Senin, 14 Mei 2012

Raup Omzet Puluhan Juta Dengan Bisnis Kain Songket

Hasanuddin menunjukkan produk songket hasil karyanya yang telah dipasarkan ke berbagai daerah. Membangun kredibilitas dan reputasi di mata konsumen adalah kunci kesuksesan Hasanuddin dalam mengembangkan usaha.
Pantang mengecewakan konsumen adalah modal utama Hasanuddin, 57, dan istri, Purnawati, 52, untuk membesarkan usaha kerajinan songket. “Membangun sikap percaya pada orang lain serta tidak mengecewakan konsumen akan selalu dijaga. Dengan tetap memegang prinsip itu, automatis usaha apa pun yang digeluti akan berbuah manis,” ujar Hasanuddin memulai cerita awal mula terjun ke bisnis songket.
Semula Hasanuddin merupakan pedagang yang membuka usaha rumah makan di Kelurahan 19 Ilir Palembang, Sumatera Selatan. Sementara sang istri secara kecil-kecilan membuka usaha kerajinan songket rumahan di Jalan Talang Kerangga, Lorong Kahamidin, RT 12 RW 94 Kelurahan 30 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II, Palembang.
Bisnis kerajinan songket itu dirintis mulai 1982. Hasil dari usaha songket itu tergolong cukup untuk menopang kehidupan Hasanuddin yang memiliki delapan anak. Hasil pas-pasan itu pun membuat alumnus SMA Veteran Palembang ini tetap bersemangat. Seiring perjalanan waktu, prospek usaha songket di Palembang dan sekitarnya semakin cerah karena tingginya permintaan masyarakat akan produk songket.
Karena itu, pada 1990, Hasanuddin memutuskan mengambil alih manajemen kerajinan songket yang merupakan usaha keluarga yang diwariskan turun-temurun. Keahlian menenun songket ini didapat secara autodidak dari kedua orang tua mereka, M Kawi Hamzah dan Nyayu Ona. “Bakat menenun songket ini sudah lama ada secara turun-temurun,” tutur Hasanuddin.
Selain melihat peluang yang kian besar, Hasanuddin sering teringat pesan kedua orang tua bahwa usaha songket harus tetap dikembangkan agar menjadi khazanah sepanjang masa. Sebab songket memiliki ciri khas tersendiri yang patut dibanggakan.
Bahkan, kerajinan songket ini apabila ditekuni mampu menghasilkan sesuatu yang tak ternilai di samping hasilnya dapat menopang kehidupan keluarga. Hasanuddin kemudian mendirikan usaha songket Harapan Baru pada 1990 dengan modal Rp10 juta.
Modal ini diperoleh dari penjualan songket jantung atau songket lama yang telah diperbarui sedemikian rupa dengan benang emas sehingga bernilai tinggi. Berjualan songket jantung ternyata mampu menopang usaha pria kelahiran Palembang, 15 Maret 1953 ini. Satu buah songket benang emas kristal dijual Rp1,5 juta-Rp4 juta.
Permintaan pasar terhadap songket yang terus meningkat membuat Hasanuddin kewalahan. Dia pun merekrut tenaga profesional terlatih dari sekitar rumahnya untuk melayani permintaan pelanggan yang rata-rata dari kalangan menengah ke atas.
Hasanuddin juga mendatangkan pekerja songket dari Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir hingga Komering sehingga total pekerjanya 40 orang. “Permintaan konsumen tetap nomor satu. Kami harus merangkul lebih banyak tenaga kerja agar semua pesanan dapat selesai sesuai dengan permintaan sehingga kami harus menambah pekerja 5-10 orang,” ucap Hasanuddin.
Songket yang diproduksi Hasanuddin terdiri atas 10 jenis. Di antaranya songket pengantin, songket lepus naga besaung, bunga china, songket lepus beranti, songket limar, songket cantik manis, songket lepus lintang berlapis. Untuk benang terdiri atas berbagai jenis,antara lain benang sutra alam halus, benang emas kristal, benang emas sartini dengan bermacam warna.
Saat itu, per kilo benang sutra alam dibeli seharga Rp800 ribu. Adapun satu ikatan benang emas yang berisi lima ikat dibeli seharga Rp400 ribu. Perjalanan bisnis kerajinan songket ini tidak selalu berjalan mulus. Krisis moneter 1998 yang menerpa Indonesia sempat memukul para perajin songket. Harga bahan baku songket melambung sangat tinggi dan permintaan barang menurun drastis.
Saat krisis itu, pengerjaan satu setel songket memakan waktu satu bulan, paling cepat 20 hari. Satu jenis songket biasa dikerjakan dua orang. Satu orang menenun kain dan yang satu lagi menenun selendang. Untuk satu setel songket, Hasanuddin harus mengeluarkan kompensasi sebesar Rp500 ribu-Rp600 ribu per orang.
Agar usaha songketnya tetap bertahan dari badai krisis ekonomi 1998, Hasanuddin bersama istri dan keluarga memilih opsi menjual harta simpanan 10 suku emas hasil bisnis songketnya untuk menanggung semua biaya operasional dan kompensasi 40 tenaga kerja.
Dua tahun kemudian, Hasanuddin akhirnya tak sanggup lagi menanggung biaya operasional maupun gaji karyawan.Alternatif pengurangan tenaga kerja merupakan jalan akhir yang terpaksa harus dilakukan hingga karyawannya berkurang menjadi 30 orang. Tahun 2000, usaha songket kembali normal seiring dengan membaiknya perekonomian nasional.
Harun Al Rasyid, rekan Hasanuddin yang pada saat itu sebagai pendamping perajin songket Palembang, menyarankan Hasanuddin meminjam modal ke PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) melalui program kemitraan bina lingkungan (PKBL) untuk mengembangkan usaha songketnya.
Saran itu dilaksanakan dan Hasanuddin mendapatkan bantuan Rp20 juta dari Pusri. Setelah melunasi dengan baik pinjaman itu, Hasanuddin mengajukan pinjaman modal lagi ke Pusri. Gayung pun bersambut. Dia kembali mendapatkan pinjaman Rp 40 juta. “Alhamdulillah, berkat kepercayaan Pusri memberikan pinjaman, akhirnya usaha songket saya ini semakin berkembang,” ujarnya.
Sejak mendapat pinjaman dari Pusri itu, lambat laun usaha Hasanuddin terus berkembang. Selain bantuan modal, Pusri juga memberikan pembinaan dan pelatihan tentang tata cara mengelola suatu usaha serta melakukan pemasaran yang baik.
Hasanuddin bahkan pernah melakukan studi banding ke sejumlah usaha di Jawa, termasuk Bandung, Bali, Surabaya, dan Batam yang difasilitasi Pusri. “Saya sering mengikuti pelatihan dan event-event besar seperti pameran dari Pusri ke Jakarta, Bandung hingga Kalimantan. Banyak manfaat yang dipetik dengan mengikuti pelatihan dan pembinaan dari Pusri itu,” tutur Hasanuddin yang kini mempekerjakan 25 orang.
Hasil songket Harapan Baru dipasarkan di toko dekat pintu gerbang sentra songket Talang Kerangga Palembang. Produk songket juga dikirimkan ke Jakarta, Medan, Bandung hingga Kalimantan melalui pameran program PKBL Pusri serta dapat diakses melalui http://www.songketpalembang.com/. Dari usaha membuat songket, Hasanuddin mampu meraup keuntungan Rp30 juta per bulan.
Saat pameran atau event besar, laba bertambah lantaran omzetnya bisa mencapai Rp50 juta sekali pameran. Biasanya setiap mengikuti pameran Hasanuddin selalu membawa 40 setel songket dan rata-rata laku 30 setel setiap pameran.
Berkat kerajinan songket itu, Hasanuddin mampu menyekolahkan anak-anaknya. Ada yang ke jenjang strata satu, diploma tiga, ada yang masih bersekolah di SMA dan SMP. Dia optimistis ke depan usaha kerajinan songket ini akan terus berkembang karena songket sangat dibutuhkan masyarakat.
Biasanya permintaan songket akan ramai sebelum bulan puasa dan sesudah Lebaran atau pada musim resepsi pernikahan. Selain menjual songket, Hasanuddin juga menyediakan suvenir pernikahan seperti gantungan kunci, kipas, dompet, topi, hiasan dinding hingga baju batik.
Sementara itu, ada pula Suaidah, pemilik Kenanga Songket, menggeluti usaha songket karena satu alasan. Dia ingin bisnis songket yang telah ditekuni kedua orangtuanya tetap lestari sampai kapan pun.

Bermula dari usaha orangtua itulah Suaidah yang akrab disapa Cek Ada, menggeluti kerajinan kain songket. Kedua orangtua Cek Ada, Ahmad Zaenuri dan Hj Zubaedah, semasa hidupnya adalah perajin songket ternama di Palembang, Sumatera Selatan. Selepas kepergian kedua orang tuanya menghadap Sang Khalik, Cek Ada mengambil alih usaha tersebut pada 1997. Cek Ada mengakui keputusannya mengambil alih bisnis orangtua karena ingin usaha tersebut dapat terus berkembang. ”Kalau bisa sampai kapan pun,”ungkapnya.

Mengambil alih usaha songket bukan perkara mudah. Selain harus mengetahui seluk-beluk cara pembuatan kain songket, Cek Ada juga harus memikirkan selera pasar yang terus berkembang. Beruntung Cek Ada memiliki orangtua seperti Zaenuri dan Zubaedah.

Pelajaran dari kedua orangtuanya yang telah memperkenalkan kain songket kepada Cek Ada sejak kanak-kanak menjadi bekal berharga saat dia memutuskan mengambil alih usaha tersebut. ”Sejak duduk di bangku sekolah dasar saya sudah diperkenalkan dengan kain songket,” tuturnya.

Bicara kain songket, tentu tak afdol kalau tidak menyampaikan informasi di balik perkembangan kain yang menjadi salah satu ciri khas Palembang ini. Cek Ada menuturkan, kain songket merupakan tenunan benang sutera atau kapas yang ditenun bersama-sama benang emas atau perak. Pada zaman dulu songket melambangkan kebesaran raja-raja dan pembesar-pembesar istana saja yang memakainya. Seiring perkembangan zaman, songket mulai digunakan untuk pakaian pengantin, perhiasan dinding, alas meja, barang-barang cenderamata dan sebagainya. Songket bangsa Melayu menjadi cikal-bakal perkembangan kain songket.

Kata songket sendiri berasal dari ’sungkit’, yaitu teknik menyungkit. Bunga atau hiasan di kepala kain di tenun mengikuti citarasa penenun. Corak atau ragam hias tersebut dikenali dengan nama-nama seperti tapak manggis, pucuk rebung, lawi ayam, dan sebagainya. Menurut Cek Ada, sebagai perajin industri kecil, kemahiran seorang penenun mengambil peran penting atas hasil kain yang diproduksi. Kreativitas menjadi harga yang paling mahal dalam proses menenun.

Dibutuhkan waktu sekitar empat hingga enam pekan untuk menghasilkan sehelai kain songket yang panjangnya 20–40 meter. ”Itulah kenapa tiap bulannya tidak banyak kain songket yang kami produksi,” tutur ibu empat anak ini. Lantaran produk yang dihasilkan tiap bulannya terbatas, melalui bendera Kenanga Songket Cek Ada lantas lebih memikirkan pada penyempurnaan produk dan kualitas produk.

Desain-desain yang lebih memenuhi selera pasar menjadi andalan. ”Ya, desain dan pengembangan produk menjadi salah satu andalan kami untuk tetap eksis di tengah persaingan,” tuturnya.

Pengembangan produk yang dilakukan Kenanga Songket di antaranya menyediakan beraneka macam kain songket, pelangi, baju sutera, tajung, blongsong, jumputan, dan lain-lain. Produk-produk tersebut menjadi hasil karya dari enam orang perajin yang setia mendampingi perjalanan bisnis Cek Ada. Dari sekian produk yang berhasil dikembangkan, songket sutera tenun benang emas menjadi andalan Kenanga Songket. Yang khas dari produk tersebut ialah beragam benang emas yang menghiasinya.

Terdapat beberapa benang emas seperti satibi, kristal,dan jantung. Khusus untuk songket tenun yang menggunakan benang emas jantung, menurut Cek Ada, harganya paling mahal. Produk-produk berkualitas Cek Ada dijual dengan kisaran antara Rp1,5–7,5 juta. Mahal? Tentu saja relatif. Bagi sebagian kalangan yang mengetahui seluk-beluk pembuatan dan bahan-bahan yang digunakan, harga tinggi bukanlah masalah. ”Biasanya konsumen yang paham kain songket berkualitas tak pernah mempersoalkan harga,” ungkap Cek Ada.

Perempuan berusia 50 tahun ini mengatakan, produk-produknya telah menyebar ke mana-mana. Melalui promosi dari mulut ke mulut, produk Kenanga Songket merambah beberapa daerah di Indonesia. Kota Palembang tentu menjadi sasaran produk-produk karya seni bercitarasa tinggi ini.

Sejalan dengan pemasaran yang semakin luas, omzet usahanya meningkat. Setidaknya omzet Rp20 juta per bulan telah mampu dibukukan dari usahanya. Perkembangan usaha Kenanga Songket juga tak lepas dari berbagai kegiatan pemasaran.