Sebanyak 15 wisatawan asal Amerika Serikat mempelajari sejarah dan teknik pembuatan kain batik tanah liat, satu hasil kerajinan tenun tradisional di Minangkabau (Sumatera Barat).
Wisatawan itu, mempelajarinya di galeri batik tanah liat tradisional Minangkabau di Kota Padang, Kamis (28/8), kata Direktur Biro Perjalanan Wisata "Sumatra and Beyond", Ridwan Tulus
Ia menyebutkan, Ke-15 wisatawan AS itu mempelajari tenun tradisional Minangkabau dalam satu paket wisata "10 days from west to north textile tour Sumatra" digelar "Sumatra and Beyond"di Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Menurut dia, dipilihnya galeri batik tanah liat dalam kunjungan itu, karena hasil tenun tradisional tersebut saat ini sudah sangat langka di dunia, sehingga sangat menarik sebagai objek wisata dan penelitian.
Pada kunjungan itu, para wisatawan akan mengetahui sejarah batik tanah liat dan bagaimana teknik pembuatannya secara tradisional, tambahnya.
Selain mengunjungi batik tanah liat, para wisatawan juga akan melihat dan mempelajari teknik pembuatan kain songket tradisional Canduang, di Kabupaten Agam.
"Kain songket Candung juga, satu hasil tenun terbaik, bahkan seorang peneliti songket asal Swiss, Ben Hard pernah menyebutkan songket tersebut salah satu yang terbaik di dunia," katanya.
Para wisatawan juga akan mengunjungi Museum Adhityawarman Padang dan Pusat Dokumentasi Adat Minangkabau di Padang Panjang, untuk melihat koleksi tekstil adat tradisional Minangkabau, tambah Ridwan Tulus.
Ia mengatakan, bagi "Sumatra and Beyond" kunjungan tersebut membuka peluang menjadikan Sumbar sebagai daerah tujuan wisata dan penelitian kain tenung tradisional dunia
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan
Selasa, 30 April 2013
Selasa, 20 Maret 2012
Kain Tenun Basurek - Bengkulu
Kain besurek adalah salah satu kain batik hasil kerajinan tradisional daerah Bengkulu yang telah diwariskan secara turun – temurun dari generasi ke generasi. Meskipun kain besurek diyakini sebagai hasil budaya fisik masyarakat Melayu Bengkulu, tapi pada motifnya terlihat pengaruh unsur-unsur kebudayaan Islam, yaitu motifnya yang bernuansa kaligrafi Arab. Dalam perkembangan selanjutnya motif-motif tersebut dimodifikasi dengan menambahkan raflesia, bunga kibut.
Motif asli atau dasar kain besurek terdiri dari tujuh motif, antara lain:
1. Motif Kaligrafi Arab, Arti motif kaligrafi Arab artinya motif pada kain besurek berupa tulisan Arab.
2. Rembulan – Kaligrafi Arab, Motif rembulan dipadu dengan kaligrafi Arab menggambarkan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
3. Kaligrafi Arab – Kembang Melati, motif ini selain menunjukkan adanya pengaruh Islam (kaligrafi Arab) juga menggambarkan kehidupan flora. Bunga melati adalati salah satu jenis tanaman yang banyak terdapat serta digunakan di Bengkulu sejak dulu.
4. Kaligrafi Arab – Burung Kuau, lukisan burung kuau dan kaligrafi Arab pada kain besurek menggambarkan kehidupan fauna. Burung kuau adalah hasil ciptaan pengrajin sejak dulu.
5. Pohon Hayat – Burung Kuau – Kaligrafi Arab, kain besurek dengan motif ini bisa dikatakan lebih berkembang dari yang disebutkan sebelumbya, karena terdiri dari tiga jenis motif/gambar. Motif kain ini menggambarkan kehidupan flora, fauna, dan pengaruh Islam.
6. Kaligrafi Arab - Kembang Cengkeh – Kembang Cempaka. Motif ini menggambarkan kehidupan flora dan fauna. Kembang cengkeh dan bunga cempaka adalah jenis tanaman yang banyak terdapat di Bengkulu.
7. Kaligrafi Arab – Relung Paku – Burung Punai. Motif ini menggambarkan kehidupan flora dan fauna. Relung paku adalah jenis tanaman yang banyak dijumpai di Bengkulu pada jaman dahulu. Oleh karena itu tanaman inipun mengilhami para pengrajin kain besurek untuk melukisnya di atas kain.
Minggu, 04 Maret 2012
Tenun Indonesia Dikagumi di Athena
Pesona kain tenun Nusantara dari beberapa daerah di Indonesia turut menyemarakkan resepsi diplomatik di KBRI Athena belum lama ini.
"Sebanyak 50 kain tenun koleksi Ibu Anita Rusdi dan anggota Dharma Wanita KBRI Athena dipamerkan dalam acara itu," ujar Sekretaris Ketiga KBRI Athena Gina Fadilla dalam keterangan pers yang diterima Antara, Kamis (23/9/2010).
Menurut Gina Fadilla, acara resepsi peringatan HUT RI itu dihadiri sekitar 400 orang. Pelaksanaannya sengaja diundur mengingat tanggal 17 Agustus masih dalam suasana puasa Ramadhan dan umumnya pejabat Yunani dan kalangan korps diplomatik banyak yang libur panjang musim panas.
Para undangan umumnya merasa kagum atas dekorasi dan barang kerajinan seni yang dipamerkan, seperti patung burung Jetayu, ukiran, gamelan mini, wayang golek, lukisan yang ditata rapi dan dikombinasikan dengan kain tenun, serta kain batik koleksi pribadi istri Duta Besar RI itu.
Kepala Protokol Negara yang mewakili Pemerintah Yunani menyampaikan kekagumannya atas koleksi yang ditampilkan.
Dubes RI untuk Yunani Ahmad Rusdi mengatakan, penyelenggarakan resepsi ini bertujuan agar para tamu dan relasi dapat merasakan indahnya tatanan dekorasi Wisma Duta bernuansa kerajinan, barang seni, dan budaya Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Acara resepsi itu juga bertujuan agar para tamu undangan dapat mencicipi dan menikmati kuliner khas Nusantara, yang diracik juru masak dari Wisma Duta dan anggota Dharma Wanita dengan bantuan masyarakat Indonesia yang tinggal dan bekerja di Athena.
Rabu, 15 Februari 2012
Kain Balapak Sumatera Barat
Kain balapak atau kain bacatua merupakan kain songket yang berasal dari Pandai Sikek Sumatera Barat. Kalau menyebut Pandai Sikek, tentu ingat songket. Pandai Sikek sudah identik dengan songket. Namun orang Pandai Sikek nya sendiri tidak menyebutnya songket tetapi tenun, sebab yang dimaksud adalah benang katun dan benang mas yang ditenun dengan tangan, diatas alat yang bernama panta sehingga menjadi kain, yang kemudian kita kenal dengan nama kain balapak atau kain bacatua yang dipakai pai baralek, yaitu pada pesta perkawinan. Benang katun dan emas ditenun dengan tangan di atas alat yang disebut panta, menghasilkan kain balapak atau kain bacatua yang dipakai Pai Baralek, yaitu pada pesta perkawinan dan pada setiap upacara adat. Dengan kata-kata adat Minangkabau diabadikan dalam nama-nama motifnya, kain tenun ini merupakan pakaian raja-raja, datuk-datuk dan puti-puti.
Bagi orang Minangkabau, yang menyebut diri mereka sebagai orang yang beradat, kain tenun adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari upacara-upacara adat istiadat, mulai dari yang dipakai sebagai sarung dan selendang, sebagai tingkuluk dan tokah bagi perempuan, dan sebagai sisamping, salempang dan cawek bajambua bagi laki-laki.
Kain tenun juga diberikan sebagai tando pada upacara adat pertunagan dan pada waktu kusuik ka disalasaikan-karuah ka dipajaniah. Selain itu kain-kain tenun yang menjadi koleksi suatu kaum akan dipajang pada seutas tali yang direntangkan diantara tiang-tiang utama rumah yang baru melaksanakan upacara batagak rumah gadang.
Tidak ada sejarah yang pasti tentang kapan tenun songket mulai dikembangkan di Minangkabau atau di Pandai Sikek. Akan tetapi kepandaian menenun tetuntulah sudah dibawa oleh nenek moyang kita bangsa Austronesia atau yang disebut juga Malayo-Polynesia, dari Tanah Asal, ketika terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari daratan Asia ke arah selatan dan tumur beberapa ribu tahun yang lalu, bersamaan dengan segala kepandaian yang esensial untuk kehidupan, seperti kepandaian becocok tanam, kepandaian membuat dan menggunakan alat-alat pertanian dan pertukangan dan senjata, dan sebagainya. Sesuai dengan fitrah manusia, kepandaian dasar pertukangan tentu mengalami pengkayaan estetika sehingga menjadi apa yang sekarang dikenal dengan istilah kerajinan, dan kemudian menjadi seni. Hal ini sejalan dengan perkembangan di bidang ekpresi lainnya seperti seni gerak, seni suara dan seni pementasan. Sebagai warisan demikian, tenun bisa dikatakan sama umurnya dengan stelsel matrilinial orang Minang, terukaan sawah di Luhak nan Tigo, dan budaya lisan Kato Pusako pepatah petitih.
Di sini juga kita menemukan kesamaan rumpun Austronesia pada kain tenun Sumatra pada umumnya dengan seluruh kain tenun Nusantara hingga ke Sumba dan Timor, juga dengan tenunan La Na di Thailand utara dan Laos. Rumpun ini akan memecah nanti di lihat dari segi kahalusan motif setelah masuknya kebudayaan India dan Cina dari utara. Akan tetapi kesamaannya beretahan di segi peralatan tenun dan teknik bertenun.
Beberapa ratus tahun yang lalu, di hulu sungai Batanghari, yang disebut Sungai Dareh, berkembang suatu pemukiman dan pusat perdagangan yang makmur. Penduduk dari daerah yang sekarang disebut Alam Surambi Sungai Pagu, dan dari daerah-daerah yang lebih ke utara lagi, datang ke tempat ini untuk menjual hasil-hasil alam berupa rempah-rempah dan emas. Daerah ini dikunjungi pula oleh pedagang-pedagang yang datang dari seberang laut, dari India dan Cina. Kaum wanita di daerah ini memakai pakaian yang lebih cantik bagi ukuran masa itu, istilah sekarang: lebih fashionable.
Daerah ini kemudian terkenal dengan nama kerajaan Darmasyraya. Inilah cikla-bakal kebudayaan Melayu. Bertahun-tahun daerah ini menjadi titik pertemuan ekonomi dan budaya antara kebudayaan-kebudayan yang sudah lebih kaya dan maju di utara, Cina, Mongol dan India, dengan budaya lokal. Dalam kurun beberapa puluh tahun itu, atau mungkin sampai dua ratus tahun, setalah mengalami pergantian raja-raja dan penguasa, penduduknya menyerap banyak ilmu dan teknologi dari bangsa asing, disamping kemajuan bidang ekonomi dan politik yang memperkaya dan meningkatkan mutu kebudayaan lokal. Diantara kemajuan yang dialami adalah dalam bidang pakaian dan teknik bertenun, beserta pengkayaan corak motif dan bahan-bahan yang dapat dipergunakan.
Kalau sebelumnya, sesuai dengan perkembangan masyarakat, orang membuat pakaian dari benang yang dibuat dari bahan-bahan yang tersedia di tempat pemukiman mereka, seperti serat kulit pohon, dengan perkembangan perdagangan orang-orang India memperkenalkan bahan dari serat kapas dan linen, juga benang yang disalut dengan lempengan emas tipis. Pedagang Cina membawa benang sutra yang berasal dari kepompong ulat sutra, juga benang yang dibungkus dengan emas kertas kemudian dikenal dengan nama emas prada sehingga bisa diperkirakan bahwa pedangang India pun banyak memperdagangkan bahan tersebut.
Pada tahun 1347 Adityawarman memindahkan pusat kerajaan dan kebudayaan Melayu dari Darmasyraya ke Pagaruruyung, dan kawasan di sekitar gunung Merapi dan Gunung Singgalang yang pada waktu itu terdiri dari Luhak nan Tigo dan Rantaunya yang Tujuh Jurai, menjadi terkenal sebagai Alam Minangkabau, dengan beberapa pusat pemerintahan yang tersebar di Pariangan, Sungai Tarok, Limo Kaum, Pagaruryung, Batipuh, Sumanik, Saruaso, Buo, Biaro, Payakumbuh, dan lain-lain.
Alam Minangkabau dengan falsafah alam yang dianut masyrakatnya, alur dan patut serta alam takambang jadi guru, sangat memberi peluang bagi tumbuh dan berkembangya kebudayaan dan kesenian dengan pengkayaan dari unsur-unsur budaya asing. Susunan masyarakat yang bersuku-suku eksogami dan, yang lebih utama lagi, aturan sumando manyumando, telah mengeliminir konflik antar kelompok sehingga kedamaian dapat terwujud dalam jangka waktu yang panjang dan memberi kesempatan bagi anak nagari untuk memperlajari dan memperhalus ilmu-ilmu dan keterampilan termasuk keterampilan bertenun.
Daerah Batipuh, sebagai salah satu pusat pemerintahan, kedudukan Tuan Gadang Batipuh sebagai Harimau Campo Koto Piliang, dapat diduga menjadi salah satu daerah yang amat penting pada masa kejayaan Minangkabau dahulu, bersama daerah-daerah lain yang tersebut diatas. Sejalan dengan keadaan itu, masyarakatnya tentu mandapat kesempatan yang lebih banyak pula untuk melakukan kegiatan ekonomi dan budaya termasuk keterampilan tenun sehingga mutu dan corak kain tenun semakin tinggi dan halus. Gadis-gadis menenun kain sarung dan tingkuluk dengan benang emas untuk dipakai ketika mereka menikah, dan perempuan lainnya menenun kain untuk dijual.
Adat istiadat di Minangkabau mendorong kegiatan bertenun ini lebih jauh lagi karena pada setiap kesempatan upacara adat, kain tenun selalu wajib dipakai dan dihadirkan. Kata-kata adat dinukilkan di dalam nama-nama motif sehingga menjadi buah bibir dan diucapkan setiap saat. Kain tenun menjadi pakaian raja-raja, datuk-datuk dan puti-puti. Dimasa inilah, dimasa kejayaan Turki Usmani dan Asia Tengah, pada puncak kebesaran Dinasti Mongol di India ketika Sultan Akbar, 1556-1605 sangat memajukan seni dan ilmu pengetahuan, pada masa kejayaan Dinasti Ming dan Manchu di Cina: ketika itu pertukaran perdangangan dan budaya sedang sangat pesat dan melibatkan Minangkabau sebagai suatu kawasan yang menjadi lintasan perdagangan dan juga negri yang mempunyai komoditi dagang yang penting yaitu rempah-rempah dan emas, seni menenun kain dangan sutra dan benang emas di Sumatra, bersamaan dengan suji dan sulaman pun mencapai puncak kemajuannya dan menemukan ciri khasnya tersendiri.
Hampir semua pelosok Minangkabau, dari Luhak sampai ke rantau, mempunyai pusat-pusat kerajinan tenun, suji dan sulaman. Masing-masih mengembangkan corak dan ciri-cirinya sendiri, hal yang sangat dikuasai oleh para pedagang barang antik dan kolektor. Beberapa nagari yang terkenal sekali dengan kain tenununya dan sangat produktif pada masa itu adalah Koto Gadang, Sungayang, dan Pitalah di Batipuh, dan nagari yang melanjutkan tradisi warisan menenun hari ini adalah nagari yang termasuk Batipuh Sapuluh Koto juga yaitu Pandai Sikek.
Motif-motif kain tenun Pandai Sikek selalu diambil dari contoh kain-kain tua yang masih tersimpan dengan baik dan sering dipakai sebagai pakain pada upacara-upacara adat dan untuk fungsi lain dalam lingkup upacara adat, misalnya sebagai “tando,” dan juga dipajang atau digelar pada waktu batagak rumah.
Sulit mengatakan siapa yang dapat dikatakan sebagai master tenun hari ini; tetapi diantara ahli tenun yang terkenal pada generasi sebelum kita ada nama-nama Sari Bentan, Namun, Salamah di Baruah; Nuriah, Ipah, Pasah, Nyiah dan Jalisah di Tanjung.
Ada belasan orang master tenun di Pandai Sikek pada zaman itu. Akan tetap kira-kira seratus tahun yang lalu diyakin beberapa wanita Pandai Sikek sangat aktif dibidang usaha dan kerajinan menenuni ini sehingga nama julukan mereka yang terambil dari peralatan tenun lebih dikenal sampai sekarang. Diantaranya, dikenal nama-nama Inyiak Makau di Tanjuang, Inyiak Suri di Koto Tinggi, Inyiak Banang, dan Inyiak Karok.
Rabu, 04 Januari 2012
Tenun Sasirangan
Suku Banjar di Kalimantan Selatan memiliki kain khas yang dikenal dengan nama “Sasirangan”
Kain ini umumnya digunakan sebagai kain adat yang biasa digunakan pada acara-acara adat suku Banjar. Kata sasirangan berasal dari kata menyirang yang berarti menjelujur, karena dikerjakan dengan cara menjelujur kemudian diikat dengan tali raffia dan selanjutnya dicelup, hingga kini sasirangan masih dibuat secara manual.
Menurut sejarahnya, Sasirangan merupakan kain sakral warisan abad XII saat Lambung Mangkurat menjadi patih Negara Dipa. Awalnya sasirangan dikenal sebagai kain untuk “batatamba” atau penyembuhan orang sakit yang harus dipesan khusus terlebih dahulu (pamintaan) sehingga pembutan kain sasirangan seringkali mengikuti kehendak pemesannya. Oleh karena itu, Urang Banjar seringkali menyebut sasirangan kain pamintan yang artinya permintaan. Selain untuk kesembuhan orang yang tertimpa penyakit, kain ini juga merupakan kain sakral, yang biasa dipakai pada upacara-upacara adat.
Seperti halnya kain batik, sasirangan juga mempunyai berbagai macam motif bahkan beberapa diantaranya telah diakui pemerintah melalui Dirjen HAKI Departemen Hukum dan HAM. Motif-motif tersebut antara lain Hiris Pudak (irisan daun pudak), Bayam Raja (daun bayam), kulit karikit(jamur kecil), Ombak Sinapur Karang (ombak menerjang batu karang), bintang bahambur (bintang bertaburan di langit), sarigading, kulit kayu, naga balimbur (ular naga), jajumputan (jumputan), turun dayang (garis-garis), kambang tampuk manggis (bunga buah manggis), daun jaruju (daun tanaman jaruju), kangkung kaombakan(daun kangkung), sisik tanggiling, kambang tanjung (bunga tanjung) dan masih banyak lagi motif-motif lainnya. Sekarang bahkan banyak motif-motif baru yang bermunculan yang membuat kain sasirangan semakin variatif. Bedanya, kain sasirangan tidak dapat diproduksi secara massal seperti kain batik.
Harga kain sasirangan ditentukan oleh jenis kain dan motif kain semakin sulit motif maka semakin mahal juga harganya. Beberapa jenis kain yang biasa digunakan antara lain, santung, katun, sutera, yuyur, dan satin. Untuk kain sutera pun terbagi dalam dua jenis yaitu sutera grand (sutera kelas II) dan sutera super (sutera kelas satu).
Jika sedang melancong ke Banjarmasin jangan lupa untuk berbelanja kain Sasirangan ini. Ada beberapa toko sasirangan yang bisa dikunjungi untuk bisa memperoleh sasirangan yang cantik, coba saja mampir mampir ke Sahabat Sasirangan yang punya beberapa cabang antara lain di Jl. A. Yani, Duta Mall, Banjarbaru dan Kalimantan. Ada satu tips bila berbelanja di Sahabat Sasirangan, jangan terkecoh dengan label harga yang ditempel di kain, karena biasanya kita bisa mendapatkan diskon dari label harga. Tidak jauh dari Sahabat Sasirangan Jl. A. Yani, kita bisa mampir ke Citra Sasirangan yang letaknya jadi satu dengan Citra Pasaraya, disini kita bisa mendapatkan sasirangan cantik dengan harga pas. Ada satu lagi toko sasirangan yang menarik dikunjungi yaitu “Irma Sasirangan” di seberang masjid, toko yang satu ini sudah terkenal seantero banjarmasin karena sering mengikuti pameran ke berbagai daerah bahkan sampai keluar negeri, soal kualitas juga tidak diragukan lagi, berbagai macam variasi sasirangan dapat diperoleh di toko ini antara lain selendang, jilbab, mukena dan lain-lain. Kalo berbelanja ke toko ini jangan lupa minta diskon, karena biasanya penjual akan memberi kita diskon 10%. Lumayan kan… apalagi kalo beli banyak…..
Ada beberapa tips untuk merawat sasirangan, yang pasti pisahkan sasirangan saat kita mencuci untuk pertama kalinya agar kain yang lain tidak kelunturan karena terkadang sasirangan bisa luntur. Jangan jemur sasirangan di bawah sinar matahari langsung agar warnanya tetap awet. Karena kain sasirangan dibuat dengan teknik jelujur, untuk membuat motif biasanya digunakan pensil atau bolpoin, nah untuk menghilangkan bekasnya bisa digunakan jeruk nipis, tapi sebaiknya dicoba pada bagian-bagian yang tidak terlihat lebih dulu, karena ada jenis-jenis kain sensitif.
Kain ini umumnya digunakan sebagai kain adat yang biasa digunakan pada acara-acara adat suku Banjar. Kata sasirangan berasal dari kata menyirang yang berarti menjelujur, karena dikerjakan dengan cara menjelujur kemudian diikat dengan tali raffia dan selanjutnya dicelup, hingga kini sasirangan masih dibuat secara manual.
Menurut sejarahnya, Sasirangan merupakan kain sakral warisan abad XII saat Lambung Mangkurat menjadi patih Negara Dipa. Awalnya sasirangan dikenal sebagai kain untuk “batatamba” atau penyembuhan orang sakit yang harus dipesan khusus terlebih dahulu (pamintaan) sehingga pembutan kain sasirangan seringkali mengikuti kehendak pemesannya. Oleh karena itu, Urang Banjar seringkali menyebut sasirangan kain pamintan yang artinya permintaan. Selain untuk kesembuhan orang yang tertimpa penyakit, kain ini juga merupakan kain sakral, yang biasa dipakai pada upacara-upacara adat.
Seperti halnya kain batik, sasirangan juga mempunyai berbagai macam motif bahkan beberapa diantaranya telah diakui pemerintah melalui Dirjen HAKI Departemen Hukum dan HAM. Motif-motif tersebut antara lain Hiris Pudak (irisan daun pudak), Bayam Raja (daun bayam), kulit karikit(jamur kecil), Ombak Sinapur Karang (ombak menerjang batu karang), bintang bahambur (bintang bertaburan di langit), sarigading, kulit kayu, naga balimbur (ular naga), jajumputan (jumputan), turun dayang (garis-garis), kambang tampuk manggis (bunga buah manggis), daun jaruju (daun tanaman jaruju), kangkung kaombakan(daun kangkung), sisik tanggiling, kambang tanjung (bunga tanjung) dan masih banyak lagi motif-motif lainnya. Sekarang bahkan banyak motif-motif baru yang bermunculan yang membuat kain sasirangan semakin variatif. Bedanya, kain sasirangan tidak dapat diproduksi secara massal seperti kain batik.
Harga kain sasirangan ditentukan oleh jenis kain dan motif kain semakin sulit motif maka semakin mahal juga harganya. Beberapa jenis kain yang biasa digunakan antara lain, santung, katun, sutera, yuyur, dan satin. Untuk kain sutera pun terbagi dalam dua jenis yaitu sutera grand (sutera kelas II) dan sutera super (sutera kelas satu).
Jika sedang melancong ke Banjarmasin jangan lupa untuk berbelanja kain Sasirangan ini. Ada beberapa toko sasirangan yang bisa dikunjungi untuk bisa memperoleh sasirangan yang cantik, coba saja mampir mampir ke Sahabat Sasirangan yang punya beberapa cabang antara lain di Jl. A. Yani, Duta Mall, Banjarbaru dan Kalimantan. Ada satu tips bila berbelanja di Sahabat Sasirangan, jangan terkecoh dengan label harga yang ditempel di kain, karena biasanya kita bisa mendapatkan diskon dari label harga. Tidak jauh dari Sahabat Sasirangan Jl. A. Yani, kita bisa mampir ke Citra Sasirangan yang letaknya jadi satu dengan Citra Pasaraya, disini kita bisa mendapatkan sasirangan cantik dengan harga pas. Ada satu lagi toko sasirangan yang menarik dikunjungi yaitu “Irma Sasirangan” di seberang masjid, toko yang satu ini sudah terkenal seantero banjarmasin karena sering mengikuti pameran ke berbagai daerah bahkan sampai keluar negeri, soal kualitas juga tidak diragukan lagi, berbagai macam variasi sasirangan dapat diperoleh di toko ini antara lain selendang, jilbab, mukena dan lain-lain. Kalo berbelanja ke toko ini jangan lupa minta diskon, karena biasanya penjual akan memberi kita diskon 10%. Lumayan kan… apalagi kalo beli banyak…..
Ada beberapa tips untuk merawat sasirangan, yang pasti pisahkan sasirangan saat kita mencuci untuk pertama kalinya agar kain yang lain tidak kelunturan karena terkadang sasirangan bisa luntur. Jangan jemur sasirangan di bawah sinar matahari langsung agar warnanya tetap awet. Karena kain sasirangan dibuat dengan teknik jelujur, untuk membuat motif biasanya digunakan pensil atau bolpoin, nah untuk menghilangkan bekasnya bisa digunakan jeruk nipis, tapi sebaiknya dicoba pada bagian-bagian yang tidak terlihat lebih dulu, karena ada jenis-jenis kain sensitif.
Kamis, 06 Oktober 2011
Sejarah Tenun Tapis Lampung
Kain Tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat.
Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang lampung telah menenun kain Brokat yang disebut Nampan (Tampan) dan kain Pelepai sejak abad II masehi. Motif kain ini ialah kait dan konci (Key and Rhomboid shape), pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh. Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh taradisi Neolithikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.
Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis ini. Walaupun unsur baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan. Adanya komunikasi dan lalu lintas antar kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan jaman bahari sudah mulai berkembang sejak jaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam antara tahun 1500 1700.
Bermula dari latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi seniman pencipta jelas mempengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-ide pada kehidupan sehari-hari yang berlangsung disekitar lingkungan seniman dimana ia tinggal. Penggunaan transportasi pelayaran saat itu dan alam lingkungan laut telah memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal. Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan. Dalam perkembangannya, ternyata tidak semua suku Lampung menggunakan Tapis sebagai sarana perlengkapan hidup. Diketahui suku Lampung yang umum memproduksi dan mengembangkan tenun Tapis adalah suku Lampung yang beradat Pepadun.
Bahan dan Peralatan Tenun Tapis Lampung
Bahan Dasar Tapis Lampung : Kain tapis Lampung yang merupakan kerajinan tenun tradisional masyarakat Lampung ini dibuat dari benang katun dan benang emas. Benang katun adalah benang yang berasal dari bahan kapas dan digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan kain tapis, sedangkan benang emas dipakai untuk membuat ragam hias pada tapis dengan sistim sulam. Pada tahun 1950, para pengrajin tapis masih menggunakan bahan hasil pengolahan sendiri, khususnya untuk bahan tenun. Proses pengolahannya menggunakan sistim ikat, sedangkan penggunaan benang emas telah dikenal sejak lama.
Bahan-bahan baku itu antara lain : • Khambak/kapas digunakan untuk membuat benang. • Kepompong ulat sutera untuk membuat benang sutera. • Pantis/lilin sarang lebah untuk meregangkan benang. • Akar serai wangi untuk pengawet benang. • Daun sirih untuk membuat warna kain tidak luntur. • Buah pinang muda, daun pacar, kulit kayu kejal untuk pewarna merah. • Kulit kayu salam, kulit kayu rambutan untuk pewarna hitam. • Kulit kayu mahoni atau kalit kayu durian untuk pewarna coklat. • Buah deduku atau daun talom untuk pewarna biru. • Kunyit dan kapur sirih untuk pewarna kuning.
Pada saat ini bahan-bahan tersebut diatas sudah jarang digunakan lagi, oleh karena pengganti bahan-bahan diatas tersebut sudah banyak diperdagangkan di pasaran. Peralatan Tenun kain Tapis : Proses pembuatan tenun kain tapis menggunakn peralatan-peralatan sebagai berikut : • Sesang yaitu alat untuk menyusun benang sebelum dipasang pada alat tenun. • Mattakh yaitu alat untuk menenun kain tapis yang terdiri dari bagian
Alat-alat : • Terikan (alat menggulung benang) • Cacap (alat untuk meletakkan alat-alat mettakh) • Belida (alat untuk merapatkan benang) • Kusuran (alat untuk menyusun benang dan memisahkan benang) • Apik (alat untuk menahan rentangan benang dan menggulung hasil tenunan) • Guyun (alat untuk mengatur benang) • Ijan atau Peneken (tunjangan kaki penenun) • Sekeli (alat untuk tempat gulungan benang pakan, yaitu benang yang dimasukkan melintang) • Terupong/Teropong (alat untuk memasukkan benang pakan ke tenunan) • Amben (alat penahan punggung penenun) • Tekang yaitu alat untuk merentangkan kain pada saat menyulam benang emas.
Rabu, 21 September 2011
Mary Hunt Kahlenberg Menduniakan Keindahan Kain Indonesia
Sudah banyak buku ditulis mengenai tekstil Indonesia, tetapi kain Nusantara seperti sihir yang mendorong banyak orang terus menggali dan menuliskan tentangnya. Begitu juga dengan Mary Hunt Kahlenberg.
Dia memilih judul The Mary Hunt Kahlenberg Collection, Five Centuries of Indonesian Textiles (2010), karena di antara kain asli Nusantara koleksinya, terdapat tenun dari abad ke-15. Umumnya kurator dan kolektor kain skeptis terhadap kemampuan kain Nusantara bertahan ratusan tahun, karena dibuat lokal dan dikenakan sehari-hari, kain dapat diganti setiap saat begitu lapuk.
”Banyak orang meragukan kain asli Indonesia dapat bertahan dalam waktu panjang, mengingat udara yang panas dan lembap, serta cara penyimpanannya,” papar Kahlenberg di Museum Tekstil Jakarta, Desember lalu.
Kahlenberg yang tinggal di Santa Fe, AS, datang ke Jakarta bersama suaminya, Robert T Coffland, untuk diskusi buku yang diadakan antara lain oleh Museum Tekstil dan Perhimpunan Wastreprema. Ia merasa tertantang membuktikan usia kain Nusantara dengan lebih akurat. Selain memakai metode sejarah-seni, yaitu membandingkan corak atau tenunan dengan monumen arsitektur dan lukisan manuskrip sezaman, juga dengan uji karbon C-14.
Tahun 2003, ia mengirim contoh benang tenun dari tiga kain koleksinya, masing-masing dari Poso, Sulawesi Tengah; Komering di Sumatera Selatan; dan Timor di NTT, untuk uji karbon di Swiss.
Hasilnya, kain Komering berasal dari tahun 1403-1501 dengan kemungkinan 98,5 persen. Benang lungsi terbuat dari sutra dan benang pakannya katun bercorak ikat pakan cukup rumit. Kain ini juga memakai benang emas di tepinya. Sedangkan kain dari Poso diduga berasal dari tahun 1419-1627 dengan peluang 95 persen, sementara kain dari Timor diperkirakan berasal dari tahun 1419-1520.
”Uji tersebut membuktikan kain Indonesia dapat bertahan melalui waktu karena dijaga sebagai benda berharga milik keluarga. Kualitas kain-kain tersebut masih bagus. Tradisi menjaga kain sebagai benda berharga harus dipertahankan,” paparnya.
Cinta
Pertanyaan yang sering ditujukan kepada Kahlenberg, mengapa mencintai kain, terutama kain Indonesia? Ia bercerita, tumbuh besar dalam keluarga yang mengoleksi aneka pita dan perca kain yang dianyam para perempuan di keluarga besarnya. Hal itu memesona Kahlenberg, apalagi kemudian neneknya memberi pita-pita koleksinya untuk dia.
Tentang kain Indonesia, ia mengaku alasannya tak rasional. Dia jatuh cinta begitu saja saat pertama kali melihat foto kain Indonesia yang dikirim ahli dan penjual kain asal Belanda, Laurens Langewis. Pertengahan tahun 1960-an itu, Kahlenberg adalah kurator Museum Tekstil, Washington, AS. Foto-foto tersebut mendorongnya membaca lebih dalam buku tulisan Langewis dan Frits A Wagner, Decorative Art in Indonesian Textiles (1964). Dia paling tertarik pada tapis Lampung yang belakangan dia tahu bercorak cumi-cumi.
”Saya terpukau kerumitan corak dan kualitas pembuatannya. Juga kain Indonesia lain, seperti teknik rintang warna pada batik dan berbagai teknik tenun. Itu titik balik penting dalam hidup saya. Sayangnya, tak satu pun dari kain yang ditawarkan itu dibeli museum,” kenangnya.
Rasa penasaran Kahlenberg terobati ketika tahun 1969 pindah ke Los Angeles County Museum of Arts (LACMA) dan menjadi kepala bagian kostum dan kain. Dalam posisi itu, dia terbang pertama kali ke Kalimantan pada 1973. Tahun 1977, dia menyelenggarakan pameran ”Textile Traditions of Indonesia” di LACMA dan menjadi pameran besar pertama di AS khusus tentang kain Indonesia.
Selama 35 tahun sesudahnya, ia menjelajahi pulau-pulau Indonesia. Posisi suami pertamanya sebagai diplomat memberinya kesempatan belajar tekstil di Eropa dan mengunjungi museum untuk mempelajari kain Indonesia, sampai sempat terkunci sendirian. ”Saya tak ingin menyebut nama museumnya,” katanya diiringi tawa.
Di Indonesia, Kahlenberg membangun hubungan dengan orang-orang yang dia temui di desa dan kota, serta membentuk pengetahuan tentang lapis-lapis rumit pemahaman masyarakat Indonesia mengenai kehidupan religius dan sejarahnya yang berkaitan dengan fungsi kain dalam kehidupan.
”Bertemu dengan orang-orang yang membuat dan memakai kain itu sangat menarik, cara menenun dan menangani kain, juga detail kehidupan lainnya,” katanya.
Dia menemukan kesamaan dengan pengalamannya masa kecil, yaitu tradisi pembuatan dan perawatan kain diturunkan dari ibu kepada anak perempuan.
Ia berharap masyarakat dapat menjaga kualitas kain Indonesia karena berhubungan erat dengan tradisi yang dihidupi masyarakat sendiri. Terutama kini, ketika kain diperdagangkan dan kualitas ditentukan pembeli. ”Tentu, kain harus berkembang mengikuti perubahan waktu. Tetapi, sebagai pembeli, kita harus berusaha membeli kain yang bagus,” tandasnya.
Mengenalkan Indonesia
Meskipun kini tak terlalu kerap ke Indonesia, dia mengaku terus meriset kain. Bukunya, setebal 398 halaman termasuk indeks, bercerita tentang masyarakat pembuat kain-kain tersebut. Koleksinya lebih berdasar kualitas istimewa kain daripada kumpulan kain karena komunitas pembuatnya.
Melalui koleksi 350 lebih kain dan penjelasan yang ditulis beberapa ahli kain, antara lain Ruth Barnes dan Rens Heringa, pembaca diajak mengenal cara masyarakat Nusantara memandang dunia dalam dan dunia luar, yang bahkan bagi banyak pembaca Indonesia sekali pun merupakan pengetahuan baru.
Sebagai sarjana sejarah seni, Kahlenberg mendekati kain Indonesia melalui kacamata antropologi, seperti umum dilakukan para ahli kain, serta pendekatan seni dan sejarah. ”Menulis dari sisi seni lebih sulit karena menyampaikan apa yang kita rasakan, bagaimana pengaruh emosionalnya ketika kita melihat (kain),” ungkapnya.
Tantangan lain, meyakinkan masyarakat dunia, terutama di Barat, kain Indonesia adalah karya seni, bukan sekadar kriya. Oleh karena itu, dia berusaha membuat buku ini indah. ”Untuk membuat orang membaca dan melihat, lalu berpikir, oh (kain-kain) ini indah,” ungkap Mary Hunt Kahlenberg.
Kamis, 21 Juli 2011
Tenun Songket Palembang (Sumatera Selatan)
1. Asal Usul
Palembang adalah ibukota provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Di daerah ini ada sebuah kerajinan tenun yang biasa disebut “Tenun/siwet Songket Palembang”. Songket adalah kain tenun yang dibuat dengan teknik menambah benang pakan sebagai hiasan dengan menyisipkan benang perak, emas atau benang warna di atas benang lungsin. Kata “songket” itu sendiri berasal dari kata “tusuk” dan“cukit” yang diakronimkan menjadi “sukit”, kemudian berubah menjadi “sungki”, dan akhirnya menjadi “songket”.
Konon, tenunan dari daerah Palembang sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Teknologi pembuatannya sebenarnya bukan murni berasal dari daerah tersebut, melainkan dari China, India dan Arab. Adanya perdagangan antara bangsa-bangsa tersebut dengan Kerajaan Sriwijaya menyebabkan terjadinya akulturasi, yaitu saling menyerap unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan lainnya. Dan, salah satu unsur kebudayaan dari bangsa-bangsa asing yang telah diserap oleh masyarakat Palembang adalah teknologi pembuatan kain tenun yang hingga kini masih dilakukan oleh sebagian masyarakatnya.
Kain tenun songket Palembang banyak dipakai oleh kaum perempuan dalam upacara adat perkawinan, baik oleh mempelai perempuan, penari perempuan maupun tamu undangan perempuan yang menghadirinya. Selain itu, songket juga dipakai dalam acara-acara resmi penyambutan tamu (pejabat) dari luar maupun dari Palembang sendiri. Pemakaian songket yang hanya terbatas pada peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan tertentu tersebut disebabkan karena songket merupakan jenis pakaian yang tinggi nilainya, sangat dihargai oleh masyarakat Palembang.
Pada zaman dahulu (Kerajaan Sriwijaya) kain tenun songket Palembang tidak hanya diperdagangkan di daerah sekitarnya (di Pulau Sumatera saja), melainkan juga ke luar negeri, seperti: Tiongkok, Siam, India dan Arab. Namun, pada saat penjajahan Belanda dan Jepang, tenun songket tersebut mengalami kemunduran. Bahkan, saat terjadinya Revolusi fisik (1945--1950) kerajinan tenun songket di Palembang sempat terhenti karena tidak adanya bahan baku. Namun, di permulaan tahun 1960-an tenun songket Palembang mengalami kemajuan yang pesat karena pemerintah menyediakan dan mendatangkan bahan baku serta membantu pemasarannya.
Pengerjaan kain tenun di Palembang umumnya dikerjakan secara “sambilan” oleh gadis-gadis remaja yang menjelang berumah tangga dan ibu-ibu yang sudah lanjut usia sambil menunggu waktu menunaikan ibadah sholat. Pada umumnya pembuatan songket dikerjakan oleh kaum perempuan.
Dewasa ini pengrajin tenun songket Palembang tidak hanya memproduksi satu jenis songket tertentu, seperti sarung dan atau kain. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, sudah merambah ke produk jenis lain, seperti: gambar dinding, taplak meja, permadani bergambar, baju wanita, sprey,baju kursi, bantal permadani, selendang, serber, kain lap dapur, sapu tangan, bahan kemeja, dantussor (bahan tenun diagonal).
2. Peralatan dan Bahan
Peralatan tenun songket Palembang pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua, yakni peralatan pokok dan tambahan. Keduanya terbuat dari kayu dan bambu. Peralatan pokok adalah seperangkat alat tenun itu sendiri yang oleh mereka disebut sebagai “dayan”. Seperangkat alat yang berukuran 2 x 1,5 meter ini terdiri atas gulungan/boom (suatu alat yang digunakan untuk menggulung benang dasar tenunan), penyincing (suatu alat yang digunakan untuk merentang dan memperoleh benang tenunan),beliro (suatu alat yang digunakan untuk membuat motif songket), cahcah (suatu alat yang digunakan untuk memasukkan benang lain ke benang dasar), dan gun (suatu alat untuk mengangkat benang). Sedangkan, peralatan tambahan untuk mengatur posisi benang ketika sedang ditenun adalah peleting, gala, belero ragam, dan teropong palet. Peralatan tambahan tersebut diletakkan di sebelah kanan si penenun, agar mudah dicapai dengan tangan.
Bahan dasar kain tenun songket adalah benang tenun yang disebut lusi atau lungsin. Benang lungsinterbuat dari kapas, kulit kayu, serat pisang, serat nenas, dan daun palem. Sedangkan, hiasannya terdiri dari benang sutera dan benang emas2. Benang sutera berasal dari Taiwan dan China, sedangkan benang emas berasal dari India, Jepang, Thailand, Jerman dan Perancis. Selain benang, ada pula barang yang harus diimpor dari Jerman dan Inggris yaitu bahan pewarna benang.
Cara membuat benang lungsin dilakukan dengan menggunakan pemberat yang diputar dengan jari tangan. Pemberat tersebut berbentuk seperti gasing dan terbuat dari kayu atau terakota. Cara lain yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia bagian Barat (Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok) adalah dengan menggunakan antih (alat yang terdiri dari sebuah roda lebar yang bisa diputar berikut pengaitnya untuk memutar roda tersebut). Sedangkan, untuk memperoleh warna tertentu3, benang yang akan diwarnai itu direndam dalam sabun selama kurang lebih 14 menit.
Maksudnya adalah agar benang tersebut hilang zat minyaknya. Setelah itu, baru dicelup dengan warna yang diinginkan, lalu dijemur. Selanjutnya, setelah kering, benang tersebut dikelos (digulung). Setelah itu, penganian, yaitu menyiapkan jumlah helai benang yang akan ditenun sesuai dengan jenis dan atau bentuk songket yang akan dibuat. Namun, dewasa ini hanya sebagian yang masih melakukannya. Sebagian lainnya langsung membeli benang-warna yang telah diproduksi oleh suatu pabrik di Indonesia atau yang diimpor dari India, Cina, Jepang atau Thailand.
Maksudnya adalah agar benang tersebut hilang zat minyaknya. Setelah itu, baru dicelup dengan warna yang diinginkan, lalu dijemur. Selanjutnya, setelah kering, benang tersebut dikelos (digulung). Setelah itu, penganian, yaitu menyiapkan jumlah helai benang yang akan ditenun sesuai dengan jenis dan atau bentuk songket yang akan dibuat. Namun, dewasa ini hanya sebagian yang masih melakukannya. Sebagian lainnya langsung membeli benang-warna yang telah diproduksi oleh suatu pabrik di Indonesia atau yang diimpor dari India, Cina, Jepang atau Thailand.
3. Teknik Pembuatan Tenun Songket
Pembuatan tenun songket Palembang pada dasarnya dilakukan dalam dua tahap, yaitu: tahap menenun kain dasar dengan konstruksi tenunan rata atau polos dan tahap menenun bagian ragam hias yang merupakan bagian tambahan dari benang pakan. Masyarakat Amerika dan Eropa menyebut cara menenun seperti ini sebagai “inlay weaving system”.
a. Tahap Menenun Kain Dasar
Dalam tahap ini yang ingin dihasilkan adalah hasil tenunan yang rata dan polos. Untuk itu, langkah pertama yang dilakukan adalah benang yang sudah dikani, salah satu ujungnya direntangkan di atas meja. Sedangkan, ujung lainnya dimasukkan kedalam lubang suri (sisir). Pengisian benang ini diatur sedemikian rupa sehingga sekitar 25 buah lubang suri, setiap lubangnya dapat memuat 4 helai benang. Hal ini dimaksudkan untuk membuat pinggiran kain. Sedangkan, lubang-lubang yang lain, setiap lubangnya diisi dengan 2 helai benang.
Setelah benang dimasukkan ke dalam suri dan disusun sedemikian rupa (rata), maka barulah benang digulung dengan boom yang terbuat dari kayu. Pekerjaan ini dinamakan menyajin atau mensayinbenang. Setelah itu, pemasangan dua buah gun atau alat pengangkat benang yang tempatnya dekat dengan sisir. Sesuai dengan apa yang dilakukan, pekerjaan ini disebut sebagai “pemasangan gunpenyenyit”. Selanjutnya, dengan posisi duduk, penenun mulai menggerakkan dayan dengan menginjaksalah satu pedal untuk memisahkan benang sedemikian rupa, sehingga benang yang digulung dapat dimasukkan dengan mudah, baik dari arah kiri ke kanan (melewati seluruh bidang dayan) maupun dari kanan ke kiri (secara bergantian). Benang yang posisinya melintang itu ketika dirapatkan dengandayan yang ber-suri akan membentuk kain dasar.
b. Tahap Pembuatan Ragam Hias
Setelah kain dasar terwujud, maka tahap berikutnya (tahap yang kedua) adalah pembuatan ragam hias. Dalam tahap ini kain dasar yang masih polos itu dihiasi dengan benang emas atau sutera dengan teknik pakan tambahan atau suplementary weft. Caranya agak rumit karena untuk memasukkannya ke dalam kain dasar harus melalui perhitungan yang teliti. Dalam hal ini bagian-bagian kain dipasangi gun kembang agar benang emas atau sutera dapat dimasukkan, sehingga terbentuk sebuah motif. Konon, pekerjaan ini memakan waktu yang cukup lama karena benang emas atau sutera itu harus dihitung satu-persatu dari pinggir kanan kain hingga pinggir kiri menurut hitungan tertentu, sesuai dengan contoh motif yang akan dibuat. Selanjutnya, benang tersebut dirapatkan satu demi satu, sehingga membentuk ragam hias yang diinginkan.
Lama dan tidaknya pembuatan suatu tenun songket, selain bergantung pada jenis tenunan yang dibuat dan ukurannya, juga kehalusan dan kerumitan motif songketnya. Semakin halus dan rumit motif songketnya, akan semakin lama pengerjaannya. Pembuatan sarung dan atau kain misalnya, bisa memerlukan waktu kurang lebih dua hingga enam bulan. Bahkan, seringkali lebih dari enam bulan karena setiap harinya seorang pengrajin rata-rata hanya dapat menyelesaikan kain sepanjang 5--10 sentimeter.
4. Motif Ragam Hias Tenun Songket Palembang
Kekayaan alam Palembang sangat mempengaruhi terciptanya ragam hias dengan pola-pola yang mengagumkan. Sekali pun ragam hiasnya tercipta dari alat yang sederhana, namun tenunannya merupakan karya seni yang amat tinggi nilainya. Jadi, songket bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa penenunnya. Motif-motif ragam songket Palembang pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yaitu: motif tumbuh-tumbuhan (terutama bentuk stilisasi bunga-bungaan), motif geometris dan motif campuran antara tumbuh-tumbuhan dan geometris.
Motif-motif tersebut dari dahulu hingga sekarang diwariskan secara turun-temurun, sehingga polanya tidak berubah, karena cara memola motif itu sendiri hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, dan tidak setiap penenun dapat membuat motif sendiri. Orang yang menenun tinggal melaksanakan pola yang telah ditentukan. Jadi, kerajinan menenun merupakan suatu pekerjaan yang sifatnya kolektif. Sebagai catatan, para penenun di Palembang seluruhnya dilakukan oleh kaum perempuan baik tua maupun muda. Keahlian menenun tersebut pada umumnya diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi lainnya.
Beberapa nama ragam hias atau motif tenun songket Palembang antara lain adalah: lepus piham,lepus polos, lepus puler lurus, lepus puler ombak-ombak, lepus bintang, lepus naga besaung, lepus bungo jatuh, lepus berantai, lepus lemas kandang, tetes meder, bungo cino, bungo melati, bungo inten, bungo pacik, bungo suku hijau, bungo bertabur, bungo mawar, biji pare, jando berhias, limas berantai, dasar limai,pucuk rebung, tigo negeri dan emas jantung
Selain sebagai sesuatu yang berfungsi memperindah tenunan (songket), ragam hias juga mempunyai makna. Salah satu contohnya adalah bentuk ragam hias yang tekenal yaitu “naga besaung” (naga bertarung). Dalam hal ini naga dianggap sebagai binatang yang melambangkan kemakmuran dan kejayaan. Orang yang memakai tenun songket motif nago besaung tentulah mengharapkan akan mendapatkan kemakmuran dan kejayaan dalam hidupnya. Motif ini diambil dari salah satu unsur kebudayaan Cina yang menganggap naga sebagai suatu hewan mitologi yang dapat mendatangkan kemakmuran dan kajayaan. Sebagai catatan, pada zaman dahulu kerajaan Sriwijaya banyak didatangi orang-orang asing dari Cina, India dan lain sebagainya untuk berdagang. Contoh yang lain adalah motif pucuk rebung dan bunga-bungaan (cengkeh, tanjung, melati, dan mawar).
Rebung dianggap sebagai tumbuhan yang sejak kecil dapat digunakan untuk bahan sayuran. Ketika telah tumbuh besar dan menjadi bambu pun masih tetap berguna, yaitu sebagai bahan bangunan dan lain sebagainya. Orang yang memakai motif ini tentulah diharapkan akan berguna pula bagi masyarakatnya (seperti bambu yang sangat berguna bagi manusia). Sedangkan, bunga-bungaan melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki dan kebaikan.
Rebung dianggap sebagai tumbuhan yang sejak kecil dapat digunakan untuk bahan sayuran. Ketika telah tumbuh besar dan menjadi bambu pun masih tetap berguna, yaitu sebagai bahan bangunan dan lain sebagainya. Orang yang memakai motif ini tentulah diharapkan akan berguna pula bagi masyarakatnya (seperti bambu yang sangat berguna bagi manusia). Sedangkan, bunga-bungaan melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki dan kebaikan.
5. Nilai Budaya
Tenun Songket Palembang, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: kesakralan, keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.
Nilai kesakralan tercermin dari pemakaiannya yang umumnya hanya mengenakannya pada peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan upacara, seperti perkawinan, upacara menjemput tamu dan lain sebagainya. Nilai keindahan tercermin dari motif ragam hiasnya yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah tenun songket yang indah dan sarat makna.
Rabu, 20 Juli 2011
Songket, dari Mana Asalmu?
APA ITU SONGKET?
Songket adalah sebutan untuk kain tenun yang dibuat dengan teknik menambah benang pakan sebagai hiasan, yaitu dengan menyisipkan benang emas, perak, atau warna di atas benang lungsin. Songket merupakan kerajinan tradisional khas masyarakat di hampir seluruh penjuru Sumatra, mulai dari Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Lampung, hingga Riau. Perajin songket kebanyakan kaum wanita.
Untuk songket Palembang, pembuatannya dilakukan dengan dua tahap, yaitu pertama menenun kain dasar dengan konstruksi tenunan rata atau polos dan tahap selanjutnya menenun bagian ragam hias yang merupakan bagian tambahan dari benang pakan. Orang Eropa dan Amerika menyebut cara menenun ini sebagai inlay weaving system.
MOTIF HIAS SONGKET
Motif hias songket biasanya berbentuk geometris atau mengambil bentuk flora dan fauna, yang masing-masing mempunyai arti perlambangan yang baik. Misalnya, bunga cengkih, bunga tanjung, bunga melati, dan bunga mawar yang melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki, dan segala kebaikan. Motif-motif itu, antara lain lepus, jando beraes, bunga inten, tretes midar, pulir biru, kembang suku hijau, bungo cino, dan bungo pacik.
Motif-motif ragam songket Palembang umumnya terdiri dari tiga bagian, yaitu: motif tumbuh-tumbuhan (terutama bentuk bunga-bungaan), motif geometris, dan motif campuran antara tumbuh-tumbuhan dan geometris.
Motif-motif tersebut dari dahulu hingga sekarang diwariskan turun-temurun. Polanya tidak berubah, karena cara memola motif itu sendiri hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, dan tidak setiap penenun dapat membuat motif sendiri.
Orang yang menenun tinggal melaksanakan pola yang telah ditentukan. Jadi, kerajinan menenun merupakan suatu pekerjaan yang sifatnya kolektif. Sebagai catatan, para penenun di Palembang seluruhnya dilakukan oleh kaum wanita, baik tua maupun muda.
DULU, HANYA UNTUK BANGSAWAN
Dari segi sejarah, songket dulunya hanya dipakai oleh golongan bangsawan. Makin halus tenunan, makin rumit corak songketnya, dan makin berat songketnya (menandakan bahwa songket tersebut dibuat dari benang emas asli) berarti makin tinggi pangkat dan kedudukan orang yang mengenakannya.
Sejarah dari mana datangnya kain songket sebetulnya tidak dapat dipastikan dengan tepat. Namun, asal-usul kata songket boleh dibilang berasal dari kata ‘menyungkit’ dalam bahasa Siam.
AKULTURASI DENGAN BUDAYA CINA
Berdasarkan kajian sejarah, motif kain songket Palembang dikenal pertama kali melalui penemuan arca di Candi Bumiayu, Muara Enim, Sumatra Selatan. Temuan itu diperkirakan berasal dari abad ke-11 hingga ke-12.
Ketika ditemukan, ada dua macam motif kain songket yang digunakan di arca tersebut. Hasil tinjauan sejarah juga menunjukkan bahwa keberadaan kain songket ini terpengaruh oleh kebudayaan bangsa Cina. Kajian tersebut diperkuat melalui keberadaan warna dan motif songket yang ada kemiripannya dengan kain-kain dari Cina. Pada era kerajaan sampai kesultanan, keberadaan kain songket ini terkait dengan status sosial. Hak pemakaiannya juga sangat terbatas, terutama bagi raja, sultan, dan anggota keluarganya. Kaum awam sulit memiliki, apalagi memakainya.
PATEN UNTUK 25 MOTIF SONGKET
Demi mendapatkan perlindungan sekaligus menghargai kreativitas dan warisan budaya, pemerintah Kota Palembang mendaftarkan 25 motif kain songket ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Motif-motif tersebut antara lain nago besaung, lepus bintang berakit, tigo negeri betabur intan, tigo negeri cantik manis, dan limar cempuk. Selain itu, ternyata masih ada sekitar 100 motif songket tradisional lagi yang masih harus didata dan didaftar.
MENYIMPAN SONGKET
Karena terbuat dari jalinan benang-benang yang disungkit, songket sebaiknya disimpan tidak dengan cara dilipat, melainkan digulung dan diletakkan di atas permukaan yang datar. Begitu juga dengan busana dari songket. Gantungkan pada gantungan baju dan jangan dilipat.
KAMPOENG SONGKET BNI DI MUARA PENIMBUNG
Beberapa mannequin dengan balutan busana dari songket Palembang terlihat di dalam rumah limas khas Sumatra Selatan. Busana-busana apik tersebut karya desainer papan atas: Hutama Adi, Deden Siswanto, dan Chossy Latu. Tampak juga lounge chair dengan upholstery songket blongsor hijau karya Ary Juwono dan table runner karya Agam Riyadi.
BNI yang berkolaborasi dengan Cita Tenun Indonesia memang ingin menjadikan Desa Muara Penimbung, Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatra Selatan, ini sebagai Kampoeng BNI yang merupakan sentra tenun Indonesia dan diresmikan oleh Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Perekonomian RI, Februari lalu. Lewat bantuan kredit lunak kepada sekitar 100 perajin, diagendakan juga pelatihan untuk desain ragam motif, teknik celup, pewarnaan, dan teknik penenunan.
Lebih jauh lagi, seperti halnya di Thailand dan Jepang, diharapkan nantinya di desa ini wisatawan bisa melihat potensi wisata daerah sekaligus berbelanja di tempat tersebut.
Dari banyak motif songket Sumatra Selatan, ditampilkan dua jenis songket terbaik yang membutuhkan waktu penyelesaian 3 - 6 bulan untuk setiap helai kainnya. Songket tersebut adalah Songket Tawur dengan motif tunggal yang letaknya menyebar, dan Songket Lepus yang bermotif penuh hingga hampir menutupi seluruh permukaan kain. Craftmanship yang sulit ditandingi negeri lain!
Songket adalah sebutan untuk kain tenun yang dibuat dengan teknik menambah benang pakan sebagai hiasan, yaitu dengan menyisipkan benang emas, perak, atau warna di atas benang lungsin. Songket merupakan kerajinan tradisional khas masyarakat di hampir seluruh penjuru Sumatra, mulai dari Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Lampung, hingga Riau. Perajin songket kebanyakan kaum wanita.
Untuk songket Palembang, pembuatannya dilakukan dengan dua tahap, yaitu pertama menenun kain dasar dengan konstruksi tenunan rata atau polos dan tahap selanjutnya menenun bagian ragam hias yang merupakan bagian tambahan dari benang pakan. Orang Eropa dan Amerika menyebut cara menenun ini sebagai inlay weaving system.
MOTIF HIAS SONGKET
Motif hias songket biasanya berbentuk geometris atau mengambil bentuk flora dan fauna, yang masing-masing mempunyai arti perlambangan yang baik. Misalnya, bunga cengkih, bunga tanjung, bunga melati, dan bunga mawar yang melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki, dan segala kebaikan. Motif-motif itu, antara lain lepus, jando beraes, bunga inten, tretes midar, pulir biru, kembang suku hijau, bungo cino, dan bungo pacik.
Motif-motif ragam songket Palembang umumnya terdiri dari tiga bagian, yaitu: motif tumbuh-tumbuhan (terutama bentuk bunga-bungaan), motif geometris, dan motif campuran antara tumbuh-tumbuhan dan geometris.
Motif-motif tersebut dari dahulu hingga sekarang diwariskan turun-temurun. Polanya tidak berubah, karena cara memola motif itu sendiri hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, dan tidak setiap penenun dapat membuat motif sendiri.
Orang yang menenun tinggal melaksanakan pola yang telah ditentukan. Jadi, kerajinan menenun merupakan suatu pekerjaan yang sifatnya kolektif. Sebagai catatan, para penenun di Palembang seluruhnya dilakukan oleh kaum wanita, baik tua maupun muda.
DULU, HANYA UNTUK BANGSAWAN
Dari segi sejarah, songket dulunya hanya dipakai oleh golongan bangsawan. Makin halus tenunan, makin rumit corak songketnya, dan makin berat songketnya (menandakan bahwa songket tersebut dibuat dari benang emas asli) berarti makin tinggi pangkat dan kedudukan orang yang mengenakannya.
Sejarah dari mana datangnya kain songket sebetulnya tidak dapat dipastikan dengan tepat. Namun, asal-usul kata songket boleh dibilang berasal dari kata ‘menyungkit’ dalam bahasa Siam.
AKULTURASI DENGAN BUDAYA CINA
Berdasarkan kajian sejarah, motif kain songket Palembang dikenal pertama kali melalui penemuan arca di Candi Bumiayu, Muara Enim, Sumatra Selatan. Temuan itu diperkirakan berasal dari abad ke-11 hingga ke-12.
Ketika ditemukan, ada dua macam motif kain songket yang digunakan di arca tersebut. Hasil tinjauan sejarah juga menunjukkan bahwa keberadaan kain songket ini terpengaruh oleh kebudayaan bangsa Cina. Kajian tersebut diperkuat melalui keberadaan warna dan motif songket yang ada kemiripannya dengan kain-kain dari Cina. Pada era kerajaan sampai kesultanan, keberadaan kain songket ini terkait dengan status sosial. Hak pemakaiannya juga sangat terbatas, terutama bagi raja, sultan, dan anggota keluarganya. Kaum awam sulit memiliki, apalagi memakainya.
PATEN UNTUK 25 MOTIF SONGKET
Demi mendapatkan perlindungan sekaligus menghargai kreativitas dan warisan budaya, pemerintah Kota Palembang mendaftarkan 25 motif kain songket ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Motif-motif tersebut antara lain nago besaung, lepus bintang berakit, tigo negeri betabur intan, tigo negeri cantik manis, dan limar cempuk. Selain itu, ternyata masih ada sekitar 100 motif songket tradisional lagi yang masih harus didata dan didaftar.
MENYIMPAN SONGKET
Karena terbuat dari jalinan benang-benang yang disungkit, songket sebaiknya disimpan tidak dengan cara dilipat, melainkan digulung dan diletakkan di atas permukaan yang datar. Begitu juga dengan busana dari songket. Gantungkan pada gantungan baju dan jangan dilipat.
KAMPOENG SONGKET BNI DI MUARA PENIMBUNG
Beberapa mannequin dengan balutan busana dari songket Palembang terlihat di dalam rumah limas khas Sumatra Selatan. Busana-busana apik tersebut karya desainer papan atas: Hutama Adi, Deden Siswanto, dan Chossy Latu. Tampak juga lounge chair dengan upholstery songket blongsor hijau karya Ary Juwono dan table runner karya Agam Riyadi.
BNI yang berkolaborasi dengan Cita Tenun Indonesia memang ingin menjadikan Desa Muara Penimbung, Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatra Selatan, ini sebagai Kampoeng BNI yang merupakan sentra tenun Indonesia dan diresmikan oleh Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Perekonomian RI, Februari lalu. Lewat bantuan kredit lunak kepada sekitar 100 perajin, diagendakan juga pelatihan untuk desain ragam motif, teknik celup, pewarnaan, dan teknik penenunan.
Lebih jauh lagi, seperti halnya di Thailand dan Jepang, diharapkan nantinya di desa ini wisatawan bisa melihat potensi wisata daerah sekaligus berbelanja di tempat tersebut.
Dari banyak motif songket Sumatra Selatan, ditampilkan dua jenis songket terbaik yang membutuhkan waktu penyelesaian 3 - 6 bulan untuk setiap helai kainnya. Songket tersebut adalah Songket Tawur dengan motif tunggal yang letaknya menyebar, dan Songket Lepus yang bermotif penuh hingga hampir menutupi seluruh permukaan kain. Craftmanship yang sulit ditandingi negeri lain!
Langganan:
Postingan (Atom)