motif tersebut antara lain Hiris Pudak (irisan daun pudak), Bayam Raja (daun bayam), kulit karikit(jamur kecil), Ombak Sinapur Karang (ombak menerjang batu karang), bintang bahambur (bintang bertaburan di langit), sarigading, kulit kayu, naga balimbur (ular naga), jajumputan (jumputan), turun dayang (garis-garis), kambang tampuk manggis (bunga buah manggis), daun jaruju (daun tanaman jaruju), kangkung kaombakan(daun kangkung), sisik tanggiling, kambang tanjung (bunga tanjung) dan masih banyak lagi motif-motif lainnya. Sekarang bahkan banyak motif-motif baru yang bermunculan yang membuat kain sasirangan semakin variatif. Bedanya, kain sasirangan tidak dapat diproduksi secara massal seperti kain batik.
Harga kain sasirangan ditentukan oleh jenis kain dan motif kain semakin sulit motif maka semakin mahal juga harganya. Beberapa jenis kain yang biasa digunakan antara lain, santung, katun, sutera, yuyur, dan satin. Untuk kain sutera pun terbagi dalam dua jenis yaitu sutera grand (sutera kelas II) dan sutera super (sutera kelas satu).
Jika sedang melancong ke Banjarmasin jangan lupa untuk berbelanja kain Sasirangan ini. Ada beberapa toko sasirangan yang bisa dikunjungi untuk bisa memperoleh sasirangan yang cantik, coba saja mampir mampir ke Sahabat Sasirangan yang punya beberapa cabang antara lain di Jl. A. Yani, Duta Mall, Banjarbaru dan Kalimantan. Ada satu tips bila berbelanja di Sahabat Sasirangan, jangan terkecoh dengan label harga yang ditempel di kain, karena biasanya kita bisa mendapatkan diskon dari label harga. Tidak jauh dari Sahabat Sasirangan Jl. A. Yani, kita bisa mampir ke Citra Sasirangan yang letaknya jadi satu dengan Citra Pasaraya, disini kita bisa mendapatkan sasirangan cantik dengan harga pas. Ada satu lagi toko sasirangan yang menarik dikunjungi yaitu “Irma Sasirangan” di seberang masjid, toko yang satu ini sudah terkenal seantero banjarmasin karena sering mengikuti pameran ke berbagai daerah bahkan sampai keluar negeri, soal kualitas juga tidak diragukan lagi, berbagai macam variasi sasirangan dapat diperoleh di toko ini antara lain selendang, jilbab, mukena dan lain-lain. Kalo berbelanja ke toko ini jangan lupa minta diskon, karena biasanya penjual akan memberi kita diskon 10%. Lumayan kan… apalagi kalo beli banyak…..
Ada beberapa tips untuk merawat sasirangan, yang pasti pisahkan sasirangan saat kita mencuci untuk pertama kalinya agar kain yang lain tidak kelunturan karena terkadang sasirangan bisa luntur. Jangan jemur sasirangan di bawah sinar matahari langsung agar warnanya tetap awet. Karena kain sasirangan dibuat dengan teknik jelujur, untuk membuat motif biasanya digunakan pensil atau bolpoin, nah untuk menghilangkan bekasnya bisa digunakan jeruk nipis, tapi sebaiknya dicoba pada bagian-bagian yang tidak terlihat lebih dulu, karena ada jenis-jenis kain sensitif.
Kamis, 22 Desember 2011
Geliat Kreasi Baru Tenun Bali
Kain tenun bukan hanya buah keterampilan turun-temurun bagi masyarakat Bali, melainkan juga bentuk identitas kultural dan artefak ritual. Di luar lingkup tradisi masyarakat daerah tujuan wisata itu, kain tenun Bali pun tidak sebatas cendera mata, tetapi terus berkembang sebagai komoditas berbasis budaya.
Desa Sidemen di Kabupaten Karangasem dikenal sebagai salah satu sentra produksi kain tenun di Bali. Menenun kain menjadi aktivitas sehari-hari di hampir semua rumah di desa khas Bali ini.
Kehijauan alami mendominasi pemandangan di Sidemen. Keindahan sawah berundak membuat pelancong tidak terganggu dengan kecuraman tebing yang membatasi jalan-jalan sempit menuju Sidemen, sekitar dua jam perjalanan dari Denpasar.
Di Sidemen, Swastika merupakan salah satu toko dan usaha tenun yang menonjol. Usaha ini dimiliki oleh I Gusti Ayu Oka (50). Tempat usaha ini berupa bangunan tiga lantai yang kokoh, dengan suguhan pemandangan alam memukau yang leluasa dinikmati dari balkon lantai atas.
”Semua orang di desa ini bisa menenun, belajar dari orang tua kami dulu,” ujar Oka. Namun, pada masa lalu sejumlah warga hanya menenun untuk keperluan keluarga sendiri berupacara. Sebagian lagi menenun untuk memenuhi permintaan warga Bali di bagian lain pulau indah ini, juga untuk keperluan upacara.
Dalam penggolongan paling sederhana, terdapat dua jenis kain tenun di Bali. Kain tenun ikat, biasa disebut endek, dipakai sehari-hari. Sementara kain tenun songket digunakan untuk beragam upacara penting dalam siklus kehidupan masyarakat Bali, antara lain upacara potong gigi, perkawinan, hari raya, dan kremasi.
Di Swastika, endek bisa dibeli dengan harga dari Rp 200.000 hingga Rp 1 juta per lembar. Sementara songket produksi Oka dijual dari Rp 1 juta hingga Rp 15 juta per lembar. Waktu pengerjaan setiap helai kain ini juga bervariasi, dari beberapa pekan hingga empat bulanan.
Oka mengatakan, meski sejak kanak-kanak akrab dengan tenunan, ia baru mulai menggeluti usaha ini sejak 1990. ”Sebelumnya saya jualan makanan jajan. Saya usung di atas kepala keliling desa setiap hari,” ujarnya.
Oka mulai dengan mengerjakan sendiri seluruh proses membuat kain tenun. Kini ia mengupah sekitar 50 perajin di desanya. Sebagian besar pembuatan kain tenun itu dikerjakan di masing-masing rumah perajin.
Di rumah para perajin ini, anggota keluarga yang lain juga dapat membantu. Putu Wijaya (11), siswa kelas V SD di Sidemen, misalnya, sudah menguasai teknik ikat. Teknik ini adalah bagian penting dari produksi kain tenun Bali.
Proses menghasilkan sehelai kain tenun ikat akan dimulai dengan memintal benang. Kemudian benang dibentangkan di alat perentang, dan helaiannya diikat dengan tali rafia sesuai pola ragam hias dan warna yang diinginkan.
Setelah pengikatan berpola tersebut, benang dicelup atau diwarnai. Benang yang sudah diwarnai kemudian di-gintir atau dipilah, lalu baru ditenun menjadi kain.
Pada tenun songket, kain ditenun dengan menyisipkan benang perak, emas, tembaga, atau benang warna di atas lungsin yang mendasari. Penempatan tambahan benang ini membentuk corak yang diinginkan dan adakalanya dipadu pula dengan teknik ikat.
Kreasi baru
Bagi kalangan yang ingin menggunakan kain tenun sebagai produk fashion, bukan demi kepentingan upacara, persoalan klasik menyangkut kain ini adalah ketebalan dan kekakuannya. Akibatnya, pada waktu lalu, kain songket tidak mudah digunakan dalam beragam model busana.
Merespons persoalan itu, Cita Tenun Indonesia (CTI) bekerja sama dengan Garuda Indonesia membentuk tim pembinaan perajin tenun di beberapa daerah, termasuk di Bali. Dalam tim ini, antara lain terdapat desainer tekstil, Ratna Panggabean, dan desainer fashion, Priyo Oktaviano.
”Dulu penenun memakai benang rangkap dua. Kain jadi tebal dan kaku. Sekarang kita perkenalkan tenunan dengan benang satu. Pengerjaannya makan waktu dua kali lipat lebih lama. Harga juga jauh lebih mahal, tetapi hasilnya, kain yang halus dan lembut,” ujar Ratna.
Kreasi baru juga diterapkan dalam pengaturan motif, ragam hias ikat dan songket, serta pewarnaan.
”Untuk upacara ritual, corak menjadi sakral kalau sudah diberkati, itu tidak diganggu. Namun, pada dasarnya orang Bali sangat terbuka dengan corak-corak baru yang diambil dari alam di sekitarnya, misal corak bunga dan daun,” ujar Priyo.
Warna dasar tenun bali umumnya warna cerah. Oleh karena itu, dikembangkan pula kreasi warna baru yang lebih natural, warna pastel, dengan bahan pewarnaan alam.
Oka dan para perajin lain yang dibina CTI di Sidemen, antara lain Ni Nyoman Suryasih dan I Wayan Suartana, merasakan bahwa kreasi baru tersebut memperluas pasar kain tenun produksi mereka. ”Selama saya buat tenun, penjualan pada 2010 lalu yang paling melonjak,” ujar Suryasih.
Ridwan Edi, pengelola program tanggung jawab sosial perusahaan Garuda Indonesia yang bekerja sama dengan CTI, menjelaskan, pelatihan dilakukan antara lain dengan memberi ”PR” bagi para perajin untuk membuat kain dengan metode baru pewarnaan, motif, atau teknik penenunan. Bila dikerjakan dengan baik, hasilnya dibeli oleh tim dengan harga tinggi. Sebaliknya, tidak akan dibeli jika tak sesuai pesanan dengan kreasi baru itu.
Setelah teknik dan corak kreasi baru dikuasai, mitra binaan mendapat pinjaman modal untuk mengembangkan usaha. Mitra ini digandeng pula untuk berpameran, bahkan hingga ke luar negeri.
Berpameran tidak hanya dapat mempromosikan karya para perajin, tetapi juga menyadarkan bahwa kreasi adalah proses yang tidak boleh berhenti.
Desa Sidemen di Kabupaten Karangasem dikenal sebagai salah satu sentra produksi kain tenun di Bali. Menenun kain menjadi aktivitas sehari-hari di hampir semua rumah di desa khas Bali ini.
Kehijauan alami mendominasi pemandangan di Sidemen. Keindahan sawah berundak membuat pelancong tidak terganggu dengan kecuraman tebing yang membatasi jalan-jalan sempit menuju Sidemen, sekitar dua jam perjalanan dari Denpasar.
Di Sidemen, Swastika merupakan salah satu toko dan usaha tenun yang menonjol. Usaha ini dimiliki oleh I Gusti Ayu Oka (50). Tempat usaha ini berupa bangunan tiga lantai yang kokoh, dengan suguhan pemandangan alam memukau yang leluasa dinikmati dari balkon lantai atas.
”Semua orang di desa ini bisa menenun, belajar dari orang tua kami dulu,” ujar Oka. Namun, pada masa lalu sejumlah warga hanya menenun untuk keperluan keluarga sendiri berupacara. Sebagian lagi menenun untuk memenuhi permintaan warga Bali di bagian lain pulau indah ini, juga untuk keperluan upacara.
Dalam penggolongan paling sederhana, terdapat dua jenis kain tenun di Bali. Kain tenun ikat, biasa disebut endek, dipakai sehari-hari. Sementara kain tenun songket digunakan untuk beragam upacara penting dalam siklus kehidupan masyarakat Bali, antara lain upacara potong gigi, perkawinan, hari raya, dan kremasi.
Di Swastika, endek bisa dibeli dengan harga dari Rp 200.000 hingga Rp 1 juta per lembar. Sementara songket produksi Oka dijual dari Rp 1 juta hingga Rp 15 juta per lembar. Waktu pengerjaan setiap helai kain ini juga bervariasi, dari beberapa pekan hingga empat bulanan.
Oka mengatakan, meski sejak kanak-kanak akrab dengan tenunan, ia baru mulai menggeluti usaha ini sejak 1990. ”Sebelumnya saya jualan makanan jajan. Saya usung di atas kepala keliling desa setiap hari,” ujarnya.
Oka mulai dengan mengerjakan sendiri seluruh proses membuat kain tenun. Kini ia mengupah sekitar 50 perajin di desanya. Sebagian besar pembuatan kain tenun itu dikerjakan di masing-masing rumah perajin.
Di rumah para perajin ini, anggota keluarga yang lain juga dapat membantu. Putu Wijaya (11), siswa kelas V SD di Sidemen, misalnya, sudah menguasai teknik ikat. Teknik ini adalah bagian penting dari produksi kain tenun Bali.
Proses menghasilkan sehelai kain tenun ikat akan dimulai dengan memintal benang. Kemudian benang dibentangkan di alat perentang, dan helaiannya diikat dengan tali rafia sesuai pola ragam hias dan warna yang diinginkan.
Setelah pengikatan berpola tersebut, benang dicelup atau diwarnai. Benang yang sudah diwarnai kemudian di-gintir atau dipilah, lalu baru ditenun menjadi kain.
Pada tenun songket, kain ditenun dengan menyisipkan benang perak, emas, tembaga, atau benang warna di atas lungsin yang mendasari. Penempatan tambahan benang ini membentuk corak yang diinginkan dan adakalanya dipadu pula dengan teknik ikat.
Kreasi baru
Bagi kalangan yang ingin menggunakan kain tenun sebagai produk fashion, bukan demi kepentingan upacara, persoalan klasik menyangkut kain ini adalah ketebalan dan kekakuannya. Akibatnya, pada waktu lalu, kain songket tidak mudah digunakan dalam beragam model busana.
Merespons persoalan itu, Cita Tenun Indonesia (CTI) bekerja sama dengan Garuda Indonesia membentuk tim pembinaan perajin tenun di beberapa daerah, termasuk di Bali. Dalam tim ini, antara lain terdapat desainer tekstil, Ratna Panggabean, dan desainer fashion, Priyo Oktaviano.
”Dulu penenun memakai benang rangkap dua. Kain jadi tebal dan kaku. Sekarang kita perkenalkan tenunan dengan benang satu. Pengerjaannya makan waktu dua kali lipat lebih lama. Harga juga jauh lebih mahal, tetapi hasilnya, kain yang halus dan lembut,” ujar Ratna.
Kreasi baru juga diterapkan dalam pengaturan motif, ragam hias ikat dan songket, serta pewarnaan.
”Untuk upacara ritual, corak menjadi sakral kalau sudah diberkati, itu tidak diganggu. Namun, pada dasarnya orang Bali sangat terbuka dengan corak-corak baru yang diambil dari alam di sekitarnya, misal corak bunga dan daun,” ujar Priyo.
Warna dasar tenun bali umumnya warna cerah. Oleh karena itu, dikembangkan pula kreasi warna baru yang lebih natural, warna pastel, dengan bahan pewarnaan alam.
Oka dan para perajin lain yang dibina CTI di Sidemen, antara lain Ni Nyoman Suryasih dan I Wayan Suartana, merasakan bahwa kreasi baru tersebut memperluas pasar kain tenun produksi mereka. ”Selama saya buat tenun, penjualan pada 2010 lalu yang paling melonjak,” ujar Suryasih.
Ridwan Edi, pengelola program tanggung jawab sosial perusahaan Garuda Indonesia yang bekerja sama dengan CTI, menjelaskan, pelatihan dilakukan antara lain dengan memberi ”PR” bagi para perajin untuk membuat kain dengan metode baru pewarnaan, motif, atau teknik penenunan. Bila dikerjakan dengan baik, hasilnya dibeli oleh tim dengan harga tinggi. Sebaliknya, tidak akan dibeli jika tak sesuai pesanan dengan kreasi baru itu.
Setelah teknik dan corak kreasi baru dikuasai, mitra binaan mendapat pinjaman modal untuk mengembangkan usaha. Mitra ini digandeng pula untuk berpameran, bahkan hingga ke luar negeri.
Berpameran tidak hanya dapat mempromosikan karya para perajin, tetapi juga menyadarkan bahwa kreasi adalah proses yang tidak boleh berhenti.
Jumat, 18 November 2011
Jenis Tapis Lampung Menurut Asal dan Pemakaiannya
Jenis Tapis Lampung Menurut Asalnya
Beberapa kain tapis yang umum digunakan masyarakat Lampung Pepadun dan Lampung Saibatin adalah :
Tapis Lampung dari Pesisir :
Tapis Inuh Tapis Cucuk Andak Tapis Semaka Tapis Kuning Tapis Cukkil Tapis Jinggu
Tapis lampung dari Pubian Telu Suku :
Tapis Jung Sarat Tapis Balak Tapis Laut Linau Tapis Raja Medal Tapis Pucuk Rebung Tapis Cucuk Handak Tapis Tuho Tapis Sasap Tapis Lawok Silung Tapis Lawok Handak
Tapis Lampung dari Sungkai Way Kanan :
Tapis Jung Sarat Tapis Balak Tapis Pucuk Rebung Tapis Halom/Gabo Tapis Kaca Tapis Kuning Tapis Lawok Halom Tapis Tuha Tapis Raja Medal Tapis Lawok Silung
Tapis Lampung dari Tulang Bawang Mego Pak:
Tapis Dewosano Tapis Limar Sekebar Tapis Ratu Tulang Bawang Tapis Bintang Perak Tapis Limar Tunggal Tapis Sasab Tapis Kilap Turki Tapis Jung Sarat Tapis Kaco Mato di Lem Tapis Kibang Tapis Cukkil Tapis Cucuk Sutero
Tapis Lampung dari Abung Siwo Mego :
Tapis Rajo Tunggal Tapis Lawet Andak Tapis Lawet Silung Tapis Lawet Linau Tapis Jung Sarat Tapis Raja Medal Tapis Nyelem di Laut Timbul di Gunung Tapis Cucuk Andak Tapis Balak Tapis Pucuk Rebung Tapis Cucuk Semako Tapis Tuho Tapis Cucuk Agheng Tapis Gajah Mekhem Tapis Sasap Tapis Kuning Tapis Kaco Tapis Serdadu Baris
Jenis Tapis Lampung Menurut Pemakainnya :
Tapis Jung Sarat
Dipakai oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat. Dapat juga dipakai oleh kelompok isteri kerabat yang lebih tua yang menghadiri upacara mengambil gelar, pengantin serta muli cangget (gadis penari) pada upacara adat.
Tapis Raja Tunggal
Dipakai oleh isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara perkawinan adat, pengambilan gelar pangeran dan sutan.
Di daerah Abung Lampung Utara dipakai oleh gadis-gadis dalam menghadiri upacara adat.
Tapis Raja Medal
Dipakai oleh kelompok isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara adat seperti : mengawinkan anak, pengambilan gelar pangeran dan sutan.
Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini digunakan oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat.
Tapis Laut Andak
Dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada acara adat cangget. Dipakai juga oleh Anak Benulung (isteri adik) sebagai pengiring pada upacara pengambilan gelar sutan serta dipakai juga oleh menantu perempuan pada acara pengambilan gelar sutan.
Tapis Balak
Dipakai oleh kelompok adik perempuan dan kelompok isteri anak seorang yang sedang mengambil gelar pangeran pada upacara pengambilan gelar atau pada upacara mengawinkan anak. Tapis ini dapat juga dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada upacara adat.
Tapis Silung
Dipakai oleh kelompok orang tua yang tergolong kerabat dekat pada upacara adat seperti mengawinkan anak, pengambilan gelar, khitanan dan lain-lain. Dapat juga dipakai pada saat pengarakan pengantin.
Tapis Laut Linau
Dipakai oleh kerabat isteri yang tergolong kerabat jauh dalam menghadiri upacara adat. Dipakai juga oleh para gadis pengiring pengantin pada upacara turun mandi pengantin dan mengambil gelar pangeran serta dikenakan pula oleh gadis penari (muli cangget).
Tapis Pucuk Rebung
Tapis ini dipakai oleh kelompok ibu-ibu/para isteri untuk menghadiri upacara adat.
Di daerah Menggala tapis ini disebut juga tapis balak, dipakai oleh wanita pada saat menghadiri upacara adat.
Tapis Cucuk Andak
Dipakai oleh kelompok isteri keluarga penyimbang (kepala adat/suku) yang sudah bergelar sutan dalam menghadiri upacara perkawinan, pengambilan gelar adat.
Di daerah Lampung Utara tapis ini dipakai oleh pengantin wanita dalam upacara perkawinan adat.
Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini dipakai oleh ibu-ibu pengiring pengantin pada upacara adat perkawinan.
Tapis Limar Sekebar
Tapis ini dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat serta dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin dalam upacara adat.
Tapis Cucuk Pinggir
Dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat dan dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin pada upacara perkawinan adat.
Tapis Tuho
Tapis ini dipakai oleh seorang isteri yang suaminya sedang mengambil gelar sutan. Dipakai juga oleh kelompok orang tua (mepahao) yang sedang mengambil gelar sutan serta dipakai pula oleh isteri sutan dalam menghadiri upacara pengambilan gelar kerabatnya yang dekat.
Tapis Agheng/Areng
Dipakai oleh kelompok isteri yang sudah mendapat gelar sutan (suaminya) pada upacara pengarakan naik pepadun/pengambilan gelar dan dipakai pula oleh pengantin sebagai pakaian sehari-hari.
Tapis Inuh
Kain tapis ini umumnya dipakai pada saat menghadiri upacara-upacara adat. Tapis ini berasal dari daerah Krui, Lampung Barat.
Tapis Dewosano
Di daerah Menggala dan Kota Bumi, kain tapis ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat menghadiri upacara adat.
Tapis Kaca
Tapis ini dipakai oleh wanita-wanita dalam menghadiri upacara adat. Bisa juga dipakai oleh wanita pengiring pengantin pada upacara adat. Tapis ini di daerah Pardasuka Lampung Selatan dipakai oleh laki-laki pada saat upacara adat.
Tapis Bintang
Tapis Bintang ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat upacara adat.
Tapis Bidak Cukkil
Model kain Tapis ini dipakai oleh laki-laki pada saat menghadiri upacara-upacara adat.
Tapis Bintang Perak
Tapis ini dapat dipakai pada upacara-upacara adat dan berasal dari daerah Menggala, Lampung Utara.
Beberapa kain tapis yang umum digunakan masyarakat Lampung Pepadun dan Lampung Saibatin adalah :
Tapis Lampung dari Pesisir :
Tapis Inuh Tapis Cucuk Andak Tapis Semaka Tapis Kuning Tapis Cukkil Tapis Jinggu
Tapis lampung dari Pubian Telu Suku :
Tapis Jung Sarat Tapis Balak Tapis Laut Linau Tapis Raja Medal Tapis Pucuk Rebung Tapis Cucuk Handak Tapis Tuho Tapis Sasap Tapis Lawok Silung Tapis Lawok Handak
Tapis Lampung dari Sungkai Way Kanan :
Tapis Jung Sarat Tapis Balak Tapis Pucuk Rebung Tapis Halom/Gabo Tapis Kaca Tapis Kuning Tapis Lawok Halom Tapis Tuha Tapis Raja Medal Tapis Lawok Silung
Tapis Lampung dari Tulang Bawang Mego Pak:
Tapis Dewosano Tapis Limar Sekebar Tapis Ratu Tulang Bawang Tapis Bintang Perak Tapis Limar Tunggal Tapis Sasab Tapis Kilap Turki Tapis Jung Sarat Tapis Kaco Mato di Lem Tapis Kibang Tapis Cukkil Tapis Cucuk Sutero
Tapis Lampung dari Abung Siwo Mego :
Tapis Rajo Tunggal Tapis Lawet Andak Tapis Lawet Silung Tapis Lawet Linau Tapis Jung Sarat Tapis Raja Medal Tapis Nyelem di Laut Timbul di Gunung Tapis Cucuk Andak Tapis Balak Tapis Pucuk Rebung Tapis Cucuk Semako Tapis Tuho Tapis Cucuk Agheng Tapis Gajah Mekhem Tapis Sasap Tapis Kuning Tapis Kaco Tapis Serdadu Baris
Jenis Tapis Lampung Menurut Pemakainnya :
Tapis Jung Sarat
Dipakai oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat. Dapat juga dipakai oleh kelompok isteri kerabat yang lebih tua yang menghadiri upacara mengambil gelar, pengantin serta muli cangget (gadis penari) pada upacara adat.
Tapis Raja Tunggal
Dipakai oleh isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara perkawinan adat, pengambilan gelar pangeran dan sutan.
Di daerah Abung Lampung Utara dipakai oleh gadis-gadis dalam menghadiri upacara adat.
Tapis Raja Medal
Dipakai oleh kelompok isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara adat seperti : mengawinkan anak, pengambilan gelar pangeran dan sutan.
Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini digunakan oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat.
Tapis Laut Andak
Dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada acara adat cangget. Dipakai juga oleh Anak Benulung (isteri adik) sebagai pengiring pada upacara pengambilan gelar sutan serta dipakai juga oleh menantu perempuan pada acara pengambilan gelar sutan.
Tapis Balak
Dipakai oleh kelompok adik perempuan dan kelompok isteri anak seorang yang sedang mengambil gelar pangeran pada upacara pengambilan gelar atau pada upacara mengawinkan anak. Tapis ini dapat juga dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada upacara adat.
Tapis Silung
Dipakai oleh kelompok orang tua yang tergolong kerabat dekat pada upacara adat seperti mengawinkan anak, pengambilan gelar, khitanan dan lain-lain. Dapat juga dipakai pada saat pengarakan pengantin.
Tapis Laut Linau
Dipakai oleh kerabat isteri yang tergolong kerabat jauh dalam menghadiri upacara adat. Dipakai juga oleh para gadis pengiring pengantin pada upacara turun mandi pengantin dan mengambil gelar pangeran serta dikenakan pula oleh gadis penari (muli cangget).
Tapis Pucuk Rebung
Tapis ini dipakai oleh kelompok ibu-ibu/para isteri untuk menghadiri upacara adat.
Di daerah Menggala tapis ini disebut juga tapis balak, dipakai oleh wanita pada saat menghadiri upacara adat.
Tapis Cucuk Andak
Dipakai oleh kelompok isteri keluarga penyimbang (kepala adat/suku) yang sudah bergelar sutan dalam menghadiri upacara perkawinan, pengambilan gelar adat.
Di daerah Lampung Utara tapis ini dipakai oleh pengantin wanita dalam upacara perkawinan adat.
Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini dipakai oleh ibu-ibu pengiring pengantin pada upacara adat perkawinan.
Tapis Limar Sekebar
Tapis ini dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat serta dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin dalam upacara adat.
Tapis Cucuk Pinggir
Dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat dan dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin pada upacara perkawinan adat.
Tapis Tuho
Tapis ini dipakai oleh seorang isteri yang suaminya sedang mengambil gelar sutan. Dipakai juga oleh kelompok orang tua (mepahao) yang sedang mengambil gelar sutan serta dipakai pula oleh isteri sutan dalam menghadiri upacara pengambilan gelar kerabatnya yang dekat.
Tapis Agheng/Areng
Dipakai oleh kelompok isteri yang sudah mendapat gelar sutan (suaminya) pada upacara pengarakan naik pepadun/pengambilan gelar dan dipakai pula oleh pengantin sebagai pakaian sehari-hari.
Tapis Inuh
Kain tapis ini umumnya dipakai pada saat menghadiri upacara-upacara adat. Tapis ini berasal dari daerah Krui, Lampung Barat.
Tapis Dewosano
Di daerah Menggala dan Kota Bumi, kain tapis ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat menghadiri upacara adat.
Tapis Kaca
Tapis ini dipakai oleh wanita-wanita dalam menghadiri upacara adat. Bisa juga dipakai oleh wanita pengiring pengantin pada upacara adat. Tapis ini di daerah Pardasuka Lampung Selatan dipakai oleh laki-laki pada saat upacara adat.
Tapis Bintang
Tapis Bintang ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat upacara adat.
Tapis Bidak Cukkil
Model kain Tapis ini dipakai oleh laki-laki pada saat menghadiri upacara-upacara adat.
Tapis Bintang Perak
Tapis ini dapat dipakai pada upacara-upacara adat dan berasal dari daerah Menggala, Lampung Utara.
Kamis, 06 Oktober 2011
Sejarah Tenun Tapis Lampung
Kain Tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat.
Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang lampung telah menenun kain Brokat yang disebut Nampan (Tampan) dan kain Pelepai sejak abad II masehi. Motif kain ini ialah kait dan konci (Key and Rhomboid shape), pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh. Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh taradisi Neolithikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.
Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis ini. Walaupun unsur baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan. Adanya komunikasi dan lalu lintas antar kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan jaman bahari sudah mulai berkembang sejak jaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam antara tahun 1500 1700.
Bermula dari latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi seniman pencipta jelas mempengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-ide pada kehidupan sehari-hari yang berlangsung disekitar lingkungan seniman dimana ia tinggal. Penggunaan transportasi pelayaran saat itu dan alam lingkungan laut telah memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal. Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan. Dalam perkembangannya, ternyata tidak semua suku Lampung menggunakan Tapis sebagai sarana perlengkapan hidup. Diketahui suku Lampung yang umum memproduksi dan mengembangkan tenun Tapis adalah suku Lampung yang beradat Pepadun.
Bahan dan Peralatan Tenun Tapis Lampung
Bahan Dasar Tapis Lampung : Kain tapis Lampung yang merupakan kerajinan tenun tradisional masyarakat Lampung ini dibuat dari benang katun dan benang emas. Benang katun adalah benang yang berasal dari bahan kapas dan digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan kain tapis, sedangkan benang emas dipakai untuk membuat ragam hias pada tapis dengan sistim sulam. Pada tahun 1950, para pengrajin tapis masih menggunakan bahan hasil pengolahan sendiri, khususnya untuk bahan tenun. Proses pengolahannya menggunakan sistim ikat, sedangkan penggunaan benang emas telah dikenal sejak lama.
Bahan-bahan baku itu antara lain : • Khambak/kapas digunakan untuk membuat benang. • Kepompong ulat sutera untuk membuat benang sutera. • Pantis/lilin sarang lebah untuk meregangkan benang. • Akar serai wangi untuk pengawet benang. • Daun sirih untuk membuat warna kain tidak luntur. • Buah pinang muda, daun pacar, kulit kayu kejal untuk pewarna merah. • Kulit kayu salam, kulit kayu rambutan untuk pewarna hitam. • Kulit kayu mahoni atau kalit kayu durian untuk pewarna coklat. • Buah deduku atau daun talom untuk pewarna biru. • Kunyit dan kapur sirih untuk pewarna kuning.
Pada saat ini bahan-bahan tersebut diatas sudah jarang digunakan lagi, oleh karena pengganti bahan-bahan diatas tersebut sudah banyak diperdagangkan di pasaran. Peralatan Tenun kain Tapis : Proses pembuatan tenun kain tapis menggunakn peralatan-peralatan sebagai berikut : • Sesang yaitu alat untuk menyusun benang sebelum dipasang pada alat tenun. • Mattakh yaitu alat untuk menenun kain tapis yang terdiri dari bagian
Alat-alat : • Terikan (alat menggulung benang) • Cacap (alat untuk meletakkan alat-alat mettakh) • Belida (alat untuk merapatkan benang) • Kusuran (alat untuk menyusun benang dan memisahkan benang) • Apik (alat untuk menahan rentangan benang dan menggulung hasil tenunan) • Guyun (alat untuk mengatur benang) • Ijan atau Peneken (tunjangan kaki penenun) • Sekeli (alat untuk tempat gulungan benang pakan, yaitu benang yang dimasukkan melintang) • Terupong/Teropong (alat untuk memasukkan benang pakan ke tenunan) • Amben (alat penahan punggung penenun) • Tekang yaitu alat untuk merentangkan kain pada saat menyulam benang emas.
Rabu, 21 September 2011
Mary Hunt Kahlenberg Menduniakan Keindahan Kain Indonesia
Sudah banyak buku ditulis mengenai tekstil Indonesia, tetapi kain Nusantara seperti sihir yang mendorong banyak orang terus menggali dan menuliskan tentangnya. Begitu juga dengan Mary Hunt Kahlenberg.
Dia memilih judul The Mary Hunt Kahlenberg Collection, Five Centuries of Indonesian Textiles (2010), karena di antara kain asli Nusantara koleksinya, terdapat tenun dari abad ke-15. Umumnya kurator dan kolektor kain skeptis terhadap kemampuan kain Nusantara bertahan ratusan tahun, karena dibuat lokal dan dikenakan sehari-hari, kain dapat diganti setiap saat begitu lapuk.
”Banyak orang meragukan kain asli Indonesia dapat bertahan dalam waktu panjang, mengingat udara yang panas dan lembap, serta cara penyimpanannya,” papar Kahlenberg di Museum Tekstil Jakarta, Desember lalu.
Kahlenberg yang tinggal di Santa Fe, AS, datang ke Jakarta bersama suaminya, Robert T Coffland, untuk diskusi buku yang diadakan antara lain oleh Museum Tekstil dan Perhimpunan Wastreprema. Ia merasa tertantang membuktikan usia kain Nusantara dengan lebih akurat. Selain memakai metode sejarah-seni, yaitu membandingkan corak atau tenunan dengan monumen arsitektur dan lukisan manuskrip sezaman, juga dengan uji karbon C-14.
Tahun 2003, ia mengirim contoh benang tenun dari tiga kain koleksinya, masing-masing dari Poso, Sulawesi Tengah; Komering di Sumatera Selatan; dan Timor di NTT, untuk uji karbon di Swiss.
Hasilnya, kain Komering berasal dari tahun 1403-1501 dengan kemungkinan 98,5 persen. Benang lungsi terbuat dari sutra dan benang pakannya katun bercorak ikat pakan cukup rumit. Kain ini juga memakai benang emas di tepinya. Sedangkan kain dari Poso diduga berasal dari tahun 1419-1627 dengan peluang 95 persen, sementara kain dari Timor diperkirakan berasal dari tahun 1419-1520.
”Uji tersebut membuktikan kain Indonesia dapat bertahan melalui waktu karena dijaga sebagai benda berharga milik keluarga. Kualitas kain-kain tersebut masih bagus. Tradisi menjaga kain sebagai benda berharga harus dipertahankan,” paparnya.
Cinta
Pertanyaan yang sering ditujukan kepada Kahlenberg, mengapa mencintai kain, terutama kain Indonesia? Ia bercerita, tumbuh besar dalam keluarga yang mengoleksi aneka pita dan perca kain yang dianyam para perempuan di keluarga besarnya. Hal itu memesona Kahlenberg, apalagi kemudian neneknya memberi pita-pita koleksinya untuk dia.
Tentang kain Indonesia, ia mengaku alasannya tak rasional. Dia jatuh cinta begitu saja saat pertama kali melihat foto kain Indonesia yang dikirim ahli dan penjual kain asal Belanda, Laurens Langewis. Pertengahan tahun 1960-an itu, Kahlenberg adalah kurator Museum Tekstil, Washington, AS. Foto-foto tersebut mendorongnya membaca lebih dalam buku tulisan Langewis dan Frits A Wagner, Decorative Art in Indonesian Textiles (1964). Dia paling tertarik pada tapis Lampung yang belakangan dia tahu bercorak cumi-cumi.
”Saya terpukau kerumitan corak dan kualitas pembuatannya. Juga kain Indonesia lain, seperti teknik rintang warna pada batik dan berbagai teknik tenun. Itu titik balik penting dalam hidup saya. Sayangnya, tak satu pun dari kain yang ditawarkan itu dibeli museum,” kenangnya.
Rasa penasaran Kahlenberg terobati ketika tahun 1969 pindah ke Los Angeles County Museum of Arts (LACMA) dan menjadi kepala bagian kostum dan kain. Dalam posisi itu, dia terbang pertama kali ke Kalimantan pada 1973. Tahun 1977, dia menyelenggarakan pameran ”Textile Traditions of Indonesia” di LACMA dan menjadi pameran besar pertama di AS khusus tentang kain Indonesia.
Selama 35 tahun sesudahnya, ia menjelajahi pulau-pulau Indonesia. Posisi suami pertamanya sebagai diplomat memberinya kesempatan belajar tekstil di Eropa dan mengunjungi museum untuk mempelajari kain Indonesia, sampai sempat terkunci sendirian. ”Saya tak ingin menyebut nama museumnya,” katanya diiringi tawa.
Di Indonesia, Kahlenberg membangun hubungan dengan orang-orang yang dia temui di desa dan kota, serta membentuk pengetahuan tentang lapis-lapis rumit pemahaman masyarakat Indonesia mengenai kehidupan religius dan sejarahnya yang berkaitan dengan fungsi kain dalam kehidupan.
”Bertemu dengan orang-orang yang membuat dan memakai kain itu sangat menarik, cara menenun dan menangani kain, juga detail kehidupan lainnya,” katanya.
Dia menemukan kesamaan dengan pengalamannya masa kecil, yaitu tradisi pembuatan dan perawatan kain diturunkan dari ibu kepada anak perempuan.
Ia berharap masyarakat dapat menjaga kualitas kain Indonesia karena berhubungan erat dengan tradisi yang dihidupi masyarakat sendiri. Terutama kini, ketika kain diperdagangkan dan kualitas ditentukan pembeli. ”Tentu, kain harus berkembang mengikuti perubahan waktu. Tetapi, sebagai pembeli, kita harus berusaha membeli kain yang bagus,” tandasnya.
Mengenalkan Indonesia
Meskipun kini tak terlalu kerap ke Indonesia, dia mengaku terus meriset kain. Bukunya, setebal 398 halaman termasuk indeks, bercerita tentang masyarakat pembuat kain-kain tersebut. Koleksinya lebih berdasar kualitas istimewa kain daripada kumpulan kain karena komunitas pembuatnya.
Melalui koleksi 350 lebih kain dan penjelasan yang ditulis beberapa ahli kain, antara lain Ruth Barnes dan Rens Heringa, pembaca diajak mengenal cara masyarakat Nusantara memandang dunia dalam dan dunia luar, yang bahkan bagi banyak pembaca Indonesia sekali pun merupakan pengetahuan baru.
Sebagai sarjana sejarah seni, Kahlenberg mendekati kain Indonesia melalui kacamata antropologi, seperti umum dilakukan para ahli kain, serta pendekatan seni dan sejarah. ”Menulis dari sisi seni lebih sulit karena menyampaikan apa yang kita rasakan, bagaimana pengaruh emosionalnya ketika kita melihat (kain),” ungkapnya.
Tantangan lain, meyakinkan masyarakat dunia, terutama di Barat, kain Indonesia adalah karya seni, bukan sekadar kriya. Oleh karena itu, dia berusaha membuat buku ini indah. ”Untuk membuat orang membaca dan melihat, lalu berpikir, oh (kain-kain) ini indah,” ungkap Mary Hunt Kahlenberg.
Jumat, 05 Agustus 2011
Kemilau Songket Minang
Kreativitas para perancang busana ternyata identik dengan keberuntungan. Tidak saja keberuntungan secara finansial yang diraih perancang dan perajin, tetapi juga keberuntungan bagi tumbuhnya sebuah kebudayaan. Secara sosial-ekonomi, industri tenun songket merupakan salah satu tulang punggung ekonomi rakyat yang cukup penting. Industri kecil masih tetap bertahan sebagai kegiatan ekonomi rakyat kecil.
Riny Suwardy menciptakan satu kolaborasi rancak dan bagi selembar kain songket Minang menjadi perpaduan yang sejiwa dengan kebaya-kebayanya. Ia tertarik mengangkat songket Minang karena kagum dengan motif-motif yang unik dan bermakna filosofis. Apalagi secara kualitas, menurut penelitian pakar tenun songket dunia dari Swiss, Bernhard Bart, merupakan tenun songket terhalus dan unik di dunia.
”Setelah membandingkan dengan sejumlah songket daerah lain, ternyata songket Minang lebih halus, motifnya beragam dan punya makna filosofis. Punya makna tersirat dan makna tersurat, bahkan makna tersuruk (tersembunyi). Di dalamnya terdapat simbol-simbol ajaran adat Minangkabau,” kata Riny Suwardy.
Motif Bungo Antimun Dalam Songket Minang
Ia mencontohkan, motif bungo antimun . Simbol yang diambil dari tanaman mentimun (Cucumis sativus) bukan saja dari manfaat ataupun dari bentuk fisiknya, melainkan dari cara tumbuhnya yang menjalar atau merambat. Ketika menjalar, tanaman ini selalu menanamkan akar dari tiap ruasnya dan melekatkan akar tersebut pada kayu penopang.
Kata-kata adat mengungkapkan: Bak mantimun marantang tali (Ibarat mentimun merentang tali). Makna tersurat, yaitu mentimun bergerak merambat dengan perhitungan yang matang. Setahap demi setahap ia tanamkan akarnya pada tempat tumbuhnya, ruas demi ruas untuk terus bertumbuh.
Makna tersirat dari sifat ini, yaitu adanya perhitungan yang matang dalam melaksanakan rencana dan menyelesaikan masalah dengan langkah yang sistematis dan mengakar. Dalam kerangka berpikir teoretis demikian pula, gagasan yang diajukan haruslah mempunyai argumentasi yang jelas dengan dalil yang kuat.
”Motif bungo antimun menggambarkan ekspresi jiwa dan pikiran seseorang yang berkembang secara wajar dan bebas, tetapi tetap terikat pada nilai-nilai moral yang berlaku di dalam masyarakat. Bebas tetapi bertanggung jawab,” kata Riny.
Budayawan Edy Utama yang ditemui secara terpisah, awal Juli 2010 di Padang, mengatakan, songket Minang merupakan songket yang paling halus di dunia, serta memiliki motif-motif unik dan cerdas. Di dalam setiap motif mengandung nilai-nilai ajaran adat Minangkabau. Maknanya simbolik.
KebudayaanSongket Minangkabau Mulai Dihargai
Membuat songket membutuhkan ketelitian dan ketekunan. Bahkan, untuk menghasilkan songket yang halus dan berkualitas, kehati-hatian dan ketelitian diperlukan sekali. Jika selama ini warga malas bekerja membuat songket karena persoalan waktu dan kecilnya penghargaan, sejak beberapa tahun terakhir kondisinya berubah.
Di Studio Songket ErikaRianti, Bukittinggi, misalnya, ada tujuh orang yang terampil membuat songket. Sistem yang diterapkan, membuat ketujuh orang itu betah bekerja. ”Pekerja adalah mitra. Mereka harus dihargai secara wajar dan membuat mereka tetap betah,” kata Nanda Wirawan, pimpinan Studio Songket ErikaRianti.
Menurut Sukriyah (23), perempuan lajang yang bekerja di rumah songket, ia tertarik bekerja, selain mengagumi songket Minang, juga karena ia bisa sekaligus belajar banyak hal di Studio Songket. ”Karena songket yang dibuat bukan yang pasaran, tetapi yang sangat bernilai tinggi. Songket lama, berusia ratusan tahun yang dibuat kembali replikanya. Ini sesuatu yang langka dan membanggakan bisa mengerjakannya,” ujarnya.
Soal penghargaan, Sukriyah mengaku lebih baik. Karena selain dapat uang harian (uang makan dan gajian harian) Rp 20.000 per hari, juga ada uang lembur. ”Jika songket selesai dibuat, kami dapat lagi Rp 1 juta sampai Rp 1,8 juta per bulan, tergantung nilai jual songket yang kami buat,” katanya. Kalau ingin cepat selesai, bisa lembur dan juga dibayar.
Di Studio Songket juga ada dua remaja pria lulusan sekolah menengah kejuruan yang bekerja di situ. ”Bisa membuat songket, yang orang lain tak bisa, merupakan suatu kebanggaan. Sembari membuat songket, sekaligus juga belajar bagaimana membuat motif-motif songket lama. Soal penghargaan, dibayar secara profesional dan lumayan besar. Kisarannya Rp 1 juta sampai Rp 3 juta, di luar uang makan dan uang harian yang Rp 20.000 per hari,” kata Dodi (21).
Pendapatan per bulan dari membuat songket bagi Dodi sudah lumayan besar, bisa menutupi kebutuhan sehari-hari dan malah bisa menabung. ”Saya menyenangi pekerjaan ini walau mungkin amat jarang laki-laki yang bekerja membuat songket. Keterampilan yang menuntut keahlian pada dasarnya siapa saja bisa, baik laki-laki maupun wanita,” tambahnya.
Tradisi Menenun Songket Tumbuh Integral Dengan Kebudayaan Minangkabau
Ketua Umum Dewan Kerajinan Nasional Hj Mufidah Jusuf Kalla, yang juga memproduksi songket Minang dengan label ”Rumah Songket”, mengatakan, tradisi menenun songket dalam masyarakat Minangkabau tumbuh dan berkembang bersamaan dengan kebudayaan Minangkabau itu sendiri.
”Itu pula sebabnya fungsi dan kain songket dalam kehidupan masyarakat Minangkabau menjadi bagian yang integral dari kehidupan budayanya. Kain songket merupakan ekspresi budaya Minangkabau yang sekaligus juga menjadi kekuatan sosial ekonomi bagi masyarakat setempat,” katanya.
Sementara Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Sumatera Barat Ny Hj Vita Gamawan Fauzi mengatakan, di Sumbar terdapat sejumlah sentra tenunan songket. Ada sentra yang masih tetap berkembang saat ini dan ada pula yang tidak lagi memproduksi.
Vita menunjuk daerah yang pernah menjadi sentra tenunan songket, seperti Nagari Koto Gadang, Nagari Kubang, Nagari Sungayang, Nagari Pitalah, dan di antara yang masih tetap berkembang antara lain Nagari Pandai Sikek dan Nagari Silungkang.
”Namun, dalam dasawarsa belakangan ini, beberapa nagari di Sumatera Barat juga tumbuh sejumlah sentra industri tenun baru, seperti di Kota Padang, Payakumbuh, Solok, dan beberapa daerah lainnya,” ungkap Ny Hj Vita Gamawan Fauzi
Revitalisasi Songket Minangkabau Yang Merupakan Songket Terbaik Dunia
Peneliti songket asal Swiss, Bernhard Bart, menyebutkan, dari hasil penelitiannya selama 10 tahun di sejumlah negara dan kota-kota penghasil songket di Indonesia, songket Minang merupakan yang terhalus dan sangat kaya dengan motif-motif bermakna simbolik dan filosofis.
”Kalau kita cermati produk-produk budaya Minangkabau yang dihasilkan sekitar 100 tahun lalu, seperti hasil kerajinan songket, memang memperlihatkan Minangkabau memiliki kualitas yang patut dibanggakan. Minangkabau pernah mencapai suatu fase perkembangan yang mampu menciptakan karya budaya yang kualitasnya melewati zaman penciptaannya,” katanya.
Bernhard bekerja sama dengan Studio Songket Erika Rianti, Bukittinggi, sejak 4 tahun terakhir memproduksi songket terhalus dengan motif-motif yang umumnya tidak lagi diproduksi perajin songket lain di sentra-sentra songket di Sumatera Barat.
”Kain songket lama yang punah dan kini diproduksi kembali di dalamnya terdapat sejarah kebudayaan dan kehidupan masyarakat Minangkabau yang begitu menarik. Melalui motifnya yang begitu beragam, terdapat makna dan pesan-pesan adat Minangkabau, yang bersumber dari alam takambang jadi guru. Motif-motif tersebut tergambar dengan kuat, rapi, dan memperlihatkan tingkat kerumitan yang sulit dikerjakan oleh penenun masa kini,” ujar Nanda.
Di Padang, Nina Rianti Alda juga memproduksi kembali songket-songket lama Minangkabau bekerja sama dengan Bernhard. Membandingkan antara songket lama dan yang baru, menurut Nina, perbedaannya terletak pada orientasi di dalam tradisi pembuatan songket itu sendiri.
Menurut Nina, songket lama cenderung berorientasi pada kesadaran nilai dan ekspresi budaya Minangkabau karena di dalamnya ada simbol dari kebudayaan Minangkabau. Sementara pada songket baru, meskipun kesadaran terhadap nilai dan hubungannya dengan simbol serta identitas budaya Minangkabau itu masih ada, secara kualitas tidak lagi bisa dicapai seperti yang ada di dalam songket lama Minangkabau.
Langganan:
Postingan (Atom)