Selasa, 30 April 2013

Tenun Songket Akan Didaftarkan ke UNESCO

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu menyatakan akan segera mendaftarkan tenun songket sebagai warisan budaya layaknya batik ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

"Memang ada keinginan untuk didaftarkan seperti halnya batik dan kami akan melakukannya," kata Mari di Palembang, Sumatera Selatan.

Menurut Mari, tidak mudah untuk mendaftarkan songket sebagai warisan budaya ke UNESCO karena memerlukan proses yang detail, termasuk dalam hal verifikasi dan pembuktian. Oleh karena itu, katanya, harus disiapkan data pendukung yang lengkap agar proses pembuktiannya tidak memerlukan waktu yang terlalu lama.

"Ini sebenarnya tugas kita bersama karena setelah misalnya diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia seperti batik, tugas kita tidak berhenti sampai di situ saja," katanya.


Ia menambahkan, tenun songket harus dilestarikan dalam berbagai cara sekaligus menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari alias living culture dan living tradition. Hal itu, kata Mari, kalau disadari bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan karena songket benar-benar harus dimasyarakatkan.

Pada dasarnya tradisi tenun songket telah diratifikasi Konvensi UNESCO pada 2003 dalam hal kualitas sumber daya manusia yang bergerak di dalamnya sekaligus pengetahuan tentang songket. Berlanjut pada Konvensi UNESCO 2005 diratifikasi pula tenun songket dalam hal pemanfaatan karyanya.

Salah satu perajin songket ternama asli Palembang, Zainal Arifin, yang juga pemilik brand Zainal Songket, pada kesempatan yang sama menyatakan diri siap membantu pemerintah memberikan bukti-bukti songket milik Indonesia asli agar diakui sebagai warisan budaya oleh UNESCO layaknya batik.

"Saya siap memberikan bukti-bukti yang diperlukan," kata pria yang keluarganya secara turun-temurun telah menekuni songket sejak 1974.

Tenun Unggan Sijunjung yang Makin Bersinar

Dari berbagai pilihan kain tradisional Indonesia, tak hanya batik yang mampu menyihir para desainer untuk berlomba mengolahnya menjadi busana yang indah. Perancang Samuel Wattimena ternyata juga tertarik untuk mengolah kain tenun khas Sumatera Barat. "Kain yang digunakan adalah kain khas dari nagari sijunjung yang indah," ungkap Samuel, ketika ditemui sesaat setelah fashion show-nya, "Pagelaran tenun unggan Sumatera Barat Kabupaten Sijunjung" di KOI Cafe, Kemang, Jakarta Selatan,

Sumatera Barat merupakan sentra kain nusantara yang memiliki berbagai teknik dalam pembuatan tenun, bordir, sulam, tarik benang, dan songket. "Kekuatan inilah yang akhirnya dikembangkan untuk mempertahankan ciri khas dari suatu daerah, sekaligus meningkatkan perekonomian di daerahnya," ungkap Yuswir Arifin, Bupati Sijunjung, Sumatera Barat, dalam acara yang sama.

Fashion show ini bertujuan untuk mensosialisasikan jenis motif baru dari kain tenun unggan sijunjung, yaitu unggan seribu bukit. Unggan seribu bukit ini memiliki filosofi antara lain kekompakan dalam kerjasama, kegigihan dalam berusaha, keinginan untuk maju, dan sukses bersama. "Sebelum fashion show ini, kami terlebih dahulu melakukan pelatihan kepada penenun agar menghasilkan karya yang lebih baik lagi dan berstandar nasional," tambah Samuel.

Dalam acara ini Samuel ingin memperkenalkan kreasi busana dari tenun unggan yang ditujukan bagi kaum muda, sehingga koleksi busananya bernuansa muda. Ada sekitar 22 busana untuk perempuan dan laki-laki berwarna cerah yang ditampilkan Samuel dalam pagelaran ini. Lucunya, warna khas Sumatera Barat, merah, tak banyak ditampilkan. Hal ini sengaja dilakukan Samuel untuk menghilangkan kesan Minang yang terlalu lekat dengan warna terang, sehingga bisa lebih mudah digunakan dan dipadupadankan. "Ini juga merupakan sebuah simbol untuk pembauran budaya melalui warna," bebernya.

Seluruh koleksinya merupakan koleksi busana siap pakai yang terlihat sangat elegan dan unik dalam setiap siluet busananya. Motif-motif berbentuk bintang kecil yang ditenun dalam ukuran yang kecil dan tersebar pada seluruh bagian kain terlihat sangat unik dan indah. "Bahan yang digunakan antara lain, linen, katun, sampai sutera," tukas Samuel.

Perancang kelahiran Jakarta, 25 November 1960 ini juga bereksplorasi dalam memadukan berbagai kain tenun dengan kain lainnya, antara lain kain bordir Tasikmalaya, lurik Solo, sampai batik Solo.

Sammy banyak menunjukkan kreasi kain tenun yang fleksibel untuk digunakan dalam berbagai kesempatan, seperti acara formal, santai, sampai busana muslim. Dalam koleksi busana formal, busana Sammy lebih banyak didominasi oleh warna-warna yang sedikit lebih gelap seperti ungu, abu-abu, sampai fuchsia. Busana formalnya banyak menampilkan potongan blazer panjang dengan kerah modifikasi lebar dan tambahan kain lilit panjang yang menjuntai indah. Selain itu, busana formal juga tampil dalam potongan busana kerah shanghai berwarna coklat dengan rok A-line berwarna coklat mengkilat.

Sedangkan koleksi busana santai Sammy banyak dipenuhi dengan mini dress bermotif tanpa lengan, bolero berbentuk balon dengan kerah berbentuk V, dan aksen draperi yang penuh dan besar. Selain dipenuhi dengan koleksi gaun pendek dengan aksen draperi di bagian pundak dan leher, beberapa busana santai terlihat mengadaptasi siluet kebaya bali dengan tambahan ikatan kain warna senada yang lebih panjang dan berumbai.

Busana muslim juga dihadirkan dalam pagelaran ini. Busana gamis lengkap dengan aksen motif tenun unggan seribu bukit, serta blazer panjang yang dipadukan dengan celana panjang dan kerudung juga terlihat sangat serasi dalam balutan kain tenun ini.

Sammy mengaku sampai sekarang ia belum akan menjual koleksi busananya. Ia ingin mengadakan roadshow terlebih dulu ke sejumlah kota di Sumatera Barat untuk lebih mendekatkan potensi daerah dengan masyarakatnya secara langsung.

29 Songket Palembang Jadi Warisan Budaya

Sebanyak 22 motif tenun songket Palembang di tetapkan sebagai warisan budaya rakyat Palembang, Sumatera Selatan. Sebanyak 49 motif tradisional lainnya tengah dalam proses.

Pengajuan pengakuan sebagai warisan budaya ini dilakukan untuk melindungi kekhasan seni dan budaya Palembang. Motif-motif tersebut memperoleh pengakuan sebagai warisan budaya rakyat (folklore ) Palembang dari Kementerian Hukum dan HAM.

Beberapa di antaranya adalah motif bungo intan, lepus pulir, paku berkait, limar berantai, dan nampan emas.

Kepala Bidang Pembinaan Industri Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Palembang, Rosidi Ali, mengatakan, pengajuan sebagai warisan budaya masyarakat tersebut dilakukan sejak tahun 2004.

Motif-motif tersebut merupakan hasil pengembangan masyarakat Palembang sejak ratusan tahun lalu.

"Totalnya ada 71 motif tenun songket yang telah kami ajukan untuk memperoleh pengakuan. Jumlahya masih mungkin bertambah lagi di masa mendatang," katanya di Palembang, Sumatera Selatan.

Menurut Rosidi, pengakuan secara hukum ini penting untuk menjaga kekhasan budaya Palembang dan melindungi melindungi industri kecil yang bergerak di bidang songket . Adanya pengakuan secara hukum salah satunya akan mencegah klaim dari pihak lain.

Saat ini, sebanyak 49 motif lain masih dalam proses pengakuan tersebut. Di antaranya motif bungo ayam, semanggi, jupri, maskot, dan dua warna bunga kayu apui.

Selain di Sumatera Selatan, tenun songket juga berkembang di hampir semua daerah di Sumatera, namun dengan motif yang berbeda-beda.

Industri kecil kerajinan tenun songket Palembang terus mengalami pertumbuhan . Menurut data Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Palembang, saat ini tercatat sekitar 150 pemilik usaha kerajinan tenun songket di Palembang.

Masing-masing pemilik usaha mempunyai perajin upahan rata-rata 5-10 orang. Perajin upahan ini umumnya ibu-ibu rumah tangga di sekitar pemilik usaha songket.

Budayawan dan pemerhati Songket Sumatera Selatan, Ali Hanafiah, mengatakan, pertumbuhan kerajinan songket didukung oleh masih tingginya minat masyarakat Sumatera Selatan terhadap kain songket.

Hal ini didorong pula dengan berkembangnya kain-kain songket dengan harga relatif murah sehingga terjangkau oleh masyarakat banyak. Di masa lalu, kata Ali, kain songket biasanya dihiasi dengan serat emas asli dan digunakan sebagai lambang status sosial bangsawan Kesultanan Palembang.

"Harga kain songket pun menjadi sangat mahal sehingga hanya bisa dimiliki kalangan berada. Tapi sekarang berbeda. Sudah ada pergeseran budaya, sehingga songket bisa juga dimiliki masyarakat umum," ucapnya.

Perajin dan desainer songket asal Palembang, Zainal Abidin, mengatakan, pengakuan terhadap motif-motif tenun songket Palembang tersebut akan memperkuat posisi pengrajin dan pengusaha songket dari klaim dari negara lain.

Tanpa ada perlindungan seperti ini, motif tenun songket Palembang dapat dibuat dan diklaim di negara-negara lain. "Bisa-bisa kita sendiri kalah denan mereka karena modal mereka biasanya besar," tuturnya.

Saat ini, jumlah perajin di Zainal Songket sekitar 150 orang. Selain di Palembang, Zainal juga telah membuka gerai di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia. Promosi tenun songket Palembang juga telah dilakukan di sejumlah negara seperti Malaysia, Paris, Jepang, negara-negara tetangga, dan negara-negara Timur Tengah.

Songket Diupayakan Sepopuler Batik

Kain songket asal Palembang saat ini sedang diupayakan agar dapat populer dan dikenal masyarakat di seluruh tanah air layaknya batik.

"Kami selalu mengharapkan songket dapat seperti batik yang dikenal oleh seluruh masyarakat di Indonesia," kata Pengurus Bidang Tenun Yayasan Az-Zahra, Farida Siregar, di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan, ada lebih dari 1.000 motif songket khas Palembang yang potensial untuk dikembangkan sebagai sumber inspirasi dalam dunia mode.

Farida mencontohkan beberapa motif songket khas Palembang di antaranya Bungo Tanjung, Nago Besaung, Bungo Melati, Nampan Perak, Pacar Cina, Tetes Mider, Tiga Negri, Jando Beraes, dan Bungu Pacik.

"Namun dari sisi harga kami akui songket memang masih sangat mahal karena proses pembuatannya rumit dan lama," katanya.

Sampai saat ini harga songket berkualitas masih berkisar Rp4 juta lebih, bahkan ada yang harganya mencapai Rp70 juta/lembar.

Hal itu karena kain songket belum diproduksi secara masal di samping juga harga bahan baku (benang) yang mahal. "Kami akan berupaya mencari bahan baku yang lebih murah agar songket dapat diproduksi secara masal sehingga harganya lebih terjangkau," katanya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar, dalam kesempatan yang sama mengatakan, upaya menasionalisasikan songket sejalan dengan program pemerintah.

"Pemerintah sedang mengembangkan gerakan nasional mengenakan baju tradisi misalnya tenun, batik, songket, dan jumputan," katanya.

Ia menambahkan, saat ini diperbolehkan dalam pertemuan resmi untuk mengenakan pakaian tradisional di samping mengenakan jas atau blazer.

Oleh karena itu, pihaknya siap mendukung sosialisasi songket dalam berbagai event di antaranya pameran budaya agar masyarakat semakin tergerak untuk mengenakan songket layaknya batik.

Mengenalkan Tenun Hingga ke Arab dan India

Apakah Anda sepakat bahwa kain Indonesia banyak yang indah dan menyimpan nilai-nilai bagus, namun belum banyak terekspos atau pun tergali? Jika ya, berarti Anda sepakat dengan niat yayasan Cita Tenun Indonesia memperkenalkan tenun Indonesia ke Arab dan India.

Cita Tenun Indonesia, merupakan wadah para pencinta tenun Indonesia untuk berbagi rasa kecintaan terhadap tenunan, baik dalam bentuk menjaga, mengembangkan, dan memasarkannya ke manca negara dan dalam negeri.

Pada bulan April lalu, Cita Tenun Indonesia berpartisipasi dalam kegiatan yang dilangsungkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Perusahaan Gas Negara (PGN) yang bertajuk "Indonesian Heritage: Remarkable Indonesia". Program malam kultur tersebut dilangsungkan di dua lokasi, yakni Dubai, Uni Emirat Arab dan Mumbai, India.

Keterlibatan Cita Tenun Indonesia pada acara tersebut, menurut Okke Hatta Rajasa, ketua Cita Tenun Indonesia, "Merupakan upaya kami untuk memperkenalkan, sekaligus memproteksi tenun Indonesia. Kan, supaya orang-orang tahu, bahwa barang tersebut adalah milik kita, harus diperkenalkan dulu."

Di acara tersebut, CTI mengajak dua perancang kenamaan Indonesia, Denny Wirawan dan Chossy Lattu untuk memamerkan hasil rancangan mereka yang menggunakan kain-kain tenunan Indonesia. Denny Wirawan diberikan mandat untuk mengulik tenun Sulawesi Tenggara daratan dan kepulauan Wakatomi dengan pewarnaan air garam. Sementara Chossy Latu, diberi tugas mengembangkan tenunan Sumatera Selatan.

Okke menjelaskan, bahwa hasil tenunan Indonesia mendapatkan respon yang luar biasa. "India juga memiliki kain yang dibuat dengan cara yang serupa dengan tenun Indonesia. Namun, di sana menggunakan benang yang di dalamnya terbuat dari bahan polyester kemudian ditutup dengan katun. Namun, sayangnya, karena itu, mudah menyusut dan rusak. Sementara, bahan benang yang kita gunakan semuanya terbuat dari katun, sehingga lebih kuat dan tak mudah rusak. Hal-hal semacam ini yang membuat tenunan kita lebih unggul."

"Sambutan dari India menyatakan, bahwa mereka tak menyangka ada tekstil lain yang menarik dari Indonesia selain batik. Di sana tidak ada penjualan, tapi kami mengejar awareness. Sambutannya pun sangat baik, dan banyak peliputan dari media-media di India untuk hal ini," terang Chossy.

Table Fashion ala Ghea Panggabean

Indonesia memiliki ribuan kepulauan, banyak yang bisa digali kebudayaan pada masing-masing daerah. Saya sejak remaja, jatuh cinta pada kecantikan dan inspirasi gayahippie, yang banyak warna dan loose. Saya mendapatinya di kain khas Palembang," terang Ghea Panggabean saat peluncuran koleksi tableware Pelangi Palembang, di Alun-Alun Grand Indonesia Shopping Town, beberapa waktu lalu.

Peluncuran Tea Set Collection dan Table Setting for Breakfast, Lunch, dan Dinner ini merupakan salah satu momen yang ditunggu Ghea untuk menandai hal tersebut.

Saat acara fashion week yang digelar di akhir tahun lalu, Ghea sempat mengutarakan keinginannya untuk kembali mengangkat hal yang menjadi kegemarannya sejak lama dan yang pertama kali ia angkat ketika meyakini diri untuk menjadi desainer, yakni busana ala hippie dan berwarna ceria. Kini ia menuangkannya dalam perangkat makan dan minuman.

Lewat koleksi perangkat makan dan minum ini, Ghea bermaksud untuk melestarikan kebudayaan Indonesia melalui sesuatu yang berbeda. Ghea menuturkan, koleksinya ini membutuhkan waktu pengerjaan hingga 1 tahun.

"Biasanya, desainer perangkat makan hanya menawarkan desain generik, seperti buah-buahan, binatang, dan sebagainya. Tapi, kami ingin mengangkat desainer-desainer lokal. Saat ini kami bekerja sama dengan Ibu Ghea, dan karena ia memiliki nama besar, harapannya koleksi dan budaya Indonesia juga bisa ikut terangkat," terang James de Rave, direktur Kedaung Group yang memproduksi tableware ini di acara yang sama.

James juga menjelaskan, bahwa untuk menciptakan koleksi tableware ini, khususnya untuk perangkat high tea, diperlukan upaya yang cukup rumit. Karena dari tekstil tak bisa langsung diaplikasikan pada perangkat porselen, harus lewat proses tertentu agar bisa menciptakan perangkat yang cerah, menarik, tapi tidak beracun. Pasalnya, cat yang digunakan untuk membuat porselen tersebut memiliki corak dan motif mengandung lead dan cadmium yang tak baik untuk kesehatan. Tak hanya itu, "Ibu Ghea sangat presisi dengan warna. Ia ingin warna yang tepat. Warna yang paling sulit didapat adalah koleksi yang warna hijau. Karena warna hijau sulit untuk bisa digabung warna merah tua di pinggirannya. Tapi saat berhasil didapatkan, Ibu Ghea gembira sekali," cerita James.

Khusus untuk perangkat high tea, Ghea membuat tidak hanya 1 warna, tapi 5 warna dengan motif yang sama. Di dalam koleksi tersebut, terdapat warna marun, terakota, hijau, oranye, dan ungu. Koleksi tersebut sengaja dibuat seperti itu, inspirasinya datang dari kebiasaan ibu Ghea. Di masa kecil, Ghea sering memerhatikan kebiasaan ibunya yang mengoleksi perangkat minum teh. Koleksi perangkat minum teh yang dimiliki ibunya tidak selalu seragam, kadang berbeda bentuk dan berbeda warna. Sehingga saat disajikan kepada tamu, cangkirnya berbeda-beda. "Mungkin maksudnya supaya tidak tertukar," seloroh Ghea. Warna yang berbeda-beda tapi motif yang serupa akan makin marak ketika dihidangkan kepada tamu.

Selain perangkat minum teh, untuk koleksi Pelangi Palembang, Ghea juga mendesain teko, piring kue, piring makan, piring susun, mangkuk, dan lainnya. Tertarik? Segera kunjungi Alun-Alun atau gerai Kedaung, karena koleksi ini sangat terbatas. "Kami hanya membuat koleksi ini mulai dari 200-1000 pieces, sehingga menjadikan koleksi Pelangi Palembang collectible items" terang James. Untuk harga, koleksi untuk 4 cangkir dan tatakannya dipasarkan dengan harga Rp 495.000.

Baju Bodo dan Songket dengan "Modern Twist"

Hampir setiap manusia memiliki khayalannya sendiri. Hidup di negeri dongeng dengan segala keindahan dan kenikmatan hidup adalah salah satunya. Ada yang berusaha mewujudkan negeri dongeng dalam khayalannya ke dalam kehidupan nyata, ada pula yang mendiamkan negeri dongeng itu tetap bersarang di benak. Hengky Kawilarang adalah satu yang berusaha mewujudkan negeri dongengnya menjadi nyata.

Di Jakarta Fashion and Food Festival 2011, Hengky mewujudkan negeri dongeng dalam fashion show-nya yang bertema "My Fairy Tale". "Saya terinspirasi ketika berkunjung ke berbagai pelosok Indonesia, dan menemukan batik, songket, dan pecinan Indonesia yang beragam. Lalu saya mulai merancang songket dan batik. Melalui koleksi saya kali ini, saya ingin menunjukkan bagaimana mengenakan batik dengan modern style," ungkap Hengky dalampress conference di Harris Hotel Jakarta.

Untuk peragaan busana tunggalnya yang pertama ini, Hengky mempersembahkan 60 koleksi yang terbagi dalam tiga bagian: Oriental, The Indonesian Culture, dan Le Couture. Koleksi The Oriental yang mengeksplorasi kain etnik dengan warna-warna lembut yang modern didedikasikannya untuk pelanggan orientalnya. Koleksinya terinspirasi dari baju cheong-sam dan busana Eropa yang begitu mewah, dikombinasikan dengan kain batik pesisir dan tenun garut.

The Indonesian Culture terinspirasi dari kebaya kurung dan baju bodo. Koleksi ini menampilkan berbagai kain songket Palembang, songket Bali, dan sutera Makassar dengan permainan warna yang cerah. Le Couture terinspirasi dari gaun pengantin dan kebaya yang telah dirancang untuk pelanggannya. Koleksinya mengeksplorasi keindahan batik white on whitedan songket emas Palembang, kain tenun Garut, dan jumputan Palembang, dalam konsep busana pengantin internasional.

"Garis rancangan saya mengedepankan keindahan, romantisme, dan kemewahan. Keindahan diwujudkan dalam gaya yang penuh dengan kualitas tinggi. Romantisme digambarkan melalui warna-warna indah yang menciptakan detail unik dan feminin. Sentuhan kemewahan terwujud dengan aplikasi kristal, payet, bebatuan, dan logam," katanya.

Warna-warna yang dipilih tidak lagi pucat seperti ciri khas Hengky selama ini. Pada peragaan kali ini Hengky banyak bermain dengan warna-warna pastel dan warna-warna cerah hingga penggunaan warna shocking pink yang sangat berani. Warna-warna pastel yang lembut dipadukan dengan aksen berkilau pada dada dan pinggang banyak ditemukan pada koleksinya. Ada pula blazer dari kain songket warna pink, serta blazer panjang dari kain songket yang melengkapi dress pendek.

Beberapa gaun rancangannya menampilkan gradasi warna hijau, kuning, dan biru. Ada pula motif kain batik yang dimasukkan pada bagian dada dan bagian bawah gaun, sedangkan gaunnya sendiri berwarna pastel polos.

Untuk gaun pengantin, Hengky mencoba mengombinasikan busana pengantin dari China dengan Jawa, serta Sumatera dengan gaun internasional. Ia mencoba mengakomodasi kain etnik kontemporer pada koleksinya. Bentuk gaunnya didominasi oleh bagian bawah gaun yang mekar mulai ujung lutut dengan aksen batik atau bunga. Sedangkan bagian atas gaunnya ada yang berbentuk kemben maupun one shoulder.

Kain Tenun Silungkang

Tenun atau menenun adalah proses pembuatan kain dengan anyaman benang pakan antara benang lungsi dengan menggunakan alat tenun yang terbuat dari kayu, tongkat, bambu dan logam. Dari proses ini akan diproduksi menenun kain dan songket. Songket merupakan salah satu produk tenunan Minangkabau yang terkenal oleh masyarakat dan memiliki kualitas tinggi, bukan hanya karena keindahan kilau benang emas dalam berbagai motif yang unik tetapi juga karena fungsi sosial sebagai alat kelengkapan kostum tradisional. Songket berasal dari sungkit atau leverage yang cara untuk menambah benang pakan dan benang emas dalam berbagai pembuatan menghiasi dilakukan dengan menyulam benang lungsi. Bahan yang digunakan untuk tenun benang dari kapas, serat, sutra dan benang Macau (benang emas dan perak). Thread yang umumnya digunakan adalah impor luar negeri seperti India, Cina dan Eropa. Hiasan atau motif songket disebut Cukie, beberapa menggunakan Macau benang (benang emas dan perak), sutera dan katun berwarna. Sebuah keunikan songket Minangkabau yang lama ada adalah kombinasi dari dua atau tiga jenis benang dalam motif tunggal.

Salah satu yang terkenal penenun songket lokal di Minangkabau adalah Silungkang desa. Silungkang desa terletak di tepi jalan raya Sumatera sekitar 95 km dari selatan-timur Kota Padang. Desa ini juga terkenal dengan seni seperti kerajinan anyaman rotan, tongkat, bambu, sapu dan menenun. Songket dan sarung tangan tenunan Silungkang sudah terkenal di Sumatera Barat. Songket Silungkang juga dibuat secara tradisional, dengan alat tenun yang mirip dengan alat tenun di Pandai sikek tapi sedikit memiliki ukuran lebih besar dari alat tenun di Pandai sikek. Tenun tradisi di daerah ini umumnya dilakukan oleh perempuan dalam rumah mereka.

Tenun di Silungkang telah umum jenis Batabua, songket yang dihiasi tidak memenuhi bidang kain, dan dengan beberapa dasar songket sangat polos dan beberapa kotak. Motif tenunan Silungkang berasal dari lingkungan alami seperti rabuang pucuak, bunga, motif burung, sirangkak, Balah katupek dan lain-lain. Bentuknya cukup sederhana jika dibandingkan dengan songket Pandai sikek dan tidak begitu rumit dalam proses tersebut sehingga dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat.

Dalam pengembangan tenun Silungkang saat ini ada juga kombinasi antara teknik tenun ikat dengan teknik songket dengan berbagai motif songket. Bahan yang digunakan hari ini kecuali kapas, ada juga telah dihias dengan benang sutra, benang Makau dan benang kapas berwarna. The Resultsof tenun Silungkang, kecuali pakaian yang dibuat ada juga kebutuhan untuk dekorasi dan aksesori lainnya. Sekarang, songket Silungkang memiliki kualitas yang cukup baik bahan, teknik manufaktur, motif dekoratif dan pemasaran, bahkan telah diproduksi juga mesin tenun dengan berbagai motif dan harga yang relatif murah. Silungkang juga dikenal sebagai pemasok lokal tenunan benang berwarna untuk kebutuhan penenun di Sumatra Barat.

Tenun Pandai Sikek Warisan Budaya Minangkabau

Kain tenun tidak hanya terkenal di Kalimantan ataupun Jawa, namun juga di Sumatera. salah satu kain tenun songket yang terkenal di sumatera adalah kain tenun pandai sikek yang bisa ditemui di minangkabau.

Tenun di daerah Minangkabau disebut tenun Pandai Sikek atau lebih familiar lagi disebut dengan tenun songket. Orang Pandai Sikek sendiri sebenarnya tidak menyebutnya songket, melainkan hanya tenun, sebab yang dimaksud adalah benang katun dan benang mas yang ditenun dengan tangan, diatas alat yang bernama panta sehingga menjadi kain, kain balapak atau kain bacatua yang dipakai pai baralek, yaitu pada pesta perkawinan.

Kain tenun Pandai Sikek secara umum terbagi menjadi dua jenis, yaitu Balapak dan Bacatua. Kain Balapak ditenun dengan melewatkan benang mas di seluruh bidang kain, sedangkan Kain Bacatua sebagian besar terdiri dari tenunan lungsin dengan pakan, dan di bagian-bagian tertentu diberi hiasan benang mas.

Tidak ada sejarah yang pasti kapan tenunan songket mulai dikembangkan di Minangkabau khususnya di Nagari Pandai Sikek. Akan tetapi keahlian dalam menenun merupakan warisan nenek moyang kita bangsa Austronesia atau lebih populer disebut dengan bangsa Malayo-Polynesia, Ketika terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari daratan Asia ke arah selatan dan timur beberapa ribu tahun yang lalu, bersamaan dengan segala kepandaian yang esensial untuk kehidupan, seperti kepandaian becocok tanam, kepandaian membuat dan menggunakan alat-alat pertanian, pertukangan dan senjata.

Motif-motif kain tenun Pandai Sikek selalu diambil dari contoh kain-kain tua yang masih tersimpan dengan baik dan sering dipakai sebagai pakaian pada upacara-upacara adat dan untuk fungsi lain dalam lingkup upacara adat, misalnya sebagai “tando,” dan dipajang juga pada waktu batagak rumah.

Motif-motif tenun Pandai Sikek diyakini sebagai motif asli pada kain-kain tenunan perempuan-perempuan Pandai Sikek pada zaman lampau, yang namanya sebagian masih diingat oleh beberapa orang tua yang hidup sekarang. Diantara mereka adalah: Sari Bentan, Namun, Salamah di Baruah; Nuriah, Ipah, Pasah, Nyiah dan Jalisah di Tanjung.

Ada kira-kira sepuluh orang master tenun di Pandai Sikek pada zaman atau generasi nama-nama diatas, kira-kira seratus tahun yang lalu. Ada juga beberapa wanita Pandai Sikek zaman dahulu yang dikenal dengan nama julukan yang berhubungan dengan peralatan tenun. Misalnya, dikenal Inyiak Makau di Tanjuang, Inyiak Suri di Koto Tinggi, Inyiak Banang, dan Inyiak Karok.

Kain tenun pandai sikek ini begitu terkenal disebabkan oleh peran para turis asing (manca negara) yang selalu membeli hasil kerajinan songket Pandai sikek sebagai cendramata untuk dibawa pulang ke negara mereka masing-masing. Hal ini berlangsung terus menerus, sehingga Songket Pandai sikek kian hari kian di kenal masyarakat Internasional.

15 Wisatawan AS Pelajari Tenun Minangkabau

Sebanyak 15 wisatawan asal Amerika Serikat mempelajari sejarah dan teknik pembuatan kain batik tanah liat, satu hasil kerajinan tenun tradisional di Minangkabau (Sumatera Barat).

Wisatawan itu, mempelajarinya di galeri batik tanah liat tradisional Minangkabau di Kota Padang, Kamis (28/8), kata Direktur Biro Perjalanan Wisata "Sumatra and Beyond", Ridwan Tulus

Ia menyebutkan, Ke-15 wisatawan AS itu mempelajari tenun tradisional Minangkabau dalam satu paket wisata "10 days from west to north textile tour Sumatra" digelar "Sumatra and Beyond"di Sumatera Barat dan Sumatera Utara.

Menurut dia, dipilihnya galeri batik tanah liat dalam kunjungan itu, karena hasil tenun tradisional tersebut saat ini sudah sangat langka di dunia, sehingga sangat menarik sebagai objek wisata dan penelitian.

Pada kunjungan itu, para wisatawan akan mengetahui sejarah batik tanah liat dan bagaimana teknik pembuatannya secara tradisional, tambahnya.

Selain mengunjungi batik tanah liat, para wisatawan juga akan melihat dan mempelajari teknik pembuatan kain songket tradisional Canduang, di Kabupaten Agam.

"Kain songket Candung juga, satu hasil tenun terbaik, bahkan seorang peneliti songket asal Swiss, Ben Hard pernah menyebutkan songket tersebut salah satu yang terbaik di dunia," katanya.

Para wisatawan juga akan mengunjungi Museum Adhityawarman Padang dan Pusat Dokumentasi Adat Minangkabau di Padang Panjang, untuk melihat koleksi tekstil adat tradisional Minangkabau, tambah Ridwan Tulus.

Ia mengatakan, bagi "Sumatra and Beyond" kunjungan tersebut membuka peluang menjadikan Sumbar sebagai daerah tujuan wisata dan penelitian kain tenung tradisional dunia

Sejarah Tenun di Minangkabau

Tidak ada sejarah yang pasti tentang kapan tenun songket mulai dikembangkan di Minangkabau atau di Pandai Sikek. Akan tetapi kepandaian menenun tetuntulah sudah dibawa oleh nenek moyang kita bangsa Austronesia atau yang disebut juga Malayo-Polynesia, dari Tanah Asal, ketika terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari daratan Asia ke arah selatan dan tumur beberapa ribu tahun yang lalu, bersamaan dengan segala kepandaian yang esensial untuk kehidupan, seperti kepandaian becocok tanam, kepandaian membuat dan menggunakan alat-alat pertanian dan pertukangan dan senjata, dan sebagainya. Sesuai dengan fitrah manusia, kepandaian dasar pertukangan tentu mengalami pengkayaan estetika sehingga menjadi apa yang sekarang dikenal dengan istilah kerajinan, dan kemudian menjadi seni. Hal ini sejalan dengan perkembangan di bidang ekpresi lainnya seperti seni gerak, seni suara dan seni pementasan. Sebagai warisan demikian, tenun bisa dikatakan sama umurnya dengan stelsel matrilinial orang Minang, terukaan sawah di Luhak nan Tigo, dan budaya lisan Kato Pusako pepatah petitih.

Di sini juga kita menemukan kesamaan rumpun Austronesia pada kain tenun Sumatra pada umumnya dengan seluruh kain tenun Nusantara hingga ke Sumba dan Timor, juga dengan tenunan La Na di Thailand utara dan Laos. Rumpun ini akan memecah nanti di lihat dari segi kahalusan motif setelah masuknya kebudayaan India dan Cina dari utara. Akan tetapi kesamaannya beretahan di segi peralatan tenun dan teknik bertenun.

Beberapa ratus tahun yang lalu, di hulu sungai Batanghari, yang disebut Sungai Dareh, berkembang suatu pemukiman dan pusat perdagangan yang makmur. Penduduk dari daerah yang sekarang disebut Alam Surambi Sungai Pagu, dan dari daerah-daerah yang lebih ke utara lagi, datang ke tempat ini untuk menjual hasil-hasil alam berupa rempah-rempah dan emas. Daerah ini dikunjungi pula oleh pedagang-pedagang yang datang dari seberang laut, dari India dan Cina. Kaum wanita di daerah ini memakai pakaian yang lebih cantik bagi ukuran masa itu, istilah sekarang: lebih fashionable.

Daerah ini kemudian terkenal dengan nama kerajaan Darmasyraya. Inilah cikal-bakal kebudayaan Melayu. Bertahun-tahun daerah ini menjadi titik pertemuan ekonomi dan budaya antara kebudayaan-kebudayan yang sudah lebih kaya dan maju di utara, Cina, Mongol dan India, dengan budaya lokal. Dalam kurun beberapa puluh tahun itu, atau mungkin sampai dua ratus tahun, setalah mengalami pergantian raja-raja dan penguasa, penduduknya menyerap banyak ilmu dan teknologi dari bangsa asing, disamping kemajuan bidang ekonomi dan politik yang memperkaya dan meningkatkan mutu kebudayaan lokal. Diantara kemajuan yang dialami adalah dalam bidang pakaian dan teknik bertenun, beserta pengkayaan corak motif dan bahan-bahan yang dapat dipergunakan.

Kalau sebelumnya, sesuai dengan perkembangan masyarakat, orang membuat pakaian dari benang yang dibuat dari bahan-bahan yang tersedia di tempat pemukiman mereka, seperti serat kulit pohon, dengan perkembangan perdagangan orang-orang India memperkenalkan bahan dari serat kapas dan linen, juga benang yang disalut dengan lempengan emas tipis. Pedagang Cina membawa benang sutra yang berasal dari kepompong ulat sutra, juga benang yang dibungkus dengan emas kertas kemudian dikenal dengan nama emas prada sehingga bisa diperkirakan bahwa pedangang India pun banyak memperdagangkan bahan tersbut.

Pada tahun 1347 Adityawarman memindahkan pusat kerajaan dan kebudayaan Melayu dari Darmasyraya ke Pagaruruyung, dan kawasan di sekitar gunung Merapi dan Gunung Singgalang yang pada waktu itu terdiri dari Luhak nan Tigo dan Rantaunya yang Tujuh Jurai, menjadi terkenal sebagai Alam Minangkabau, dengan beberapa pusat pemerintahan yang tersebar di Pariangan, Sungai Tarok, Limo Kaum, Pagaruryung, Batipuh, Sumanik, Saruaso, Buo, Biaro, Payakumbuh, dan lain-lain.

Alam Minangkabau dengan falsafah alam yang dianut masyrakatnya, alur dan patut serta alam takambang jadi guru, sangat memberi peluang bagi tumbuh dan berkembangya kebudayaan dan kesenian dengan pengkayaan dari unsur-unsur budaya asing. Susunan masyarakat yang bersuku-suku eksogami dan, yang lebih utama lagi, aturan sumando manyumando, telah mengeliminir konflik antar kelompok sehingga kedamaian dapat terwujud dalam jangka waktu yang panjang dan memberi kesempatan bagi anak nagari untuk memperlajari dan memperhalus ilmu-ilmu dan keterampilan termasuk keterampilan bertenun.

Daerah Batipuh, sebagai salah satu pusat pemerintahan, kedudukan Tuan Gadang Batipuh sebagai Harimau Campo Koto Piliang, dapat diduga menjadi salah satu daerah yang amat penting pada masa kejayaan Minangkabau dahulu, bersama daerah-daerah lain yang tersebut diatas. Sejalan dengan keadaan itu, masyarakatnya tentu mandapat kesempatan yang lebih banyak pula untuk melakukan kegiatan ekonomi dan budaya termasuk keterampilan tenun sehingga mutu dan corak kain tenun semakin tinggi dan halus. Gadis-gadis menenun kain sarung dan tingkuluk dengan benang emas untuk dipakai ketika mereka menikah, dan perempuan lainnya menenun kain untuk dijual.

Adat istiadat di Minangkabau mendorong kegiatan bertenun ini lebih jauh lagi karena pada setiap kesempatan upacara adat, kain tenun selalu wajib dipakai dan dihadirkan. Kata-kata adat dinukilkan di dalam nama-nama motif sehingga menjadi buah bibir dan diucapkan setiap saat. Kain tenun menjadi pakaian raja-raja, datuk-datuk dan puti-puti. Dimasa inilah, dimasa kejayaan Turki Usmani dan Asia Tengah, pada puncak kebesaran Dinasti Mongol di India ketika Sultan Akbar, 1556-1605 sangat memajukan seni dan ilmu pengetahuan, pada masa kejayaan Dinasti Ming dan Manchu di Cina: ketika itu pertukaran perdangangan dan budaya sedang sangat pesat dan melibatkan Minangkabau sebagai suatu kawasan yang menjadi lintasan perdagangan dan juga negri yang mempunyai komoditi dagang yang penting yaitu rempah-rempah dan emas, seni menenun kain dangan sutra dan benang emas di Sumatra, bersamaan dengan suji dan sulaman pun mencapai puncak kemajuannya dan menemukan ciri khasnya tersendiri.

Hampir semua pelosok Minangkabau, dari Luhak sampai ke rantau, mempunyai pusat-pusat kerajinan tenun, suji dan sulaman. Masing-masih mengembangkan corak dan ciri-cirinya sendiri, hal yang sangat dikuasai oleh para pedagang barang antik dan kolektor. Beberapa nagari yang terkenal sekali dengan kain tenununya dan sangat produktif pada masa itu adalah Koto Gadang, Sungayang, dan Pitalah di Batipuh, dan nagari yang melanjutkan tradisi warisan menenun hari ini adalah nagari yang termasuk Batipuh Sapuluh Koto juga yaitu Pandai Sikek.

Motif-motif kain tenun Pandai Sikek selalu diambil dari contoh kain-kain tua yang masih tersimpan dengan baik dan sering dipakai sebagai pakain pada upacara-upacara adat dan untuk fungsi lain dalam lingkup upacara adat, misalnya sebagai “tando,” dan juga dipajang atau digelar pada waktu batagak rumah.

Sulit mengatakan siapa yang dapat dikatakan sebagai master tenun hari ini; tetapi diantara ahli tenun yang terkenal pada generasi sebelum kita ada nama-nama Sari Bentan, Namun, Salamah di Baruah; Nuriah, Ipah, Pasah, Nyiah dan Jalisah di Tanjung.

Ada belasan orang master tenun di Pandai Sikek pada zaman itu. Akan tetap kira-kira seratus tahun yang lalu diyakin beberapa wanita Pandai Sikek sangat aktif dibidang usaha dan kerajinan menenuni ini sehingga nama julukan mereka yang terambil dari peralatan tenun lebih dikenal sampai sekarang. Diantaranya, dikenal nama-nama Inyiak Makau di Tanjuang, Inyiak Suri di Koto Tinggi, Inyiak Banang, dan Inyiak Karok.

Pandai Sikek, sebagai “center of excellece” di bidang tenun songket waktu itu, tentu wanita-wanitanya sudah mengerjakan juga berdasarkan permintaan tenunan yang khas dari daerah-daerah lain seperti dari Pitalah di Batipuah, Koto Gadang di Agam dan dari Sungayang dengan corak benang dan motif yang spesifik dengan daerah tersebut, dan dikenal sampai sekarang sebagai motif-motif Sungayang, motif Koto Gadang dan lain-lain.

Samuel Wattimena: Merancang Pattimura

Perancang Samuel Wattimena bakal sibuk di Surabaya. Ia menjadi konseptor acara Hari Pattimura yang digelar setiap 15 Mei.

”Saya harus buang ego jauh-jauh untuk mengonsep acara ini. Ada banyak orang dalam kegiatan ini, dengan beragam pandangan. Ini beda dengan merancang busana yang sebagian besar keinginan saya,” ujar Sammy, panggilan Samuel Wattimena.

Keterlibatan pria kelahiran Jakarta, 25 November 1960, ini membuat peringatan Hari Pattimura tak hanya diisi pawai obor seperti tahun-tahun sebelumnya. Dia menambahkan pemilihan Jujaro dan Mungare.

”Kalau di Jakarta, semacam Abang dan None. Juara terpilih menjadi duta budaya Maluku. Makanya, juaranya nanti mau saya bawa ke dunia hiburan, biar luas jangkauannya, biar makin mudah mengenalkan budaya Maluku,” katanya.

Ia tak membatasi kegiatan itu hanya untuk warga keturunan Maluku. Semua orang yang ingin belajar dan tahu budaya Maluku bisa mengikutinya. ”Semua akan diajari dulu budaya Maluku. Siapa yang paling menyerap pelajaran, bisa menjadi juara.”

Ini salah satu usaha untuk menjawab kekhawatiran budaya Maluku punah. ”Waktu chaos Ambon, saya khawatir kehilangan akar budaya. Bahaya bila kita kehilangan akar budaya di tengah globalisasi seperti sekarang,” ujarnya

Identitas Lokal Mulai Tergerus Industri

Dewasa ini identitas bangsa kita mulai tergerus oleh kepentingan industri. Hal tersebut tampak dari mulai sulitnya menemukan para perajin di daerah-daerah yang masih mengenal karya aslinya.

"Ada mata rantai yang lepas, tatkala masing-masing daerah melakukan modifikasi produk dengan kiblat Jakarta. Mereka selalu berusaha mengerjakan yang laku di daerah lain," kata Samuel Wattimena, perancang nasional, dalam serasehan peluang kerjasama dengan dunia usaha, khususnya fashion dan aksesoris etnik komunitas adat terpencil di Jakarta, Senin (12/10).

Untuk itu, ia mengaku sudah mulai membatasi diri memodifikasi produk lokal. Menurut dia, tiap daerah menunjukkan dulu kekhasan produknya ke masyarakat luas, supaya satu daerah dengan daerah lain saling mengenal kekayaannya. "Selain itu, kita mesti mendata supaya kita tahu kekuatan kita di mana," ujar Samuel.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa produk asli dan tiruan dari masyarakat lokal tidak boleh dipertentangkan. Keduanya saling mengada untuk saling melengkapi. "Kita tetap membutuhkan batik genuine, tapi juga perlu batik cap atau print," ungkap Samuel memberi contoh.

Produk yang asli, ucapnya, berhubungan dengan jati diri dan identitas suatu daerah dan tentunya bangsa kita. Sedangkan produk turunan atau tiruannya dibutuhkan untuk industri dan sosialisasi. "Batik boleh dicap untuk industri dan sosialisasi. Karena tidak semua orang bisa membeli yang tulis atau geniune," tutur Samuel.

Produk asli ini, tambah Samuel menjadi perhatian dari Departemen Sosial (Depsos). Departemen ini tidak berkonsentrasi pada pendapatan ekonomi, tapi untuk menjaga keasliaan dari komunitas yang bersangkutan. "Sedangkan Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian menginginkan perputaran yang cepat. Mereka orintasinya income," papar Samuel.

Mimpi-Mimpi Samuel Wattimena


Setiap orang bebas bermimpi, namun hanya sedikit yang kemudian terbangun dan berusaha mewujudkan mimpinya itu. Tak demikian dengan perancang Samuel Wattimena. "Saya punya mimpi untuk fashion Indonesia, tapi ini semua butuh kerjasama dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia," tukas Samuel, sesaat setelah fashion show"Pagelaran Tenun Unggan Sumatera Barat Kabupaten Sijunjung" di KOI Cafe & Gallery, Kemang, Jakarta Selatan,

Jika disadari, Indonesia sebenarnya memiliki banyak sekali potensi fashion yang indah dan memiliki nilai jual ke internasional. Sebut saja songket, batik, tenun, sulam, atau tarik benang. Sayangnya, saat ini masih banyak orang yang belum sadar akan kekayaan fashion Indonesia ini. "Orang Indonesia masih terlalu berkiblat pada tren fashion dunia, khususnya Barat, padahal belum tentu cocok untuk mereka," tukas pria yang akrab disapa Sammy ini.
Kekayaan kain nusantara merupakan kekuatan budaya, kreativitas, dan seni, yang mempunyai kemampuan menggerakkan perekonomian masyarakat dan mensejahterakan kehidupan masyarakat Indonesia. "Setiap daerah punya ciri khas masing-masing, baik dari motif, teknik, atau warnanya. Hal ini merupakan identitas yang harus dipertahankan," kata Sammy, sambil menambahkan bahwa masih ada masyarakat daerah yang belum mengenal kain tradisionalnya sendiri.

Yang sangat disayangkan Sammy sebenarnya adalah kurangnya minat generasi muda untuk mau menggunakan kain tradisional ini. Sampai saat ini langkah yang paling mungkin dilakukan oleh para desainer adalah memodifikasi kain tradisional ini agar tampil lebih trendi dan berjiwa muda.

Mimpi Sammy
Sudah bukan rahasia lagi kalau banyak warga asing yang mengagumi kain tradisional Indonesia dari Sabang sampai Merauke. "Koleksi kain tradisional kita itu paling banyak dibanding negara lain," tambahnya. Jika berpikir kreatif, seharusnya Indonesia mampu memodifikasi dan memanfaatkan kekayaan ini untuk meningkatkan perekonomian negara dan memperbaiki kehidupan ekonomi masyarakat.
Sammy mengaku terhadap kurangnya minat generasi muda untuk mengenal kain tradisional. Padahal, menurutnya Amerika Latin bisa menjadi pusat mode pakaian pantai karena sesuai dengan karakter daerah dan sumber daya yang ada. "Kenapa Indonesia tidak bisa menjadi pusat mode busana etnik di dunia dengan segudang kekayaan kain indahnya?" ungkap Sammy mengurai mimpinya.

Namun, Sammy mengakui bahwa tidak mudah mewujudkan semua mimpinya ini tanpa dukungan dari berbagai pihak seperti desainer lain, kaum muda, serta pemerintah.

Filosofi Motif Tenun Minangkabau


Tak hanya batik yang setiap motifnya punya makna berbeda. Tenun dari Sumatera Barat atau songket dengan kekayaan motifnya ternyata juga memiliki arti dan nilai kebersamaan tersendiri. "Keterampilan menenun bagi masyarakat Indonesia merupakan sebuah warisan yang perlu dipertahankan dan disosialisasikan, karena ini merupakan kekuatan budaya, kreativitas, dan seni dalam kehidupan bermasyarakat," ungkap perancang Samuel Wattimena, saat pagelaran busana "Pagelaran Tenun Unggan Sumatera Barat Kabupaten Sijunjung" .

Dalam perkembangannya terjadi proses akulturasi budaya dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, terutama sejak masuknya pengaruh Islam ke kota tersebut. Hal ini berpengaruh pada motif-motif tenun yang mengadaptasi motif-motif alam dan ragam hias dari Timur Tengah seperti Arab, Mesir, dan Siria. Sejak dahulu, unsur adat ini identik dengan alam karena alam dianggap sebagai sumber pokok dan penting bagi umat manusia yang telah memengaruhi perajin mengolah motif pada kain tenun songket ini.

Kenyataan ini ternyata membentuk suatu filosofi dalam berbagai motif kain tenun Sumatera Barat. Contohnya adalah sebagai berikut:

1. Pucuk rabuang. Motif ini memiliki makna bahwa hidup seseorang harus berguna sepanjang waktu. Motif ini bercerita bahwa hidup harus mencontoh falsafah bambu, dimana bambu selalu berguna sejak muda (rebung) untuk dimakan, dan saat tua (bambu) sebagai lantai rumah atau bahan bangunan. Motif rebung ini juga mengibaratkan bahwa tanaman ini berguna sepanjang hidupnya dan semua bagiannya memiliki banyak kegunaan.

2. Itiak pulang patang. Motif ini memiliki makna bahwa hidup dalam masyarakat haruslah seiya sekata, seiring sejalan dan mematuhi peraturan yang berlaku. Motif ini ingin mengajak masyarakat untuk bisa hidup bersama dan menggambarkan kerukunan masyarakat Minangkabau yang hidup dalam tatanan kegotongroyongan yang solid.

3. Kaluak paku. Motif ini memiliki makna bahwa kita sebagai manusia haruslah mawas diri sejak kecil, dan perlu belajar sejak dini mulai dari keluarga. Pendidikan dalam keluarga menjadi bekal utama untuk menjalankan kehidupan di masyarakat. Setelah dewasa kita harus bergaul ke tengah masyarakat, sehingga bekal hidup dari keluarga bisa menjadikan diri lebih kuat dan tidak mudah terpengaruh hal negatif. Uniknya, motif ini juga memiliki makna lainnya, yaitu seorang pemimpin harus mampu menjadi teladan bagi masyarakat yang ada disekitarnya.

4. Sajamba makan. Motif ini digunakan sebagai lambang kebersamaan dalam menikmati keberhasilan.

5. Tirai. seperti yang diketahui tirai merupakan hiasan dari kain yang diletakkan pada dinding, pintu, dan lainnya, yang berfungsi untuk menambah keindahan dan suasana yang semarak. Motif ini menggambarkan keindahan, lambang kemewahan dalam upacara adat Minangkabau.

6. Saluak laka. Motif ini memiliki memiliki arti lambang kekerabatan. Hal ini akan memberi makna dalam kehidupan masyarakat, bahwa kekuatan akan terjalin dari kesatuan yang saling terikat sehingga akan terwujud kekuatan bersama dalam menghadapi bermacam masalah.
7. Unggan seribu bukit. Ini merupakan motif terbaru yang diprakarsai oleh Samuel Wattimena yang bekerjasama dengan perajin tenun di Unggan, dan Dekranasda Sumatera Barat. Kerajinan tenun unggan ini merupakan perpaduan teknik bertenun dari pandai sikek dengan silungkang. Motif ini memiliki arti kekompakan dalam kerjasama, kegigihan dalam berusaha, dan sifat ingin maju seseorang.

Rabu, 24 April 2013

Oscar Lawalata Kombinasikan Serat Alam


Perancang busana nasional Oscar Lawalata ingin memadukan kreasi desain baju dengan mengombinasikan bahan serat alam. Rancangan pakaian berserat alam ini rencananya akan ditampilkan pada fashion show, di Jakarta pada November mendatang.

Terkait dengan rencana itu, Kamis  siang,  Oscar bersama dengan perancang topi asal Inggris Justin Smith melihat proses pembuatan anyaman di wilayah Nanggulan Kulon Progo, Yogyakarta.

Pada kunjungan di Kindo Craft ini, Oscar juga mencoba menenun kain dengan kombinasi serat alam. "Rapi juga, tenunan saya," ujar Oscar tertawa.

Menurutnya, dia tertarik untuk mengembangkan serat alam pada fashion, khususnya untuk kombinasi pada pernak-pernik dan aksesori. Serat alam sendiri sulit untuk digunakan pada pakaian harian, namun untuk fashionshow masih sangat mungkin.

"Kebetulan Justin mendapat project budaya Indonesia, nanti akan kita kombinasikan pada bulan November," tambahnya.

Justin Smith, mengaku belum memiliki rancangan atas model topinya. Dia akan mendalami dan membuat konsep setelah melihat bahan yang ada. Beberapa sampel serat juga akan dibawa untuk diujicobakan. "Nanti dibuat eksperimen dulu, baru bisa dibuat desain," kata Justin.

Tren Sarung Juga Bisa Mendunia


Tren Sarung Juga Bisa MenduniaMode memang terus berkembang, tak hanya jenis, bahan, dan motifnya, tetapi juga cara penggunaannya. Setelah teknik membatik diakui secara resmi oleh UNESCO, dan mulai kembali berjaya di tanah air, kini para perancang muda Indonesia juga ingin mempopulerkan sarung sebagai tren mode.

"Sarung Indonesia memang sangat istimewa, karena di sinilah hasil karya dan kreativitas perempuan dan anak Indonesia bisa terlihat," ungkap Taruna Kusmayadi, perancang dari APPMI, dalam Focus Grup Discussion "Road to Indonesia Fashion Week 2012" di Hotel Morrisey, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis.

Biasanya sarung hanya digunakan untuk sehari-hari, menghadiri beberapa acara tertentu, atau untuk hadiah. Namun amat disayangkan apabila keberagaman motif dan bahan sarung yang indah saat ini hanya digunakan untuk saat tertentu. Oleh karena itu, Indonesia Fashion Week 2012 (IFW) juga akan menampilkan berbagai koleksi sarung dari para desainer. Lebih dari itu, IFW diharapkan mampu dipertimbangkan sebagai salah satu arah tren mode di dunia internasional.

"Sarung sebenarnya sudah sangat merakyat di Indonesia, namun belum banyak orang yang berani pakai sarung untuk berbagai acara formal. Padahal sebenarnya sarung ini bisa dikreasikan menjadi berbagai macam model yang cantik. Ini adalah tantangan terbesar bagi para desainer dan produsen untuk berkreasi dengan sarung ini," tutur perancang Musa Widyatmodjo, yang juga hadir siang tadi.

Selain memperkenalkan berbagai kreasi sarung, ajang ini juga bertujuan untuk meningkatkan industri kecil kreatif di Indonesia. Adanya pagelaran besar semacam ini secara tak langsung bisa memajukan industri kecil menengah yang ada di Indonesia. Salah satu tujuan diadakannya Indonesia Fashion Week 2012 nanti juga untuk mengembalikan jati diri dan kejayaan sarung di tanah kelahirannya sendiri.

Mau Belajar Menenun? Datanglah ke Desa Gamplong


esa Wisata Gamplong di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menawarkan produk kerajinan alat tenun bukan mesin (ATBM) sebagai potensi desa itu kepada wisatawan mancanegara maupun nusantara.

"Dengan potensi produk kerajinan alat tenun bukan mesin itu maka Desa Wisata Gamplong sampai saat ini mampu bertahan sebagai desa wisata yang diminati  wisatawan mancanegara maupun nusantara karena mempunyai ciri spesifik yang bisa dijual," kata Penasihat Pengelola Desa Wisata Gamplong, Sutopo Sugiharto, di Yogyakarta, Kamis (4/10/2012).

Menurut Sutopo, selama ini desa wisata tersebut dikenal wisatawan karena ciri khasnya sebagai sentra produksi kerajinan tenun dengan menggunakan ATBM. "Hingga kini masyarakat setempat masih tetap mempertahankan produk kerajinan tenunnya ATBM  yang kemudian menjadi unggulan desa wisata tersebut," kata Sutopo yang juga menjadi ketua kelompok kerja pariwisata di desa itu.

Sutopo mengatakan, desa wisata itu kini semakin banyak dikunjungi wisatawan, baik nusantara maupun mancanegara yang ingin secara langsung untuk melihat proses produksi kerajinan tenun.

"Tiap libur akhir pekan maupun libur panjang dipastikan banyak wisatawan yang mengunjungi desa wisata tersebut. Biasanya wisatawan juga membeli produk tenun desa ini, bahkan terkadang memesan dalam jumlah banyak," katanya.

Menurut Sutopo, sejak 1950-an Gamplong sudah dikenal sebagai desa penghasil barang kerajinan tenun. Keterampilan menenun warga setempat, diperoleh secara turun-temurun. Produk tenun dari desa itu awalnya berupa kain lurik, serbet makan, dan barang kerajinan tenun lainnya.

"Namun, saat ini seiring dengan persaingan bisnis maka para perajin berinovasi produk dengan membuat tas wanita, tempat/rak buku, serta aksesori atau hiasan lainnya dengan bahan baku bervariasi di antaranya tanaman eceng gondok, lidi, serat, dan akar wangi yang ditenun menggunakan ATBM," katanya.

Sutopo menjelaskan, wisatawan yang berkunjung ke desa wisata tersebut, selain bisa melihat proses produksi secara langsung, juga bisa belajar menenun karena beberapa perajin membuka kursus singkat menenun dengan ATBM.

"Warga setempat juga menyediakan rumah mereka untuk menginap para wisatawan yang berkunjung ke desa wisata tersebut," katanya

Kain Tenun Pegringsingan Diburu Wisatawan


 Kain tenun tradisional Desa Tenganan Pegringsingan, Kabupaten Karangasem, Bali, cukup terkenal hingga ke mancanegara. Wisatawan yang datang ke Karangasem, selalu menyempatkan diri mencari tenun tradisional khas Bali tersebut.

Seorang penenun, Ni Komang Sukmawati, menuturkan sejak remaja dirinya sudah biasa melakoni pekerjaan tersebut. Menurut perempuan asli Desa Tenganan Pegringsingan ini biasa menenun sepulang sekolah sejak duduk di bangku SMP. Namun waktu itu ia mengaku, belum fokus untuk menenun, hanya sekadar membantu usaha orang tuanya.

Di samping itu, menurut ibu dua anak ini, remaja Tenganan harus mampu menenun, karena saat upacara memasuki usia remaja, ada prosesi menenun yang harus didemontrasikan ke warga desa.

Tak banyak warga Tenganan yang melanjutkan studinya ke luar Karangasem. Namun, Sukmawati tertarik hijrah ke Kota Denpasar. Ia memilih jurusan Sastra Inggris di Universitas Warmadewa.

Namun, studinya terputus hanya sampai semester enam. Sukmawati keburu menikah dengan seorang laki-laki yang juga asli Desa Tenganan Pegringsingan.

Sejak itu, dia tidak punya ambisi apa-apa. Sebagai warga inti Desa Tenganan, Sukmawati tidak boleh terlalu banyak fokus berkarier. Hanya usaha menenun yang akhirnya menghidupi keluarganya.

"Tiyang (saya) tidak boleh terlalu terikat, karena sebagai warga inti saat upacara adat, kami harusngayah (kerja sosial). Waktunya juga sampai larut sehingga kami harus benar-benar fokus," katanya.

Selama satu bulan, ada waktu-waktu tertentu upacara adat di Desa Tenganan. Walaupun beban tanggung jawab begitu berat dilimpahkan ke warga asli, menurut Sukmawati, desa juga memberi kontribusi besar kepada warganya. Tiap bulan, ada pembagian beras dan uang kepada warga inti.

"Pembagian ini hanya diberikan kepada warga inti. Sedangkan yang menikah ke luar dan tinggal di luar Tenganan, tidak mendapatkan hak yang sama," katanya sembari membentangkan benang di atas alat tenun tersebut.

Ia mengatakan, kain pengringsingan yang dibuatnya, terbagi menjadi "single ikat dan double ikat". Untuk busana laki-laki membutuhkan "saput" dengan lebar 24 centimeter (cm) sebanyak dua lembar.

Sedangkan, busana perempuan memerlukan kain selembar 40 cm. Untuk selendang atau disebut single ikat lebarnya 20 cm. Sukmawati biasanya  menyelesaikan satu kain sekitar dua pekan, jika ia tak sibuk ngayah untuk adat. "Saya banyak ngayah bulan ini, mungkin kain ini bisa selesai satu bulan ke depan," ucap Sukmawati sembari menunjukkan kain yang ditenunnya itu.

Ia menjelaskan, mulai dari pewarnaan sampai menjadi benang yang siap dipakai untuk menenun, memerlukan waktu dua tahun, dengan corak warna hitam, merah, cokelat.

Sejak pemerintah gencar mempromosikan Desa Tenganan, baik lewat media, banyak tamu lokal maupun asing ramai datang ke Tenganan. Apalagi pada bulan Agustus dan Desember, banyak tamu asing yang datang.

Namun, menurut Sukmawati, tiap hari ada saja tamu lokal yang datang ke Desa Tenganan. Untuk satu kain, ia menjual seharga Rp 200.000 hingga Rp 300.000. Uniknya, di Desa Tenganan, rumah penduduk langsung menjadi tempat pajangan kain Pegringsingan. Saat masuk, pengunjung langsung dapat melihat kain digantung di pintu masuk.

Peluang ekspor

Peluang ekspor kain tenun tradisional Indonesia, salah satunya tenun Pengringsingan untuk pangsa pasar ke negara Jepang sangat terbuka, karena masyarakatnya suka dengan motif etnik dan alami. "Masyarakat Jepang pada umumnya menyukai motif-motif etnik dan alami untuk busana, menataan ruang atau pun kamar tidur mereka," kata Pakar Tenun Tradisional Indonesia, Tria Basuki.

Ia mengatakan, tenun tradisional yang di ekspor itu adalah produk tenun dengan menggunakan ATBM (alat tenun bukan mesin). Artinya pengerjaannya tetap dikerjakan oleh perajin secara konvensional. "Saat ini yang sudah laku di pasar ekspor khususnya Jepang dan Eropa adalah produksi tenun tradisional dari Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Bali," kata wanita kelahiran Semarang, Jawa Tengah itu.

Generasi Ketiga Kampung Tenun Ikat Bandar Kidul


Kelurahan Bandar Kidul di Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur dikenal sebagai sentra perajin tenun ikat bukan mesin. Tercatat ada 13 perajin yang masih produktif menjalankan usahanya itu. Sudarman, salah seorang perajin mengatakan, ia menjalankan usahanya itu secara temurun dari Torejo, bapaknya, yang juga meneruskan usaha dari Sahid, kakeknya.

"Jadi sudah 3 generasi. Saya berupaya terus melanjutkannya," ujar Sudarman, Jumat (23/11/2012).

Kain tenun yang dihasilkan mulai dari kain sarung gombyor, kain misris (biasa), semi sutra, hingga sutra. Kain tersebut dibuat berwarna-warni dengan motif Kediren seperti ceplok hingga lung. Kini produk tenun yang ia beri merek Sinar Barokah sudah dikenal diberbagai daerah hingga luar Pulau Jawa. Sekitar 30 karyawan dengan 25 alat tenun terus berproduksi untuk memenuhi permintaan yang terus datang.

Begitu juga dengan Munawar, perajin lainnya. Pemilik merek Medali Mas ini sudah berproduksi sejak tahun 1989 dan juga meneruskan para leluhurnya. Ia mempunyai 25 alat tenun dengan 60 pekerja. Proses pembuatan sebuah kain tenun ikat memerlukan waktu yang lama karena memerlukan berbagai tahapan pengerjaan. Bahkan sebuah kain tenun ikat dapat memakan waktu hingga seminggu pengerjaan.

Siti Ruqayah, istri Munawar, menjelaskan, untuk mengubah benang hingga menjadi selembar kain tenun ikat setidaknya ada 14 tahapan pengerjaan. Kesemua proses itu dilakukan secara manual oleh tangan terampil tenaga kerja. Proses tersebut diawali dengan pewarnaan benang sesuai warna yang diinginkan lalu dilanjutkan dengan pemintalan. Lalu ada proses yang cukup penting yaitu pemberian motif yang dilanjutkan dengan pengikatan motif yang juga dilakukan tanpa mesin.

Proses selanjutnya adalah pencelupan benang yang sudah diikat tadi ke dalam cairan pewarna dan penjemuran untuk memperkuat pewarnaan. Benang-benang tersebut kemudian melalui tahapan terakhir yaitu proses tenun. "Proses pemberian motif dengan cara mengikat inilah yang membuat kain tenun jenis ini disebut tenun ikat," kata Siti Ruqoyah.

Sebagai sentra perajin tenun ikat, nama Kelurahan Bandar Kidul juga sudah terkenal bagi para penggemar kain tenun ikat. Kelurahan yang terletak sekitar 1 Km arah barat Alon-alon Kota tersebut menjadi salah satu destinasi wisata di Kota Kediri. Para pengunjung tersebut biasanya diakomodir oleh beberapa hotel maupun agen travel yang cukup mudah ditemui di Kota Kediri yang hanya terdiri dari 3 kecamatan ini. Sehingga bukan pemandangan yang asing lagi jika ada turis mancanegara yang berjalan-jalan di kawasan Bandar Kidul.

Para perajin tenun ikat tersebut tidak pernah menutup-nutupi proses pembuatan kain tenun ikat. Bahkan mereka mempersilahkan dan memfasilitasi para pengunjungnya untuk melihat proses pembuatan hingga memberi kesempatan untuk mencoba menenun.

Kunjungan tersebut tidak dibatasi pada waktu-waktu tertentu, setiap saat dapat dilakukan asal pada jam kerja dan ada pemberitahuan sebelumnya. Jadi, bisa menjadi pengalaman tersendiri bagi Anda.

Pekan ini, di Kota Kediri kebetulan juga sedang ada beberapa agenda tahunan, seperti Festival Jalan Doho yang berisi pameran seni budaya dan kuliner serta hiburan panggung Pencak Dor (tarung bebas), serta Festival Kelud yang berada di wilayah Kabupaten Kediri.

Melihat Pembuatan Tenun Khas Mandar


Tangan terampil menari di atas benang-benang. Di bawah rumah panggung khas Mandar, seorang perempuan Mandar bernama Mudia menekuni kain tenun yang tengah dibuatnya. Mudia adalah warga Desa Bonde di Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.

“Ini tradisi dari lama. Kalau Bapak yang nelayan pergi melaut, Ibu di rumah menenun supaya tidak ada yang menganggur,” ceritanya sambil sibuk menenun.

Ya, sejak lama, suku Mandar bermata pencarian sebagai nelayan. Daerah Sulawesi Barat yang dihuni suku Mandar memang berada di daerah pesisir. Saat para laki-laki melaut, maka istri mereka menenun kain.

Nelayan bisa pergi melaut hingga berhari-hari. Sambil menunggu suami pulang, sang istri pun tetap bisa menghasilkan uang dengan berjualan kain.

Bunyi kayu beradu khas alat tenun tradisional. Murdia begitu lincah memainkan gulungan benang dan membuat motif pada kain yang ditenunnya. Ia biasa menyelesaikan selembar kain tenun sendirian selama sepuluh hari.

“Kalau bagi tugas, bisa selesai empat hari,” tuturnya.

Bagi tugas yang ia maksud adalah mulai dari tugas mencelup benang ke pewarna, lalu tugas menggelung benang, dan barulah tugas menenun. Rata-rata kain yang dia buat memiliki lebar 70 sentimeter dengan panjang sekitar satu setengah meter.

Benang yang ia pakai adalah sutera. Pulau Sulawesi terutama Sulawesi Selatan memang penghasil benang sutera. Sulawesi Barat sendiri merupakan provinsi baru hasil pemekaran Sulawesi Selatan. Murdia menuturkan, sehelai kain biasa ia jual dengan harga Rp 400.000.

“Ya, modal benang Rp 200.000,” katanya.

Ada beberapa sure atau motif khas Mandar. Salah satunya selintas mirip dengan kain sarung. Motif Parara merupakan motif yang biasa dikerjakan, bentuknya kotak-kotak. Warna-warna khas tenun Mandar adalah warna dingin seperti hitam dan hijau gelap, selain juga warna merah gelap.

Jadi, jika berkesempatan mampir ke Majene, berkunjunglah ke Desa Bonde untuk melihat proses pembuatan kain tenun khas Mandar secara tradisional. Lokasi desa ini sekitar tujuh kilometer dari pusat kota Majene.

Saat memasuki desa ini, suasana tradisional masih kental terasa dengan rumah-rumah panggung dari kayu yang berusia ratusan tahun dan cara hidup masyarakat yang juga masih memegang teguh adat istiadat Mandar.

Kain Tradisional dalam Koleksi "Ready-to-Wear"


Citra kain tradisional kini makin terangkat di dunia fashion. Panggung mode di Jakarta Fashion & Food Festival (JFFF)  menampilkan ragam koleksi busana ready-to-wear dengan sentuhan kain tradisional karya para perancang lokal. Kain tradisional dirancang dengan konsep modern, edgy, modis, sehingga menambah pesonanya.

Desainer ternama yang tergabung dalam Ikatan Perancang Muda Indonesa (IPMI) menampilkan konsep busana bergaya etnik dengan ragam pilihan kain tradisional. Sebut saja kain lurik Jawa, tenun ikat NTT, tenun sutera Makassar, tenun Badui, tenun Garut, kain Jambi, dan songket Bali, yang semuanya dirancang menjadi koleksi busana siap pakai.

Era Sukamto dengan tenun Badui dan Garut
Peragaan busana IPMI "Ethnic" pada Senin  lalu menampilkan Era Sukamto dengan koleksi busana dari tenun bertema "Sonata". Era mengangkat tenun Badui dengan teknik gedogan dan tenun ATBM Garut, dengan motif geometris. Motif tenun yang kaya makna ditafsirkan Era dengan busana ringan, romantis, modern, lengkap dengan detail menarik yang menonjolkan feminitas perempuan. Penafsiran Era dalam busana koleksinya terinspirasi dari makna tenun Badui yang memiliki arti cinta universal, cinta empat arah, atau dimensi paralel antara Tuhan, leluhur, alam, dan sesama manusia.

Barli Asmara dengan tenun sutera Makassar
Anggota baru IPMI, Barli Asmara, untuk pertama kali hadir di JFFF kedelapan. Busana ready-to-wear rancangan Barli memesona dengan mengangkat kain tenun sutera Makassar atau dikenal sutera Bugis (Lippa Sabe). Koleksi busananya bertema "Ecletic" dengan warna kalem dan feminin, seperti pink dan ungu. Barli membuktikan, rancangannya memberikan kesan tradisional modern pada busana siap pakai dalam balutan tenun Makassar.

"Kain tradisional sebagai inspirasi jangan dianggap tidak bisa tampil modern, edgy," katanya saat konferensi pers menjelang peragaan busana di Hotel Harris Kelapa Gading, Jakarta, Selasa

Stephanus Hamy dengan tenun NTT
Hamy tampil dalam dua kali show dalam satu malam. Pertama, Hamy menampilkan koleksi second line miliknya, "Earthnic". Satu panggung dengan Barli, Hamy mengawali peragaan busana dengan mengeluarkan koleksi jaket wanita dari tenun Nusa Tenggara Timur. Motif tenun Sumba yang identik dengan gambar binatang, terlihat apik dirancang dalam model jaket oleh Hamy. Ragam motif tenun NTT hadir dalam desain berbeda dengan sentuhan jebolan Lomba Perancang Mode Femina 1983 ini. Kesan modern, feminin, kental terasa dalam koleksi "Earthnic".

"Setiap daerah punya tenun, dan pasar tenun tradisional semakin baik. Permintaan tenun juga tinggi, satu dua tahun terakhir tenun semakin booming. Namun, kemampuan sumber daya masih terbatas. Karena itu, saya menggunakan tenun ATBM, bukan gedog, tetapi juga tidak menggunakan tenun yang terbuat dari mesin. Tenun mesin menghilangkan nilai tradisi dari tenun itu sendiri. Setiap perajin tenun punya hasil yang berbeda meski motifnya serupa. Perajin mengerjakannya dengan penuh perasaan sehingga tenun memiliki nyawa," kata Hamy.

Lagi-lagi, tenun menjadi primadona, disukai pasar dan dicintai perancang yang menafsirkan ragam tenun Nusantara dalam koleksi busananya. Menurut Hamy, peminat tenun terus bertambah seiring dengan banyaknya kegiatan yang menjadikan tenun sebagai dress code. Kain tenun tak lagi hanya digunakan sebagai selendang. Kini, kain tenun semakin elok melekat di tubuh sebagai rok, jaket, atau blus wanita.

"Dulu jualan busana kain tenun itu susah. Saya sudah delapan tahun menggunakan tenun NTT. Namun, kini permintaan semakin banyak, bahkan kesulitan untuk memenuhi permintaan khusus untuk tenun gedog," aku Hamy, yang juga menggelar pertunjukan tunggal "Jambi to Bali" seusai menampilkan koleksi "Earthnic".

Selain tenun, Hamy juga menangkap keindahan kain tradisional Jambi dan kain songket Bali. Ia kemudian merancang busana berlabel Hamy Culture, dengan padu-padan jaket, celana panjang, rok paduan kain Jambi, dan songket Bali.

Musa Widyatmodjo dengan lurik Jawa
Lain lagi dengan desainer kenamaan Musa Widyatmodjo. Bersama mitranya, Yogi Soegyono, Musa merancang kain lurik Jawa dalam model busana siap pakai untuk perempuan modern yang tegas, cerdas, dan elegan. Ia menamakan koleksinya "The Luric(she)ll", mewakili citra perempuan yang memiliki tekad kuat, dengan mengaplikasikan lurik dalam busana smart-casual hingga cocktail.

"Kain lurik Jawa diolah menjadi bahan utama busana maupun sebagai aksen. Kain lurik sejalan dengan tren fashion tahun ini dengan elemen garis," kata Musa dalam konferensi pers di Hotel Haris Jakarta, Jumat

Memperkaya Koleksi "Ready to Wear" dengan Lurik


Koleksi busana ready-to-wear karya perancang lokal sudah waktunya merajai pasar. Meski kondisinya kini, tak banyak desainer Indonesia yang memasarkan rancangannya di berbagai departement store. Fokus pada rancangan ready-to-wear, berkualitas, dengan harga terjangkau, inilah yang dilakukan desainer ternama Musa Widyatmodjo.

Menurut Musa, rancangan busana ready-to-wear dari desainer Indonesia perlu semakin banyak diciptakan dan dipasarkan. Busana siap pakai lebih terjangkau. Perempuan masa kini juga lebih senang yang praktis, langsung pakai, tak sabar menunggu busana pesanan dengan harga yang mahal.

"Busana ready-to-wear dari desainer lokal rata-rata mulai Rp 400.000. Sedangkan busana pesanan bisa mencapai Rp 15-20 juta. Ready-to-wear M by Musa sendiri harganya antara Rp 700.000 - Rp 3 juta," jelas Musa di sela peragaan busana the luric(she)ll di Jakarta Fashion & Food Festival 2011, Kelapa Gading, beberapa waktu lalu.

Kebutuhan busana siap pakai juga tinggi di daerah, kata Musa. Jeli melihat kebutuhan ini, Musa fokus merancang busana dan memasarkan second line miliknya M by Musa.

Di JFFF 2011, Musa mengenalkan koleksi ready-to-wear M by Musa, the luric(she)ll. Bukan pertama kalinya Musa mencipta koleksi busana siap pakai. Selama 20 tahun berkarya di dunia fashion, Musa memimpin tiga divisi bisnis fashion di bawah bendera PT Musa Atelier. Divisi seragam dengan klien kebanyakan dari perbankan, divisi private order atau custom made, Musa Widyatmodjo, dan divisi ready-to-wear M by Musa, busana siap pakai untuk pasar perempuan.

"Merek Musa Widyatmodjo lebih menyasar pesanan khusus, dengan rancangan bernuansa etnik, dan harga di atas Rp 3 juta. Berbeda dengan koleksi siap pakai yang berharga di bawah Rp 3 juta, dan sudah dipasarkan di Sogo atau Seibu," jelasnya.

Busana lurik yang feminin
Pengalaman puluhan tahun di industri fashion, meyakinkan Musa untuk fokus mengembangkan koleksi busana siap. Rancangan terbarunya, the luric(she)ll menambah pilihan koleksinya. Koleksi busana lurik dihadirkan Musa sebagai bentuk kontribusinya mengangkat nilai tradisi sekaligus memberdayakan perajin daerah.

"Lurik itu unik. Fashionista bisa tampil modis dan modern dengan lurik," kata Musa yang menggunakan lurik di seluruh bagian busana dan sebagai aksen pada koleksi siap pakainya.

Sebanyak 80 set koleksi the luric(she)ll ditampilkan Musa di JFFF 2011. Karakter feminin menonjol dalam rancangan Musa yang kebanyakan modelnya berupa busana terusan. Desain kontemporer modern kental hadir dalam koleksi the luric(she)ll. Siluet terinspirasi dari era 20-70 an menjadi pilihan Musa dalam mendesain busana siap pakai ini. Kombinasi lurik dan lace menampilkan busana siap pakai yang feminin namun kental nilai tradisi.

"Koleksi ini ada yang sudah keluar di pasar. Namun nantinya akan diproduksi bertahap. Nanti juga akan keluar versi busana muslim jelang lebaran. Koleksi siap pakai ini memang dirancang bisa mix-match untuk baju lebaran," jelas Musa.

Eksplorasi Kain Tenun NTT di Tangan Musa


Kecintaan Musa Widyatmodjo pada budaya Indonesia membuat desainer ini selalu fokus pada eksplorasi kain-kain khas Indonesia. Setelah mengeluarkan koleksi The (Ine) Kelimutu beberapa bulan lalu, dalam ajang Jakarta Fashion and Food Festival kali ini ia mengeluarkan koleksi terbarunya, The Flobamora Indone(she)aku.

"Koleksi ini banyak bercerita tentang berbagai keindahan dan kekayaan motif kain tenun dari Nusa Tenggara Timur," ungkap Musa menjelang show-nya di Hotel Harris, Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (23/5/2012) lalu. Dalam koleksinya kali ini Musa banyak menggunakan kain-kain dari "Flobamora", yang tak lain singkatan dari pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur, yaitu Flores, Sumba, Timor, dan Alor.

Tak mudah mengolah kain tenun. Kesulitannya sangat terasa ketika proses pemotongan bahannya, karena jika salah potong maka pola garis di kain tenun ini akan menjadi tidak simetris atau tidak sejajar. "Setiap kain tenun punya motif dan warnanya sendiri-sendiri. Namun, Musa bisa mengombinasikan aneka motif dan warna tenun yang berbeda-beda ini dalam satu paduan busana yang serasi," puji Lusia Leburaya, Ketua Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) NTT.

Musa memadukan kain tenun dengan ketrampilan khas dari kawasan lain di Indonesia, seperti bordir bunga anggrek timbul dari Tasikmalaya, motif selendang sulam suji dari Koto Gadang, dan juga batu kaca (glass bead) dari Jombang.

"Namun, kain tenun yang digunakan untuk baju ini adalah kain tenun ikat, dan bukan kain tenun sotis. Ini dilakukan untuk menekan biaya produksi dan harga jualnya," ungkap desainer yang terkenal dengan karakter simplicity with handycraft detailing in.

Ia menggunakan beberapa jenis kain tenun dari NTT ini untuk menghasilkan 99 busana siap pakai yang bergaya simpel dan bisa dikenakan oleh semua perempuan dari beragam usia, warna kulit, dan bentuk tubuh. Ia banyak mengolah sarung, selendang, dan scarf menjadi busana dengan style dress, blus, rok, celana, lengkap dengan detailnya yang cantik.

Show The Flobamora Indone(she)aku terbagi dalam tiga bagian. Di bagian pertama, Stripe A Pose tampil sebagai koleksi Musa yang banyak menampilkan motif garis dengan kain tenun yang warnanya cenderung gelap namun kuat. Dengan motif garis, kain tenun yang dihadirkan dalam mini dress, bolero, dan kardigan, ini terlihat sangat tegas. Perpaduan kain tenun NTT dengan kain modern yang bergaris juga membuat kesan ringan dan nyaman saat mengenakan busananya.

Di sesi kedua, Musa menghadirkan tema Aesthetics, yang lebih kontemporer. Sedangkan di sesi ketiga, Musa menghadirkan koleksi yang bernuansa over the village. Desain yang digunakan menghadirkan kesan yang modern, berkat tambahan bordir bunga seperti pada pinggang, dada, atau bahu.

Melalui busana ini Musa ingin menunjukkan bahwa kain tradisional seperti tenun juga bisa bernuansa lebih modern. Blus bergaya formal, gaun dengan V-line yang agak lebar, serta sentuhan gaun backless, juga menambah pesona koleksi busana Musa yang didominasi warna-warna tenun ikat yang khas dan dalam.

Gaya Harajuku dalam Busana Tenun Edbe


Eddy Betty merupakan salah satu desainer Indonesia yang banyak mengeksplorasi keindahan kain batik melalui lini sekundernya, edbe. Tak heran namanya identik sebagai perancang busana batik. Untuk mematahkan stigma tersebut, Eddy Betty dan pasangan bisnisnya, Ley Puspa Sandjaja, meluncurkan koleksi busana siap pakai dari kain tenun. Peragaan busana bertajuk "Imperata Nomadechic" (from sunrise to sunset) pun digelar dengan menghadirkan 114 busana siap pakai.

"Inspirasinya didapatkan ketika sedang berlibur ke Bali, dan menemukan sebuah kain tenun ikat Bali yang sangat cantik. Dari situ akhirnya saya tertarik untuk lebih mengenal jenis kain tenun ikat Bali," papar Eddy menjelang show-nya di The Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta, Kamis (7/6/2012) lalu.

Eddy memaparkan keselarasan harmoni antara kain tenun ikat Ende, Bali, dengan idealismenya. Ia tidak hanya menggunakan motif-motif tenun klasik, tetapi juga motif-motif kreasinya sendiri, seperti payung, polkadot, kotak-kotak, dan lain-lain. Hal ini dilakukan sebagai salah satu langkah untuk keluar dari pakem klasik dalam kain tenun, sekaligus memberikan nafas baru untuk memperkaya motif tenun.

"Untuk mempersiapkan koleksi busana tenun ini, saya membutuhkan waktu sekitar enam bulan," tukas Eddy, yang menggunakan kain tenun ikat dari Klungkung, Ubud, dan Gianyar.

Fashion show-nya sendiri dibagi menjadi tiga bagian yang menggambarkan ceritanya masing-masing. Di babak pertama, koleksi tenun dihadirkan dalam warna pagi seperti hijau, biru, dan oranye, yang menyiratkan keindahan matahari saat akan terbit. Pada babak kedua koleksi kain ikat Bali dihadirkan dalam warna yang lebih lembut dan natural, yang menggambarkan ketenangan jiwa saat tengah hari. Untuk memancarkan ketenangan ini, Eddy banyak menggunakan warna-warna pastel seperti krem. Kain tenun juga dikombinasikan dengan bahan linen yang lebih ringan.


"Kain linen dipilih jadi paduan tenun karena punya tekstur yang mirip dengan tenun, sehingga ketika digabungkan, hasilnya tidak berbeda jauh dengan tekstur tenunnya," jelas Ley Sandjaja
Sedangkan pada babak ketiga, kain tenun diolah lebih mewah dengan dominasi warna gelap seperti hijau tua, biru tua, coklat tua, sampai merah tua. Babak ketiga ini melambangkan keindahan kilau warna alam saat matahari akan terbenam.


Sebagian besar gaya busana tenun ini diberi sentuhan gaya Harajuku yang edgy, seperti model kantung celana yang besar, potong pola, dan berbagai teknik draperi yang memberikan kesan tubuh lebih bervolume. Cutting yang asimetris, dengan tambahan aplikasi draperi dan renda besar yang ditambahkan ke dalam busana, membuat busana terlihat lebih dinamis dan bergaya anak muda.

Dalam koleksi busana ini, Eddy banyak menampilkan busana siap pakai dalam bentuk mini dress tanpa lengan, bolero, gaun strapless, jumpsuit, rompi, rok mini, celana pendek, kemeja, dan celana panjang, yang banyak diolah dengan gaya loose (longgar) dan potongan asimetris.

Salah satu kekuatan dalam koleksi Edbe ini terletak pada ketelitian Eddy untuk menggabungkan beberapa motif tenun yang berbeda dalam satu busana siap pakai. Bahkan ia terbilang teliti dan berani menggabungkan sampai empat jenis kain tenun ikat yang berbeda motif dalam satu dress. Hal ini menjadikan koleksi busananya terkesan lebih kasual, fashionable, artistik, dan edgy.

"Semua koleksi Edbe ini adalah koleksi personal, yang berarti tidak diproduksi massal. Sama seperti batik tulis, tenun juga tidak bisa menghasilkan kain yang sama persis, maka koleksi ini pasti berbeda satu sama lain. Ini pula lah yang membuat koleksi Edbe merupakan koleksi ready to wear deluxe," papar Ley.

Statement Cinta dari Edbe


 “Love.is.in.the.air” adalah tema yang dipakai perancang Eddy Betty dalam pagelaran busana edbe (baca: e-di-bi) -lini busana ready to wear-nya- di Ballroom Hotel Mulia, Senayan'

Seakan ingin menebarkan cinta kepada para undangan yang menghadiri show-nya, perancang kelahiran Jambi, 41 tahun silam, ini melampirkan undangan berbentuk hati yang diakuinya sebagai hasil karyanya sendri. Secarik undangan unik tersebut juga menjadi sebuat statement bagi Eddy, bahwa ia perancang yang mampu membuat tren bagi karyanya sendiri. Koleksi busana edbe pun, diharapkannya mampu membuat orang melirik kepada orang yang memakainya.

“Saya ingin edbe menjadi sebuah statement bagi siapapun yang memakainya. Menjadi sebuah karakter dan menyatu sebagai pribadi oleh siapapun yang mengenakannya,” tegas perancang yang juga memiliki lini adi busana tersebut, setelah jumpa pers.

Peragaan yang berlangsung kurang dari satu jam tersebut menceritakan arti kata “menjadi sebuah statement” melalui para model yang terdiri atas 22 perempuan dan 8 pria. Semangat edbe dalam orkestrasi saling tabrak dengan warna-warni batik yang lebih terang dari pertunjukan terakhirnya Juni lalu, hadir dalam komposisi yang tumpang tindih namun tetap membuat semua penikmat fashion terpaku mengikuti setiap langkah model yang memeragakannya.

Batik yang naif
Semalam, koleksi edbe yang terdiri atas 90 outfit terbagi dalam dua sekuens pertunjukan. Batik tulis yang hadir sebagai sekuens pertama tetap menjadi primadona di tengah katun, rayon, dan tenun hitam putih yang hadir di sekuens selanjutnya. “Batik adalah a piece of art. Karenanya saya ingin batik selalu hadir bagi semua karya edbe. Setiap detail yang muncul pada batik mencerminkan kesungguhan dan cinta pembuatnya. I love batik, karenanya saya ingin semua orang pun mencintai batik sebagai sebuah wujud seni yang mampu lestari sebagai busana setiap waktu,” ungkapnya.

Motif batik kali ini tampil naif dengan rancangan khusus bercorak mainan anak-anak. Motif boneka matryoska -boneka jepang, bola-bola, telur paskah, dan bentuk hati, berkolaborasi menjadi sebuah motif yang tertuang unik pada koleksi busananya. “Pilihan corak boneka, telur paskah, dan bola-bola tersebut saya padu-padankan sebagai sebuah kenangan manis yang pernah saya miliki. Saya ingin membagi cinta yang pernah saya rasakan dalam koleksi saya, berharap cinta tersebut juga bisa dirasakan oleh pemakainya. Love in in the air,” jelas Eddy Betty.

Corak gedung, batik afrika, bentuk geometris, bunga, dan jumputan juga menghidupkan koleksi edbe menjadi sebuah komposisi langka yang berbeda dari batik-batik yang pernah ada.

Meski batik menjadi pilihan utama bagi karya edbe, layaknya manusia yang ingin terus berkembang, batik tidak lagi menjadi satu-satunya pilihan koleksi siap pakai edbe. “Perlahan, saya ingin menghadirkan varian lain dari koleksi edbe. Karenanya, di pertunjukan ini, saya juga menampilkan hitam-putih sebagai a twisted curious bagi koleksi ready to wear saya,” ungkap Eddy, yang terus berusaha menciptakan busana yang tidak terpaku pada sebuah pakem.

Koleksi hitam-putih berdetail border berlubang-lubang (eyelet) hadir dengam menata dinamika dari sudut pandang yang tidak sempurna. Hal ini menjadi pelepas rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap koleksi edbe di luar koleksi batiknya. Tetap dengan kombinasi bermain-main, filosofi edbe “mix don’t match” juga menjadi konsistensi dari karya hitam-putihnya.

Potongan midriff, gaya perancang Jepang dengan teknik frills, celana jodhpur, celana galembong (celana sarung yang dikenakan para penari Randai dari Sumatera Barat), dan lilitan kombinasi tumpang tindih busana di tubuh para model menjadi signature sang perancang. Semangat modern yang berjiwa unik dan eksklusif menjadi sebuah cinta yang terus dinanti dari rancangan edbe berikutnya.

Selasa, 23 April 2013

Batik di Butik Baru Edbe


Setelah 10 tahun membuka Eddy Betty Haute Couture, tahun lalu Eddy Betty mewujudkan mimpinya untuk mencipta busana siap pakai, yaitu edbe (baca: e di bi). Edbe lalu menjadi lini kedua busana Eddy Betty. Dalam koleksi siap pakainya ini Eddy menciptakan pakaian yang cenderung basic dan klasik, tetapi cara pakainya terserah kepada kepribadian si konsumen.

Agar pelanggan lebih mudah mendapatkan koleksi edbe, Eddy membuka butik barunya di jalan Gunawarman 30, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (1/6/2011) lalu. Selain untuk lebih mendekatkan karyanya pada konsumen, hadirnya butik edbe merupakan langkah Eddy untuk memantapkan nama yang telah dirintisnya selama ini.

Butik yang menempati ruang seluas 125 m persegi ini, memiliki konsep tata ruang bergaya alami dengan mengekspos banyak unsur kayu dan batu bata, termasuk dua pohon kayu artistik di tengah ruang. Penataan ruang ini disesuaikan dengan filosofi rancangan edbe yang bergaya asiatis, unik, dan banyak memakai kain tradisional batik.

Selain memperkenalkan butik baru, sore itu Eddy juga memamerkan lebih dari 30 potong koleksi barunya. Konsepnya tetap sebagai busana siap pakai kreatif (pret à porter creative) yang kasual, rileks, longgar, bervolume, bergaya resor, melanggar aturan, memiliki sentuhan Asia (terutama gaya Jepang), dengan padu padan kuat untuk mencipta gaya pribadi yang khas dan muda. Eddy menegaskan, edbe tidak memfokuskan koleksi busananya berdasarkan usia, melainkan gaya pribadi pemakainya.

Meskipun koleksi edbe bersifat komersil, namun Eddy tetap menunjukkan idealismenya untuk mempopulerkan kain tradisional pada kaum muda. Satu segmen yang menarik perhatian saat itu adalah koleksi busana batik yang banyak menonjolkan motif serangga. Kesan konservatif pada batik langsung pudar begitu melihat koleksinya.

Rancangan Eddy untuk atasan maupun gaunnya banyak mengandalkan teknik draping (gantung atau tumpuk), gather (ikat), dan smocking (kerut). Koleksi gaunnya menampakkan gaya asimetris, dengan aksen berupa pita dan kantong yang longgar. Penempatan kantongnya pun tergolong tidak lazim, seperti pada sisi kiri-kanan perut. Tabrak motif menjadi permainan yang seru di sini, termasuk dengan memadukan atasan dan celana pensil dari bahan batik.

Mengamati satu demi satu koleksinya, konsumen akan mendapat kesan bahwa rancangan Eddy memang sangat muda dan segar. Anda juga bisa membayangkan rancangannya dikenakan di acara-acara fashion, dimana semua orang berlomba ingin membuat statement dengan pilihan busananya.

Di samping menampilkan koleksi busana edbe, bagian lain dari butik ini juga digunakan untuk memajang koleksi aksesori dan lighting dari Rinaldy A Yunardi. Rinaldy yang sebelumnya lebih banyak menciptakan rancangan pesanan dengan harga eksklusif, kali ini memamerkan aksesori siap pakai untuk koleksi sekunder bermerek R.A.Y. Ia juga menampilkan koleksi aksesori ruang, yaitu lampu bernuansa karya seni. Kreasi terbarunya yang dihadirkan di sini adalah cermin dinding, yang banyak dicari oleh pasangan pengantin baru.

Bila Anda berminat, koleksi edbe bisa Anda peroleh dengan harga mulai Rp 800.000. Sedangkan koleksi R.A.Y bisa didapatkan dengan harga mulai Rp 1.000.000, dan lampu mulai Rp 3.000.000. Silakan kunjungi butik edbe dan R.A.Y

Tenun Indonesia Sejajar dengan Adibusana Dunia


Selama ini, jika bicara adi busana dunia maka nama-nama Channel, Giorgio Armani, hingga karya perancang sekelas Karl Lagerfeld, memenuhi ingatan. Memang karya-karya perancang dan rumah busana itu menyita emosi karena keindahannya.
Pernahkah membayangkan karya anak bangsa dinyatakan sebagai adi busana alias houte coutoure? Jika tidak pernah, Chossy Latu, perancang busana yang pernah bergabung dengan Iwan Tirta, membuktikan hal itu dengan material tenun tradisional.
Mengapa tenun? "Karena Indonesia memiliki banyak sekali sentra produksi tenun. Motif, teknik penenunan, jenis bahan, dan nilai di dalam kain tenun sangat kaya di negara kita. Saya merasa hal ini pantas dibawa ke panggung dunia," kata Chossy Latu, dalam jumpa persnya, di Jakarta, Jumat lalu.
Mengusung kain tenun dalam balutan adi busana sehari-hari ke panggung kelas dunia jelas bukan hal mudah. Banyak sekali standar yang harus dipenuhi, mulai dari tata panggung, tata cahaya, koreografi, model peraga, penyusunan bangku, daftar hadirin, hingga... cemilan dan buku tamunya.
Jadilah demikian, karya-karya Chossy Latu dikemas sedemikian rupa dan tampil di MuseumQuartier, Wina, Austria, pada Rabu bulan lalu (16/5). Peragaan busana ini diberi tajuk Cultural Evening Tenun - The Heritage of Indonesia. Dalam bahasa Inggris, tenun dinamai handwoven cloth.
MuseumQuartier bukan tempat biasa, karena hanya perancang-perancang istimewa dunia yang bisa memeragakan karya-karyanya di sana. Harus sangat istimewa barulah perancang itu bisa hadir di panggung di sana.
Dukungan semua pihak diberikan kepada Chossy Latu dan rekan-rekannya, yaitu peragawati sekaligus model senior Dhanny Dahlan dan Pingkan Ullmer. Tidak kurang Duta Besar Indonesia di Wina, I Gusti Agung Wesaka Puja, bekerja keras memberi sentuhan-sentuhan dan cita rasa kelas dunia pada panggung di ruang bernuansa modern-klasik dengan plafon membusur itu.
Juga teman-temannya dari Yayasan Cita Tenun Indonesia dan Kementerian Perindustrian serta para sponsor.
Sukses besar diraih tim pergelaran itu. "Sampai-sampai tamu yang hadir datang ke hotel tempat kami menginap, ingin membeli. Kami membawa 40 pakaian yang bisa dipadu-padan dan memang sengaja dirancang sedemikian rupa dengan pesan bahwa tenun ini bisa dipakai untuk busana sehari-hari," kata Chossy Latu.
Itu sekelumit cerita agak surut menjelang hari peragaan yang juga diberi latar tari Gending Sriwijaya, Ronggeng Blantek dari Jakarta, tari Panji Semirang, dan tari Gandrung. Kali itulah para hadirin yang semuanya kalangan elit Wina melihat dari dekat kekayaan produk budaya Indonesia yang kemudian bisa menjadi sumber inspirasi mereka.
Cukupkah sampai di situ saja, sampai membuat mereka terpesona akan kekayaan warisan budaya Indonesia? "Kami memiliki cita-cita melestarikan kain tenun ini sehingga bisa sejajar dengan busana atau tekstil mancanegara yang lebih dulu dikenal," katanya.
"Masalahnya, penenun banyak yang belum sejahtera maka cara pendahuluan kami mendorong adalah mengenalkan kain tenun ini pada kelas masyarakat atas di Eropa itu," kata Chossy Latu.
Dia ingin buktikan, kain tenun bisa dipakai dalam keseharian. Saat memberi keterangan kepada pers, dia memakai kain tenun endek khas Bali kelabu dengan jenis tekstil yang "lebih santai". Tanpa mengurangi kekhususan kain tenun, rancangan baju lengan panjang endek-nya kali itu berhasil mengajak hadirin ingin memiliki dan memakainya.
Penenun di Tanah Air, menurut dia, memiliki beberapa keterbatasan pokok, mulai dari keterbatasan bahan baku benang, taktik dan cara pemasaran, kekayaan menggali ide motif, hingga musim aktivitas mereka sehari-hari.
Percayakah bahwa "musim mengawinkan" anak bisa menghambat kontinuitas produksi tenun? "Bisa, karena mereka pasti ikut mengurusi perkawinan-perkawinan itu. Makanya, dalam membina mereka, kami harus juga memerhatikann itu," katanya.
Intinya, kain tenun harus dibuat lebih fleksibel dengan komposisi modern sehingga elemen-elemennya bisa dimanfaatkan untuk memperkaya busana masyarakat banyak. Jika banyak yang memerlukan maka proses produksi bisa dimulai dan berujung pada peningkatan pendapatan perajin tenun.
"Saya pernah diprotes pelestari kain tenun tradisional, kok kain itu dipotong-potong?," kata Chossy Latu. Hal itu dia jawab dengan karya-karya yang lebih membumi. Hasilnya memang dahsyat dan dengan cita-rasa tinggi, bisa hadir di panggung dunia dalam standar yang seharusnya.
Songket palembang tanpa prada emas, tenun garut, songket sambas, sutra makassar, endek bali, bergantian tampil di panggung "cat walk" itu. Lampu-lampu memberi impresi dan fantasi sejati di antara lenggak-lenggok kaki peragawati.
Musik mengalun, paduan antara komposisi Chopin dan gamelan Bali... Tepuk tangan membahana hingga hadirin harus berdiri agar bisa memuaskan penghargaan mereka kepada Chhossy Latu. Akhirnya, dunia lebih memaknai dan memberi tempat tersendiri tentang kain tenun Indonesia